17 Juli 2005

685. Demokrasi sebagai Alat Penjajahan

"Either you accept our offer of carpet of gold, or we bury you under carpet of bomb." ("Anda terima tawaran kami, dan hidup di atas karpet emas, atau jika tidak, Anda akan kami kubur di bawah karpet bom" ). Kalimat di atas adalah bahasa diplomasi yang dipilih Amerika untuk delegasi Thaliban saat berunding di Berlin, Jerman, sebelum mereka membombardir Afghanistan. Cuplikan itu dikutib oleh Jean-Charles Brisard dalam bukunya, Ben Laden, the Forbidden Truth. Kalimat seperti itu ternyata tidak membuat Thaliban surut dari pendirian awal. Dan ternyata Thaliban harus mengakui kebenaran ancaman Amerika tersebut, Afghanistan dikubur di bawah karpet bom. Apa sesungguhnya yang dicari oleh Amerika?

Afghanistan memang amat menggiurkan. Selain memiliki cadangan minyak dan gas yang cukup besar dan belum diekplorasi, negeri yang terlihat tandus ini juga satu-satunya negara harapan Amerika untuk menjadi saluran pipa minyak yang akan dibangun untuk menyedot minyak dan gas dari Asia tengah (Turkemenistan, Uzbekistan dan Kazakistan) yang, menurut para ahli, depositnya mencapai 50 billion barel. Cadangan minyak ini nantinya dibawa ke laut India melalui Pakistan. Dibandingkan dengan Saudi Arabia yang hanya memiliki 30 billion barel, dan sisanya saat ini entah tinggal berapa lagi, Afghanistan sungguh sebuah surga tersendiri buat Amerika. Minyak untuk Amerika. Itulah nampaknya kata kunci kedamaian di Afghanistan. Dan menanamkan demokrasi di Afghanistan itulah kata pembenaran Amerika Serikat, sebagai kampiun demokrasi di dunia.

Bagaimana dengan Iraq yang masih bergolak sekarang ini. Sama dengan Afghanisran black gold (emas hitam) alias minyak yang juga menjadi kata kunci. Sebermula Presiden George W Bush begitu menggebu-gebu dan berbusa-busa mulutnya meyakinkan dunia bahwa Iraq memiliki senjata kimiawi dan biologis dengan kuantitas yang tidak main-main. Senjata Pemusnah Massal (SPM) = Weapons of Mass Destruction (WMD) yang dimiliki Saddam Husein yang menjadi alat pembenaran untuk menginvasi Iraq dalam upaya ekspansi ekonominya menguasai negeri 1001 malam pemilik kandungan enas hitam itu. Begitu perang dinyatakan selesai, semua titik yang dicurigai sebagai lokasi disimpannya SPM=WMD itu secara intensif segera diperiksa oleh tim khusus AS. Namun, ternyata tidak secuilpun bukti ditemukan. Maka seperti di Afghanistan yang dijadikan pembenaran ialah lagi-lagi demokrasi, menanamkan demokrasi di Iraq,

Kalau keluar Amerika menjadikan demokrasi sebagai kata pembenaran yang hakekatnya dijadikan dan sebagai alat penjajahan untuk ekspansi ekonominya, lalu bagaimana dengan wajah demokrasi dalam negeri Ameruka sendiri? Ralph Nader pada tahun 1972 menerbitkan buku Who Really Runs Congress?, yang menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres. Diperkuat oleh The Powergame (1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika adalah: money, uang dan fulus. Sehingga benarlah apa yang diteriakkan Huey Newton, pemimpin Black Panther pada tahun 1960-an: "Power to the people, for those who can afford it." (kekuasaan diperuntukkan bagi mereka yang mampu membayar untuk itu).

Negara adidaya tersebut mempunyai kepentingan untuk membuka pasar global seluas-luasnya sehingga perusahaan Amerika dapat masuk dan menguasai pasar di negara setempat. Untuk mencapai hal itu, dibutuhkan suatu rezim yang lemah, yang dapat ditekan oleh para pemilik modal atau badan-badan keuangan internasional. Untuk menciptakan para penguasa yang lemah di tiap-tiap negara, dikembangkan konsep civil society (masyarakat sipil) yang mengebiri peran negara menjadi seminimal mungkin. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) didorong untuk menjadi "pemerintah-pemerintah kecil" sehingga masyarakat dapat mengurus dirinya sendiri. Dengan demikian tidak hanya pemerintah, lembaga-lembaga swasta pun turut andil dalam penyebaran opini global tentang nilai-nilai demokrasi universal.

Sudah terlalu jelas fakta yang dapat disodorkan bahwa Amerika menggunakan demokrasi sebagai alat untuk menekan negara-negara berkembang (terutama negeri-negeri Islam) agar tunduk pada keinginannya. Tidak pernah ada itikad baik Amerika untuk mendorong kesejahteraan negara-negara yang dijadikan sasaran promosi demokrasi dan hak asasi manusia. Amerika (dan negara-negara Barat) mempunyai kepentingan politik dan ekonomi untuk menjaga kelangsungan hidup rezim-rezim penguasa. Jika demokratisasi diartikan sebagai tampilnya kekuatan oposisi (yang didominasi oleh gerakan Islam "fundamentalis") sebagaimana terjadi di Kuwait, Aljazair, Yordania, dan Yaman, maka Barat akan menghambat proses demokratisasi itu. Kontinuitas suplai minyak dan keberadaan pangkalan militer Barat adalah sesuatu yang jauh lebih berharga ketimbang demokratisasi.

Demokrasi tidak pernah dan tidak akan terwujud dalam aspek kehidupan praktis. Demokrasi hanyalah alat penekan dan dominasi Amerika (termasuk Barat) kepada negeri-negeri Islam untuk tunduk pada kepentingan mereka. Jika Prof. Ahmad Syafii Ma'arif menyebut penjajahan sebagai sampah peradaban, maka demikian pulalah julukan yang tepat untuk demokrasi. Firman Allah:
-- WLA THNWA WLA ThZNWA WANTM ALA'ALWN ANKNTM MWaMNYN (S. AL 'AMRAN, 3:139), dibaca:wala- tahinu- wala- tahzanu- waantumul a'lawna ingkuntuk ku'mini-n (a. ali 'imra-n), artinya: Janganlah kamu lemah, dan janganlah kamu risau, kamu lebih unggul jika engkau beriman. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 17 Juli 2005