Dalam halaman opini harian FAJAR, edisi 23 Juli 1999, Ahkam Jayadi, yang mengaku dirinya pemerhati masalah ketatanegaraan, antara lain menulis: "Bahwasanya isu-isu agama Islam yang digulirkan oleh partai-partai Islam selama ini ternyata tidak didengar atau tidak diperdulikan oleh um(m)at Islam itu sendiri, sebuah ironi memang."
Pernyataan yang berwarna sindiran yang senada dengan Ahkam Jayadi tersebut sering saya jumpai. Maka sayapun merasa terpanggil untuk menyambut gayung sindiran itu.
Ummat Islam yang tidak pemah meninggalkan shalat wajib (termasuk Ahakam Jayadi?) dalam 24 jam sekurang-kuranguya 5 kali bersumpah:
-- AN SHLATY WNSKY WMhYAY WMMTY LLH RB AL’ALMYN, dihaca: inna shala-ti- wanusuki- wamahya-ya wamamati- lilla-hi rabbil 'a-lami-n, artinya: Sesungguhnya shalatku, persembahan pengorbananku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah Pemelihara semesta alam.
La]u mengapa tidak kurang jumlahnya ummat Islam yang shalat melanggar sumpahnya, seperti mencuri, korupsi, merampok dan seribu satu jenis kekejian, yaitu lawan dari persembahan, pengorbanan hidup dan mati untuk Allah?!
Bukankah:
-- AN ALSHLWT TNHY 'AN FHSYAa WALMNKR (S. AL'ANKBWT, 29:45), dihaca: Innash shah-ta tanha- 'anil fahsya-i wal ungkari (s. al'ankabu-t), artinya: Sesungguhnya shalat itu mencegah berbuat keji dan mungkar.
Orang melanggar sumpah yang diucapkannya dalam shalat karena pekerjaan iblis dan bala-tenteranya yang disebut syaithan. Orang melanggar sumpah lalu berbuat keji karena setan membuat ia lupa akan sumpahnya. Adapun pcngaruh yang lebih hebat lagi jika orang melanggar sumpah karena ingkar. Ia bersumpah dalam shalatnya semua karena Allah, Allah yang diprioritaskan, akan tetapi ia ingkar, yaitu menempatkan nilai-nilai wahyu dan Allah di bawah nilai kebangsaan.
Apakah ada yang menempatkan nilai-nilai wahyu dibawah nilai kebangsaan? Bung Karno pada mulanya demikian. Pancasila menurut konsep Bung Karno pada 1 Juni 1945 menempatkan substansi beban pada nomor satu, sedangkan substansi ketuhanan pada nomor lima. Boleh jadi Bung Karno menyadari akan sumpahnya di dalam shalat, sehingga pada waktu dirumuskan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, ia menerima perubahan menempatkan substansi ketuhanan dalam nomor satu, kemudian substansi kemanusiaan, barulah substansi kebangsaan. Sayangnya dalam batang-tubuh UUD-1945, substansi kebangsaan masih dalam urutan nomor satu, mengikuti konsep Pancasila dari Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 tersebut. Dari aspek asasi (baca: tidak memprioritaskan Allah) di samping aspek teknis dalam batang tubuh UUD-1945, maka perlu sekali mengadakan amandemen UUD-1945 baik dari segi substansi maupun urutan Bab-Bab dan Pasal-Pasalnya.
Apakab masih ada sekarang yang ingkar akan sumpahnya di dalam shalat dalam wujud menempatkan kebangsaan di atas nilai-nilai agama (baca: wahyu)? Saya pikir masih banyak, di antaranya ialah Ahkam Jayadi sendiri. Bacalah penutup artikelnya: "Bagi saya apapun yang kita lakukan harus senantiasa bersandar pada Pancasila dan UUD-1945 barulah kemudian kita beralih kepada tatanan nilai-nilai agama yang kita anut sebagai um(m)at beragama, bulkan sebaliknya yaitu bersandar kepada tatanan mlai-nilai agama yang kita anut dalam mengkaji permasalahan yang dihadapi oleh bangsa dan negara ini”.
