Besok insya Allah Belo akan memberikan jawaban resmi dan terbuka sesuai dengan janjinya untuk membantah atau membenarkan omongannya di der Spiegel (artinya cermin). Sebelumnya Belo telah membantah melalui Kapolda Dili. Adalah logis bahwa Belo harus membantah, sebab kalau ia membenarkan (andaikata itu memang benar) maka tentu berat baginya, berat dugaan saya ia tidak akan berani membenarkan der Spiegel (andaikata itu memang benar). Bantahan Belo meragukan sebahagian orang, oleh karena kalau ia memang benar tidak berkata demikian, mengapa tidak serta merta mengirim surat pernyataan bantahan untuk dimuat dalam der Spiegel sendiri. Mengapa ia begitu terlambat membantah (andaikata ia ingin membantah)? Mengapa baru membantah setelah ia didesak untuk menjawab? Mengapa ia tidak menjawab dalam der Spiegel sendiri? Maka terpulang kepada diri kita masing-masing siapa yang bohong, siapa yang jujur. Belokah atau der Spiegelkah?
***
Berbicara soal kejujuran lebih baik kita tinggalkan dahulu Timor Timur untuk sejenak menoleh ke arah perkebunan kelapa di pulau Selayar dalam kalangan petani kelapa baik sebagai pemlik tanah, maupun sebagai penggarap, dan di situ kita akan berjumpa dengan kejujuran. Pada umumnya pemilik tanah di pulau itu tidak mempunyai kesempatan dan kemampuan untuk mengerjakan tanahnya, namun tetap ingin menikamti hasilnya. Maka pemilik tanah menyuruh orang lain yaitu penggarap untuk menegrjakan tanahnya, dan kemudian penggarap menyerahkan sebahagian hasilnya kepada pemilik tanah, berdasar atas perjanjian bagi hasil yang telah disepakati sebelumnya. Sedangkan dalam proses timbulnya perjanjian bagi hasil itu pada dasarnya tanpa ada paksaan dari salah satu pihak.
Perjanjian bagi hasil itu di samping dilatar-belakangi oleh keadaan saling membutuhkan atas dasar suka rela, bukan paksaan, maka dapat pula didorong oleh rasa kekeluargaan dan saling tolong-menolong di antara pemilik tanah dengan penggarap secar turun-temurun. Bentuk perjanjian bagi hasil dalam masyarakat dilakukan dalam bentuk tidak tertulis serta tidak melibatkan secara langsung saksi-saksi dari kedua belah pihak. Nanti setelah penggarap melaksanakan pengolahan tanah, barulah pemilik dan penggarap memberitahukan kepada orang lain bahwa mereka mengadakan perjanjian bagi hasil dan bahkan biasanya mereka secara aktif memberi-tahukan kepada orang lain, melainkan banyak-banyak orang lain tahu akan adanya perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap, setelah orang lain bertnya karena yang dilihatnya yang menggarap bukanlah pemilik tanah dari tanah yang digarap itu. Pemberi-tahuan ini bukanlah suatu keharusan.
Hal ini disebabkan karena masyarakat masih dipengaruhi oleh adat kebiasaan, sehingga perjanjian bagi hasil tidak dilakukan secara tertulis, hanya dalam bentuk lisan, bentuk kesepakatan yang dirumuskan dengan saling pengertian belaka. Hal ini semata-mata bersandarkan pada adat kebiasaan yang turun-temurun yang dilakukan dengan berpatokan pada pola yang diberlakukan sebagai kesepakatan bersama oleh warga masyarakat.
Dituangkannya perjanjian bagi hasil secara tidak tertulis oleh karena masih kuatnya penghormatan masyarakat setempat terhadap integritas sesama, para warga masyarakat masih senantiasa saling menghormati dan memberikan kepercayaan satu dengan yang lain. Pemilik tanah dan penggarap tidak akan mengingkari apa yang mereka telah sepakati bersama dan masing-masing pihak akan melaksanakan apa yang mereka telah perjanjikan. Kepastian hukum untuk tidak mengingkari perjanjian itu berdasar atas nilai sub-kultur di Sulawesi Selatan, yaitu harga-diri (siri') dan solidaritas sosial (passe, pesse, pacce). Oleh karena pemilik tanah di Kabupaten Selayar mempunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi dari penggarap, maka pemilik tanah tidak akan mengingkari apa yang telah mereka sepakati, karena apabila ia tidak melaksanakan sesuai dengan kesepakatan, maka tentu harga dirinya (baca: siri') akan terusik, nama baiknya akan tercemar di mata masyarakat. Demikian pula halnya dengan penggarap, ia akan melaksanakan apa yang telah dijanjikannya sesuai dengan kesepakatan, karena ada rasa segan dan hormat kepada pemilik tanah.
