Siswanto alias Robot adalah seorang pelaku sodomi yang menjadi tersangka kuat sebagai pembunuh berdarah dingin yang membunuh 6 orang bocah laki-laki, 4 orang di Jakarta dan 2 orang di Jawa Tengah. Sudah 3 orang yang telah diketahui identitasnya, yaitu Agus (11) dibunuh 15 Desember 1994, Gito Febrianto (13) dibunuh 18 Juni 1996 dan Ikin Karsikin dibunuh 5 Juli 1996. Sebelum Robot membunuh bocah-bocah itu, Siswanto lebih dahulu me-"nyodom" mereka itu. Itu betul-betul perbuatan yang biadab, menyodom dahulu baru membunuh, yang pantas mendapat sanksi dirajam sampai mati.
Sebaliknya yang terjadi di Bandung dahulu, yang dibunuh adalah penyodom. Waktu itu dalam harian Pikiran Rakyat dua orang penyodom berturut-turut selang beberapa bulan terpampang fotonya yang sudah menjadi bangkai. Kedua orang penyodom itu semuanya orang bule, yaitu van der Linden dan Lichtermoet. Pembunuh kedua orang penyodom itu tidak pernah terungkap.
Sodomi atau aktivitas homosex, berasal dari nama negara-kota Sodom, yang penduduknya sudah demikian jatuh ke dalam limbah kebobrokan dekandensi moral, yaitu kaum laki-lakinya hampir semuanya homosexual dan kaum perempuannya juga hampir semuanya lesbian. Negara-kota tetangganya yaitu Gomorra (Qamran) juga telah mengalami hal yang sama, sehingga dalam Perjanjian Lama selalu disebut beruntun Sodom dan Gomorra. Celakanya ummat Nabi Luth AS yang meninggalkan Ur singgah bermukim di luar kota Sodom dan Gomorra, hampir semuanya juga ikut terseret ke dalam aktivitas homosex dan lesbian yang biadab itu.
Pada tahun 1981 di Amerika Serikat ditemukan sejenis penyakit dalam kalangan kaum homosexual, yang kemudian disebut dengan penyakit (A)quired (I)mmuno(d)eficiency (S)yndrome. Menurut kaidah EYD, karena huruf-huruf singkatan itu tidaklah semuanya huruf awal dari kata-kata yang disingkatkan, maka singkatan itu tidak boleh dituliskan AIDS, melainkan Aids. Bandingkan misalnya (Un)iversitas (Has)anuddin yang disingkatkan menjadi Unhas dan (I)nstitut (T)eknologi (B)andung yang disingkat dengan ITB. Penyakit Aids disebabkan oleh predator berupa makhluk halus yang disebut (H)uman (I)mmunodeficiency (V)irus, disingkat HIV, yang memangsa sistem kekebalan tubuh. Jadi sebenarnya penyakit Aids yang disebabkan oleh HIV itu bukanlah penyakit yang sesungguhnya. Dengan lemahnya pertahanan tubuh karena dimangsa oleh HIV itu, maka semua penyakit dengan mudah masuk ke dalam tubuh. HIV adalah satu-satunya virus (yang baru dikenal hingga kini), yang sanggup menembus selaput otak. Tidak ada satu juapun kuman atau virus atau suntikan obat yang dapat menembus pertahanan otak yang berupa selaput itu. Itu adalah salah satu ni'mat Allah yang mendisain pertahanan otak kita itu. Jadi walaupun misalnya telah didapatkan serum anti-virus ini, maka obat yang disuntikkan itu tak akan dapat menembus selaput otak, sehingga virus HI yang sudah terlanjur masuk ke dalam otak tak akan dapat dibasmi oleh obat anti-virus HI, andaikata kemajuan penelitian telah mendapatkan obat anti-virus tersebut.
Ada kemungkinan bahwa hampir seluruh penduduk Sodom dan Gomorra telah terjangkit virus yang mampu menembus selaput otak, yakni sejenis HIV. Allah SWT memelihara hambaNya, yaitu ummat manusia sekitar Sodom dan Gomorra, dengan cara seluruh penduduk Sodom dan Gomorra dibinasakan oleh malaikat, kecuali pengikut Nabi Luth AS yang masih bersih lahir dan batin. Dalam Al Quran kelompok yang luput disebut Ali Luth, sedangkan seluruh penduduk yang dibinasakan malaikat disebut Qawmu Luwth atau Ikhwa-nu Luwth. Dengan binasanya seluruh Qawmu Luwth yang terinfeksi virus berbahaya itu, maka terhindarlah ummat manusia sekeliling Sodom dan Gomorra dari terinfeksi virus itu.