Sudah berulang kali dikemukakan dalam kolom ini bahwa ada dua jenis nilai, yaitu yang mutlak dan relatif. Tatanan nilai agama yang bersumberkan wahyu kebenarannya adalab mutlak karena bersumber dari Maha Sumber Yang Maha Mutlak. Tatanan nilai budaya (antara lain Pancasila) adalah suatu kebenaran relatif. Ia diterima sebagai kebenaran budaya oleh bangsa Indonesia berdasar atas kesepakatan bersama. Demokrasi sebagai kebenaran budaya tidak mempunyai batasan yang tegas secara universal. Demokrasi di zaman Yunani Kuno hanya sebatas untuk yang bukan budak. Demokrasi barat adalah demokrasi sekuler (secula artinya dunia, bermakna pemisahan antara negara dengan agama, scheiding lussen kerk en staat). Demokrasi di Indonesia adalah tentu saja adalah: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Ummat Islam di Indonesia dapat menerima demokrasi yang deniikian itu. Bukan hanya sekadar karena berdasar atas kesepakatan, namun lebih dari itu, kata kunci dalam "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan", yakni musyawarah berasal dari bahasa Al Quran, yang dibentuk oleh akar: syin-waw-ra, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Makanan lebah sari bunga yang bersih, madunyapun bersih dan bergizi. Demokrasi itu menurut tatanan nilai wahyu harus menghasilkan sesuatu yang seperti madu.
Kembali pada apa yang dikatakan Ahkam Jayadi bahwa ternyata isu-isu agama Islam yang digulirkan oleh partai-partai Islam selama ini ternyata tidak didengar atau tidak diperdulikan oleb um(m)at Islam itu sendiri, sebaiknya kita berkaca sejarah peta politik Pemilu yang jurdil tahun 1955. Parpol Islam Masyumi yang menempati posisi pertama berbasis massa di luar Jawa, Parpol kebangsaan PNI yang nomor dua herbasis massa di Jateng, Parpol Islam NU yang nomor tiga berbasis massa di Jatim dan Parpol kafir-marxisme PKI yang nomor empat berbasis massa di Jateng. (Jika kedua Parpol yang berbasis massa di Jateng ini digabungkan suaranya, maka akan herposisi nomor 1). Peta politik hasil Pemilu tahun 1955 itu tidak berbeda dengan peta politik hasil Pemilu tahun l999 kini. Walaupun Pak Habibie dihujat oleh lawan-lawan politlknya sebagai perpanjangan tangan Orde Baru, namun Partai Golkar dapat berposisi nomor 2 (22,4%), karena Pak Habibie, yang dijadikan calon tunggal oleh Partai Golkar, adalah mantan Ketua ICMI. Sedangkan Ibu Megawati, walaupun ia perpanjangan tangan ayah dan gurunya (baca: Soekano-Orde Lama), PDlP yang berbasis massa di Jateng berposisi nomor l(33,7%). Tidak berbeda dengan peta polilik 1955 kedua Parpol (PNI dan PKI) yang berbasis massa di Jateng berposisi nomor 1 jika digabungkan suaranya. Demikianlah kenyataan palu godam sejarah peta politik 1955 dengan l999 yang tidak berubah, alias status quo. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 25 Juli 1999
25 Juli 1999
[+/-] |
382. Lupa Sumpah dan Ingkar Sumpah |
18 Juli 1999
[+/-] |
381. Bangsa-Bangsa Dahulu-Kala yang Dihukum Allah |
Allah SWT berfirman:
-- KDZBT QBLHM QWM NWH WASHhB ALRS WTSMWD . W'AAD WFR'AWN WAKHWAN LWTH (S. Q, 50:12-13), dibaca: KAdzdzabat qabluhum nu-hin wa ashha-bur rassi wa tsam-d . wa 'a-dun wa fir'aunu wa ikhwa-nu lu-th (s. qaf), artinya: Telah mendustakan sebelum mereka kaum Nuh dan yang mempunyai telaga dan Tsamud. Dan 'Ad, dan Fir'aun dan ikhwan Luth.
