Sehubungan dengan Seri 136 tentang peramal I Jingkiri', telah saya terima rentetan pertanyaan: Bagaimana tentang ramalan bintang. Bagaimana dengan ilmu nujum dari para ahli nujum (kalau berdiri sendiri dibaca: ahlu nujum). Bagaimana ini menurut Al Quran. Ada juga yang menanyakan tentang adanya kepercayaan bahwa jika di langit terlihat peristiwa istimewa akan mempengaruhi kehidupan manusia baik orang seorang maupun pergolakan sejarah ummat manusia pada umumnya. Seperti misalnya kepercayaan lama yang mengatakan bahwa kalau ada sulo ba'bara', yaitu suluh yang menyala di langit yang cukup terang (meteor?, -HMNA-) alamat seorang raja atau sekurang-kurangnya orang penting di istana akan meninggal dunia. Demikian pula kepercayaan adanya hubungan antara bintang yang muncul bersinar cemerlang (komet?, -HMNA-), ataupun gerhana, lebih-lebih gerhana matahari penuh, dengan perjalanan hidup, kelahiran, ataupun kematian orang-orang istimewa. Terakhir peristiwa langka komet Shoemaker-Levy 9 yang bertumbukan dengan Jupiter, tidak sunyi dari ramainya ramalan yang bermacam-macam dari para peramal.
Dalam Al Quran tidak ada ajaran ilmu nujum (bentuk jamak dari bintang: nujuwm) dalam konteks hubungan antara keadaan maupun posisi benda-benda langit dengan jalan hidup atau nasib manusia dan bangsa-bangsa di permukaan bumi ini. Jadi ramalan bintang menurut Al Quran adalah nonsense. Yang ada dalam Al Quran adalah isyarat perlunya ilmu nujum untuk pedoman arah di darat, utamanya di padang pasir dan di laut. Marilah kita baca S. Al An'am 97:
Wa Huwa lLadziy Ja'ala laKumu nNujuwmu liTahtaduw biHa- fiy Zhuluma-ti lBirri wa lBahri, Dan Dialah yang menjadikan bagimu nujum (bintang-bintang) untuk menjadi pedoman dengannya dalam kegelapan malam baik di darat maupun di laut.
Dalam tarikh tercatat bahwa pernah terjadi gerhana matahari penuh di zaman RasuluLlah SAW. Pada waktu gerhana penuh tersebut, Ibrahim meninggal dunia. Adapun Ibrahim yang meninggal itu adalah putera RasuluLlah SAW, dari isteri beliau yang bernama Sitti Maria al Qibth. Maka ramailah perbincangan dari mulut ke mulut dalam kalangan penduduk Madinah, yang mengaitkan antara peristiwa gerhana matahari penuh itu dengan meninggalnya Ibrahim. Bahkan dalam kalangan penduduk Madinah yang belum Islam (Arab dan Yahudi) terbit rasa kagum: "Memang Muhammad itu bukan orang biasa, anaknya meninggal lalu terjadi gerhana matahari penuh." Sebenarnya dari segi politik, inilah kesempatan baik bagi Nabi Muhammad SAW untuk berkampanye menarik pengikut dari kalangan masyarakat Madinah yang belum Islam. Namun setelah RasuluLlah SAW mendengar bahwa gerhana itu dikaitkan dengan kematian Ibrahim, maka di depan khalayak Madinah beliau menyatakan bahwa tidak ada hubungannya antara gerhana matahari penuh itu dengan kematian Ibrahim.
Ada pula hal yang dapat kita simak dalam hal pernyataan yang tegas dari RasuluLlah SAW tersebut. Bahwa memelihara aqiydah ummat jauh lebih penting dari kemenangan politik. Bahwa politik itu tak dapat dilepaskan dari nilai moral yang paling tinggi, yaitu tawhid.
Syahdan, itulah jawaban terhadap rentetan pertanyaan di atas itu. Ajaran Islam yang bersumberkan Al Quran dan Hadits tidak mengenal ilmu nujum dalam hubungannya dengan ramalan bintang. Ajaran Islam menolak adanya kaitan antara kejadian di bola langit dengan nasib manusia khususnya, sejarah bangsa-bangsa umumnya. Al Quran menegaskan bahwa ilmu nujum itu hanya berhubungan dengan pedoman arah di darat maupun di laut.