Allah SWT telah mendisain selaput otak yang ampuh menahan kuman dan virus, akan tetapi Allah telah menciptakan pula HIV yang mula-pertama dideteksi dalam kalangan homosexual. Hal ini patut dipikirkan oleh orang yang mau berpikir. Itu adalah peringatan yang keras dari Allah SWT tentang menurunnya budaya global ummat manusia yang pada umumnya menerima sodomi itu sebagai yang wajar-wajar saja, bahkan di beberapa negara "maju" timbul gerakan yang menuntut dan telah dikabulkan oleh beberapa negara supaya kaum sodomi ini diterima hak eksistensinya berdasarkan hak asasi manusia.
Allah SWT berfirman: Wattaquw Fitnatan La- Tushiybanna Lladziyna Zhalamuw Minkum Kha-shshtan Anna Llaha Shadiydu l'Iqa-bi (S. Al Anfa-l, 25). Dan hindarkanlah dirimu dari bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu, dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksanya (8:25).
Aids/HIV betul-betul adalah bencana yang tidak khusus menimpa orang-orang homosexual saja, melainkan juga telah melebar menimpa heterosexual, karena di antara orang homosex juga ada yang mempunyai isteri, melebar menimpa isteri dan anak-anaknya, melebar kepada para pelacur, lalu menjadi wabah. Jadi tidak hanya menimpa orang zalim (baca orang homosex) saja, melainkan kepada orang baik-baik juga, yaitu isteri dan anak-anaknya, baik pada waktu pranatal melalui darah ibu, ataupun pada waktu postnatal melalui ASI, melebar merambat kepada orang baik-baik yang lain melalui transfusi darah yang tercemar, ataupun penggunaan jarum suntik yang tercemar HIV.
Akan halnya atas orang zalim (baca yang terinfeksi HIV karena ulahnya sendiri) biarlah mereka rontok sebagai daun dimakan ulat. Namun yang perlu dikhawatirkan ada dua aspek, yaitu aspek teknis dan aspek godaan iblis dalam wujud godaan sex. Dari aspek teknis perlu upaya maximal untuk mencegah jangan sampai terinfeksi melalui transfusi darah yang sudah tercemar HIV, ataupun jarum suntik yang telah tercemar. Dari aspek godaan sex, berganti pasangan, kehidupan sex bebas, maka sistem da'wah perlu ditingkatkan kinerjanya, utamanya dari segi efisiensi dan efektivitas. Sistem da'wah perlu ditunjang oleh penciptaan lingkungan budaya, utamanya remaja kita perlu dipelihara dari pembawa HIV ke dalam Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini, yang seperti diketahui dibawa oleh wisatawan manca-negara yang telah terinfeksi HIV. Inilah fakta sisi negatif dari dunia pariwisata, yang pada sisi lain menguntungkan sebagai penghasil devisa. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 25 Agustus 1996
25 Agustus 1996
[+/-] |
238. Sodomi dan Aids |
18 Agustus 1996
[+/-] |
237. Pengendalian Diri |
Dalam Harian Fajar, edisi Rabu, 14 Agustus 1996, pada halaman 1, dapat kita baca pemberitaan yang seimbang, bukan hanya sekadar covering both sides, melainkan three sides, yaitu masing-masing dari sisi Ketua DPRD Ujung Pandang, dari sisi LBH Ujung Pandang yang terdiri atas dua orang, seorang dari anggota LBH kuasa hukum warga Tamamaung serta dari Direktur LBH Ujung Pandang, dan dari sisi warga Tamamaung Ujung Pandang.
Kita mulai kutip berita dari sisi Ketua Dewan. Ketika saya kejar keluar, sebenarnya saya mau tanya, maksud dia apa dengan memperkeruh suasana. Tapi tiba di luar, dia justru lari terbirit-birit sampai naik pete-pete. Di mana tanggung jawabnya. Tidak dipersilakan bicara, kok bicara terus. Saya gebrak meja. Dia malah peringati saya untuk tidak berbuat begitu. Saya gebrak meja lagi, lalu saya suruh keluar. Kalau mau bicara harus seizin pimpinan pertemuan. Jangan menjadikan DPRD sebagai ajang mimbar
bebas. Ada yang ingin menjadi pahlawan dalam masalah ini, dan orang itu layak disebut pahlawan kesiangan. Tidak semua pernyataan yang disampaikan warga Tamamaung bisa langsung diterima. Semua harus dicek dulu. Sebab belum tentu pernyataan-pernyataan itu murni dari warga. Mungkin saja sudah direkayasa dan warga itu sudah ditunggangi.
