Di luar hujan deras bersinergi dengan banjir kiriman. Itu menghasilkan luaran yang berwujud air selokan kecil melimpah menggenangi pekarangan rumah menyapu-nyapu pelataran teras. Juga melimpah mengisi jalan di muka rumah. Untunglah loper telah sempat mengantar Harian "FAJAR" edisi Minggu, 19 Desember '99, sebelum jalan di depan rumah menganak sungai. Saya telah bersiap-siap dan sedang menunggu taksi panggilan untuk menghadiri musyawarah Penyusunan Program Kerja Pesantren IMMIM Putera. Karena hari hujan saya rencanakan pergi ke pesantren dengan taksi. Sebab untuk naik pete'-pete' (oplet) harus mengarungi anak sungai untuk sampai ke jalur pete'-pete'. Stasiun becak yang dekat rumah pagi itu sunyi dari becak, jadi saya tidak dapat naik becak ke jalur pete'-pete'. Seperti saya pernah tulis dalam Seri 383, bahwa "sejak keadaan fisik saya tidak memungkinkan menyetir jauh-jauh, sedangkan saya tidak dapat menggaji sopir pribadi, lagi pula anak-anak yang dapat menyetir sudah mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, ditambah pula sewa taksi yang mahal, maka kalau bepergian di dalam kota saya naik kendaraan umum pete'-pete'. Saya dapat belajar dan merasakan hidup berdemokrasi dengan naik pete'-pete' ini." Demikian yang telah saya tulis dalam Seri 383 tersebut. Mengapa saya tulis tetek-bengek berkendaraan ini, oleh karena ada relevansinya dengan judul di atas.
Sambil menunggu taksi, saya baca halaman 2 Harian "FAJAR" edisi Minggu, 19 Desember '99 tentang Laporan Utama yang berkisar di sekitar ribut-ribut soal mobil DPRD. Ini beberapa komentar yang telah saya baca:
"Itu sebagai tanda bahwa anggota DPRD Sulsel sekarang ini masih punya pola pikir Orde Baru. Saya kira tidak harus jalannya pemerintahan dikontrol dari atas mobil. Mereka memperlihatkan perilaku priyai dan tidak punya sence of crisis. Mereka itu manja dan tidak ikut merasakan krisis yang dialami oleh masyarakat yang diwakilinya. Sebagai wakil rakyat sebaiknya mereka itu menjadi teladan di tengah-tangah masyarakat. Jangan justru memperlihatkan pola hidup yang konsumeristik. Ngototnya mereka minta jatah mobil berarti tidak mempertimbangkan kemampuan pendapatan daerah yang terperosok akibat krisis yang berkepanjangan. Untuk datang dan pergi ke kantor, karena memang belum punya mobil sendiri, ya, gunakan dululah yang ada, maksudnya kendaraan umum becak dan pete'-pete'. Ini baru bertugas 3-4 bulan. Bagaimana kalau masa kerja dewan sudah 1 tahun. Mungkin bukan lagi permintaan mobil, tetapi sudah memelas lagi untuk mendapatkan rumah pribadi." Demikianlah penilaian miring dari beberapa orang yang saya baca pada halaman 2.
Demikianlah hari Ahad pagi itu berlalu dari menit ke menit saya membaca sambil menunggu taksi atapun menunggu taksi sambil membaca. Namun taksi tak kunjung datang. Asal ditelepon ulang bagaimana apa sudah ada taksi yang menuju ke Kompleks Ujungpandang Baru, selalu mendapat jawaban, sabar pak, sedang diusahakan. Biasanya memang dalam keadaan cuaca yang tidak bersahabat itu jaranglah ada sopir taksi yang berani datang ke kompleks yang direndam air itu, karena takut terperangkap air. Sebab seperti yang pernah saya tulis bertahun-tahun lalu bahwa sejak dibangun jalan tol (baca: tanggul) yang menghadang debit air yang melimpah, maka kompleks perumahan Ujungpandang Baru dan sekitarnya berfungsi sebagai perangkap air. (Walaupun telah keluar Kepres yang mengembalikan Kotamadya ini ke nama asalnya yaitu Makassar, namun saya pikir nama Ujungpandang Baru tetaplah demikian, tidaklah perlu semua nama Ujungpandang diubah pula menjadi Makassar. Mengapa? Karena di kotamadya ini ada kecamatan bernama Kecamatan Ujungpandang. Kalau Kecamatan Ujungpandang diubah pula menjadi Kecamatan Makassar, akan terjadi kerancuan, sebab dalam kotamadya ini ada juga kecamatan yang bernama Kecamatan Makassar).