Pada waktu ingin menutup uraian dalam kolom ini, tiba-tiba terbetik dalam ingatan saya sebuah tulisan berisikan kritik terhadap ramalan bintang dengan gaya spesifik, namun berbeda dengan gaya spesifik dari folklore I Jingkiri'. Lalu saya sejenak berhenti menulis dan membalik-balik perbendaharaan lama, arsip pribadi saya. Maka saya temukanlah tulisan itu dalam Madjalah Bulanan Mahasiswa DIAGNOSA, Bandung, No.9/10 Tahun I, 1964, izin Deppen No.819/SK/UPPG/SIT/1964. Sekadar bernosatalgia saya kutip dalam ejaan aslinya, yaitu sebelum Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Tidak seluruhnya saya kutip.
DJANGAN MAU PERTJAYA. COSMOLOOG: DAENG BALLE
GEMINI (22 Mei - 20 Djuni)
Anda tjukup punja bakat badut, kere dan pelajan. Tetapi kalau mandi dengan hanja menjiram kepala sadja djangan dianggap sebagai membadut. Kesehatan: Anda bakal kena penjakit kulit pada bagian siku, tetapi tidak usah pergi berobat kedokter penjakit kulit dan kelamin, sebab salah2 orang jang melihat anda duduk dikamar tunggu bisa punja penafsiran lain. Penjakit kulit disiku bukan disebabkan oleh W.R. jang positif, melainkan karena anda kena kualat: Mengambil kembali benda jang telah dihadiahkan kepada orang lain. Maka pulangkan benda itu dan penjakit anda djadi sembuh.
VIRGO (23 Agustus - 23 September)
Kalau mandi gosok ketiak baik2, demi mendjaga ketenteraman umum. Lain kali djangan minum es tengah malam, nanti anda tak bisa njanji dikamar mandi. Asmara: berdjalan lantjar selama patjar anda belum tahu bahwa scooter jang selalu anda pakai duaan adalah barang pindjaman. Hari baik: tergantung dari date anda. Permata: buah badju.
SCORPIO (24 Oktober - 23 Nopember)
Bintang anda bulan nanti sangat terang bahkan meledak. Itu tandanja rahasia yang anda pendam selama ini akan terbongkar sampai pada akar2nja. Itu salah anda sendiri, tidak dapat menguasai diri terhadap air api dan minum sampai mabuk pada waktu achir2 ini. Namun demikian tak usah hal itu dirisaukan benar, sebab ada djuga baiknja buat anda. Tekanan djiwa akibat memendam rahasia mendjadi hilang lenjap. Asmara: sangat bertjabang. Arah: hindari gedung bioskop jang memutar gala.
Catatan ejaan dan peristilahan:
ch=kh, dj=j, j=y, nj=ny, tj=c, 2=simbol perulangan kata.
Cosmoloog, maksudnya Astrolog. Sebuah analogi dari cosmonaut (penjelajah kosmos) = astronaut (penjelajah bintang).
Daeng Balle = Tuan pendusta.
W.R.= Wassermann Reactie, suatu metode untuk mengungkap penyakit kotor dalam darah. Kalau reaksinya positif berarti mengidap salah satu di antaranya: penyakit kotor raja-singa, atau frambusia, kalau di bibir disebut poge' (bhs Makassar).
Air api = ungkapan orang Indian untuk minuman keras
WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 31 Juli 1994
31 Juli 1994
[+/-] |
138. Bintang Anda Bulan Ini |
24 Juli 1994
[+/-] |
137. Yang Melubangi, yang Terperosok dan yang Menutup Lubang |
Ketika giliran saya berkhutbah di Masjid Syura pada hari Jum'at tgl. 15 Juli 1994 , saya bertolak dari S.Al Anfa-l 25 yang dirangkaikan dengan Hadits Safinah.
Wattaquw Fitnatan la- Tushiybanna Lladziyna Zhalamuw Minkum Kha-shshatan ...., biasanya diterjemahkan dengan: Takutilah (cobaan) yang tidak hanya secara khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu. Dalam khutbah itu Wattaquw Fitnatan saya tidak terjemahkan takutilah fitnah (cobaan), melainkan: Hindarkanlah bencana dahsyat (terror, prahara). Ada tiga pertimbangan mengapa saya terjemahkan demikian. Pertama, Ittaquw berasal dari akar kata yang dibentuk oleh ketiga huruf: waw, qaf, ya yang artinya terhindar, terpelihara. Yang kedua, terhadap orang zalim tidak ada cobaan. Yang ketiga, kata fitnah dalam bahasa Indonesia tidak sama pengertiannya dengan fitnah dalam bahasa Al Quran. Fitnah dalam bahasa Indonesia bermakna menyebarkan isu tentang ucapan ataupun perbuatan orang yang sesungguhnya tidak diucapkan dan tidak dilakukan oleh orang itu. Dalam ayat-ayat Al Quran yang berikut jelas bahwa yang dimaksud fitnah bukanlah sebagaimana dengan arti fitnah dalam bahasa Indonesia tersebut, melainkan berarti yang lebih dahsyat: prahara. Al Fitnatu Asyaddu mina lQatali, prahara itu lebih dahsyat dari pembunuhan (S.Al Baqarah,191) dan wa Qa-tiluwhum hattay la- Takun Fitnatun, dan perangilah mereka sehingga tak ada prahara (S.Al Baqarah, 193).