Kaum Nuh, Luth dan Fir'aun sudah dikenal orang secara luas. Juga telah difilmkan. Sedangkan kaum yang mempunyai telaga belum jelas siapa mereka itu. Sebab itu yang akan dibahas hanyalah kaum Tsamud dan 'Ad. Namun demikian akan dihahas sedikit Fir’aun yang dimaksud oleh ayat (50:13). Juga catatan tentang pemakaian istilah ikhwanu Luth, mengapa bukan qawmu Luth, padahal dalam ayat-ayat yang lain mereka yang ingkar terhadap Nabi Luth AS juga disebut qawmu Luth, sedangkan yang beriman kepada Nabi Luth AS disebut Ali Luth. Ini disebabkan oleh qaidah matematis angka 19 dalam Al Quran. Surah Qaf dimulai dengan huruf Qaf, maka jumlah huruf Qaf dalam Surah ini harus kelipatan 19. Pemakaian istilah qawmu Luth mengganggu qaidah matematis tersebut. Jumlah huruf Qaf dalam surah Qaf sebanyak 57 = 3 x 19. Andaikata dalam surah Qaf ini juga dipergunakan istilah Qawmu Luwth, bukan ikhwanu Luth, maka akan kelebihan satu huruf Qaf dalam surah Qaf ini, dan akan menjadi 58, sehingga tidak habis dibagi 19.
Sekitar 1800-600 sebelum Miladiyah, kaum Tsamud menguasai Arabia Barat Laut, termasuk semenanjung Sinai, yang kemudian kuwasan itu dikenal sebagai WadiulQurra, karena di lembah itu terdapat sejumlah desa yang tersebar berjauhan. Ibu kota kaum Tsamud bernama Hijr, juga disebut Mada'in Shalih, kota Shalih. Allah SWT mengutus Nabi Shalih AS kepada bangsa Tsamud. Para pemimpin kaum Tsamud menolak Nabi Shalih AS dengan menyombongkan diri. Bahkan mereka berbuat makar menyerang Nabi Shalih AS beserta keluarganya di malam hari. Akibat makar bangsa Tsamud itu, maka Allah menghukum semua yang berbuat makar itu.
-- FANZHRWA KYF KAN 'AAQBT MKRHM ANA DMRNHM WQWMHM AJM’AYN (S. ALNML, 27:51). dibaca: fanzhuru- kayfa ka-na 'a-kibatu makrihim anna- dammarna-hum wa qawmahum ajma'-ni {s. annamal), artinya: Maka perhatikanlah bagaimana akibat makar mereka itu, sesungguhnya Kami binasakan mereka dan kaumnya sekalian.
Kaum Tsamud ahli dalam membuat bangunan dan makam dengan memahat gunung-gunung batu. Puing-puing bangunan batu yang telah dihancurkan Allah SWT dengan gempa masih dapat disaksikan dewasa ini lengkap dengan batu-hersurat dalam aksara Aram. Namun kaum Tsamud sendiri sudah tidak ada bekasnya, karena telah dihancurkan Allah dengan bunyi (shayhah) sehingga tersungkur mati semuanya (11:67). Tatkala Musa (belum menjadi nabi) dalam pelariannya (karena membunuh seorang pegawai Mesir) tiba di semenanjung Sinai, ia tidak lagi mendapati kaum Tsamud, melainkan yang ada adalah kaum Midian. Kepada kaum ini Allah SWT mengutus Nabi Syu'ib AS yang mengangkat Musa menjadi menantunya.
