16 Juli 2000

432. Kebenaran Lawan Kebenaran

Husni Jamaluddin telah mengemukakan contoh-contoh di Indonesia tentang pertikaian kebenaran lawan kebenaran (KLK). KLK ini kita dapat jumpai pula dalam cerita-cerita lama, yang beberapa di antaranya telah difilmkan. Pernah lihat film Taras Bulba? Kalau belum, ini ceritanya, kalau sudah, ya refreshing. Pasukan Kazak di bawah pimpinan panglimanya, Taras Bulba (dimainkan Yull Bryner, mungkin salah menulisnya karena hanya dikorek dari ingatan), mengepung sebuah benteng Polandia. Mereka berkemah sedikit di luar batas jangkauan peluru meriam dari benteng. Setelah puluhan hari pengepungan, Taras Bulba (TB) ingin tahu bagaimana situasi dalam benteng, sehingga suatu malam menugaskan puteranya (dimainkan Tony Curtis-TC) masuk menyusup ke dalam benteng. Apa yang disaksikan TC, penduduk-biasa berburu, tetapi tidak seperti orang Kazak berburu di steppe, melainkan penduduk-biasa itu, yang mukanya sudah kurus-kurus, matanya membelalak, berburu memperebutkan tikus-tikus. Keadaan itu dilaporkannya kepada panglima dan ayahnya itu. Pasukan Kazak bersorak kegirangan, tetapi TC tidak. Bahkan beberapa malam kemudian TC menggiring beberapa ekor sapi dari perbekalan pasukan Kazak ke pintu benteng. Penghuni benteng memperoleh makanan, tetapi TC tertangkap dan diesekusi sendiri oleh panglima dan ayahnya, karena berkhianat. Inilah KLK, kebenaran kehormatan bangsa Kazak yang diusik di steppe-steppe mau dijajah oleh orang Polandia, melawan rasa kemanusiaan, penduduk-biasa yang bukan tentara menderita kelaparan. Singkatnya kalau memakai terminologi kontemporer: kebenaran nasionalisme melawan kebenaran HAM.

Pernah lihat film berseri Zato Ichi? Kalau belum, ini ceritanya, kalau sudah, ya refreshing. Zato Ichi (ZI), si Buta yang sang pendekar pedang (bukan si Buta dari Gua Hantu!), yang memegang pedang tidak seperti pendekar yang lain memegang pedang, melainkan seperti memegang pisau. Dalam pengembaraannya ZI bertemu dengan seorang ibu yang sakit-sakitan, beserta seorang anaknya perempuan yang balita. Pada waktu sekarat sang ibu berpesan memberikan amanah kepada ZI yang disanggupi ZI, yaitu supaya anak balitanya itu dipertemukan dengan ayahnya, seorang pelukis (P).

Juga dalam pengembaraannya ZI bertemu dengan seorang Samurai (S). Sebagaimana lazimnya, tak terkecuali di Indonesia, hampir mayoritas profesi tuna-netra berupa tukang pija(i)t dan urut, profesi ZI juga adalah tukang pijat. Dikatakan hampir mayoritas, karena ada yang minoritas yang tidak buta seperti tukang pijat Gus Dur, yaitu Soewondo yang sedang buron (atau disembunyikan?). ZI yang tukang pijat memijit S. Dan seperti lazimnya ZI dengan Samurai terlibat percakapan dengan suara kecil, ya berbisik, barangkali seperti bisikan Soewondo tatkala sedang memijit orang-orang yang dipijitnya. Dari bisik-bisik itu ZI mendapatkan informasi bahwa S ternyata seorang petugas kerajaan yang sementara dalam tugas mencari buronan (Br), karena melanggar aturan raja (istilah kontemporernya: peraturan perundang-undangan).

Setelah ZI selesai memijat, S membayar di atas upah kelaziman profesi pijat, tidak seperti sekarang Panitia Pembebasan Tanah yang menaksir harga tanah yang akan dibebaskan ataupun dicabut hak kepemilikannya demi kepentingan "umum" di bawah harga kelaziman (baca: harga pasar), maka itu disebut juga ganti rugi. Kata umum ditaruh di antara tanda petik, oleh karena menurut Kepres no.55 thn 1993, sarana olah raga juga termasuk kepentingan umum. Maka demi kepentingan "umum" dicabutlah hak kepemilikan atas tanah para petani sayur di Puncak Jabar untuk sarana olah raga golf.