RasuluLlah SAW mengibaratkan kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti kehidupan dalam sebuah safinah (perahu). Tiap-tiap penumpang menempati tempatnya masing-masing, ada yang di geladak, ada yang di ruang bawah. Mereka itu diikat oleh aturan-aturan dan prosedur yang harus ditaati bersama. Apabila ada seorang penumpang di ruang bawah menginginkan air maka prosedurnya haruslah bertangga naik ke geladak baru menimba air. Tidak boleh mengadakan terobosan melubangi lunas perahu untuk mendapatkan hasil yang cepat. Apabila ada orang di sekitarnya yang mencegah sehingga orang itu tidak jadi melubangi perahu, demikian RasuluLlah, orang itu telah menyelamatkan penerobos itu, menyelematkan dirinya, menyelamatkan seluruh penumpang dan kapal dari bahaya karam. Maka orang itu telah menghindarkan bencana dahsyat (tenggelam) yang tidak hanya secara khusus menimpa orang zalim, penggerek dinding kapal tersebut.
Bertolak dari S.Al Anfa-l,25 dan Hadits Safinah tersebut, khutbah itu saya arahkan pada sebuah kasus membuat lubang pada sebuah kapal yang bernama Negara Republik Indonesia, yaitu kasus pembobolan Bapindo, dengan referensi dari Sudomo, E. Tanzil berkolusi dengan para pejabat teras Bapindo, yang membuat terobosan untuk mendapatkan hasil yang secepatnya, yang sementara dalam proses pengadilan sekarang ini.
Akhirnya saya sudahi khutbah saya itu dengan rentetan pertanyaan. Bahwa kalau yang melubangi dinding kapal (Negara Republik Indonesia) sementara diadili, yang terperosok adalah yang memperoleh sanksi hukum hasil pengadilan, maka yang menutup lubang lalu siapa? Apakah kekayaan negara dari sumber yang lain ditambah dengan ganti rugi para terhukum yang jumlahnya relatif kecil ketimbang hasil pembobolan para koruptor yang berkolusi itu, yang dipakai untuk menutup lubang itu? Apakah Sudomo yang memberikan referensi itu tidak berkewajiban untuk juga turut menutup lubang yang telah dibuat itu? Apakah negara tidak dapat menuntut Sudomo sebagai pemberi referensi secara perdata?
Setelah selesai shalat Jum'at terjadilah diskusi kecil-kecilan tentang permasalahan: Apakah hakim mempunyai pegangan dalam menangani perkara perdata tentang hal kaitan antara pemberi referensi itu dengan konsekwensi material (keuangan)? Siapakah yang akan menuntut Sudomo secara perdata? Cukupkah kekayaan Sudomo untuk menutup lubang itu? Permasalahan yang pertama buat sementara tidak terjawab. Jawaban permasalahan yang kedua ada dua. Menurut Tahir Lopa SH yang menuntut secara perdata adalah Kejaksaan yang mewakili negara, seperti pada kasus Kedungombo. Seperti diketahui dalam kasus Kedungombo ini yang berupa perkara perdata, Kejaksaan Agung selaku kuasa hukum pemerintah akan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. Sedangkan menurut saya sendiri cukup Menteri Keuangan sebagai pemegang saham yang terbesar dari Bapindo. Adapun permasalahan ketiga dijawab apabila secara perdata Sudomo dijatuhi hukuman, diwajibkan oleh pengadilan membayar kerugian yang diderita Bapindo, maka kekayaan Sudomo diinventariser kemudian disita untuk membayar kerugian Bapindo itu.
Setelah sampai di rumah saya kemukakan kepada isteri saya, yang pakar Hukum perihal diskusi kecil-kecilan di Masjid Syura itu. Isteri saya mengatakan bahwa permasalahan yang pertama ada pemecahannya. Bagaimana?, tanya saya. Tunggu dahulu. Ia masuk ke dalam kamar kerjanya, kemudian menyodorkan buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karya C.S.T. Kansil, dengan penerbit PN Balai Pustaka, cetakan keenam, 1984. Ia menunjukkan halaman 49. Inilah salinannya:
Menurut pasal 22 A.B.:"de regter, die weigert regt te spreken onder voorwendsel van stilzwijgen, duisterheid kan uit hoofde van rechtswijgering vervolgd worden," yang mengandung arti, "Hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutkan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili." Dari ketentuan pasal 22 A.B. ini jelaslah bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara itu, maka hakim haruslah membuat peraturan sendiri.
