2 Maret 2008

817. Gayung Bersambut, Kata Berjawab

MUI mengeluarkan sepuluh panduan untuk mengenali ciri-ciri kelompok sesat, yaitu:
  1. mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam;
  2. meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Alquran dan sunnah;
  3. meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran;
  4. mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran;
  5. melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir;
  6. mengingkari kedudukan hadis nabi sebagai sumber ajaran Islam;
  7. menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul;
  8. mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir;
  9. mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke baitullah, salat wajib tidak 5 waktu;
  10. mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar'i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya
Pengasuh kolom ini akan menyambut gayungnya Rumadi, yang peneliti the Wahid Institute Jakarta. Gayung Rumadi itu akan difokuskan pada butir 5 saja. Ya, Gayung Bersambut, Kata Berjawab.

Inilah dia gayung Rumadi tersebut. Ketentuan butir 5, yaitu melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir, ini tidak cukup jelas maksudnya, karena itu bias menimbulkan berbagai penafsiran. Tentu saja saya tidak menuntut ketentuan ini diperjelas, karena secara metodologis dan substansial memang problematis. Penafsiran terhadap al-Quran dan kaidah-kaidah (metodologi)-nya terus mengalami perkembangan. Justru karena perkembangan inilah al-Quran bisa senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman (shalihun li kulli zaman wa makan).

Yang dibanggakan sebagai metode tafsir yang "shalihun li kulli zaman wa makan", adalah metode dengan alat yang disebut hermeneutika. Tentang hermeneutika ini, silakan melayari seri 729. Perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya yang ekstrem keliwat batas, yaitu menerobos masuk wilayah epistemologis. yaitu penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema (dari bhs Yunani Kuno episteme), yang menyangkut tentang parameter pengetahuan berupa:
  • asal-usul,
  • anggapan,
  • karakter,
  • cakupan,
  • kecermatan,
  • keabsahan.
Hermeneutika epistemologis yang ekstrem ini digunakan oleh pengecer Mohammad Arkoun dalam Rethinking Islam, (Kayfa na'qilu l-Islama, Bagaimana kita mengakali Islam). Saya dapat menimba dalam debat saya vs Ulil Absar Abdalla di cyber space, yang panglimanya komunitas yang menamakan diri Islam Liberal, bahwa komunitas ini memakai hermeneutika epistemologis, yaitu menurut mereka ayat-ayat Makkiyah bermuatan nilai universal, namun ayat-ayat Madaniyah diciutkan posisinya oleh parameter cakupan menjadi hanya bermuatan local, dan inilah yang menjadi paradigma yang dipakai oleh meraka dalam pendekatan kontekstual. Seperti contohnya khimar (telekung) panjang menutupi dada, itu bermuatan lokal, hanya wajib untuk daerah Arab yang berpadang-pasir dan berdebu, yang secara kontekstual tidak cocok bagi negeri seperti Indonesia ini.

Situs Jaringan Islam Liberal pernah menurunkan sebuah artikel yang membahas tentang Teori Batas Muhammad Syahrur dari Suriah (Syria), yang banyak menuai kritik di Suriah sendiri. Inilah tafsir baru dengan alat hermeneutika epistemologis yang mengacu pada unsur lokalitas atau budaya lokal. Adapun pendapat Syahrur tentang Teori Batas ini, yaitu adanya rentang antara batas bawah dengan batas atas. Syahrur berpendapat bahwa ketentuan menurut Nash itu merupakan batas atas yaitu misalnya aurat laki-laki antara pusat dengan lutut. Syahrur menambah berdasar atas "nafsu"-nya sendiri yaitu batas bawah. Aurat laki-laki yang harus ditutup hanyalah kemaluannya, inilah menurut Syahrur, karena keadaan cuaca berbeda-beda pada tiap penduduk bumi dari panas yang terik sampai dingin yang menggigit. Maka batas minimal pakaian yang diberikan bagi laki-laki adalah cukup menutup kemaluan. Teori Batas Syahrur ini memenuhi budaya lokal seperti koteka.

Karena hermeneutika epistemologis cakupan muatan lokal tersebut, mereka tidak lagi mengenal ayat-ayat Qath'i. Ayat tentang wajibnya khimar panjang yang qath'i sudah menjadi relatif.

-- WLYDHRBN BKHMRHN 'ALY JYWBHN (S. ALNWR, 24:31), dibaca:
-- walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna (s. annu-r).
WLYDHRBN - walyadhribna dalam ayat (24:31) terdapat Lam Al Amr (Lam yang menyatakan perintah), maka kata tersebut berarti: Diperintahkan kepada mereka menutupkan, sehingga ayat (24:31) terjemahannya adalah:
-- Diperintahkan kepada mereka menutupkan khumur mereka ke atas dada mereka. (Khumur adalah bentuk jama' = plural dari khimar, artinya tutup kepala, yang di Indonesia ini tutup kepala yang dipanjangkan menutup dada itu disebut "jilbab", padahal dalam bahasa Al-Qur'an: jalabib, bentuk jama' dari jilbab adalah baju longgar yang panjang sampai mata-kaki yang menutupi lekuk-lekuk tubuh).

Hermeneutika epistemologis memperanakkan paradigma tritunggal: sekularisme - liberalisme - pluralisme, kemudian berkembang menjadi pancatas, yaitu paradigma sekularisme, liberalisme, kapitalisme, pluralisme, dan genderisme, yang di atas paradigma ini, komunitas yang menamakan diri Islam Liberal ini mengadakan pendekatan kontekstual. Seperti disebutkan di atas itu, tidak ada lagi ayat Qath'i, ayat-ayat itu semuanya dijadikannya relatif, fleksibel supaya: "shalihun li kulli zaman wa makan". Jadi terjadi pergeseran nilai, yaitu ayat-ayat Al-Qur'an direlatifkan, sedangkan paradigma berupa parameter epistemologis yang ukuran akal yang dipengaruhi "nafsu" itu, dijadikannya mutlak. Wahyu menjadi relatif, akal dimutlakkan. Penggunaan hermeneutika terhadap Al-Quran sudah merusak aqidah, karena akal sudah mengungguli wahyu. Inilah gayung bersambut kata berjawab terhadap gayungnya Rumadi yang usil dan "nyeleneh" menyoroti butir 5 dari Panduan MUI untuk mengenali ciri-ciri kelompok sesat tersebut. WaLlahu a'lamu bisshawab.

***
Makassar, 2 Maret 2008