2 September 2007

794. Kelemahan KUHAP yang Membiarkan Korban di Luar Sistem

Massa Histeris di Pengadilan Tinggi terkait Kasus Kematian Siswa SMU di Gowa. Berita ini dapat kita baca dalam Harian FAJAR, edisi Selasa 28 Agusuts 2007. Massa yang tergabung dalam Koalisi Lembaga dan Masyarakat Pemerhati Anak Sulsel sempat histeris di dalam ruangan Pengadilan Tinggi. Mereka mendatangi Pengadilan Tinggi terkait dengan kasus kematian Nur Ikbal Caraka siswa SMU Sungguminasa Gowa akibat lemparan terpidana Drs Sukardi Bin Sappe, guru olah raga korban, beberapa bulan lalu. Terpidana divonis selama lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sungguminasa. Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi menjusutkan vonnis lima tahun itu menjadi hanya dua tahun. Ibu korban Anita Tanggo Amu 49, yang ditemui FAJAR disela-sela berlangsungnya aksi bertekad untuk tetap mencari keadilan atas kematian anaknya tersebut. "Saya tidak punya uang, tapi keadilan terus saya cari sampai kapanpun." Namun Jaksa Penuntut Umum enggan melakukan kasasi berhubung vonnis dua tahun oleh Pengadilan Tinggi sudah sesuai dengan tuntutannya yang dua tahun dalam Pengadilan Negeri. Berarti kandaslah upaya hukum Anita Tanggo untuk mencari keadilan, kandas oleh Sistem Hukum Nasional Negara Republik Indonesia.

***
Dalam kasus di Sungguminasa di atas itu, posisi ahli waris korban berada di luar sistem. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita mencuekkan hak asasi korban atau ahli waris korban yang terbunuh. KUHAP kita hanya memperhatikan hak asasi terdakwa. Maka demi keadilan apakah tidak patut apabila dalam KUHAP termuat pula aturan yang menyangkut hak asasi korban, ataupun hak asasi ahli waris korban yang terbunuh? Apakah tidak perlu diperluas cakrawala pemahaman keluar menembus bingkai pidana murni? Apakah sudah cukup dasar filosofi KUHAP yaitu jaksa hanya sekadar mewakili negara menuntut terdakwa karena bersalah terhadap negara yaitu melanggar undang-undang? Maka sangat patut jika korban atau ahli korban yang terbunuh dimasukkan dalam sistem, yaitu hak naik banding dan kasasi diberikan oleh undang-undang kepada korban atau ahli waris korban yang terbunuh.

Dalam Hukum Islam ahli waris korban yang terbunuh sangat diperhatikan. Hukum Qishash (pembalasan) seperti tercantum dalam Al Quran hanya dapat diubah, diringankan ataupun dibatalkan oleh ahli waris korban terbunuh, bukan oleh institusi kenegaraan. Firman Allah:
-- FMN TShDQ BH FHW KFARt LH (S. ALMAaDt, 5:45), dibaca:
-- faman tashaddaqa bihi- fahuwa kaffa-ratul lahu-, atinya:
-- barang siapa melepaskan (hak qishashnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya.

Dalam kasus Zulfiqar Ali Bhutto yang terpidana mati karena pembunuhan, Presiden Ziaul Haq tidak dapat membatalkan hukuman matinya, karena ahli waris korban tidak bersedia mengampuni Ali Bhutto, walaupun dari seluruh dunia berdatangan permintaan kepada Presiden Pakistan itu agar kepada Ali Bhutto diberikan grasi.

Yang alergi tentang Syari'at Islam yang diterapkan dalam ranah publik, tentu tidak pernah membaca dalam sejarah suatu kejadian yang sebenarnya terjadi di zaman Khalifah Umar ibn Khattab. Yang bagi mereka yang alergi itu itu tentu sudah melupakan yang telah ditayangkan oleh TVRI puluhan tahun yang lalu, atau bahkan tidak pernah menyaksikan tayangan tersebut. Seorang pendatang dari kota lain berstirahat di pinggir kota yang dikunjunginya. Ia lalai tidak menambatkan dengan baik kudanya, sehingga kuda itu lepas dan sementara itu pemiliknya tertidur. Kuda itu sempat masuk ke kebun orang memakan tanaman di dalamnya. Yang empunya kebun memergoki kuda itu lalu dibunuhnya kuda itu. Sementara itu yang empunya kuda sudah terbangun dan mencari kudanya memergoki kudanya yang sudah terbunuh. Maka pemilik kuda tersebut membunuh pemilik kebun itu.

Dalam sidang perkara itu, amar keputusan Umar ibn Khattab sebagai hakim: Menghukum mati terdakwa pembunuh sesuai Hukum Qishash. Memerintahkan ahli waris korban terbunuh untuk mengganti kuda yang dibunuh oleh korban terbunuh, sesuai dengan Hukum Qishash. Ganti rugi itu harus diberikan kepada ahli waris terhukum. Sementara itu ahli waris terhukum diwajibkan membayar kepada ahli waris pemilik kebun kerugian tanaman yang dimakan oleh kuda itu. Ternyata ahli waris korban terbunuh membatalkan hukuman mati itu. Dalam hal ini saksi korban termasuk dalam man tashaddaqa bihi-, yang melepaskan hak balasnya menurut S. Al Maidah, 5:45. Dari kejadian tersebut ada hal yang penting yang dapat kita simak. Yaitu amar keputusan hakim menyangkut pidana dan perdata. Hukuman mati bagi terdakwa, itulah keputusan pidananya. Dan memerintahkan mengganti kerugian untuk kuda yang mati dan tanaman yang rusak, itulah perdatanya. Baik aspek pidana maupun perdatanya, keduanya berlandaskan Hukum Qishash.

Disinilah lagi terletak perbedaannya dalam arti kelebihannya Hukum Islam atas Hukum Nasional. Dan sudah semestinya demikian, karena Hukum Islam berasal dari Wahyu, sedangkan Hukum Nasional yang berdasar atas kesepakatan komunitas (baca: Bangsa Indonesia) hanyalah berkualitas kebenaran relatif. Di mana itu letak kelebihan trsebut? Hukum Islam di samping memperhatikan korban atau ahli waris korban yang terbunuh sesuai dengan ayat (5:45) yang dikemukakan di atas, Hukum Qishash mengharuskan penggabungan perkara pidana dengan perdata dalam hal ganti rugi. Sedangkan dalam KUHAP penggabungan perkara pidana dengan perdata, tidaklah dengan sendirinya. Harus ada gugatan ganti kerugian dahulu. Dan kerugian dalam hal perkara perdata itu harus dalam skala yang besar. Lalu bagaimana dengan kerugian kecil-kecil tetapi besar artinya bagi orang kecil yang saksi korban? Inilah yang memberikan motivasi yang mendorong sementara orang menjadi hakim sendiri, bahkan menjadi hakim beramai-ramai dengan mengerahkan sanak keluarga korban. Di sinilah pula Islam sebagai Rahmatan lil'alamin diterapkan dalam ranah publik yang dalam hal ini merevisi dasar filosofi KUHAP bahwa jaksa hanya sekadar mewakili negara menuntut terdakwa karena bersalah terhadap negara yaitu melanggar undang-undang, tanpa memperhatikan keadilan bagi saksi korban ataupun ahli waris korban yang sama sekali ditutup hak asasinya untuk menempuh upaya hukum. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 2 September 2007