Adanya pengaruh rasa solidaritas sosial yang tinggi (passe) untuk hidup berdampingan secara damai dan tenteram, saling menghargai dan saling menghormati, sehingga meskipun perjanjian bagi hasil itu dilakukan secara lisan tanpa saksi-saksi, kenyataannya sampai sekarang hampir tidak pernah terjadi sengketa antara pemilik tanah dengan penggarap dalam hal melaksanakan perjanjian bagi hasil perkebunan kelapa. Nilai siri' dari pihak pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap membuahkan nilai kejujuran. Nilai kejujuran ini sama nilainya dengan kepastian hukum.
Namun perlu ditekankan bahwa persengkataan yang sering terjadi adalah di antara anak cucu yang orang tua ataupun nenek moyangnya membuat perjanjian secara lisan dahulu, tetapi ini bukan perjanjian bagi hasil melainkan transaksi hak kepemilikan tanah. Itu adalah cerita hingga dewasa ini, namun untuk masa yang akan datang adanya angin puting beliuang dari globalisasi, nilai siri' dari pemilik tanah, nilai passe dari kedua belah pihak, nilai segan dan hormat dari pihak penggarap tidak akan mampu bertahan. Lemahnya pertahanan itu oleh karena sekarang ini tidak ada lagi lembaga adat di Kabupaten Selayar yang bertanggung jawab atas nilai-nilai itu. Siri' dan passe hanya dipertahankan secara individual, sehingga tidak akan mampu bertahan. Dalam keadaan yang demikian itu perjanjian secara lisan tanpa saksi yang tidak lagi diikat oleh nilai-nilai itu di masa-masa yang akan datang, akan menjadikan perjanjian itu tidak lagi menjamin kepastian hukum tentang kedudukan kedua belah pihak.
Demikianlah nilai kejujuran itu akan kian memudar, karena sudah tidak ada lagi lembaga adat yang memeliharanya. Maka benteng pertahanan yang paling ampuh adalah nilai-nilai agama, asal saja lembaga-lembaga keagamaan dapat bekerja dengan kinerja yang tinggi dalam arti metode da'wah harus membuahkan efisiensi dan efektivitas yang tinggi, dan aktivitas yang agresif untuk dapat memberikan serangan balik atas angin puting-beliung globalisasi. Dan di samping meningkatkan kinerja lembaga-lembaga keagamaan, maka masyarakat di pedesaan jangan lupa mengaplikasikan teknik administrasi menurut qaidah agama dalam melakukan perikatan perjanjian, seperti telah lazim dipakai di kota-kota biasa maupun metropolitan. Ya-ayyuha lladziyna a-manuw idza- tada-yantum bidaynin ila- ajalin musamman faktubuwhu walyaktub baynakum ka-tibun bil'adl (S. Al Baqarah, 252), artinya: Hai orang-orang beriman, apabila mengadakan perjanjian perikatan utang-piutang untuk waktu yang ditetapkan, maka tuliskanlah, dan haruslah dituliskan oleh seorang notaris dengan adil (2:252). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 24 November 1996
24 November 1996
[+/-] |
251. Kejujuran |
17 November 1996
[+/-] |
250. Anak Bungsu yang Dimanjakan |
Dalam Bible, Revised Standard Version dapat kita baca:
Now Israel loved Joseph more than any other of his children, because he was the son of his old age; and he made him a long robe with sleeves. But when his brothers saw that their father loved him more then all his brothers, they hated him, and could not speak peaceably to him (Genesis 37:3-4). Maka Israel mencintai Yusuf melebihi cintanya kepada anak-anaknya yang lain, oleh karena dia adalah anak (yang dilahirkan) di hari tuanya; dan ia membuatkan untuknya sehelai jubah panjang berlengan panjang. Namun tatkala saudara-saudara laki-lakinya melihat bahwa ayah mereka mencintainya lebih dari semua saudara laki-lakinya, maka mereka membencinya dan tidak dapat berkata dengan ramah kepadanya.