Kaum 'Ad adalah kaum yang terkuat bangsa Semit, penghuni asli Arabia, menguasai padang pasir luas Arabia Tenggara dan pantai teluk Parsi sampai perbatasan Iraq. Al Quran menyebutkan daerah yang dikuasai kaum 'Ad itu dengan al Ahqaf (46:21). Al Ahqaf juga menjadi nama Surah. yaitu Surah yang ke-46. Karena merasa dirinya kuat, kaum 'Ad menyombongkan diri dengan mengatakan: Siapakah yang lebih unggul dari kami dalam kekuatan? ltulah yang dikatakan mereka tatkala Allah SWT mengutus Nnbi Hud AS kepada mereka. Mereka dihancurkan Allah dengan angin kencang dan dingin selama tujuh malam delapan hari terus-menerus, lalu mereka mati terguling seakan-akan tunggul-tunggul pohon kurma yang keropos (69:6-7). Kaum 'Ad itu menyangka awan yang menggantung di lembah-lembah yang membawa azab angin itu adalah awan yang akan menurunkan hujan (46:24).
-- WANH AHLK 'AADN ALAWLY (S. ALNJM, 53:50), dibaca: wa annahu— ahlaka 'a—danil u—la— (s. annajmu), artinya: Dan sesungguhnya Dia telah membinasakan (kaum) 'Ad yang terdahulu.
Nabi Hud AS beserta semua pengikutnya pindah ke Hijaz sebelum bencana angin itu datang. Mereka itu disebut kaum 'Ad yang kemudian. Jadi kaum ‘Ad yang pertama semua dibinasakan Allah SWT, sedangkan kaum Ad yang kedua pindah ke Hijaz yang kemudian menurunkan seorang yang terkenal bijaksana yaitu Luqman. Kaum 'Ad kedua ini kemudian ada yang beremigrasi dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Babilonia, di Kan'an kemudian di Mesir dan di Syria. Di Mesir mereka menaklukkan Dinasti Fir'aun.
Orang-orang Mesir Kuno menamakan kaum 'Ad kedua yang menaklukkan Mesir itu dengan sebutan Hyksos (Hyk = gembala, Sos = raja). Raja Gembala yang menaklukkan Mesir dan menumbangkan Dinasti Fir'aun itu menguasai Mesir selama kurang lebih 150 tahun (1700 - 1150 sebelum Miladiyah). Dalam kurun waktu Dinasti Raja Gembala ini hidup Nabi Yusuf AS yang diangkat sehagai Khaza-inu lArdhi (Menteri Urusan Logistik) oleh Raja yang bermimpi melihat sapi dan gandum.
-- W QAL ALMLK ANY ARY SB'A BQRt SMAN YaKLHN SB'A 'AJAF (S. YWSF, 12:43), dlibaca: wa qa-lal maliku inni— ara— saba baqara—tin ya'kuluhunna sab'un ija-f (s. yu-suf), artinya: Dan berkata Raja sesungguhnya aku lihat (dalam mimpi) tujuh ekor sapi gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus. Ini adalah sebuah isyarat dari Al Quran, bahwa pernah penguasa Mesir tidak bergelar Fir'aun (Per-Ah, Phar-Aoh).
Dinasti Raja-raja Hyksos. sebagai Dinasti XV dan XVI mendapatkan legitimasi dalam dokumen hieroglyph yang tertera dalam Daftar Penguasa Mesir di Turin. Disebutkannya pernah penguasa Mesir tidak bergelar Fir'aun melainkan Raja dalam dokumen hieroglyph di situs Turin itu menunjukkan mu'jizat Al Quran, oleh karena hiegrolyph baru dapat dibaca dalam tahun 1824 atas jasa Jean Francois Champollion (1780 - 1832).
Demikianlah, Al Quran yang telah mengisyaratkan hahwa ada ketidak-sinambungan Dinasti Fir’aun yang memerintah Mesir, yang baru terkuak secara historis setelah hieroglyph Mesir kuno telah mampu dibaca orang. Maka terhindarlah dikhotomi antara scriptural approach dengan historical approach.