Itulah pemberitaan dari sisi Ketua Dewan. Selanjutnya kita ikuti pemberitaan dari sisi anggota LBH Ujung Pandang, kuasa hukum warga Tamamaung. Pak ketua dewan tak hanya mengusir. Ketika saya keluar, dia malah memburu saya dan berteriak-teriak. Dia benar-benar lepas kontrol, sampai-sampai kancing bajunya bagian atas terlepas. Saat itu ketua Dewan menanyakan siapa lagi yang akan dipanggil polisi, lantas ada warga yang menyebut nama seseorang. Itu sebabnya saya kemudian ikut berbicara, memberi penjelasan bahwa warga hanya menjawab pertanyaan ketua Dewan. Anggota LBH itu tak menyangka kalau reaksi ketua Dewan justru teramat keras. Menurut anggota LBH itu, sembari menggebrak meja ketua Dewan membentak. Diam. Saya tak butuh LBH. Tanpa LBH saya bisa diterima rakyat. Bentakan ini dijawab: Saya ke sini untuk mendampingi mereka, Pak. Mereka kan rakyat Bapak juga. Dan tidak perlu memukul meja. Ketua Dewan kembali menggebrak meja. Saya yang berhak di sini. Keluar kau.
Selanjutnya mari kita ikuti pemberitaan dari sisi warga Tamamaung. Warga Tamamaung yang menyaksikan kejadian itu menyatakan kekecewaannya. Menurut salah seorang warga Tamamaung, kedatangan ke DPRD dibarengi harapan agar rencana penggusuran tanah yang mereka tempati bisa teratasi. Dengan sikap ketua Dewan yang seperti itu, kami seperti tak punya harapan lagi. Kemana lagi kami harus menyalurkan aspirasi?
Terakhir kita kutip pemberitaan dari sisi Direktur LBH Ujung Pandang. Bagi LBH Ujung Pandang perlakuan ketua Dewan dinilai sudah keterlaluan. Tapi kami tidak akan melayangkan protes keras. Sebagai rakyat, kami hanya akan memberi nasihat kepada wakil kami yang duduk di DPRD itu. Soalnya, mereka bisa duduk di dewan karena pilihan rakyat juga. Apa bukan begitu.
Ada dua hal yang menarik dari sikap arogan ketua Dewan. Yang pertama sikap arogan yang diakibatkan oleh kepribadian kurangnya pengendalian diri. Yang kedua sikap arogan yang ditimbulkan oleh semacam penyakit yang umum yaitu penyakit ego sektoral. (Saya tak butuh LBH. Tanpa LBH saya bisa diterima rakyat). Sikap ego sektoral ini menyebabkan orang mengira hanya lembaganya saja yang penting, lembaga yang lain tidak penting, tidak berpikir secara pendekatan sistem, tidak menghayati yang disebut sinergi.
Setiap tahun satu bulan penuh ummat Islam berlatih untuk mengendalikan dirinya. Orang yang beriman yang telah mampu
mengendalikan dirinya akan meningkat ke derajat ruhaniyah yang tertinggi yaitu taqwa.
Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Kutiba 'Alaykumu shShiya-mu Kama- Kutiba 'alay Lladziyna min Qablikum La'allakum Tattaquwna (S. Al Baqarah, 183). Hai orang-orang beriman diwajibkan atasmu berpuasa seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa (2:183). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 18 Agustus 1996
11 Agustus 1996
[+/-] |
236. Memancing di Air Keruh |
Para nelayan yang menangkap ikan dengan pancing akan bergembira, berharap penuh akan dapat mengail ikan banyak-banyak, jika air di kuala sedang keruh. Ikan-ikan yang berenang berlalu-lalang dalam air yang keruh tidak akan dapat membedakan makanan yang bebas melayang-layang di dalam air dengan makanan yang berupa umpan yang dikaitkan pada pancing. Maka dalam air yang keruh banyaklah ikan yang kena pancing, karena umpan yang dilahapnya itu dikiranya makanan biasa yang tidak berbahaya. Nenek-nenek moyang kita dahulu telah mengkaji fenomena ini sehingga lahirlah peribahasa: Memancing di air keruh.