Akhirnya saya putuskan untuk tidak menghadiri rapat. Pada waktu saya membaca komentar yang miring itu di luar hujan bertambah deras, serta banjir kiriman bertambah lantang. Saya bayangkan bagaimana jadinya jika diri saya seorang ketua komisi di DPRD dan harus memimpin sidang komisi dan harus datang ke gedung DPRD dengan pete'-pete'. Salah satu hikmah puasa ialah dapat merasakan derita kelaparan orang-orang yang dalam hidup sehari-harinya bergumul dengan lapar. Orang yang berteori saja dalam seminar lapar tidak akan dapat menghayati apa itu lapar. Berat mata memandang lebih berat bahu memikul. Saya ragu apakah mereka yang mengadakan penilaian yang miring itu pernah naik pete'-pete' dari rumah ke kantornya! Mengapa? Karena hanya orang berpuasa saja yang dapat merasakan derita orang-orang bergumul dengan lapar.
***
Salah satu sikap mental masyarakat agraris ialah visi mereka mengenai harta benda. Mereka memandang harta benda itu dari segi nilai status sosial pemiliknya, intinya dari segi penampilan yang konsumeristik. Al Quran mengajarkan kita akan sikap mental masyarakat madani, yaitu melihat hata benda itu dari segi nilai fungsionalnya. Tujuan puasa ialah untuk meningkatkan diri dari beriman menjadi bertaqwa. Salah satu ciri bertaqwa ialah: W MMA RZQNHM YNFQWN (S. ALBQRT, 3), dibaca: Wa mimma- razaqna-hum yunfiqu-n (s. albaqarah), artinya: Dan dari sebagian yang Kami rezekikan kepada mareka, diinfaqkannya (dikeluarkannya untuk fungsi sosial), (S. Sapi betina, 2:3).
Pada umumnya yang menilai anggota DPRD seperti yang ditaruh di antara dua tanda kutip yang telah dikutip di atas itu, mempunyai sikap mental masyarakat agraris, yaitu memandang mobil itu dari segi penampilan yang konsumeristik. Padahal menurut ajaran Al Quran mobil itu harus dilihat dari segi fungsionalnya, yaitu sikap mental yang melahirkan visi yang dimiliki oleh masyarakat madani.
Alhasil dengan sikap mental masyarakat madani yang memandang mobil itu dari segi fungsionalnya, disertai dengan sence of crisis, para anggota DPRD yang belum mempunyai kendaraan sendiri sangatlah patut dan berhak untuk memperoleh mobil sederhana, yang tangan keduapun (twede hand) jadi, yang penting mesinnya, remnya dan perlengkapan lainnya berfungsi dengan baik. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 26 Desember 1999
26 Desember 1999
[+/-] |
404. Mobil Bagi Anggota DPRD |
19 Desember 1999
[+/-] |
403. Kaitan Ayat (2:185) Dengan (9:36) |
Bunyi ayat itu masing-masing seperti berikut:
SYHR RMDHAN ALDZY ANZL FYH ALQRAN HDY LLNAS WBYNT MN ALHDY WALFRQAN FMN SYHD MNKM ALSYHR FLYSHMH (S. ALBAQRT, 185), dibaca: Syahru ramadha-nal lazi- unzila fi-hil qur.a-nu hudal linna-si wabayyina-tim minal huda- walfrqa-ni faman syahida minkumusy syahra falyasumhu (S. albaqarah), artinya: Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al Quran petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk itu dan pemisah (antara yang baik dengan yang buruk), maka (jika) di antara kamu telah menyaksikan bulan itu haruslah dipuasakannya (2:185).
