11 Juli 1999

380. Menjual Aurat dan Berbisnis Pornografi

Yang menjual aurat adalah para foto-model yang seronok, dan yang berbisnis pornografi adalah para foto-grafer wartawan foto yang memotret foto-model yang seronok, penanggung-jawab majallah dan tabloid seronok, (seperti kelima pemimpin redaksi: Matra, Popular, Liberty, POP dan Obyektif yang sementara disidik oleh yang berwajb), para agen dan pengecer majallah dan tabloid seronok tersebut. Apakali foto-foto seronok itu tergolong pornografi? Inilah yang akan dibahas.

Pornografi berarti tulisan ataupun gambar yang merangsang hasrat seksual (cabul = obscene), yang sama sekaji tidak mempunyai kualitas seni (no artistic merit). (Pornography is obscene lierature or photography especial that having no artistic merit). Untuk membahas pornograli ini lebib lanjut akan dikemukakan dahulu anekdot di bawah ini.

Konon di suatu negeri barat yang permissif sebuah organisasi kelompok nudis (telanjang) mengundang walikota dalam upacara peringatan ulang tahun organisasinya. Sang walikota melangkah masuk ruangan upacara dalam keadaan telanjang bulat demi menghormati kelompok nudis yang mengundangnya itu. Sang walikota disambut oleh hadirin segenap anggota organisasi nudis itu dalam pakaian lengkap, juga demi untuk menghormati sang walikota.

Anekdot di atas itu sesungguhnya membawakan missi secara terselubung. Missi pertama membawa pesan bahwa moral itu relatif sifatnya. Untuk selanjutnya kata moral diganti dengan bahasa KUHP yaitu kesusilaan, artinya sila yang baik (=su). Missi kedua membawa pesan bagaimana seharusnya rnenghargai pendapat orang lain, yaitu salah satu wujud penghargaan pada hak asasi manusia. Tentu saja penghargaan kepada hak asasi manusia model walikota yang demikian itu termasuk penghargaan yang sangat kebablasan. Begitulah pula para penjual dan para pebisnis pornografi, pembenaran yang kebablasan atas porofesinya menjual aurat dan berbisnis pomografi, bahwa apa yang dibuatnya itu sesungguhnya adalah sebuah seni keindahan dan mengikuti kemauan pasar dan tidaklah melanggar kesusilaan.

Kiranya perlu dijelaskan istilah akhlaq dengan kesusilaan, untuk enghindarkan kerancuan peristilahan. Aktualisasi nilai Syari’at yang berlandaskan nilai aqidah berwujudkan ibadah dan ibadah membuahkan akhiaq. Nilai-nilai Al Furqan (aqidah dan syari'at) adalah kebenaran mutlak, karena bersumberkan wahyu dari Yang Maha Mutlak:
-- ALHQ MN RBK (S. ALBQRt, 2:147), dibaca: alhaqqu mir rabbik, artinya: Kebenaran itu dari Maha Pemeliharamu. Sedangkan nilai budaya dianggap benar berdasar atas kesepakatan komunitas. Aktualisasi nilai budaya membuahkan kesusilaan. Demikianlah akhlaq mutlak sifatnya sedangkan kesusilaan relatif sifatnya.

Di negara-negara barat kebebasan seks sudah membudaya, oleh karena kebebasan seks itu sudah disepakati oleh hampir semua anggota kornunitas. Huhungan seks tidak lain adalah masalah perdata. Kekuasaan lembaga peradilan berdasar atas visi bahwa rentang kekuasaan lembaga peradilan hanya menjangkau pintu kamar tidur. Barulah menjadi urusan aparat penegak hukum jika si pemilik barang yaitu suami dari isteri, ataupun isteri dari suami yang herhubungan seks itu berkeberatan. Sayangnya visi ini dianut oleh perundang-undangan di Indonesia, karena tertera dalam pasal 284 KUHP, bahwa bermukah (overspel = keliwat main) itu hanya sekadar delik aduan. Dalam konteks ini hukurn positif kita bertentangan dengan kultur masyarakat.

Dalani Syari’at dikenal istilah ALhKAM, ini adalah bahasa Al Quran (2:188), dibaca: al hukka-m, yang untuk seterusnya dituliskan hukkam. Hukkam ini terdiri atas ketentuan-ketentuan sebagai peringatan bagi warga masyarakat untuk tidak nelakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, dan wewenang bagi penguasa untuk memberikan sanksi kepada siapapun yang ketentuan-ketentuan tersehut. Imam Muhammad ibn Idris asSyafi'i (767-820) pendiri Madzhab Syafi’i menambah satu komponen dalam hukkam yaitu kultur masyarakat. Terkenallah fatwanya qawlu lqadiym (fatwa terdahulu) dan qawlu ljadiyd (fatwa terkemudian). Qawlu lqadiym mengambil masukan dari kultur masyarakat Baghdad sedangkan qawlu ljadiyd mengambil masukan dari kultur masyarakat Mesir. Dengan demikian hukkam itu terdiri atas tiga komponen: Pertama, ketentuan-ketentuan sebagai peringatan bagi warga masyarakat untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang, yang sekarang ini dikenal sebagai hukum-hukum positif, seperti misalnya di Indonesia KUHP. Komponen kedua dari hukkam adalah penguasa yang berwenang untuk memberikan sanksi kepada siapapun yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut, tercakup pula di dalamnya struktur organisasinya misalnya apakah hakim itu secara strukural di bawah lembaga eksekutif dan secara fungsional di bawah lembaga judikatif seperti di Indonesia ini, yang oleh Pemerintah Habibie dijanjikan akan diubah menjadi ba struktural maupun fungsional hakim-hakim dimasukkan ke dalam lembaga yudikatif seluruhnya. Apakah lembaga kejaksaan di bawah eksekutif seperti di Indonesia, atau setaraf dengan eksekutif seperti diusulkan beberapa pakar, ataukah barangkali lembaga kejaksaan mempunyai pasukan khusus sendiri untuk menangkap orang seperti dalam film Justice Bao. Komponen ketiga dari hukkam adalah kultur masyanakat, yang menjadi sumber tempat menimba komponen pertama yang tidak bertentangan dengan Nash.

Maka kata kesusilaan yang relatif sifatnya itu yang tercantum dalam fasal 282 KUHP haruslah ditafsirkan dengan mengacu kepada kultur masyarakat Indonesia. Sebab apabila penafsiran penegak hukum (komponen kedua) terhadap hukum positif (komponen pertama) tidak sama dengan penafsiran masyarakat (komponen ketiga), maka masyarakat akan ikut pula menjatuhkan sanksi, menjadi hakim beramai-ramai yang tidak mengenal asas praduga tak bersalah.

Alhasil, penafsiran mengenai kesusilaan dalam fasal 282 KUHP itu adalah pornografi dalam wujud tulisan-tulisan, dan foto-foto yang seronok yang dipublikasikan oleh antara lain kelima majallah dan tabloid yang Pemrednya sementara disidik oleh kepolisian. Bravo Polri RI. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 11 Juli 1999