Bukan ikan saja yang mudah terpancing di air keruh, manusiapun akan mudah terpancing dalam suasana politik yang keruh. Pada ikan, yang memancing adalah tukang pancing, sedangkan air atau kuala yang keruh bukanlah tukang pancing yang membuatnya demikian. Kuala memang sudah keruh, tukang pancing hanya memanfaatkan kekeruhan air untuk mendapatkan ikan hasil pancingan yang banyak.
Akan tetapi dalam hal manusia yang memancing manusia, suasana politik yang keruh direkayasa, atau akibat kebijakan yang keliru (blunder). Dalam hal yang pertama, yang memancing dan yang merekayasa kekeruhan politik dilakukan oleh golongan yang sama, sedangkan dalam hal yang kedua, lain golongan yang memancing, lain pula yang membuat kebijakan yang keliru. Dalam hal yang kedua ini tukang pancing biasa disebut dengan golongan yang membonceng atau menunggangi.
Apa yang terjadi baru-baru ini, yakni malapetaka 27 Juli, adalah buah suasana politik yang keruh. Apabila ditilik dengan pikiran yang jernih, blunder yang mengakibatkan kekeruhan politik itu berpangkal dari orang intern PDI sendiri, yaitu Fatimah Ahmad dkk. Lalu terjadilah rentetan yang beruntun yang terkait: Kongres Medan - dua kubu kepemimpinan dalam tubuh PDI - mimbar bebas - tawuran antara penyerbu dari pihak kubu Suryadi melawan yang bertahan dari pihak kubu Megawati - melebar menjadi malapetaka 27 Juli.
Seperti yang diumumkan secara resmi dan formal oleh pihak yang berwajib, malapetaka 27 Juli ditunggangi oleh Partai Rakyat Demokratik, yang berupaya membangkitkan kembali ideologi komunis. Lebih lanjut diinformasikan oleh yang berwajib bahwa PRD mempunyai organisasi payung (onderbouw) yaitu Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Serikat Rakyat Indonesia (SRI), Serikat Tani Nasional (STN), dan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).
Kita semua sama sekali tidak menginginkan akan terjadinya tragedi nasional lagi. Kita tidak ingin ditohok oleh komunis untuk yang ketiga kalinya. Kita ditohok yang pertama kali pada pemberontakan PKI Madiun, ditohok untuk kedua kalinya pada pemberontakan G.30S/PKI.
Setiap celaka ada gunanya, demikian peribahasa. Walaupun malapetaka 27 Juli mengakibatkan kerugian baik jiwa maupun harta benda, namun ada pula hikmahnya. Yaitu organisasi-organisasi dan LSM-LSM dapatlah disaring sehingga dapat dibedakan mana organisasi dan LSM yang mebahayakan Negara Republik Indonesia, dan mana organisasi dan LSM yang korektif membangun, yang benar dikatakan benar, yang salah dikatakan salah. Yang pertama menyalah-gunakan keterbukaan untuk tujuan yang destruktif, sehingga tidak mempunyai hak untuk hidup dalam Negara Republik Indonesia. Sedangkan yang kedua memanfaatkan keterbukaan untuk tujuan yang konstruktif, dengan sikap berani karena benar, takut karena salah, sehingga eksistensinya perlu dipelihara baik oleh masyarakat maupun oleh yang berwajib. Tolok ukur mengenai benar adalah yang sesuai dengan nilai dasar pada Pembukaan UUD-1945 dan sesuai pula dengan Kaidah Agama. Sebaliknya yang disebut salah ialah yang bertentangan dengan nilai dasar dan bertentangan dengan Kaidah Agama.
Sehubungan malapetaka 27 Juli itu terasa perlu untuk mengutip pernyataan politik DPP PPP yang antara lain seperti berikut. DPP PPP mengecam dan sangat menyesalkan terjadinya kerusuhan 27 Juli beserta seluruh rangkaian yang melatar-belakangi persitiwa tersebut dan mendesak pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap para pelakunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seluruh rakyat Indonesia perlu melakukan konsolidasi nasional dengan semangat dan jiwa kesatria, jujur dan berani melakukan introspeksi dan koreksi terhadap kekurangan dan penyimpangan yang masih dirasakan selama ini. Penyimpangan dan kekurangan yang dimaksud adalah dalam keadilan politik, keadilan sosial dan ekonomi, keadilan hukum dan keadilan di bidang lainnya.