Siapakah Fir’aun yang dimaksud dalam ayat (50:13) di atas itu yang ditenggelamkun Allah SWT di Laut Merah talkala mengejar Bani lsrail? Nabi Musa AS berhadapan dengan kedua Fir'aun yang terakhir dari Dinasti XIX, yaitu Ra-Mose II (1298 - 1232) Seb.M. dan Mern-Ptah (1232- 1224) Seb.M. Fir'aun Mern-Ptah inilah yang ditenggelamkan Allah SWT di Laut Merah. Sepeninggal Mern-Ptah terjadi anarki selama 24 tahun (1224- 1220) Seb.M. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 18 Juli 1999
11 Juli 1999
[+/-] |
380. Menjual Aurat dan Berbisnis Pornografi |
Yang menjual aurat adalah para foto-model yang seronok, dan yang berbisnis pornografi adalah para foto-grafer wartawan foto yang memotret foto-model yang seronok, penanggung-jawab majallah dan tabloid seronok, (seperti kelima pemimpin redaksi: Matra, Popular, Liberty, POP dan Obyektif yang sementara disidik oleh yang berwajb), para agen dan pengecer majallah dan tabloid seronok tersebut. Apakali foto-foto seronok itu tergolong pornografi? Inilah yang akan dibahas.
Pornografi berarti tulisan ataupun gambar yang merangsang hasrat seksual (cabul = obscene), yang sama sekaji tidak mempunyai kualitas seni (no artistic merit). (Pornography is obscene lierature or photography especial that having no artistic merit). Untuk membahas pornograli ini lebib lanjut akan dikemukakan dahulu anekdot di bawah ini.
Konon di suatu negeri barat yang permissif sebuah organisasi kelompok nudis (telanjang) mengundang walikota dalam upacara peringatan ulang tahun organisasinya. Sang walikota melangkah masuk ruangan upacara dalam keadaan telanjang bulat demi menghormati kelompok nudis yang mengundangnya itu. Sang walikota disambut oleh hadirin segenap anggota organisasi nudis itu dalam pakaian lengkap, juga demi untuk menghormati sang walikota.
Anekdot di atas itu sesungguhnya membawakan missi secara terselubung. Missi pertama membawa pesan bahwa moral itu relatif sifatnya. Untuk selanjutnya kata moral diganti dengan bahasa KUHP yaitu kesusilaan, artinya sila yang baik (=su). Missi kedua membawa pesan bagaimana seharusnya rnenghargai pendapat orang lain, yaitu salah satu wujud penghargaan pada hak asasi manusia. Tentu saja penghargaan kepada hak asasi manusia model walikota yang demikian itu termasuk penghargaan yang sangat kebablasan. Begitulah pula para penjual dan para pebisnis pornografi, pembenaran yang kebablasan atas porofesinya menjual aurat dan berbisnis pomografi, bahwa apa yang dibuatnya itu sesungguhnya adalah sebuah seni keindahan dan mengikuti kemauan pasar dan tidaklah melanggar kesusilaan.
Kiranya perlu dijelaskan istilah akhlaq dengan kesusilaan, untuk enghindarkan kerancuan peristilahan. Aktualisasi nilai Syari’at yang berlandaskan nilai aqidah berwujudkan ibadah dan ibadah membuahkan akhiaq. Nilai-nilai Al Furqan (aqidah dan syari'at) adalah kebenaran mutlak, karena bersumberkan wahyu dari Yang Maha Mutlak:
-- ALHQ MN RBK (S. ALBQRt, 2:147), dibaca: alhaqqu mir rabbik, artinya: Kebenaran itu dari Maha Pemeliharamu. Sedangkan nilai budaya dianggap benar berdasar atas kesepakatan komunitas. Aktualisasi nilai budaya membuahkan kesusilaan. Demikianlah akhlaq mutlak sifatnya sedangkan kesusilaan relatif sifatnya.