Ayat dalam Genesis (37:3-4) tersebut menunjukkan kepada kita sebuah potret kejiwaan orang tua yang telah lanjut umur pada umumnya: mereka lebih mencintai anaknya yang bungsu. Penyebabnya dilatar belakangi oleh keistimewaan para anak bungsu, yaitu mereka dilahirkan tatkala orang tua mereka telah lanjut umur. Demikianlah para anak bungsu itu dimanjakan, yang dalam ayat di atas perlakuan memanjakan itu diilustrasikan dalam wujud membuatkan jubah yang lebih istimewa. Walaupun Israel itu seorang Nabi (namanya yang lain yaitu Nabi Ya'qub AS), akan tetapi tetaplah ia manusia biasa (yang membedakannya dengan manusia lain, ia mendapat wahyu dari Allah SWT), sehingga sifat manusiawi itu tetap melekat padanya yang secara kejiwaan ia lebih menyayangi anak bungsunya, karena sang bungsu itu dilahirkan pada hari tuanya.
Dalam Al Quran Allah SWT berfirman:
Nahnu Naqushshu 'alayka Ahsana lQashashi biMa- Awhayna- ilayka Hadza lQuran (S. Yuwsuf, 3). Kami wahyukan kepadamu yang terbaik dari riwayat-riwayat dengan mewahyukan kepadamu Al Quran ini (12:3).
Salah satu yang terbaik dari riwayat-riwayat itu ialah mengenai riwayat Yusuf dalam hubungannya dengan saudara-saudara laki-lakinya.
Laqad Ka-na fiy Yuwsufa wa Ikhwatihi Ayatun lisSa-ilyna (S. Yuwsuf, 7). Sesungguhnya dalam (riwayat) Yusuf dengan saudara-saudara laki-lakinya berisikan keterangan bagi para peneliti (12:7).
Adapun Yusuf sesungguhnya bukanlah anak bungsu orang seorang melainkan tergolong dalam kelompok anak bungsu yang terdiri atas Yusuf dan Bunyamin. Kedua anggota kelompok bungsu inilah yang menjadi sasaran kedengkian dari kelompok yang lebih besar yang terdiri atas sepuluh orang kakak kelompok bungsu tersebut.
LaYuwsufu wa Akhuwhu Ahabbu ilay Abina- Minna- wa Nahnu 'Ushbatun, (S. Yuwsuf, 8) Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) dicintai oleh bapak kita ketimbang kita, padahal kita ini kelompok (yang besar) (12:8).
Pada umumnya anak bungsu itu menjadi manja oleh karena lebih disayangi. Namun Yusuf tidaklah demikian halnya, ia tidak menjadi manja, melainkan kelakuannya lebih baik dari Saudara-saudaranya. Akibatnya terjadilah umpan balik positif (positive feed-back), karena kelakuannya baik, ia makin disayangi, dan karena makin disayangi, kelakuannya bertambah baik. Yusuf merupakan kekecualian dari anak yang dimanjakan, ia tidak menjadi manja. Ini dapat difahami oleh karena Yusuf dipersiapkan oleh Allah SWT untuk menjadi seorang Nabi kelak.