Maka kesimpulannya terpulang kepada hakim. Apakah ia cukup berani untuk memutuskan membuat peraturan tentang adanya konsekwensi hukum yang ditimpakan kepada pemberi referensi untuk wajib menanggung risiko kerugian materiel (keuangan) seperti dalam kasus Bapindo dengan referensi Sudomonya itu, yang kemudian keputusan hakim tersebut dapat menjadi jurisprudensi bagi hakim-hakim yang lain. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 24 Juli 1994
17 Juli 1994
[+/-] |
136. Sang Peramal: I Jingkiriq |
Sebenarnya sudah lama saya mempermasalahkan istilah peramalan dalam bidang ilmiyah, khususnya ramal-meramal dalam bidang produksi berdasar atas kecenderungan (trend) permintaan pasar sebelumnya. Ini bukan verbalisme, karena dari tahun ke tahun para mahasiswa yang mempertahankan skripsinya tampaknya betul-betul berkeyakinan penuh bahwa kalau trend bertahun-tahun sebelumnya misalnya polanya eksponensial, maka niscaya permintaan pasar yang akan datangpun eksponensial pula. Atau sekurang-kurangnya menambahkan persyaratan bahwa jika tidak ada faktor x, niscaya akan eksponensial. Jadi betul-betul mereka itu percaya akan ramalannya dan kalau demikian sikapnya itu, maka menurut sabda RasuluLlah SAW, tidak diterima shalatnya selama 40 hari. Itulah akibat sistem pendidikan yang sekuler yang memisahkan antara Iqra, bacalah, dengan Bismi Rabbika, atas nama Maha Pengaturmu.
Membaca trend masa lalu kemudian meramal dengan asumsi tidak ada faktor x, itu sudah menyentuh aqiydah. Hal ini akhirnya saya kemukakan pada hari Ahad 19 Juni 1994 dalam ujian meja di Fakultas Teknologi Industri UMI. Mengapa kita tidak mempergunakan istilah yang Islami: intizar, menilik? Sehingga kita katakanlah: Menilik trend masa lalu yang eksponensual, maka insya Allah kita mengharapkan trend yang eksponensial pula pada masa datang. Inilah sikap yang Islami, sikap yang tidak meramal. Sikap yang berdasar atas: Iqra Bismi Rabbika. Intizar asal katanya nazhara, diambil dari S. Al Hasyr,18:
....wa lTanzhur Nafsun ma- Qaddamat liGhadin,.... dan mestilah setiap diri menilik apa yang lalu untuk masa depan. Itulah komentar saya dalam sidang ujian di UMI tersebut.
***
Saya teringat sebuah buku bacaan bahasa daerah (Makassar) karya Ince Nanggong, yang umumnya berasal dari cerita rakyat (folklore), yang salah satunya berjudul I Jingkiriq. Folklore tersebut kalau disimak mengandung kritik sosial yang melawan arus pola pikir masyarakat waktu itu, yang sungguhpun sudah beragama Islam masih tenggelam dalam budaya tahyul, percaya pada ramalan peramal.
Al qishshah, pada zaman dahulu kala terkabarlah seorang boto (peramal) ke setiap penjuru negeri, bahkan sampai ke istana raja. Boto itu berasal dari keluarga petani biasa. Karena pada masa kanak-kanaknya senang bermain jengkerik, oleh orang tuanya diberi areng dondo-dondo (nama kecil) I Jingkiriq (Si Jengkerik). Nama Jingkiriq ini melekat padanya hingga dewasa, namun setelah menjadi boto terkenal, nama Jingkiriq itu lenyap dari bibir masyarakat, bertukar dengan I Boto Tarrusuq (pleonasme, tarrusuq sinonim dengan boto). Walaupun nama I Jingkiriq hilang dari bibir masyarakat tetapi tidak hilang dari bibir I Jingkiriq, utamanya kalau ia berdialog dengan dirinya sendiri, dan juga tetap dipakai dalam berceritera ini.
Malang tak dapat dielakkan, I Jingkiriq harus memperlihatkan kehandalannya di depan raja dalam istana. Permaisuri kehilangan perhiasan emas, intan berliannya. I Jingkiriq diberi waktu 3 hari untuk dapat mengembalikan perhiasan itu dan sekaligus membongkar siapa gerangan pelakunya.
