18 Maret 2007

770. Syekh Yusuf Pahlawan Nasional Sejak 1995

Judul di atas itu saya ambil dari tulisan saya dalam Rubrik Surat dari Pembaca Harian Fajar edisi 12 Maret 2007. Eloklah juga surat saya itu direkam dalam Seri 770 ini, yakni seperti berikut:
Syekh Yusuf Pahlawan Nasional Sejak 1995
Pada hari ini, 10 Maret 2007 saya baca dalam Harian "FAJAR" halaman 1 dan 11 antara lain seperti berikut:
Mantan Presiden RI, Megawati Soekarno Putri mengusulkan agar pemerintah menetapkan Syech Yusuf sebagai salah seorang pahlawan nasional. Putri proklamator Bung Karno itu menilai, Syech Yusuf adalah seorang pejuang yang menentang Belanda dan akhirnya diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan. Usulan tersebut disampaikan Ketua Umum PDIP ini saat membuka Rapat Kerja Daerah (Rakerda) I PDIP Sulsel dan Perayaan HUT ke-XXXIV PDIP, di Hotel Clarion, Jumat, kemarin.

Sayangnya, kata Mega, di Indonesia Syech Yusuf tidak dijadikan pahlawan. Untuk itu, Megawati meminta Wakil Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo yang hadir di Clarion menyampaikan kepada gubernur Sulsel untuk mengusulkan Syech Yusuf sebagai pahlawan nasional.

Masya-Allah, Allahu Yarham Syaikh Yusuf sudah lama diangkat menjadi Pahlawan Nasional, bos. Dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 1995, Kepala Negara telah mengangkat tiga gelar Pahlawan Nasional kepada Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka dari Makassar, H. Muhammad Saleh Tuanku Tambusai dari Ranah Minang, dan Nuku Tuan Barakat dari Tidore.

Heran saya, kok mantan Presiden TIDAK TAHU bahwa Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional (2007 dikurangi 1995) = 12 tahun yang lalu. Mbak Mega ketinggalan informasi sama sekali. WaLlahu a'lamu bisshawab. Wassalamu 'alaykum wr. wb.

***

Kalau dalam Seri 770 ini terjadi proses dari Rubrik Surat dari Pembaca masuk ke dalam kolom, maka pernah terjadi proses sebaliknya dari Kolom, yaitu Seri 123, bertanggal 26 April 1994, 9 hari kemudian masuk Rubrik Surat dari Pembaca, bahkan terjadi polemik kecil. Uniknya Allahu Yarham Syekh Yusuf juga disebutkan.

Saya kutip dari Seri 123:
Saya teringat sebuah peristiwa bertahun-tahun yang silam. Kejadiannya dalam bulan Rajab. Allahu yarham H.AbdulGhani, imam tetap Masjid Syura waktu itu sedang mengimami shalat Maghrib. Sementara membaca pangumpu' beliau diserang batuk. Beliau lalu menyingkir ke samping, lalu Drs Sulthan BM, yang sekarang menjadi salah seorang imam tetap Masjid Syura maju ke depan melanjutkan mengimami shalat Maghrib, bacaan pangumpu' disambung dan bacaan serta gerak shalat diteruskan. Dalam pengertian space-like, Allahu yarham H.AbdulGhani menyamping ke pinggir, dan dalam arti abstrak mundur. Menjelang bagian akhir Seri 123 termaktub seperti berikut:
Adapun nilai lain dalam Shalat yang mengisyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang imam (baca pemimpin) yang melakukan kesalahan, salah bacaannya atau salah gerakannya wajib ditegur (baca unjuk rasa) oleh makmum (baca pengikut). Kalau yang menegur itu laki-laki ucapan teguran itu adalah kalimah SubhanalLah, untuk gerakan yang salah, dan membacakan bacaan yang benar untuk membenarkan bacaan imam. Dan kalau yang menegur itu perempuan cukup dengan isyarat menepuk punggung tangan. Dan imam harus tunduk pada teguran, memperbaiki bacaannya atau memperbaiki gerakannya. Demikianlah nilai yang dapat disimak yang diisyaratkan oleh nilai dalam Shalat tentang kepemimpinan dan kepengikutan. Seorang pengikut wajib menegur pemimpinnya. Namun cara menegur haruslah sopan, tidak boleh vulgar. Unjuk rasa dengan kalimah SubhanalLah bermakna bahwa Allah Maha Suci, hanya Allah yang luput dari kesalahan. Adapun manusia itu tidak akan sunyi dari kesalahan. Pemimpin harus dengan ikhlas dan berlapang dada menerima unjuk rasa, karena teguran itu adalah untuk memperbaiki demi kemaslahatan bersama, bukan untuk menjatuhkan.