Kembali kepada upah pijit di atas kelaziman itu. ZI merasa tersinggung mendapatkan upah di atas kelaziman. ZI mengembalikan sebagian uang S sambil mengatakan bahwa kebiasaannya tidak mau menerima hadiah. Singkat cerita beberapa waktu setelah pijit dan bisik serta upah di atas kelaziman itu, S mendapati ZI secara single fighter bertempur melawan gerombolan pengacau. S ikut ambil bagian, karena memang sudah profesinya menjaga keamanan kerajaan. Akhir pertempuran dimenangkan oleh ZI dan S, gerombolan banyak yang mati dan banyak yang tertawan. Salah seorang di antara tawanan itu ternyata P yang dicari oleh ZI dan S. Dan ternyata pula P yang dicari oleh ZI tidak lain dari Br yang dicari-cari S. Semua tawanan akan digiring ke ibu kota oleh S untuk diadili dan menerima hukuman.

Br memprotes bahwa ia terlibat dalam aktivitas sindikat karena dipaksa. Br dipaksa untuk melukis lukisan-lukisan porno yang diedarkan untuk dijual oleh jaringan sindikat itu. S mengatakan keberatan Br itu dapat dikemukakan nanti dalam pengadilan. Yang jelas Br telah melanggar aturan kerajaan dalam kejahatan melukis lukisan poron. ZI minta kepada S agar P alias Br dibebaskan, karena pada dasarnya P bukan orang jahat. ZI yakin betul, seorang seniman yang betul-betul seniman bukanlah orang jahat. Apa lagi ZI mendapat amanah untuk mempertemukan anak balita itu dengan ayahnya. Kasihanlah balita itu, ikut digiring ke Kotaraja. ZI berbicara menurut bisikan hati nurani kemanusiaan. Di sini terjadi pula KLK. Dalam terminologi kontemporernya kebenaran supremasi hukum melawan HAM.

Perbedaan pendapat ZI dengan S akhirnya diselesaikan dengan ayunan pedang S dengan tangkisan "pisau panjang" ZI. Kalau dalam film Taras Bulba dengan eksekusi, pengarang cerita itu mempunyai visi kebenaran nasionalisme dimenangkan di atas kebenaran HAM. Dalam film berseri ZI pengarang menyelesaikan ceritanya dengan S mengalah, tetapi bukan karena permainan pedangnya yang kalah. Artinya pengarang film berseri ZI mempunyai visi kebenaran supremasi hukum dikalahkan di bawah kebenaran HAM.

Lalu bagaimana KLK ini menurut Al Quran? Firaman Allah SWT:
-- WQALT ALYHWD LYST ALNSHRY 'ALY SYY^ WQALT ALNSHRY LYST ALYHWD 'ALY SYY^ WHM YTLWN ALKTB KDZLK QAL ALDZYN LA Y'ALMWN MTSL QWLHM FALLH BYNHM YWM ALQYMT FYMA KANWA FYH YKHTLFWN (S. ALBQRT, 113), dibaca: waqa-latil yahu-du laysatin nasha-ra- 'ala- syayin waqa-latin nasha-ra- laysatil yahu-du 'ala- syayin kadza-lika qa-lal ladziyna la- ya'lamu-na mitsla qawlihim faLla-hu yahkumu baynahum yawmal qiya-mati fi-ma- ka-nu- fi-hi yakhtalifu-n (s. al baqarah), artinya: Berkata orang-orang Yahudi tidaklah orang-orang Nasrani di atas suatu (kebenaran), dan berkata orang-orang Nasrani tidaklah orang-orang Yahudi di atas suatu (kebenaran), padahal mereka itu sama-sama membaca Kitab. Demikian pula berkata orang-orang yang tak berpengetahuan seperti perkataan mereka, maka Allah akan menghukum di antara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka perselisihkan (2:113). WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 16 Juli 2000