Dengan hati kecut I Jingkiriq mendekam dalam kamar istana yang serba mewah yang diperuntukkan bagi I Jingkiriq selama 3 hari itu. I Jingkiriq merasa kecut karena ia sangat mengenal dirinya yang sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang peramalan. Reputasinya di mata masyarakat sebagai Boto Tarrusuq diperoleh karena rekayasa yang lihai dengan bantuan kaki-tangannya yang cekatan.
Tatkala pelayan mengantarkan sarapan pagi, I Jingkiriq mendesah antara berucap dan berbisik berdialog dengan dirinya sendiri: Iyaminne makaseqreya (inilah yang pertama), maksudnya inilah kesempatan hari yang pertama tinggal di kamar istana. Keesokan harinya, ketika pelayan yang orangnya sudah berganti masuk ke dalam kamar, berdesah pula I Jingkiriq: Iyaminne makaruwaya (inilah yang kedua). Dan pada hari yang ketiga berulang pula desahan itu di depan pelayan yang ketiga: Iyaminne makatalluwa, taenamo ribokoanna (inilah yang ketiga, tidak ada lagi sesudahnya), maksudnya inilah hari terakhir, tidak ada lagi hari sesudahnya, kecuali di dalam penjara. Pada hari yang terakhir itu dengan keringat dingin menucucur di dahinya karena kecemasan, I Jingkiriq bersiap-siap menunggu penjemput untuk menghadap raja.
Mujur yang diraih I Jingkiriq, sebelum penjemput datang, tiba-tiba ketiga pelayan itu masuk ke dalam kamar dengan membawa bungkusan, duduk bersimpuh lalu bergantian mencium kaki I Jingkiriq. Maka mengakulah mereka dengan ucapan terbata-bata bahwa mereka bertigalah yang telah mencuri perhiasan itu. Mereka bermohon kepada I Jingkiriq agar I Jingkiriq memohonkan kepada Raja agar tidak dijatuhkan hukuman yang berat kepada mereka bertiga.
Rupanya perbuatan mereka itu menyebabkan selalu merasa ada monyet di punggung ditambah pula kehebatan berita tentang I Boto Tarrusuq, sehingga mereka menafsirkan ucapan I Ijingkiriq dengan: Inilah (pencuri) yang pertama. Demikian pula tafsiran pencuri yang kedua dan yang ketiga. Pada hal I Jingkiriq hanya berdialog dengan dirinya sendiri. Demikianlah bungkusan yang berisi perhiasan itu dibawa oleh I Jingkiriq menghadap raja.
Malang tak dapat dielakkan, penasihat raja yang juga seorang boto, karena kuatir kedudukannya akan diganti oleh I Jingkiriq yang lebih profesional, masih mencoba mempengaruhi raja agar I Jingkiriq diuji sekali lagi. Maka masuklah seorang pelayan membawa kapparaq (dulang, baki dari perunggu) yang bertutup. Raja kemudian bertanya kepada I Jingkiriq mengenai benda di bawah
penutup itu. Maka berucaplah I Jingkiriq dengan gaya seperti tadi berdesah antara kedengaran dengan tidak: Waw, Jingkiriq, Jingkiriq, antekammamo nanukkulle lappasaq (Hai jengkerik, jengkerik, bagaimana upayamu agar lepas). Seperti telah diceritakan di atas nama diri I Jingkiriq tidak dikenal dalam masyarakat. Setelah penutup diangkat, berlompatanlah lepas keluar sejumlah jengkerik, karena memang yang ditutup tadi itu atas petunjuk raja adalah jengkerik.
I Jingkiriq sadar bahwa pertolongan Allah atas dirinya itu berupa peringatan agar berhenti menjadi boto dan mencari lapangan kerja yang bersih dari penipuan. I Jingkiriq tidak bersedia menerima tawaran raja untuk mengangkatnya menjadi Boto Kerajaan, menggantikan kedudukan boto yang sekarang. Sudah ada boto yang cukup bijak, tolaknya dengan halus. Tidak lupa pula I Jingkiriq untuk memenuhi janjinya memohonkan ampunan keringanan hukuman atas ketiga pencuri itu. Rajapun memenuhi kedua permohonan I Jingkiriq, menerima penolakan I Jingkiriq menjadi Boto Kerajaan dan menurunkan "pangkat" ketiga orang itu dari tugas melayani tamu kerajaan menjadi pengurus kuda, mencari makanan, memberi makan dan memandikan serta mengandangkan kuda. Turun pangkat dari wisma tamu kerajaan ke kandang kuda. I Jingkiriq pulang ke desanya menjadi petani kembali.