Dalam Negara Republik Indonesia kelompok anak bungsu adalah Provinsi Timor-Timur. Kelompok anak bungsu ini mendapat perlakuan istimewa dalam pembangunan. Secara obyektif keadaan yang dicapai oleh kelompok bungsu ini dalam puluhan tahun jauh lebih melesat kemajuannya jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh kakak-kakaknya yang lebih tua. Ukuran yang dipakai tentang kemajuan yang lebih melesat ini adalah perbedaan antara keadaan Timor Timur selama dijajah Portugis dengan keadaannya sejak intergrasi hingga dewasa ini, ketimbang perbedaan keadaan kakak-kakaknya antara selama penjajahan Belanda dengan keadaannya sejak merdeka hingga dewasa ini. Tibalah saatnya sekarang tidak perlu lagi untuk membuang-buang energi memanjakan anak bungsu ini
Tentang masalah dalam kasus penghinaan atas Negara Republik Indonesia dan ABRI oleh Uskup Dili Carlos Filipe Ximenes Belo ada baiknya kita dengarkan Ketua DPR/MPR RI H. Wahono yang menasihatkan agar kasus Belo ini jangan dipanas-panasi. Nasihat ini baik, namun asal saja nasihat ini bukan titik, melainkan masih koma. Kelompok anak bungsu ini walaupun telah mendapat keistimewaan dalam pembangunan, janganlah pula melebar untuk mendapat perlakuan istimewa di depan hukum. Bukan hanya sekadar seperti yang dikehendaki oleh Yogi agar Belo dipanggil oleh DPR, bukan pula hanya sekadar seperti yang dikehendaki Pangab, ABRI akan panggil Belo, melainkan baru cukup jika dilaksanakan menurut Kapuspen ABRI supaya kasus Belo ini dikembalikan kepada hukum yang berlaku.
Apabila kasus Belo ini dikembalikan kepada hukum yang berlaku, maka Belo harus disidik oleh polisi, dituntut oleh jaksa dan divonis oleh hakim, tentu saja dalam bingkai asas praduga tak bersalah. Untuk menentukan apakah Belo bersalah atau tidak, maka Belo harus pula diperlakukan di depan hukum sama dengan perlakuan hukum atas Sri Bintang dalam kasus penghinaan Presiden RI, sama dengan perlakuan atas Nasiruddin Pasigai dalam kasus memberikan informasi yang ditafsirkan sebagai menjual rahasia Negara Republik Indonesia. Sekali lagi Belo harus disidik, dituntut dan divonis, tanpa terlalu menekankan pada pertimbangan hubungan diplomatik dengan Vatikan, karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdaulat! Bukankah hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Malaysia tidak terpengaruh oleh digantungnya Basri Masse? WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 17 November 1996
10 November 1996
[+/-] |
249. Distribusi dan Kepemilikan, Konglomerasi dan Dekonglomerasi |
Judul di atas itu akan dibahas menurut pandangan Syari'at Islam dan hukum positif dalam Negara Republik Indonesia. Akan dikemukakan dua jenis nash, satu dari Firman Allah SWT dan satu dari Hadits RasuluLlah SAW.
Kay laa yakuwna duwlatan bayna l.aghniyaai minkum (S. Al Hasyr, 7), artinya: Agar supaya kedaulatan (ekonomi) itu tidak hanya berputar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (59:7).
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Abu Khirasyi: Annaasu syurakaau fiy tsalaatsin almaai wannaari walkalaai. Manusia secara bersama-sama mempunyai hak atas tiga (sumberdaya alam): air, api dan rumput.
AlhamduliLlah, ayat (59:7) oleh bangsa Indonesia telah dijadikan hukum positif dalam wujud GBHN seperti dinyatakan dalam urutan pertama Trilogi Pembangunan: Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya dengan lebih memberi peran kepada rakyat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan. Sedangkan Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud tersebut, sebelum Trilogi Pembangunan telah lebih dahulu menjadi hukum positif yang sumber hukumnya lebih tinggi dari GBHN, yaitu dalam UUD-1945, Fasal 33, ayat 3: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.
Syari'at Islam menghendaki modal itu tidak boleh hanya beredar dalam kalangan pemodal besar saja. Pembangunan yang merata menuntut pula pemilik modal yang merata dalam kalangan rakyat banyak, yang menyebabkan terciptanya lapangan kerja, sehingga hasil-hasil pembangunan merata pula. Usaha perdagangan dan industri dalam skala modal besar diperlukan dalam persaingan pasar bebas di luar negeri dalam era globalisasi. Pemodal kecil dalam skala perdagangan dan industri kecil sasarannya adalah pasar dalam negeri, industri kecil ada pula yang dapat berperan dalam pasar bebas di luar negeri, yaitu menjadi sub-kontraktor dari perusahaan pemodal besar untuk memproduksi komponen-komponen yang konstruksinya mudah. Ini yang dikenal dengan sistem payung (umbrella system).
