10 Juli 2005

684. Kedaulatan, Kekuasaan, Kebebasan dan Syura

Kedaulatan didefinisikan sebagai "menangani dan menjalankan suatu kehendak atau aspirasi tertentu". Dalam sistem demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti rakyat sebagai sumber aspirasi (hukum) dan berhak menangani serta menjalankan aspirasi tersebut. Dalam sistem demokrasi, rakyat berfungsi sebagai sumber hukum. Semua produk hukum diambil atas persetujuan mayoritas rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) maupun melalui wakil-wakilnya di parlemen (demokrasi perwakilan). Inilah cacat terbesar dari sistem demokrasi. Manusia dengan segala kelemahannya dipaksa untuk menetapkan hukum atas dirinya sendiri. Pikiran manusia akan sangat dipengaruhi lingkungan dan pengalaman pribadinya. Pikiran manusia juga dibatasi oleh ruang dan waktu.

Dalam sistem demokrasi, jika mayoritas rakyat menghendaki dihalalkannya homo/lesbian , maka negara harus mengikuti pendapat tersebut. Kebiasaan kebanyakan penduduk Turatea misalnya gemar minum balloq (tuak) sampai menjadi tunasaqring (teler), dapat memaksa penguasa setempat untuk menbebaskan perdagangan minuman keras. Dalam sistem demokrasi, masyarakat kehilangan standar nilai baik-buruk. Siapapun berhak mengklaim baik-buruk terhadap sesuatu. Masyarakat bersikap "apapun boleh" (liberalisme).

Dalam Islam, penetapan hukum adalah wewenang Allah SWR. Penetapan hukum tidak bermakna teknis, tetapi bermakna penentuan status baik-buruk, halal-haram, terhadap sesuatu hal. Allah SWR berfirman:
-- ALhKM ALA LLH YQSG ALhQ WHW KHYR ALFASHLYN (S. ALAN'AAM, 6:57), dibaca: alhukmu illa- lilla-hi yaqushshu l haqqa wahuwa khairul fa-shili-n, artinya: Hukum itu hanyalah hak Allah, Dia meng-qisahkan kebenaran dan Dialah sebaik-baik Pemerkara.

Demikianlah, Islam menempatkan kedaulatan di tangan Allah sebagai Musyarri' (Pembuat Hukum), sebagai pihak yang paling berhak menentukan status baik-buruk terhadap suatu masalah. Segala produk hukum dalam sistem Islam harus merujuk kepada keempat sumber hukum Islam, yaitu al-Qur'an, as-Sunnah, Ijma Shahabat, dan Qiyas (ijtihad).

***

Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada di tangan rakyat dan mereka "mengontrak" seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak rakyat. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena penguasa tersebut merupakan "buruh" yang digaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan Kontrak Sosial.

Dalam sistem Islam, kekuasaan ada di tangan rakyat. Dan atas dasar itu rakyat dapat memilih seorang penguasa (Khalifah) untuk memimpin negara. Pengangkatan seorang Khalifah harus didahului dengan suatu pemilihan dan dilandasi perasaan sukarela tanpa paksaan. Tetapi berbeda dengan sistem demokrasi, Khalifah dipilih oleh rakyat bukan untuk melaksanakan kehendak rakyat, melainkan untuk melaksanakan dan menjaga hukum Islam. Maka seorang Khalifah tidak dapat dipecat hanya karena rakyat sudah tidak suka lagi kepadanya, tetapi dapat dipecat jika tidak lagi melaksanakan hukum Islam walaupun baru sehari menjabat.
-- Dari Ubadah bin ash-Shamit berkata: Kami membaiat Rasulullah SAW (sebagai kepala negara) untuk mendengar dan mentaatinya dalam keadaan suka maupun terpaksa, dalam keadaan sempit maupun lapang, serta dalam hal yang tidak mendahulukan urusan kami (lebih dari urusan agama), juga agar kami tidak merebut kekuasaan dari seorang pemimpin, kecuali (sabda Rasulullah): "Kalau kalian melihat kekufuran yang mulai nampak secara terang-terangan , yang dapat dibuktikan berdasarkan keterangan dari Allah." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad, an-Nasai, dan Ibnu Majah).