Itulah gaya orang dulu melakukan kritik sosial untuk meluruskan sikap masyarakat yang berbudaya ramal-meramal meyakini peramalan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 17 Juli 1994
10 Juli 1994
[+/-] |
135. Mendidik dan Mengajar tanpa Menggurui, Metode Jibril |
Jika materi yang disampaikan menyangkut nalar (kognitif dan keterampilan) disebut mengajar, dan apabila yang disampaikan adalah pesan-pesan nilai yang menyangkut hati nurani (yang membentuk sikap) disebut mendidik. Seorang guru yang baik dalam menyampaikan materi senantiasa menggabungkan mendidik dan mengajar, sekaligus mengandung aspek kognitif, keterampilan dan sikap. Berdasarkan hal ini maka ungkapan proses belajar mengajar seyogianya diubah menjadi mendidik, mengajar.
Ada hal yang kontradiktif dalam ungkapan judul di atas. Pendidik dan pengajar adalah seorang guru, lalu mengapa dikatakan pula tidak menggurui. Kalau kita bicara dalam konteks hubungan antara guru dengan murid, maka menggurui murid ataupun anak didik dalam pendidikan dan pengajaran yang formal dan non-formal, tidak ada masalah. Sang guru dan murid dituntut mempunyai persyaratan ijazah tertentu untuk dapat mendidik dan dididik, mengajar dan diajar di SMA (formal), demikian pula kedua pihak harus mempunyai persyaratan tertentu untuk kursus-kursus non-formal (komputer, melas, menjahit, bimbingan dll). Sehingga guru dalam hal ini mendapat pengakuan secara sukarela dari para murid ataupun anak didiknya bahwa guru yang mendidik dan mengajarnya itu lebih tahu dan lebih menguasai materi yang disampaikan oleh sang guru.
Lain halnya dalam pendidikan dan pengajaran yang informal, khususnya pendidikan dan pengajaran lingkungan. Para guru yang menyampaikan dan para khalayak yang menerima pesan tidak perlu persyaratan formal, tidak seperti pada yang formal dan non-formal seperti yang telah disebutkan di atas. Sehingga dalam hal konteks hubungan antara guru atau sang penyampai dengan khalayak, gelagat menggurui dalam meneruskan informasi dan pesan-pesan nilai itu tidaklah bijaksana. Sebab selalu ada kemungkinan di antara khalayak ada yang lebih unggul dari sang penyampai itu.
Berikut ini disajikan anekdot yang kemungkinan besar berakar dari suatu kejadian yang sebenarnya pernah terjadi. Seorang mahasiswa agronomi Fakultas Pertanian yang sementara ber-KKN dengan sikap yang amat menggurui mengajarkan para petani perihal produktivitas dalam bertanam padi. Pada waktu itu sedang galak-galaknya dipromosikan padi jenis PB5. Dengan semangat "over confidence" sang mahasiswa menyuruh para petani bertanam padi jenis PB5 itu, yang untuk areal sawah yang sama akan membuahkan produksi padi yang lebih banyak ketimbang jenis padi yang biasanya ditanam oleh para petani. Sang mahasiswa dengan bersemangat mengeritik pula pematang sawah yang lebar tempat ia berpidato menyuluh itu. Kalaulah pematang-pematang sawah yang lebar itu dipersempit akan dapat memperluas areal lahan yang dapat ditanami, dengan demikian produksi padi dapat pula ditingkatkan.
Setelah tiba saatnya untuk makan siang, sang mahasiswapun diundang ke dangau untuk bersantap siang. Sebenarnya dangau itu tidak berapa jauh dari tempat penyuluhan tadi, namun penunjuk jalan membawa mereka itu mengambil jalan yang tidak memintas, melainkan berkeliling, sehingga mereka itu melalui pematang sawah yang sempit. Oleh karena sang mahasiswa tidak terampil meniti pematang sempit, beberapa kali ia terpelset jatuh ke sawah sehingga bermandikan lumpur. Setelah sampai di dangau makanan yang dihidangkan adalah nasi dingin tanpa sayur. Nasi itu demikian kerasnya tanpa sayur pula sehingga sukar sekali melalui kerongkongan, seperti ungkapan peribahasa lama: Nasi dimakan bagai sekam. "Nak," ucap yang empunya dangau, "apa yang anak telan itu adalah beras PB5, dan tempat anak menyuluh tadi adalah pematang yang sekali gus berupa jalan setapak."
Yang berikut ini cerita yang sesungguhnya terjadi puluhan tahun yang lalu. Drs. Abd.Razak Mattaliu, seorang muballigh dan juga seorang wartawan senior generasi Abd.Rahman Arge, pada waktu itu masih menjadi anggota jama'ah Masjid Syura, menyampaikan pesan di atas mimbar. Ia telah beberapa lama memperhatikan ada dua tiga orang anggota jama'ah masjid yang caranya shalat perlu diperbaiki. Ia mulai dengan pengantar bahwa apa yang akan disampaikannya ini bukan untuk bapak-bapak dan ibu-ibu, melainkan khusus untuk anak-anak. Sesudah itu barulah ia menjelaskan bagaimana caranya shalat menurut tuntunan RasuluLlah SAW.