Terakhir kiranya perlu dikemukakan di sini nilai-nilai sub-kultur dalam Kelong Rambang-Rambang yang telah pernah ditulis dalam Seri 139. Kelong Rambang-Rambang ini umurnya sudah tua. Dahulu di Selayar pakelong (penyanyi solo) yang diiringi dengan biola dan rebana disebut Parambang-rambang, oleh karena "orkes" tradisional itu selalu dibuka dengan Rambang-Rambang.
Rambang-Rambang
Ikkattepa ssamaturu'
Pakabajiki boritta
Naki'rambangang
Ansombali mate'nea
Teaki naparakatte
Sigea' siganra-ganra
Nalewa lino
Naamang pa'rasanganta
Mari membina kesepakatan
Membangun negeri kita
Berlomba berdampingan
Berlayar menuju bahagia
Janganlah di antara kita
Tumbuh silang-sengketa
Agar tercapai kestabilan
Amanlah kampung-halaman
Adapun membina kesepakatan, membangun negeri, berlomba berdampingan, jika ditarik ke atas akan terkait pada Qaidah Agama Ta'a-wanaw 'alay lBirri, tolong-menolonglah kamu berbuat baik. Selanjutnya menjauhi silang-sengketa akan terkait pada Qaidah Agama La- Ta'a-naw 'alay lItsmi wa l'Udwa-ni, janganlah kamu bertolong-tolongan berbuat dosa dan agressi. Adapun lengkapnya Qaidah Agama itu:
Ta'a-wanaw 'alay lBirri wa tTaqway wa la- Ta'a-naw 'alay lItsmi wa l'Udwa-ni (S.Al Ma-idah 2). Tolong-menolonglah kamu berbuat baik dan taqwa, dan janganlah kamu bertolong-tolongan berbuat dosa dan agressi (5:2). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 11 Agustus 1996
4 Agustus 1996
[+/-] |
235. Antara Kaidah Agama dengan Norma Hukum |
Pembahasan kaidah agama dan norma hukum ini bukan hanya sekadar mengenai aspek sanksinya belaka sebagaimana biasa dibahas orang, melainkan lebih ditekankan pada sumbernya, penerapannya, hubungannya dengan akhlaq, niat dan prosedur. Untuk lebih mempertajam perbedaan keduanya, maka terhadap agama dipakai istilah kaidah, sedangkan terhadap hukum dipergunakan istilah norma.
Kaidah dan norma kehidupan itu berfungsi untuk mengatasi konflik yang terjadi antar-individu dalam suatu komunitas, ataupun dalam skala yang lebih luas antar-komunitas. Dengan adanya kaidah dan norma itu dapatlah tercipta pemecahan konflik antar-individu maupun antar-komunitas yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda.
Kaidah agama merupakan aturan dalam kehidupan manusia yang bersumber dari Allah SWT.
Al Haqqu min Rabbika faLa- Takuwnanna mina lMumtariyna (S. Al Baqarah 147). Kebenaran itu dari Maha Pengaturmu, maka janganlah kamu termasuk golongan orang yang agnostik (2:147).
Kaidah agama itu bertujuan untuk membimbing, mengatur dan mengarahkan hidup dan kehidupan manusia demi keselamatan, kebahagian dan kesejahteraan ummat manusia dalam kehidupan di dunia menuju kehidupan akhirat. Kaidah itu termaktub dalam Kitab Suci yang berasal dari wahyu yang diturunkan kepada Rasul yang disampaikan kepada seluruh ummat manusia. Rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad SAW dan Kitab Suci yang terakhir adalah Al Quran yang merupakan kompilasi dan penyempurnaan dari Kitab-Kitab Suci yang otentik yang telah diturunkan kepada para Nabi dan Rasul sebelumnya.
Sumber kedua dari kaidah agama adalah Sunnah Rasul, yaitu segala ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Sikap diam (tidak melarang) dari Nabi Muhammad SAW terhadap suatu tradisi, termasuk pula dalam sumber kedua dari kaidah agama.
Kaidah agama mengatur dua aspek kehidupan, kehidupan dalam skala hubungan antara manusia dengan Allah yang bersifat pribadi dan kehidupan dalam skala hubungan antar-manusia ataupun antar-komunitas. Kedua aspek itu berturut-turut termasuk dalam kategori ibadah langsung dan ibadah yang tak langsung. Yang pertama disebut ibadah yang ubudiyah dan yang kedua disebut dengan ibadah yang muamalah. Kedua aspek iu hanya dibedakan dalam klasifikasi, akan tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan, tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Keduanya merupakan satu sistem, berjalan seiring dan seirama secara seimbang dan harmonis, pengaruh mempengaruhi. Kedua aspek kaidah agama itu mengandung dua unsur yaitu niat dan prosedur, serta menyangkut sanksinya ialah di dunia dan akhirat.