Mekanisme distribusi dalam negeri disalurkan melalui koperasi dan pedangan-pedagang kecil, seumpama pedagang beras. Ibarat dalam tubuh manusia jika terjadi penyempitan dalam pembuluh darah, akan terjadi tekanan darah tinggi. Pedagang-pedagang beras inilah yang melancarkan peredaran uang dalam kalangan bawah sehingga tidak terjadi penyakit tekanan darah tinggi dalam skala ekonomi mikro. Tempo doeloe kita lihat bagaimana lancarnya peredaran uang dan terciptanya lapangan kerja dalam sektor informal oleh para pedagang beras ini. Saya masih ingat almarhum paman saya yang semasa hidupnya menakodai perahu pinisi' Soegimanai mengangkut beras dari Sulawesi Selatan, kemudian tatkala kembali mengangkut barang dagangan kelontong. (Almarhum paman saya ini juga seorang sastrawan membuat novel berbahasa daerah beraksara lontara' berjudul Pau-pauanna Nabbi Yusupu', Hikayat Nabi Yusuf. Sayang sekali novel itu tidak sempat disalin, sehingga ikut hancur bersama perahu pinisi' bersama nakhoda dan anak perahu kena ranjau, disaksikan oleh awak perahu pinisi' yang berlayar di belakangnya di laut sekitar perairan Surabaya tahun 1943).
Sumber-sumber daya alam yang vital perlu dikuasai oleh negara. Air baik sebagai keperluan irigasi maupun sebagai sumber energi, bahan bakar (baca: api), padang rumput untuk ternak jika tidak dikuasai oleh negara dapat menjadi penyebab tidak lancarnya distribusi peredaran darah kehidupan bagi petani-petani dan pengusaha kecil. Seumpama padang rumput yang dikuasai oleh pemodal besar, maka para peternak kecil-kecil dalam kalangan rakyat dapat dikontrol oleh pemodal besar ini. Amanah GBHN untuk memberi kepada rakyat untuk berperan serta aktif dalam pembangunan hanya tinggal dalam teori.
AlhamduliLlah kini mulai muncul pendapat yang mengoreksi konglomerasi. Mereka mengemukakan alasan, ada yang meninjaunya secara pragmatis, dan ada pula yang melihatnya dari segi nilai keadilan. Presiden Direktur Kelompok Usaha Bakri Brothers Tanriabeng melihatnya dari segi pragmatis. Ia menawarkan dekonglomerasi untuk dapat bermain di pasar bebas. Menurut saya bermain di pasar bebas itu perlu tetapi belum cukup. Selain memandang keluar, jangan lupa memandang ke dalam, yaitu distribusi peredaran uang dalam kalangan bawah, seperti yang dikehendaki oleh ayat (59:7). AlhamdulIlah, pendapat Tanriabeng itu diperlengkap oleh Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Faisal Basri. Dalam memandang dekonglomerasi ia lebih menekankan pada stuktur perekonomian nasional kita yang amat timpang. Hanya sebahagian kecil orang yang menguasai sebahagian besar aset ekonomi nasional. Karena itu dari segi keadilan konglomerasi itu sama sekali tidak benar dan harus diubah. Pemerintah harus mendorong upaya dekonglomerasi, demikian Faisal.
Konglomerasi berasal dari bahasa Inggris conglomeration yang berarti a heterogeneous combination, anything composed of heterogeneous materials or elements, kombiansi yang heterogen, apa saja yang terdiri atas sejumlah material atau unsur-unsur yang heterogen. Yang disebut apa saja misalnya seperti kumpulan berjenis-jenis benda-benda langit yang dalam ilmu falak disebut galaxy. Ataupun dalam geologi misalnya, seperti batu-batuan, kerikil dan sebangsanya yang terekat menjadi batu karang. Dalam bahasa Indonesia pelaku konglomerasi disebut konglomerat. Istilah konglomerat dan konglomerasi mengalami pergeseran makna yang menyempit. Konglomerasi terkhusus hanya pada pengelompokan berjenis-jenis usaha dagang ataupun industri dalam satu tangan oleh konglomerat. Konglomerasi dalam usaha dagang dan industri itu pada prinsipnya secara kejiwaan tidaklah terlepas dari nafsun ammarah yang membentuk sifat asli manusia untuk tidak puas-puasnya. Secara teknis pragmatis timbulnya konglomerasi berdasar atas pertimbangan fluktuasi pasar di antara jenis usaha yang dikelompokkan itu. Secara bergantian dalam intern konglomerasi itu unsur jenis usaha yang sedang mengalami lesu pasar ditopang oleh unsur jenis usaha yang pasarnya sedang naik daun.