Bagaimanapun juga apabila materi yang disampaikan adalah cara shalat yang benar, tentu tidak dapat mengelak dari sikap menggurui. Untuk menghilangkan kesan bahwa ia menggurui bapak-bapak dan ibu-ibu, maka Adbd.Razak mengatakan khusus ditujukan bagi anak-anak dalam masjid. Ia mengaplikasikan ayat Al Quran: Ud'u ilay Sabiyli Rabbika bi lHikmati, serulah ke jalan Maha Pengaturmu dengan bijaksana.
Pada suatu waktu ketika RasuluLlah SAW duduk bersama-sama dengan para sahabat, datanglah ke dalam majelis itu seseorang dengan penampilan seperti orang datang dari jauh, namun wajahnya tetap segar, pakaiannya tetap rapi. Setelah memberi salam ia duduk, kemudian bertanya kepada RasuluLlah SAW apa itu Iman, Islam dan Ihsan. Lalu RasuluLlah SAW sebelum menjawab mengatakan bahwa yang bertanya lebih tahu dari yang beryanya, kemudian beliau baru menjelaskan pengertian (Rukun) Iman, (Rukun) Islam dan Ihsan. Setelah orang itu pergi RasuluLlah menyampaikan kepada para sahabat, bahwa sesungguhnya "orang" tadi itu adalah Malaikat Jibril.
Kalau kita simak proses penyampaian pengertian Rukun Iman dan Rukun Islam itu akan dapat kita ungkapkan keluar nilai yang tersirat yang erat kaitannya dengan metode menyampaikan pesan tanpa menggurui. Metode ini dapat dipakai dalam pendidikan dan pengajaran informal menyampaikan pesan-pesan nilai-nilai Islami untuk memperkaya metode yang telah lazim dipergunakan selama ini, yaitu ceramah dan diskusi. Selama ini umumnya hanya dipraktekkan dua jenis pertanyaan. Pertama, dari orang yang tidak tahu kepada yang tahu, yaitu pertanyaan dari murid kepada guru, maka jawaban guru itulah yang disebut menggurui. Kedua, pertanyaan dari guru kepada murid, maka itu disebut menguji. Ketiga, pertanyaan dari yang tahu kepada yang tahu, itulah penyampaian pesan kepada khalayak, pendengar, ataupun pemirsa secara tidak menggurui, yang disebut Metode Jibril. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 10 Juli 1994
3 Juli 1994
[+/-] |
134. Komentar terhadap Rujukan dan Pola Pikir yang Mendasari Reaktualisasi Munawir Syadzali |
Seperti pengakuannya ada dua hal yang mendasari timbulnya gasasan reaktualisasi Munawir tersebut. Pertama sejak Munawir masih menjadi Menteri Agama ia merisaukan nash tentang pembahagian harta warisan dua bahagian untuk laki-laki dan satu bahagian untuk perempuan. Menurut Munawir hal itu tidak adil kalau dilihat masyarakat di Jawa Tengah, yang perempuannya aktif mencari nafkah, sedang laki-lakinya pasif saja di rumah. Yang kedua Munawir melihat (artinya bukan atas dasar penelitian) adanya sikap mendua di kalangan ummat Islam antara pendapat formal dengan perilaku sehari-harinya, seperti misalnya sikap terhadap bunga bank secara pemahaman formal menolak, namun secara realitas menjadi nasabah bank.
Persepsi Munawir tentang sikap mendua dalam hal bunga bank itu perlu diluruskan. Kalau ada ummat Islam yang menjadi nasabah, ialah karena mereka berpendapat bahwa bunga bank itu tidak identik dengan riba, sehingga menurut pendapat saya itu bukan sikap mendua seperti persepsi Munawir, melainkan itu adalah masalah khilafiyah. Reaktualisasi gagasan Munawir ini meletakkan posisi akal berada di atas nash. Untuk menguatkan pendapatnya dan untuk membela diri bahwa bukanlah dia yang pertama-tama bergagasan yang demikian itu, maka dalam Temu Kaji di lantai-3 FAJAR itu Munawir mengemukakan rujukan, seperti yang berikut ini:
- Abu Yusuf: walau nash sekalipun kalau dahulu dasarnya adat dan adat itu telah berubah maka gugur pula hukum yang terkandung dalam nash itu.
