Sebermula, Seri 729 ini direncanakan masih lanjutan jihad intelektual yang saya emban (execute) melawan serangan-serangan para orientalis terhadap Al-Quran, yaitu jihad lanjutan melawan serangan seorang orientalis yang lain lagi yang bernama samaran Luxenberg. Namun karena banyaknya deringan telepon yang saya terima yang menanyakan, yang salah seorang di antaranya memakai ungkapan: Apa itu "binatang" yang disebut hermeneutika," maka jihad melawan Luxenberg ini insya-Allah nanti dalam Seri 730 yang akan datang.
Hermeneutika lagi bertrend terutama buat yang berpaham liberal. Istilah hermeneutika berkaitan dengan mitos dewa Hermes yang memiliki kebiasaan "memintal" (spin), yang dalam realitasnya menurut Sayyid Hussain Nasr adalah Nabi Idris AS, karena konon dewa Hermes dalam mitologi Yunani tersebut menyampaikan pula warta para dewa kepada manusia, bahkan bukan hanya sekadar menyampaikan, namun juga memberikan tambahan berupa ulasan. Mitos ini mengungkap dua hal, pertama: memastikan maksud, isi suatu kata, kalimat, teks, kedua: menemukan instruksi-instruksi dibalik simbol.
Secara harfiah, kata ini pernah digunakan oleh Aristoteles (384-322) SM, dalam karyanya: Peri Hermeneias, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan De Interpretatione; dan baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan On the Interpretation. Sebelumnya, al-Fârabi (870?-950) M, telah menterjemahkannya ke dalam bahasa Arab: Fi al-'Ibârah, dan memberi komentar karya Aristoteles tersebut. Hermeneias yang dikemukakan Aristoteles, hanya untuk membahas fungsi ungkapan dalam memahami pemikiran, serta pembahasan tentang satuan-satuan bahasa, seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan, dan lain-lain yang berkaitan dengan tata-bahasa. Ketika membicarakan hermeneias, Aristoteles tidak mempersoalkan teks, ataupun mengkritik teks. Yang menjadi topik pembahasan Aristoteles adalah interpretasi itu sendiri, tanpa mempersoalkan teks yang diinterpretasikan.
Binatang hermeneutika ini ibarat ulat bermetamorphosis menjadi kupu-kupu, dimulai sejak para theolog Yahudi dan Kristen berusaha mengembangkan metode dan aturan yang dapat memandu penafsiran dan mengevaluasi kembali teks-teks dalam Bible yang sudah hilang teks aslinya yang dalam bahasa Hebrew Kuno (Al-'Ibriyyah Al-Qadimah) untuk Perjanjian Lama dan bahasa Aram (Al-'Ibriyyah Al-Jadidah) untuk Injil(*). Kemudian selama tahun-tahun pertama abad ke sembilan belas, metode itu ibarat kupu-kupu malam(**) terbang melebar menjadi hermeneutika umum oleh filosof dan theolog Protestan, Friedrich Schleiermacher (1768-1834). Perkembangan hermeneutika sangat berkaitan dengan filologi, alegori yang juga sebagai sistem penafsiran terhadap teks.
Demikianlah hermeneutika itu bermetamorphosis lebih lanjut dari konteks theologi ke dalam konteks filsafat yang telah dibidani oleh Friedrich Schleiermacher tersebut. Maka tatkala hermeneutika itu ibarat kupu-kupu malam telah terbang melebar bermetamorphosis ke filsafat, menjamurlah serba-neka aliran yang menciutkan posisi hermeneutikanya Schleiermacher menjadi hanya sebagai salah satu aliran hermeneutika yang ada. Selain hermeneutikanya Schleiermacher, ada hermeneutikanya Emilio Betti (1890-1968), seorang sarjana hukum Romawi berbangsa Itali; ada hermeneutikanya Eric D. Hirsch (1928- ?) seorang kritikus sastra berbangsa Amerika; ada hermeneutikanya Hans-Georg Gadamer (1900- ?) seorang filosof dan ahli bahasa, dan lain-lain aliran-aliran, dsb.
Arkian, perkembangan hermeneutika mencapai puncaknya yang ekstrem keliwat batas, yaitu menerobos masuk wilayah epistemologis. yaitu penafsiran terhadap teks yang dibangun berdasarkan teori epistema (dari bhs Yunani Kuno episteme), yang menyangkut tentang parameter pengetahuan berupa:
- asal-usul,
- anggapan,
- karakter,
- cakupan,
- kecermatan,
- keabsahan.
-- WLYDHRBN BKHMRHN 'ALY JYWBHN (S. ALNWR, 24:31), dibaca:
-- walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna (s. annu-r).
WLYDHRBN - walyadhribna dalam ayat (24:31) terdapat Lam Al Amr (Lam yang menyatakan perintah), maka kata tersebut berarti: Diperintahkan kepada mereka menutupkan, sehingga ayat (24:31) terjemahannya adalah:
-- Diperintahkan kepada mereka menutupkan khumur mereka ke atas dada mereka. (Khumur adalah bentuk jama' = plural dari khimar, artinya tutup kepala, yang di Indonesia ini tutup kepala yang dipanjangkan menutup dada itu disebut "jilbab", padahal dalam bahasa Al-Quran: jalabib, bentuk jama' dari jilbab adalah baju longgar yang panjang sampai mata-kaki yang menutupi lekuk-lekuk tubuh).
Hermeneutika epistemologis dengan parameter anggapan memperanakkan paradigma tritunggal: sekularisme - liberalisme - pluralisme, yang di atas paradigma ini, komunitas yang menamakan diri Islam Liberal ini mengadakan pendekatan kontekstual bahkan mengkritisi ayat-ayat Al-Quran. Seperti disebutkan di atas itu, tidak ada lagi ayat Qath'i, ayat-ayat itu dijadikannya relatif. Jadi terjadi pergeseran nilai, yaitu ayat-ayat Al-Quran direlatifkan, sedangkan paradigma berupa parameter epistemologis yang ukuran akal itu, dijadikannya mutlak. Wahyu menjadi relatif, akal dimutlakkan. Penggunaan hermeneutika terhadap Al-Quran sudah merusak aqidah, karena akal sudah mengungguli wahyu. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 28 Mei 2006
-------------------------
(*) Injil = Perjanjian Baru minus Surat-surat Paulus
(**) Kupu-kupu malam sayapnya senantiasa melebar, berbeda dengan kupu-kupu siang yang kalau hinggap sayapnya menutup.