Kemampuan manusia itu diibaratkan volume silinder. Konglomerasi ibarat silinder yang luas permukaannya, sedangkan dekonglomerasi ibarat silinder yang sempit permukaannya. Untuk volume yang sama besarnya, silinder yang luas permukaannya akan menjadi dangkal (baca: ketidak-sungguhan managerial), sedangkan silinder yang sempit permukaannya akan menjadi dalam (baca: kesungguhan managerial). Alhasil untuk dapat bersaing dalam pasar bebas secara pragmatis perlu sekali dekonglomerasi: kesungguhan managerial. WaLlahu a'lamu bi shshawab.
*** Makassar, 10 November 1996
3 November 1996
[+/-] |
248. MIRAS, Metode Pendekatan dan Ketetapan Hukumnya |
Dalam hal miras ibarat mata uang, yaitu ada dua sisi yang patut diperhatikan. Sisi yang pertama menyangkut metode pendekatan menurut Al Quran dalam menghentikan peminum miras, dan pada sisi yang lain menyangkut hukum meminum miras.
Pendekatan dalam menghentikan peminum miras menurut Al Quran tidaklah secara drastis, yaitu secara berangsur. Sebermula Al Quran mengemukakan potret miras apa adanya, yaitu ada dosa besar di dalamnya dan ada gunanya, namun dosanya lebih besar ketimbang kegunaannya, seperti firmanNya:
Yasaluwnaka 'ani lKhamri walMaysiri Qul fiyHimaa Itsmun Khabiyrun waManaafi'u linNaasi waItsmuHumaa Akbaru min Naf'ihimaa (S. Al Baqarah, 219). Mereka bertanya kepadamu mengenai miras dan judi, katakan, di dalam keduanya itu dosa besar dan ada beberapa manfaat, namun dosa keduanya lebih besar dari manfaat keduanya (2:219).
Gambaran dosa besar dalam miras telah dijelaskan, namun belum ada perintah yang tegas tentang larangan minum miras. Akan tetapi secara tersirat di balik potret itu terdapat nilai bahwa terpujilah jika meninggalkan kebiasaan minum miras, walaupun dari sisi lain miras itu ada pula manfaatnya. Dari hasil kajian ilmu pengetahuan terungkap bahwa gambaran dosa besar dalam miras itu antara lain pemabuk itu menjadi rusak mentalnya, pikirannya tidak jernih, akalnya buntu, ruhaninya sakit, dan selalu keragihan. Dan yang dianggap manfaat oleh manusia ialah jika orang telah teler karena miras, maka ia terlepaslah sesaat dari keruwetan memikirkan seluk-beluk kehidupan duniawi. Kelihatannya bermanfaat akan tetapi pada hakekatnya merugikan, yaitu menjadi pengecut, karena lari dari kenyataan, tidak berani menantang kenyataan yang harus dihadapinya.
Sesudah tahap menggambarkan potret miras, menyusullah tahapan larangan yang tidak sepenuhnya, sebagai sasaran antara, seperti firmanNya: Ya-ayyuha Lladziyna A-manuw Laa Taqrabu shShala-ta wa Antum Sukaara- (S. AnNisa-u, 43). Hai orang-orang beriman janganlah kamu dekati shalat tatkala kamu mabuk (4:43). Tahapan berupa sasaran antara ini adalah larangan tidak boleh mabuk, artinya boleh minum asal jangan sampai mabuk. Sangatlah riskan kalau mabuk, oleh karena jika tatkala masih mabuk waktu shalat telah tiba, ia akan absen dalam shalat.
Tahapan terakhir adalah larangan tegas, bahwa miras, judi dan lain-lain yang sebangsanya adalah dari perbuatan setan, haruslah dijauhi. Ya-ayyuha Lladziyna Amanuw Innama lKhamru walMaysiru walAnshaabu walAzlaamu Rijsun min 'Amali sySyaythaani faJtanibuwhu La'allahum Tuflihuwna (S. Al Ma-idah, 90). Hai orang-orang beriman, sesungguhnya miras, judi, berhala dan bertenung itu kotor, itu dari pekerjaan setan, jauhkanlah, supaya kamu mendapat kemenangan (5:90).