Di negara-negara barat kebebasan seks sudah membudaya, oleh karena kebebasan seks itu sudah disepakati oleh hampir semua anggota kornunitas. Huhungan seks tidak lain adalah masalah perdata. Kekuasaan lembaga peradilan berdasar atas visi bahwa rentang kekuasaan lembaga peradilan hanya menjangkau pintu kamar tidur. Barulah menjadi urusan aparat penegak hukum jika si pemilik barang yaitu suami dari isteri, ataupun isteri dari suami yang herhubungan seks itu berkeberatan. Sayangnya visi ini dianut oleh perundang-undangan di Indonesia, karena tertera dalam pasal 284 KUHP, bahwa bermukah (overspel = keliwat main) itu hanya sekadar delik aduan. Dalam konteks ini hukurn positif kita bertentangan dengan kultur masyarakat.
Dalani Syari’at dikenal istilah ALhKAM, ini adalah bahasa Al Quran (2:188), dibaca: al hukka-m, yang untuk seterusnya dituliskan hukkam. Hukkam ini terdiri atas ketentuan-ketentuan sebagai peringatan bagi warga masyarakat untuk tidak nelakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, dan wewenang bagi penguasa untuk memberikan sanksi kepada siapapun yang ketentuan-ketentuan tersehut. Imam Muhammad ibn Idris asSyafi'i (767-820) pendiri Madzhab Syafi’i menambah satu komponen dalam hukkam yaitu kultur masyarakat. Terkenallah fatwanya qawlu lqadiym (fatwa terdahulu) dan qawlu ljadiyd (fatwa terkemudian). Qawlu lqadiym mengambil masukan dari kultur masyarakat Baghdad sedangkan qawlu ljadiyd mengambil masukan dari kultur masyarakat Mesir. Dengan demikian hukkam itu terdiri atas tiga komponen: Pertama, ketentuan-ketentuan sebagai peringatan bagi warga masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, yang sekarang ini dikenal sebagai hukum-hukum positif, seperti misalnya di Indonesia KUHP. Komponen kedua dari hukkam adalah penguasa yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada siapapun yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut, tercakup pula di dalamnya struktur organisasinya misalnya apakah hakim itu secara strukural di bawah lembaga eksekutif dan secara fungsional di bawah lembaga judikatif seperti di Indonesia ini, yang oleh Pemerintah Habibie dijanjikan akan diubah menjadi ba struktural maupun fungsional hakim-hakim dimasukkan ke dalam lembaga yudikatif seluruhnya. Apakah lembaga kejaksaan di bawah eksekutif seperti di Indonesia, atau setaraf dengan eksekutif seperti diusulkan beberapa pakar, ataukah barangkali lembaga kejaksaan mempunyai pasukan khusus sendiri untuk menangkap orang seperti dalam film Justice Bao. Komponen ketiga dari hukkam adalah kultur masyanakat, yang menjadi sumber tempat menimba komponen pertama yang tidak bertentangan dengan Nash.
Maka kata kesusilaan yang relatif sifatnya itu yang tercantum dalam fasal 282 KUHP haruslah ditafsirkan dengan mengacu kepada kultur masyarakat Indonesia. Sebab apabila penafsiran penegak hukum (komponen kedua) terhadap hukum positif (komponen pertama) tidak sama dengan penafsiran masyarakat (komponen ketiga), maka masyarakat akan ikut pula menjatuhkan sanksi, menjadi hakim beramai-ramai yang tidak mengenal asas praduga tak bersalah.