- Al Thufy: kalau terjadi tabrakan antara kepentingan masyarakat dengan nash serta ijma' maka wajib mendahulukan atau memenangkan kepentingan masyarakat atas nash atau ijma'.
- Muh. Abduh: jika terjadi ketidak-cocokan antara nash dengan nalar maka hendaknya diambil mana yang sesuai dengan nalar.
- Mustafa Al Maraghi dan Muh. Rasyid Ridha: hukum itu diundangkan semata-mata untuk kepentingan manusia, sedangkan kepentingan manusia itu dapat berbeda karena kepentingan zaman dan tempat. Oleh karenanya apabila suatu hukum diundangkan pada waktu kebutuhan itu mendesak tetapi di kemudian hari kebutuhan itu tidak ada lagi maka lebih bijaksana kalau hukum itu ditarik dan diganti dengan hukum lain yang sesuai dengan situasi terakhir dilihat dari segi kepentingan masyarakat.
Hal konflik temporer tersebut telah saya kemukakan dalam Seri 003, Interaksi Iman dan Ilmu, Pencemaran Thermal, 3 November 1991, seperti berikut: Allah berfirman dalam S. Yasin, 80, Alladziy Ja'ala lakum mina sySyajari lAkhdhari Na-ran faidza- Antum minhu Tuwqiduwna, yaitu Yang menjadikan bagimu api dari pohon yang hijau dan dengan itu kamu membakar. Menurut nalar, yang dibakar itu bukan yang berwarna hijau, melainkan yang kering, yang berwarna coklat. Dengan informasi yang bersumber dari ilmu fisika, kimia, botani dengan pengkhususan anatomi tumbuh-tumbuhan, hilanglah konflik antara nash dengan nalar, demikianlah secara singkat yang telah saya bahas dalam Seri 003 itu.
Adapun pendapat kedua ulama yang terakhir sebenarnya tidak begitu relevan untuk dijadikan rujukan oleh Munawir oleh karena tidak mengandung aspek konflik antara wahyu dengan akal. Untuk itu maka perlu sekali pendapat kedua ulama itu dipertegas dengan diberi berbingkai. Yaitu sepanjang hukum yang diundangkan itu tidak keluar dari hukum dasar yang ditentukan oleh syari'at.
Khusus keadaan masyarakat Jawa Tengah itu, bukanlah nash yang mesti disesuaikan dengan kondisi masyarakat, melainkan masyarakat Jawa Tengah yang menyimpang itu (perempuan mencari nafkah, laki-laki tinggal di rumah) harus diluruskan dengan social engineering (upaya mengubah kondisi masyarakat agar sesuai dengan tatanan yang diinginkan). Justeru itulah yang adil, karena adil bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan mengeluarkan sesuatu dari yang bukan pada tempatnya. Masyarakat Minangkabau pada zaman saisuak, yang berpola pada sistem matriarchat (dominasi perempuan), sudah lama berhasil berlaku adil dengan rumus: Ade' basandi syara', syara' basandi KitabuLlah. Kalau masyarakat Minang sudah berhasil berlaku adil sejak lama, mengapa masyarakat Jawa Tengah tidak?
Jadi kesimpulannya gagasan reaktualisasi Munawir perlu diluruskan. Nash tetap aktual dalam makna tekstual, kontekstual dan konsepsional. Bukanlah reaktualiasi ajaran Islam, melainkan reaktualisasi tatanan masyarakat dan reaktualisasi penalaran yang bertujuan menyesuaikannya terhadap nash yang selalu aktual. Bila terjadi situasi kemasyarakatan yang tidak sesuai dengan nash, bukanlah menolak nash, melainkan diupayakan, kalau perlu dengan melalui social engineering, mengubah tatanan masyarakat agar sesuai dengan nash. Seperti yang dilaksanakan oleh RasuluLlah mengubah tatanan masyarakat jahiliyah menjadi tatanan masyarakat yang sesuai dengan nash pada periode Madinah, yaitu pasca hijrah. Contoh kecil seamsal reaktualisasi sistem perbankan terhadap nash ialah dengan sistem bagi hasil sebagai alternatif dari sistem bunga. Dengan reaktualisasi sistem perbankan terhadap nash itu, maka tidaklah perlu lagi timbul permasalahan khilafiyah.
Kemudian apabila menjumpai konflik antara nash dengan nalar, maka berusahalah mencari informasi yang lebih banyak jumlahnya, lebih tinggi mutunya dan lebih beragam jenisnya, sehingga insya Allah akal kita akan dijernihkan Allah, maka akan sesuailah antara nash dengan nalar, seperti yang dicontohkan dalam Seri 003. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 3 Juli 1994