16 Maret 2008

819. Kasus Suap UTG dan Sistem Berfilosofi Praduga Tak Bersalah

Dalam Seri 818 ybl telah dikemukakan, bahwa sebaiknya yang menjabat sebagai Jaksa Agung berasal dari jaksa non-karir, yang masih segar (fresh) tidak terikat dengan "ikatan emosional" internal Gedung Bundar. Mengapa? Contohnya, terkait kedudukan jaksa Urip Tri Gunawan (UTG) sebagai ketua Tim Penyelidik Kasus Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI), kasus suap ini harus menjadi pintu masuk bagi Kejaksaan Agung untuk memeriksa semua keputusan yang pernah dihasilkan jaksa UTG dan anggota timnya. Siapa tahu, hanya Allah Yang Maha Tahu (24:35), keputusan-keputusan yang diambil selama ini terhadap para obligor BLBI, sudah diwarnai praktik korupsi di belakangnya. Sayangnya Jaksa Agung Hendarman Supandji berulangkali menegaskan penyelidikan dua kasus BLBI yang dihentikan Kejakgung tidak akan dibuka lagi. Meski, jaksa Urip disidik KPK. "Sudah dilakukan penyelidikan tujuh bulan, hasilnya itu tidak memenuhi unsur pidana, jadi tidak akan dibuka lagi," katanya. Salah seorang peserta "talk show" dari anggota DPR malam Rabu ybl yang ditayangkan melalui media elektronik (TV), juga dengan tegas menyatakan bahwa salah sekali KPK memberi kesempatan pada Gedung Bundar untuk ikut memeriksa.

Kita teruskan. Sistem hukum YANG MEMAYUNGI KPK belumlah cukup. Misalnya, UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang diperbarui dengan UU No 20/2001 walaupun sudah mengancam saksi pidana mati bagi pelaku korupsi, namun ada sanksi yang lebih membuat jera orang yaitu sanksi potong tangan. Pelaksanaan hukuman mati dilakukan secara tertutup, jadi unsur penjera tidak bisa menyaingi dengan sanksi potong tangan, berhubung hasil sanksi hukum potong tangan itu terbuka untuk disaksikan oleh komunitas pergaulan.

Lagi pula sistem jaksa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa di pengadilan rawan untuk suap. Berbeda dengan sistem pembuktian terbalik yang pernah dimajukan oleh almarhum Baharuddin Lopa ke DPR pada zamannya Presiden Abdurrahman Wahid. Sayang sistem itu ditolak oleh DPR. Adapun asal-muasal metode pembuktian terbalik ini, yaitu dari Khalifah 'Umar ibn Khattab RA (581-644). Khalifah yang kedua ini (634-644) mendapat inspirasi dari pertanyaan Nabi Zakaria AS kepada Maryam binti 'Imran:
-- YMRYM ANY LK HDzA (S. AL 'AMRAN, 3:37), dibaca:
-- ya- maryamu anna- laki ha-dza-, artinya:
-- Hai Maryam dari mana kamu memperoleh ini?

Ayat (3:37) tersebut diaplikasikan oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA kepada aparat kekhalifahan, anna laka hadza. Sejak itu anna laka hadza menjadi jurisprudensi dalam Hukum Islam, yaitu terdakwa korupsi harus membuktikan kebersihan dirinya, jadi sebaliknya dengan sistem hukum yang kebanyakan dianut di seluruh dunia, yaitu jaksa yang harus membuktikan kesalahan terdakwa, yang filosofinya katanya berlandaskan pada "praduga tidak bersalah". Padahal korupsi yang sudah parah menirbudaya ini haruslah dipakai sistem terbalik anna laka hazda, praduga bersalah. contohnya jaksa UTG yang gajinya hanya Rp 3,5-juta sebulan dapat memiliki mobil sampai 4 buah. Ini yang fakta. Yang bukan fakta, dia bisa berdagang permata seharga Rp 6,1 milyard. Jaksa UTG adalah satu dari sekian puluh ribu orang PNS dengan prestasi yang sama.

Sebuah ilustrasi kejadian historis. Syahdan, 2 orang penghuni istana Tidore, yaitu dayang-dayang puteri Boki Fathimah yang bernama Sulasi dan Barunarasa mencuri emas, intan-berlian puteri itu dan melarikan diri ke Ternate. Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram, bersurat kepada Gubernur Ternate, Wieling pada 28 Muharram 1220 (18 April 1885) supaya kedua tersangka itu diextradisikan ke Tidore. Wieling menolak permintaan extradisi itu oleh karena menurut penyelidikannya Sulasi yang dahulunya bernama Sarbanun adalah sesungguhnya berasal dari sebuah kampung dekat Gamkonora di Ternate, dan Barunarasa dahulu bernama Kuning adalah budak Kapitan Makassar di Ternate. Keduanya adalah penduduk Ternate, bukan penduduk Tidore, jadi tidak tergolong di bawah jurisdictie kerajaan Tidore (en dus in geen opsigte tot de Jurisdictie van het Tidorsche Rijk behooren; ejaan Belanda lama, sekarang opzicht dan behoren). Nuku dapat memahami penolakan itu. Yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila tidak dapat dibuktikan kesalahannya, yakni asas praduga tak bersalah. Kejaksaan bukan saja bertugas memberantas kejahatan, tetapi juga melindungi siapa yang tidak bersalah (om zoo wel de ontschuld te beschermen als het quaad te beteugelen; ejaan lama, sekarang zo dan kwaad). Sedangkan dalam Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire raja Tidore yang mula-pertama masuk Islam (1450), berlaku hukum acara sesuai yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA: anna- laka hadza, dari mana milikmu ini, tersangka harus membuktikan kebersihan dirinya.
Oleh sebab itu kalau mau bersungguh-sungguh memberantas korupsi yang menirbudaya di Indonesia ini, KPK harus dilindungi oleh payung hukum khusus untuk korupsi Undang-undang yang berfilosofi praduga bersalah anna laka hadza, pembuktian terbalik, jaksa tidak usah capek-capek membuktikan kesalahan terdakwa, lagi pula terdakwa tak ada manfaatnya menyogok jaksa, di tambah pula sanksi potong tangan yang bereffek menjerakan karena hasil sanksi itu terbuka bagi komunitas yang senantiasa dapat menyaksikan tangan yang yang sudah buntung, ibarat puntung rokok. WaLlahu a'lamu bisshawab.

Makassar, 16 Maret 2008