Sebagai ilustrasi tambahan metode tidak drastis ini ditempuh pula dalam hal menghilangkan perbudakan. Apabila menghilangkan perbudakan itu dilakukan secara drastis, maka akan terjadi khaos dalam masyarakat. Para hamba sahaya yang sudah terbiasa menjadi budak, belum pernah mandiri, lalu tiba-tiba diberi kemerdekaan, mereka akan kebingungan mau berbuat apa. Kalau jumlah mereka banyak akan terjadi kekacauan, mereka akan mencuri bahkan merampok. Sejarah berbicara tentang hal ini. Misalnya para gladiator yang membebaskan dirinya yang dipimpin oleh Spartacus pada zaman Romawi. Para gladiator itu tidak mempunyai keterampilan selain berkelahi. Spartacus memperbesar jumlah pasukannya dengan membebaskan budak-budak yang lain, yang ditempa pula menjadi ahli berkelahi. Mereka menjarah penduduk untuk keperluan logistik.
Demikian pula keadaan budak-budak yang telah dibebaskan setelah Civil War dalam sejarah Amerika Serikat. Para mantan budak itu kebingungan mau berbuat apa. Bahkan mantan budak-budak yang telah diperlakukan dengan kejam melakukan balas dendam atas mantan tuan tanah yang kejam itu. Mereka merampok dan membunuh mantan tuan tanah beserta keluarganya.
Dalam hal ini Al Quran menunjukkan cara persuasif, yaitu himbauan bahwa memerdekaan budak adalah suatu kebajikan (2:177). Seterusnya dalam penyaluran zakat terdapat porsi untuk memerdekakan budak. Ditempuh pula tehnik menikahi budak, seperti firmanNya: Fankihuw Maa Thaaba laKum mina nNisaai Matsna- wa Tsulatsa wa Rubaa'a faIn Khiftum allaa Ta'diluw fa Waahidatan aw Maa Malakat Aymanukum, (S. An Nisa-u, 3) maka nikahilah olehmu perempuan- perempuan yang baik bagimu, berdua, bertiga, berempat, akan tetapi jika engkau khawatir tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau (nikahilah) apa yang dimiliki oleh tangan kananmu (4:3).
Yang dimaksud dengan apa yang dimiliki oleh tangan kanan adalah budak-budak perempuan. Budak laki-laki tidak beranak, akan tetapi budak perempuan dapat beranak. Anak hasil perkawinan antara tuan dengan budak perempuannya itu, tidak boleh lagi statusnya sebagai budak. Dengan demikian hikmah yang terkandung dalam ayat (4:3) tersebut, adalah metode pendekatan menikahi budak untuk menghapuskan budak-budak dalam generasi berikutnya. Dilakukan pula dengan tehnik berupa sanksi membebaskan budak atas seseorang yang melanggar syari'at, seperti misalnya melakukan hubungan seksual dengan isterinya pada siang hari dalam bulan Ramadhan. Demikianlah cara menghilangkan perbudakan yang sudah mendarah daging warisan masyarakat jahiliyah. Pada prinsipnya perbudakan itu dilarang, seperti firman Allah: Wa Laqad Karramnaa Baniy Adama (S. Isray, 70). Sesungguhnya telah Kami muliakan Bani Adam (17:70). Allah telah menyatakan bahwa manusia itu dimuliakan Allah, maka tidaklah boleh manusia itu diperbudak.
Kembali pada masalah miras. Sejak ayat (5:90) diturunkan, maka meminum miras dilarang, haram hukumnya. Sama haramnya jika makan babi. Termasuk dalam larangan itu adalah sumber dan jalurnya sampai tiba dimulut. Yaitu pabrik miras, berternak babi dan memperdagangkannya. Bagi peminum berat metode bertahap menurut Al Quran dapat ditempuhnya, namun harus diingat bahwa ia tidak terbebas dari sanksi dosa karena minum miras. Walaupun dalam rentang waktu tahapan itu ia mendapat sanksi dosa, maka itu lebih baik bagi peminum berat itu ketimbang sama sekali tidak berupaya secara bertahap untuk berhenti minum miras. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 3 November 1996