Alhasil, penafsiran mengenai kesusilaan dalam fasal 282 KUHP itu adalah pornografi dalam wujud tulisan-tulisan, dan foto-foto yang seronok yang dipublikasikan oleh antara lain kelima majallah dan tabloid yang Pemrednya sementara disidik oleh kepolisian. Bravo Polri RI. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 11 Juli 1999
4 Juli 1999
[+/-] |
379. Nabi Muhammad SAW Sebagai Diplomat dan Negarawan |
Ada dua thema yang biasa dikemukakan dalam memperingati mawlid ataupun mawlud Nabi Muhammad RasuluLlah SAW, pertama:
-- W MA ARSLNK ALA RhMt LL’ALMYN (S.ALANBYAa, 107) dibaca: wama- arsa1na-ka illa- rahmatal lil'a-lami-n (s. alanbiyai), artinya: tidaklah Kami mengutusmu (hai Muhammad) melainkan untuk rahmat semesta alam. Kedua:
-- LQD KAN LKM FY RSWL ALLH ASWthSNt (S. ALAHZAB, 21), dibaca: laqad ka-na lakum fi- rasu-luLla-hi uswatun hasanah (S. al ahza-b), artinya: Sesungguhnya pada rasul Allah ada panutan yang baik bagimu.
Seri 378 yang baru lalu mengambil thema ayat (21:107) kutipan pertama di atas, sedangkan Seri 379 mengambil thema ayat (33:21) kutipan kedua di atas. Panutan yang baik tersebut dibatasi dalam hal Nabi Muhammad SAW sehagai diplomat dan negarawan yang mempunyai visi yang mendalam dan jangkauan ke depan. Saya pikir para anggota MPR yang baru secara obyektif sangatlah patut mengadakan penilaian di antara Habibie dengan Megawati dengan memakai kriteria diplomat dan neagarawan yang mempunyai visi tersebut sebagai tolok ukur evaluasi. Yang jelas Megawati tidak mempunyai visi yang stabil dalam konteks amandemen UUD-1945, pada mulanya ngotot tidak mau mengubah, lalu belakangan ini sudah mau mengubah. Jadi visinya dipengaruhi oleh situasi politik, bukan visi yang menjadi pedoman dalam mengambil keputusan politik.
RasuluLlah SAW mempunyai visi bahwa kelak negara-kota Madinah akan melebar mencakup negara-kota Makkah yang masih dikuasai oleh qaum kafir Quraisy. Visi Nabi Muhammad SAW akhirnya mendapatkan pembenaran dari Allah SWT, dengan turunnya ayat:
-- LQD SHDQ ALLH RSWLH ALRaYA BALhQ LTDKHLN ALMSJD ALhRAM ANSYAa ALLH AMNYN (S. ALFTH, 27), dibaca: laqad shadaqaLla-hu rasu-lahur ru'ya- bil haqqi latadkhulannal masjidal hara-ma insya-Alla-hu a-mini-n (s. alfath), artinya: Sesungguhnya Allah telah menyatakan pembenaran ru’yah (visi) rasulNya yang benar, yaitu demi sesungguhnya engkau akan masuk ke Al Masjid Al Haram insya Allah dengan aman (48:27).
Karena ayat (48:27) tersebut tidak menyebutkan waktu bilakah visi itu akan menjadi kenyataan, maka Nabi Muhammad SAW dengan beberapa sahabat berangkat ke Makkah dalam musim haji untuk mengadakan penjajakan. (Upacara haji ini yang dilakukan oleb orang-orang Arab penyembah berhala, menunjukkan bahwa masih ada Syari’at Nabi Isma'il AS yang membekas dalam kalangan orang-orang Arab penyembah berhala tersebut. Upaya penjajakan itu merupakan langkah kemenangan diplomatik Nabi Muhammad SAW dengan disepakatinya Perjanjian Hudaibiyah antara negara-kota Madinah dengan negara-kota Makkah. Kemenangan diplomatik dalam wujud Perjanjian Hudaibiyah (disebut demikian karena permusyawaratan diplomatik itu mengambil tempat di Hudaibiyah) bukan hanya sekadar karena adanya diktum dalam perjanjian itu bahwa tahun berikutnya ummat Islam dari Madinah diperbolehkan masuk ke Al Masjid Al Haram dengan aman, melainkan yang tidak kurang pula pentingnya ialah adanya pengakuan negara-kota Makkah atas eksistensi negara-kota Madinah.