Apabila benar bahwa menurut penelitian budayawan dan pakar sejarah budaya mundur itu bukanlah budaya bangsa Indonesia, maka alangkah sayangnya hal itu, oleh karena pertama, mayoritas bangsa Indonesia adalah Ummat Islam, dan kedua, AGAMA Islam sudah berabad-abad dianut di Indonesia ini, sehingga semestinyalah budaya mundur itu (selesai periode Shalat, maupun sementara melaksanakan keimaman dalam Shalat) telah mengakar di kalangan Ummat Islam di Indonesia ini.

***

Paragrap pendek: Apabila benar bahwa menurut penelitian budayawan dan pakar sejarah budaya mundur itu bukanlah budaya bangsa Indonesia, dst hingga akhir kalimat, mendapat kritikan dari Ir Faisal Habib:
"Namun mendekati bagian akhir tulisan beliau, saya tergoda untuk sedikit meluruskan tentang pihak mana yang mengeluarkan statement bahwa budaya mundur bukan budaya bangsa Indonesia (rasa-rasanya belum pernah ada budaywan atau pakar sejarah budaya yang melakukan penelitian khusus untuk itu apalagi menyimpulkan demikian) melainkan pernyataan bapak Wakil Presiden saat menjawab pertanyaan DPP AMPI beberapa waktu lalu sehubungan dengan skandal Golden Key Group."

Maka saya menulis tanggapan balik dalam Rubrik Surat dari Pembaca tsb. Seyogianya saya perlu menambah sebuah paragraf yang mendahului paragraf pendek tersebut. Saya berasumsi bahwa Wakil Presiden Tri Sutrisno yang berpegang pada nilai kecermatan tidak begitu saja akan berucap bahwa budaya mundur itu bukan budaya bangsa Indonesia, tanpa alasan yang kuat, yang beliau pernah baca dari buku-buku, atau sekurang-kurangnya mendengar dari penasihat pribadi beliau dari kalangan budayawan ataupun pakar sejarah budaya yang telah mengadakan penelitian tentang hal itu. Sebab tanpa adanya penelitian itu akan sukarlah untuk mengabaikan begitu saja kenyataan sejarah, bahwa sejumlah tokoh sejarah yang patut dijadikan teladan mundur dari jabatannya. Untuk menyebut di antaranya cukuplah jika dikemukakan tokoh-tokoh panutan seperti berikut: Syaikh Jusuf Tuanta Salamaka, mengundurkan diri sebagai Penasihat Kerajaan Gowa, setelah kerajaan melalui Karaeng Pattingalloang menepiskan semua nasihat beliau. "Punna tenamo takammanna lakupilari butta Gowa", demikian pernyataan beliau. Karaeng Galesong, mundur dari jabatan Panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa, karena tidak dapat menerima kebijakan Sultan Hasanuddin menanda tangani Perjanjian Bungaya. H.Moh Hatta mundur dari jabatan Wakil Presiden Repulik Indonesia yang pertama, karena merasa tidak sanggup bekerja sama dengan Soekarno, Presiden Republik Indonesia yang pertama. H.Muh.Natsir, Perdana Menteri Republik Indonesia yang pertama setelah RIS dilebur menjadi negara kesatuan kembali, menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden, oleh karena sudah merasa tidak sanggup lagi untuk seterusnya memimpin kabinet. Buya Hamka mundur dari keketuaan MUI, oleh karena pendapatnya tidak diterima oleh Alam Syah yang waktu itu sebagai Menteri Agama.

***

Sebuah cermin ketidak-cermatan karena kekurangan dan ketinggalan informasi dari petinggi RI yang dalam hal ini mantan Presiden dan Wakil Presiden pada waktu itu.

Perlu ditekankan lagi, bahwa kata mundur dalam konteks budaya mundur tidaklah bermakna dalam arti gerak yang konkret, seperti dikemukakan di atas itu, yaitu secara fisik Allahu yarham H.AbdulGhani menyamping ke pinggir, sedangkan secara hakikat mundur mengimami shalat berjama'ah. Seperti juga misalnya yang kita ucapkan dalam Shalat: Wajjahtu Wajhiya lilladziy Fathara sSamawa-ti wa lArdha, kuhadapkan muka kepada Yang menciptakan langit dan bumi. Menghadapkan muka di sini tidaklah bermakna dalam arah yang space-like, melainkan abstrak, karena Allah tidak mengisi ruang yang space-like:
-- SBhN ALLH 'AMA YShFWN (S. ALShFT, 37:159), dibaca:
-- subha-naLla- hi 'ammaa yasshifu-n,
-- SubhanaLlah, Maha Suci Allah dari sifat yang demikian itu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 18 Maret 2007