AN 'ADT ALSYHWR 'AND ALLH ATSNA 'ASYR SYHRA (S. ALTWT, 36), dibaca: Inna 'iddatasy syuhu-ri 'indaLla-hitsna- 'asyara syahran (S. attawbah), artinya: Sesungguhnya perhitungan bulan disisi Allah adalah 12 bulan (9:36).
Kaitan kedua ayat itu akan ditunjukkan dengan memakai ilmu bantu: sistem penanggalan, ilmu falak dan ilmu bumi-falak. Kita mulai dahulu dengan penanggalan Romawi. Hitungan tahun dimulai dari kelahiran raja Makedonia, Iskandar Agung. Perhitungan hari dalam setahun berdasar atas sistem syamsiyah (solar): Satu tahun menurut sistem ini, adalah satu kali matahari menempuh lintasan garis ekliptika di bola langit, ini dalam pandangan geosentrik. Kalau dalam pandangan sekarang, satu kali bumi mengelilingi matahari dalam bidang ekliptika. Lamanya sekitar 365,25 hari.
Perhitungan bulan berdasar atas penyesuaian sistem qamariyah (lunar) ke sistem syamsiyah. Satu bulan qamariyah adalah dari bulan sabit baru (hilal) ke bulan sabit baru, ini berganti-ganti 29 dengan 30 hari. Namun tidak selamanya angka 29 dan 30 ini silih berganti. Dengan demikian satu tahun terdiri atas sekitar 12,3 bulan. Karena ini bukan bilangan bulat, maka dibulatkan menjadi 12 bulan dalam satu tahun. Kalau dinyatakan dalam hari, kelebihan 0,23 itu adalah 365 - 354 = 11 hari. Maka diadakanlah penyesuaian dari sistem qamariyah ke sistem syamsiyah dengan cara seperti berikut: setiap bulan dianggap 30 hari, kecuali bulan kelima, jumlahnya cuma 28 hari. Ini berarti 1 tahun jumlahnya hanya 11 x 30 + 28 = 358 hari. Adapun 7 hari yang tersisa (365 - 358) disisipkan satu hari berselang seling, kecuali bulan 10 dan 11 berturut-turut 31 hari. Pecahan 0,25 hari yang tersisa dikumpul setelah 4 tahun menjadi 1 hari, lalu setiap 4 tahun yang 1 hari itu diselipkan pada bulan kelima, sehingga 28 menjadi 29. Penanggalan Romawi ini kemudian diubah sedikit oleh Julius Caesar, yaitu dengan mengubah posisi bulan keempat menjadi bulan pertama. Penanggalan yang diubah oleh Julius Caesar ini disebut penanggalan Julius (Julian Calendar).
Penanggalan Miladiyah (Masehi) dimulai dari kelahiran Nabi 'Isa AS. (Sebenarnya kelahiran Nabi 'Isa AS adalah 8 - 6 tahun lebih dahulu dari tahun menurut sistem kalender Miladiyah). Pada dasarnya meniru sistem penanggalan Romawi- Julius. Pada mulanya penanggalan Miladiyah juga menganggap 1 tahun = 365,25 hari. Kemudian dikoreksi menjadi 4 digit di belakang koma, yaitu 365,2422 hari, jadi berbeda 0,0078 hari setiap tahun. Pada tahun 1582 M. atas inisiatif Paus Gregorius XIII diadakanlah revisi penanggalan Miladiyah. Hasilnya ialah tanggal 5 Oktober 1582 M. harus dianggap 15 Oktober 1582 M. Artinya tanggal 5 s/d 14 Oktober 1582 M. dianggap tidak pernah ada, jadi dikoreksi 10 hari. (Koreksi itu tidak akurat, menurut perhitungan saya seharusnya 12,3406 dibulatkan 12 hari). Penanggalan Miladiyah yang sudah direvisi ini disebut penanggalan Gregorius (Gregorian Calendar).