Ada hal yang menarik dalam musyawarah diplomatik tersebut baik dalam hal substansi maupun dalam hal proses, yang memperlihatkan visi yang mendalam dan jangkauan ke depan dari Nabi Muhammad SAW sebagai seorang diplomat dan negarawan yang sepintas lalu kelihataannya hasil perjanjian itu memenangkan pihak negara-kota Makkah, bahkan dalam pandangan para sahabat, termasuk ‘Umar ibn Khattab, berpandangan demikian pula, yaitu pihak negara-kota Madinah terletak di bawah angin.
Tatkala Nabi Muhammad SAW menginstruksikan kepada salah seorang juru—tulis beliau, yaltu ‘Ali bin Abi Thalib RA: ‘Tuliskan, BSM ALLH AL RhMN AL RhYM, dibaca: bismiLlahir rahma-nir rahi-m. Suhail utusan dari negara-kota Makkah menyela menyatakan ketidak setujuannya, ia berkata: Allah kita kenal, tetapi apa itu arrhma-n dan arrahi-m, saya tidak kenal (Orang ‘Arab pra-Islam sudah mengenal Allah, ajaran tawhid yang masih terpelihara dari Nabi Isma'il AS. buktinya ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah, artinya abdi Allah). Maka RasuluLlah SAW menanyakan apa maunya Suhail. Lalu Suhail mengusulkan: "Tuliskan saja seperti menurut yang biasa dipakai oleh nenek moyang kita, Bismika Allahumma" (artinya atas namamu, ya Allah). Usul Suhail diterima. Kemudian Nabi Muhammad SAW melanjutkan: “Tuliskan lebih lanjut, inilah perjanjian antara Muhammad RasuluLlah,” baru saja sampai di situ ucapan RasuluLlah SAW, Suhail memotong: “Hai Muhammad. justru engkau menyatakan dirimu utusan Allah, maka kita perang. Tuliskan saja Muhammad bin Abdullah". RasuluLlah SAW menerima lagi usul amandemen Suhail tersebut. Yang dianggap paling merugikan pihak negara-kota Madinah, baik dalam pandangan para sahabat, maupun dalam pandangan utusan negara-kota Makkah ialah diktum dari Perjanjian Hudaibiyah yang berikut: Apabila ada warga Makkah yang melarikan diri ke Madinah, maka pihak Makkah berhak mengambil kembali pelarian itu. Jika ada warga Madinah yang ke Makkah, maka pihak Madinah tidak mempunyai hak untuk mengambilnya kembali ke Madinah.
Setelah utusan Makkah Suhail meninggalkan tempat, maka RasuluLlah SAW menjelaskan: BSMALLHALRHMNALRHYM, dibaca: bismiLlahir rahma-nir rahi-m, diganti dengan Bismika Allahumma, secara substantif tidak ada perbedaannya, keduanya mengandung makna atas nama Allah. Demikian pula Muhammad RasuluLlah diganti dengan Muhammad bin Abdullah, secara substantif tidak ada perbedaanya juga, keduanya mengandung Allah dan Muhammad. Tentang diktum yang dinilai merugikan pihak negara-kota Madinah, bahwa di dalam diktum itu tersirat kemenangan diplomatik Nabi Muhammad SAW. Apa yang sesungguhnya yang tersirat ialah para da’i dari Madinah dengan bebas pindah ke Makkah, menyebarkan Islam dalam negara kota tersebut. Warga Makkah yang masuk Islam (hasil dari penyusup resmi para da’i dari Madinah tadi itu), tidak melarikan diri ke Madinah, melainkan membentuk komunitas pemukiman di luar kota Madinah, sehingga mereka itu tidak terikat oleh Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 4 Juli 1999