30 Juli 2000

434. Sekali Lagi Tabayyun

Perwira menengah Angkatan Laut, Juanda, yang sering dikenal sebagai salah seorang "pembisik" Presiden, sudah dijauhkan dari lingkaran Presiden (Fajar, 27/7-2000). Bisikian-bisikan Letkol Juanda dinilai sering tidak tepat. Dokumen Yusuf Kalla yang dinilai oleh Akbar Tanjung sebagai dokumen yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menuduh Yusuf Kalla ber-KKN, kemungkinan besar bersumber dari bisikan-bisikan Juanda. Boleh jadi karena itulah maka Juanda sekarang telah dienyahkan dari lingkaran pembisik Presiden Abdurrahman Wahid.

Permintaan maaf Presiden Abdurrahman Wahid belum memuaskan para penginterpelasi berhubung tidak substansial karena permintaan maaf itu hanya untuk "gugatan" Presien Abdurrahman Wahid tentang hak interpelasi itu saja. Ada pepatah yang mengatakan: Melihat kilat di air sudah tahu pendayungnya. Artinya dalam konteks kontemporer bermakna melihat yang tersurat telah maklum yang tersirat. Permintaan maaf Presiden Abdurrahman Wahid dalam hubungannnya dengan hak interpelasi adalah yang tersurat, sedangkan yang tersirat adalah permintaan maaf yang substansial. Dienyahkannya Juanda adalah kilat di air, sedangkan pendayung adalah permintaan maaf yang substansial. Oleh sebab itu menurut hemat saya tidaklah perlu menagih Presiden Abdurrahman Wahid secara gamblang untuk minta maaf yang substansial, karena seperti ulasan tadi permintaan maaf substansial itu telah tersirat. Alangkah eloknya kalau proses tabayyun ini tidak perlu ditingkatkan ke taraf mengeluarkan pendapat oleh DPR sesudah SU MPR, sehingga dalam konteks ini terjadilah islah politik yang akan membawa kesejukan iklim kehidupan ekonomi dan reaksi positif dari pasar.

Dalam pada itu dari pihak lain, K.H.Abdurrahman Wahid dapat menimba hikmah dari "mengusik" hak interpelasi itu. Yakni K.H. Abdurrahman Wahid dapat pula secara tegas membedakan antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan Gus Dur. Gus Dur adalah masa lalu, masa berkecimpung di LSM, bebas berpikir, bebas mengeluarkan pendapat. Presiden Abdurrahman Wahid adalah masa kini, masih bebas berpikir, tetapi sudah terbatas mengeluarkan pendapat. Yaitu dibatasi oleh kedudukannya sebagai Presiden Republik Indonesia, yang memegang amanah melaksanakan segala peraturan perundang-undangan, bertangga turun: mulai dari UUD, ke Tap MPR, hingga Undang-Undang. Kita semuanya juga (termasuk penulis sendiri) selama ini telah mencampur-adukkan Presiden Aburrahman Wahid dengan Gus Dur. Mulai dari sekarang saya akan berhati-hati menulis, tidak lagi mencampur-adukkan antara Presiden Abdurrahman Wahid dengan Gus Dur.

Hanya Gus Dur yang berkecimpung dalam LSM yang bebas mengeluarkan pendapat: cabut Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, jangan pemerintah diperalat untuk melarang komunisme. Namun setelah Gus Dur berubah menjadi Presiden Abdurrahman Wahid, ia tidak boleh mengeluarkan pendapat yang demikian itu lagi, oleh karena sebagai Presiden ia malahan justru memperoleh amanah untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan.

***

Dari tabayyun yang berskala nasional kita pindah kepada tabayyun yang berskala lokal. Pada 25/7-2000 di ruang data kantor Bupati Maros berlangsung tabayyun yang melibatkan hampir seluruh unsur yang terkait dalam proyek perluasan Bandara Hasanuddin dengan warga pemilik tanah yang didampingi Macassar Intelectual Law. Kalau Presiden Abdurrahman Wahid bersedia secara tatap muka melakukan tabayun dengan DPR, namun ketua Panitia Sembilan, Moh.Alwy Rum tidak bersedia hadir untuk tabayyun. Boleh jadi ini dijiwai oleh semangat yang kebablasan dari Otoda, bahwa daerah itu buat apa tiru-tiru pusat segala. Ataukah ada sebab lain yang mengecutkan hati hingga tidak hadir? Ada empat hal pokok yang perlu tabayyun.

Pertama, kalau memang telah ditetapkan oleh Panitia Sembilan untuk daerah Maros hanya Rp.4000/meter persegi, lalu buat apa repot-repot dianggarkan dalam DIP Rp.7000/meter persegi, ada apa gerangan? ("Analisis" tentang perbedaan yang Rp.3000/meter persegi ini yang menyebabkan M.Arif Wangsa dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dengan masa percobaan 1 tahun).

Kedua, adanya pelanggaran HAM, seperti: Mansyur diancam akan dibenturkan kepalanya bila tidak mau menerima ganti rugi. H.Dudang menunjuk kepalanya: "Ini bekas luka di kepala saya akibat dipukuli, karena menolak menerima ganti rugi yang ditawarkan."

Ketiga, mengapa Panitia Sembilan menetapkan harga tanpa ada kesepakatam dengan warga pemilik tanah.

Keempat, ada beberapa warga pemilik tanah yang belum menerima ganti rugi, antara lain Muh.Saleh dan H.Amir Solong yang datang juga menghadiri pertemuan tabayyun itu. Kalau pada tabayyun nasional di atas dihimbau agar sampai di situ saja, maka tabayyun dalam skala lokal ini perlu ditingkatkan kepada penyelesaian hukum secara tuntas, oleh pertimbangan seperti berikut:

Pertama, pernyataan tertulis dari Menteri Perhubungan lewat Dirjennya yang berbunyi: "Direktorat Jenderal Perhubungan Udara tidak akan melaksanakan pembangunan di atas tanah yang bermasalah di daerah Rencana Pengembangan Bandara Hasanuddin, sebelum masalah tersebut (ganti rugi, penulis) diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku", ditanda-tangani oleh Dirjen Perhubungan Udara, Soenaryo Y., tanggal 15 Mei 2000.

Kedua, Pemerintah Perancis mengancam akan menarik modalnya kalau proses pembebasan tanah di Mandai itu masih bermasalah.

Ketiga, kemungkinan embarkasi haji akan dialihkan ke wilayah lain, karena Pemerintah Arab Saudi mengisyaratkan mulai tahun depan memerlukan landasan pacu yang lebih panjang dari landasan pacu Bandara Hasanuddin (TVRI lintas timur). Seekor kerbau berkubang, semua kena lumpurnya. Panitia Sembilan meninggalkan bengkalai pembebasan tanah, seluruh jama'ah haji kawasan timur Indonesia kena batunya. Firman Allah:

-- WATQWA FTNT LA TSHYBN ALDZYN ZHLMWA MNKM KHASHT (S. ALANFAL, 25), dibaca: wattaqu- fitnatal la- tushi-bannal ladzi-na zhalamu- mingkum kha-shshah (s. al anfa-l), artinya: Hindarkanlah fitnah yang tidak hanya menimpa orang zalim saja di antara kamu (8:25). Fitnah dalam bahasa Al Quran lebih luas pengertiannya dari fitnah menurut bahasa Indonesia. Melanggar HAM, tidak membayarkan hak orang adalah fitnah menurut bahasa Al Quran. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 30 Juli 2000