Bangsa Arab di zaman pra-Islam memakai patokan tahun bukan berupa bilangan, melainkan topic of the year. Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut tahun gajah, karena yang menjadi topic of the year pada waktu itu adalah peristiwa hancurnya tentara bergajah Abraha. Sistem ini berlaku juga di zaman Islam, hingga Khalifah Umar ibn Khattab mengubahnya dengan sistem bilangan, yaitu dimulai dari peristiwa hijrah, sehingga disebutlah penanggalan Hijriyah.
Dalam penanggalan pra-Islam ini perhitungan bulan juga berdasar atas penyesuaian sistem qamariyah ke sistem syamsiyah. Namun memakai cara lain untuk menaggulangi kelebihan yang 11 hari tersebut. Yaitu dengan mengumpulkan kelebihan itu setelah tiga tahun. Jadi dalam tiga tahun terkumpullah sekitar 33 hari. Ini dijadikan 1 bulan. Dengan demikian setiap tiga tahun, jumlah bulan dalam tahun tersebut sebanyak 13. Karena penyesuaian ke sistem syamsiyah dalam zaman pra-Islam itulah, maka bulan ke-9 tetap dalam musim panas, sehingga bulan itu diberi bernama Ramadhan, membakar.
Sistem penanggalan pra-Islam ini masih berlaku di kalangan Ummat Islam, hingga turun ayat (9:36), yang menegaskan jumlah bulan 12, artinya dalam perhitungan bulan tidak dibolehkan melakukan penyesuaian sistem qamariyah ke sistem syamsiyah yang mengakibatkan ada tahun dengan jumlah bulannya 13. Demikianlah ayat (9:36) menggariskan sistem qamariyah murni. Ini mempermudah penanggalan Hijriyah, karena orang hanya berurusan dengan bilangan bulat, jadi tidak perlu mengoreksi bilangan pecahan seperti dalam penanggalan Romawi-Julius dan penanggalan Gregorius. Akibat yang lain ialah 1 tahun qamariyah lebih pendek 11 hari dari 1 tahun syamsiyah.
***
Bumi berpusing pada sumbunya dengan kemiringan 23,5o terhadap bidang ekliptika. Ini menyebabkan dilihat dari bumi proyeksi lintasan matahari pada bola langit berupa garis sinusoide yang garis tengahnya adalah garis Khattulistiwa, jika bola langit itu diratakan menjadi bidang datar seperti peta bumi dengan sistem Mercator. Kedua puncak sinusoide sebelah utara dan selatan Khattulistiwa terletak masing-masing pada garis 23,5o lintang utara (Tropic of Cancer) dan garis 23,5o lintang selatan (Tropic of Capricorn).
Karena 1 tahun qamariyah lebih pendek 11 hari dari 1 tahun syamsiyah, maka seluruh bulan dalam penanggalan Hijriyah setiap 1 tahun syamsiyah juga bergeser 11 hari, sehingga bulan Ramadhan tidaklah lagi tetap bulan membakar. Ibadah puasa dan ibadah haji tidaklah dilaksanakan dalam musim yang tetap.
Akibat matahari pada bola langit bergerak berganti-ganti ke garis Tropic of Cancer di utara dan garis Tropic of Capricorn di selatan, maka terjadilah keadilan. Penduduk pada kedua belahan bumi utara dan selatan secara bergantian berpuasa pada hari yang panjang. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 19 Desember 1999
12 Desember 1999
[+/-] |
402. Undang-undang Tidak Boleh Berlaku Surut?, dan Hukum Harus Ditegakkan Sekalipun Langit Akan Runtuh? |
Firman Allah SWT: YAYHA ALDZYN AMNWA KTB 'ALYKM ALSHYAM KMA KTB ALY ALDZYN MN QBLKM L'ALKM TTQWN (S. ALBQRT, 183), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- kutiba 'alaykumush shiya-mu kama- kutiba 'alal ladzi-na ming qablikum la'allkum tattaqu-n (s. albaqarah), artinya: Hai orang-orang beriman, diperlukan atas kamu berpuasa, seperti diperlukan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa (S. Sapi betina, 2:183).