Ketaatan terhadap kaidah agama menyangkut pertanggung-jawaban kepada Allah SWT dan kepada komunitas. Itulah yang disebut dengan ihsan, yaitu suatu keyakinan bahwa segenap tingkah laku manusia itu senantiasa dilihat dan diketahui oleh Yang Maha Melihat dan Yang Maha Mengetahui.
Syahdan, norma hukum ada dua jenis. Jenis yang pertama adalah norma hukum yang dijabarkan dari kaidah agama. Menjabarkan kaidah agama ke dalam norma hukum itulah yang disebut Yatafaqqahu fiy dDiyni (S. At Tawbah, 122), berfiqh menjabarkan kaidah agama (9:122). Walaupun kaidah agama itu sifatnya mutlak karena bersumber dari Maha Sumber Yang Maha Mutlak, akan tetapi karena yang berolah akal dalam berfiqh itu adalah manusia, maka norma hukum hasil fiqh itu sifatnya relatif.
Jenis norma hukum yang kedua adalah yang diramu dan dirumuskan oleh manusia, sehingga jelas sifatnya juga relatif baik terhadap waktu, tempat dan komunitas. Norma hukum yang kedua ini tidak mengandung unsur niat, dan hanya sebatas prosedur belaka. Ia bersumber dari akar yang historis, dan sanksinya hanya di dunia.
Demikianlah ada perbedaan dan persamaan antara norma hukum yang bersumber dari kaidah agama dengan norma hukum yang bersumber dari akar yang historis. Perbedaan yang pertama jelas terlihat dari segi sumbernya, dan perbedaan yang kedua dari segi kandungan dan sanksinya, yaitu jenis yang pertama mengandung niat dan prosedur, sanksinya di dunia dan akhirat, sedangkan jenis yang kedua hanya mengandung sebatas prosedur, sanksinya hanya di dunia. Adapun persamaannya yaitu keduanya bersifat relatif.
Penerapan kaidah agama dan norma hukum jenis yang pertama dilakukan oleh pemerintah dari suatu negara yang berdasar Islam. Penerapan norma hukum jenis yang kedua dilakukan oleh pemerintah dari negara yang tidak berdasarkan Islam. Namun itu tidak menutup kemungkinan kaidah agama dan norma hukum jenis pertama dilakukan oleh pemerintah dari negara yang tidak berdasar Islam. Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai ideologi terbuka, utamanya dari aspek dinamika internal, dapat saja menerima kaidah agama dan norma hukum jenis yang pertama, oleh karena tidak ada pertentangan antara Pancasila dengan agama. Caranya ialah kaidah agama itu dijadikan hukum positif melalui pengukuhan menjadi undang-undang oleh lembaga yang berwewenang. Menurut UUD-1945 lembaga yang berwewenang membentuk undang-undang ialah Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai contoh yang nyata, norma hukum yang bersumber dari kaidah agama yang telah dijadikan undang-undang oleh kedua Lembaga Tinggi Negara itu adalah Undang-undang Peradilan Agama.
Allah SWT adalah Maliki Yawmi dDiyni (S. Al Fatihah, 3), Penguasa Hari Pengadilan (1:3). Keyakinan akan hari pengadilan ini melahirkan akhlaq. Artinya iman menjadi landasan akhlaq yang lahir dalam wujud ketaatan pada kaidah agama. Sedangkan dalam skala kebudayaan, ketaatan pada norma hukum positif merupakan indikator akan kualitas moral seseorang. Orang yang berakhlaq dengan sendirinya bermoral, akan tetapi orang yang bermoral belum tentu berakhlaq. Sebab orang yang taat pada norma hukum positif tidak mesti beriman. Ia hanya bertanggung-jawab sebatas pada sanksi dunia. Apabila ia menyadari bahwa di samping bertanggung-jawab pada sanksi dunia ia bertanggung-jawab pula pada sanksi akhirat, maka meningkatlah ia dari bermoral menjadi berakhlaq. Tentu saja peningkatan ini hanya dimungkinkan jika ia beriman. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 4 Agustus 1996