Untuk memutuskan apakah seorang Khalifah lalai dalam pelaksanaan hukum Islam, negara mempunyai instrumen hukum berupa Mahkamah Mazhalim yang berhak mengadili dan memecat penguasa. Dan kaum muslimin juga didorong untuk selalu mengoreksi penguasa.

***

Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan kehendaknya, apapun bentuknya, secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan. Masyarakat demokratis bebas mengeluarkan pendapat, walaupun pendapat itu bertentangan dengan batasan-batasan agama. Bebas pula memiliki segala sesuatu yang ada di muka bumi, termasuk sungai, pulau, laut, dlsb. Harta dapat diperoleh dari segala sumber, baik dengan berdagang ataupun dengan berjudi. Dalam sistem demokrasi, masyarakat juga bebas bertingkah laku tanpa peduli dengan mengabaikan tata susila dan kesopanan.

Islam tidak mengenal kebebasan mutlak. Islam telah merinci dengan jelas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban manusia. Islam bukan hanya berorientasi pada hak asasi manusia, tetapi juga kewajiban individu (fardhu 'ain) dan kewajiban bersama (fardhu kifayah). Islam melarang orang mempermainkan agama, termasuk antara lain menulis buku yang menista agama. Itulah sebabnya Salman Rushdie divonis hukuman mati dalam pengadilan in absensia oleh Pemerintah Republik Islam Iran, karena menulis novek picisan "The Satanic Verses". Kabarnya matanya rusak berat karena stres mengisolasi diri bertahun-tahun.

Islam juga menggariskan seseorang untuk hanya mengatakan kebenaran dan melarangnya untuk berpendapat dengan sesuatu yang batil. Islam melarang seseorang untuk memiliki benda-benda yang tidak berhak dimilikinya, baik secara pribadi maupun kelompok. Islam telah meperinci beberapa cara pemilikan yang terlarang, misalnya pencurian, perampasan, suap (riswah), korupsi, judi, dan sebaliknya menghalalkan beberapa sebab pemilikan, yaitu bekerja, waris, mengambil harta orang lain dalam keadaan terdesak yang mengancam jiwanya, serta harta yang diperoleh tanpa pengorbanan semisal zakat, hadiah, hibah dan sedekah.

***

Adanya prinsip syura dalam sistem Islam dan musyawarah dalam sistem demokrasi tidak dapat dijadikan alasan untuk menyamakan Islam dengan demokrasi. Mobil memiliki mesin propulsi, demikian pula dengan pesawat terbang. Lalu apakah sama antara mobil dengan pesawar terbang? Tidak semua masalah dapat dimusyawarahkan dalam Islam. Hal inilah yang membedakannya dengan sistem demokrasi yang mengharuskan setiap keputusan diambil dengan suara terbanyak, tidak peduli apakah hasil keputusan itu melanggar batasan-batasan agama. Islam membatasi musyawarah hanya untuk masalah-masalah yang mubah. Adapun masalah-masalah yang telah jelas halal-haramnya, tidak dapat dimusyawarahkan untuk dicabut atau sekedar mencari jalan tengah. Untuk masalah-masalah teknis dan menyangkut keterampilan tertentu, Rasulullah SAW menyerahkan keputusannya kepada para pakar dalam bidang tersebut. Untuk masalah-masalah yang sifatnya mubah (boleh), Rasulullah SAW meminta pendapat kaum Muslimin. Menyerahkan setiap keputusan politik kepada seluruh warganegara adalah berbahaya karena justru dapat mengkhianati kebenaran. Pembaca diminta kesabarannya untuk menunggu Seri 685 yang insya-Allah akan membahas "Demokrasi sebagai Alat Penjajahan". WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 10 Juli 2005