Ayat (2:183) tersebut sangat populer dida'wakan pada permulaan bulan puasa. Ayat itu menjelaskan bahwa puasa merupakan wasilah supaya orang beriman mencapai derajat taqwa. La'allakum tattaqu-n, supaya kamu bertaqwa. Tujuan akhir adalah bertaqwa, derajat yang lebih tinggi dari beriman. Ayat (2:183) adalah berorientasi luaran (output oriented) yang bernilai tambah.
Di bangku SMP diajarkan makna peribahasa: Bahasa menunjukkan bangsa, yaitu tutur sapa dan perilaku sopan santun seseorang menunjukkan bahwa ia dari keturunan orang baik-baik. Sesungguhnya makna peribahasa itu dapat dikembangkan lebih jauh. Bahasa sebuah bangsa menunjukkan visi bangsa itu. Menanak nasi, appallu kanre, mannasu nanre, menunjukkan visi beberapa rumpun dari ras Melayu berorientasi luaran yang bernilai tambah, karena nasi mempunyai nilai tambah ketimbang beras. (Ada penyimpangan yaitu rumah sakit, balla' garring, bukan rumah sehat, balla' gassing, tetapi ini pengaruh dari visi Belanda: zieken huis, ziek = sakit, huis = rumah).
Berdasar atas prinsip berorientasi luaran yang bernilai tambah, akan dibahas kedua penggal dari judul di atas.
Narkoba mengancam kelanjutan generasi anak-anak bangsa. Masyarakat menuntut hukuman mati bagi pengedar Narkoba, termasuk Zarima si genderuwo Narkoba. Sayangnya rasa keadilan masyarakat yang menuntut hukuman mati atas para perusak generasi muda itu tidak dapat dipenuhi. Mengapa? Karena tidak ada sanksi berupa hukuman mati dalam Undang-Undang Psikotropika. Bagaimana kalau Undang-Undang tersebut ditambal sulam dimasukkan sanksi berupa hukuman mati ke dalamnya? Masih tetap tidak dapat menjaring mereka yang dituntut oleh masyarakat itu, karena dihadang oleh Pasal 1 ayat 2 dalam KUHP: "Apabila ada perubahan peraturan perundangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka haruslah dipakai aturan yang ringan bagi tersangka." Kalau demikian Undang-Undang Psikotropika direformasi, dibuat Undang-Undang yang baru, yaitu Undang-Undang Anti Narkoba. Inipun dihadang oleh sebuah visi bahwa tidak perlu membuat banyak-banyak Undang-Undang. Sebab yang penting adalah pelaksanaan Undang-Undang yang baik. Lebih baik Undang-Undangnya jelek tetapi yang menjalankan Undang-Undang itu baik, ketimbang Undang-Undangnya yang bagus, tetapi yang menjalankannya tidak baik. Visi tersebut bertentangan dengan prinsip orientasi luaran yang bernilai tambah seperti dikemukakan oleh Al Quran dan budaya bangsa. Jadi seharusnya ialah Undang-Undang yang baik dan pelaksanaannya yang baik. Ini barulah namanya berorientasi luaran yang bernilai tambah.
Namun apabila dibuat Undang-Undang Anti Narkoba yang baru dengan sanksi berupa hukuman mati, itupun tidak dapat menjaring para penjahat pengedar Narkoba yang ada sebelum Undang-Undang baru itu lahir karena dihadang oleh ketentuan bahwa Undang-Undang tidak boleh berlaku surut, yang digariskan oleh Pasal 1 ayat 1 KUHP: "Sesuatu perbuatan tidak dapat dihukum selain atas kekuatan aturan Pidana dalam Undang-Undang, yang diadakan sebelum perbuatan itu terjadi." Dasar filosofi Pasal 1 ayat 1 KUHP konon berasal dari nyanyian Paul Johann Anselm von Feurbach (1775 - 1833), seorang jurist dan filosof berbangsa Jerman, spesialist dalam Kriminologi dan orang yang mula pertama mengilmiyahkan atheisme. Ia bernyanyi seperti berikut:
Nulla poena sine lege
Nulla poena sine Crimine
Nullum Crimen
sine poena legali
artinya:
Tak ada hukuman, tanpa Undang-Undang
Tak ada hukuman, tanpa kejahatan
Tak ada kejahatan,
tanpa hukuman berdasar Undang-Undang
Syahdan, tidaklah dapat dijaring para penjahat pengedar Narkoba seperti Alfred yang ditangkap basah Lettu Pol Jamila Andy misalnya, jika tetap "mensakralkan" nyanyian Feurbach (dibaca: Foirbakh), yang dilulur bulat-bulat dalam KUHP made in Holland (Wetboek van Strafrecht, lahir 1 Januari 1918, yang masih dipakai sekarang ini, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945), yang menggariskan: Undang-Undang tidak boleh berlaku surut tersebut. Oleh sebab itu dalam KUHP made in Indonesia yang sudah lama digodok dalam DPR sejak Orde Baru, dimasukkanlah substansi yang berikut: "Menyangkut tindak pidana Narkoba, Korupsi dan Hak Asasi Manusia haruslah peraturan perundangan dinyatakan berlaku surut selama 20 tahun." Seharusnya hari peringatan HAM kemarin itu menjadi cambuk bagi DPR dan Pemerintah supaya KUHP made in Indonesia itu diselesaikan secepat-cepatnya, sehingga para pelanggar HAM selama dan sesudah DOM di Aceh dapat dijaring dengan Undang-Undang HAM.
Bertahun-tahun lalu saya pernah berbincang-bincang dengan Prof. MG Ohorella yang baru saja pulang dari p. Seram sehubungan dengan penobatan beliau sebagai Raja. Dalam berbincang-bincang itu beliau berkata, bahwa ada seorang pakar ilmu hukum (saya sudah lupa-lupa ingat nama pakar itu) yang sangat ketat memegang prinsip: Hukum harus ditegakkan sekalipun "langit" akan runtuh. Prinsip yang dinyatakan dalam gaya hiperbolis itu saya baca pula baru-baru ini dalam tulisan Siswanto Sunarso, anggota DPRD Tingkat I Sulsel yang berjudul: Main Hakim Sendiri terhadap Pelaku Kejahatan (FAJAR, edisi Selasa 7 Desember 1999, halaman 4).
Mengenai penggalan kedua dari judul di atas akan dibahas singkat saja. Prinsip hukum harus ditegakkan sekalipun "langit" akan runtuh, adalah prinsip menjadikan hukum sebagai panglima. Sebenarnya tidaklah mesti selalu hukum yang menjadi panglima, karena sewaktu-waktu politik perlu pula menjadi panglima. Jadi lihat sikonnya. Buat apa menjalankan hukum secara ngotot kalau "langit" akan runtuh. Pelaksanaan DOM di Aceh itu berdasar atas hukum dijadikan panglima. Maka runtuhlah "langit" di Aceh, yaitu pelanggaran HAM. Alhasil, haruslah prinsip orientasi luaran yang bernilai tambah yang dipegang. Menghadapi Aceh haruslah menjadikan politik sebagai panglima, jangan hukum yang dijadikan panglima, sebab "langit" akan runtuh, seperti terjadi selama dan sesudah DOM. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 12 Desember 1999
5 Desember 1999
[+/-] |
401. Wasilah Da'wah |
Dalam menghadapi bulan Ramadhan DPP IMMIM melaksanakan kegiatan Refreshing Muballigh, pada hari Kamis 24 Sya'ban 1420 H, 2 Desember 1999. Penulis kolom ini mendapat amanah memberikan materi Wasilah Da'wah, yang sebagian dari padanya dinukilkan dalam seri ini. Dalam Seri 399 yang berjudul: Wasilah dan Paradigma Ilmu telah dijelaskan bahwa wasilah berarti perantara. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah ada yang menyembah berhala, namun ada pula yang tidak menyembah berhala melainkan menjadikan berhala itu sebagai wasilah dalam menyembah Allah. Dalam Al Quran Allah hanya mengabulkan do'a hambaNya jika ditujukan langsung kepadaNya tanpa perantara disertai dengan syarat: AJYB DA'WATA ALDA'A ADZA D'AAN FLYSTJYBWA LY WLYW"MNWA BY (S. ALBQRT, 186), dibaca: Uji-bu da'watad da-'i idza- da'a-ni falyastaji-bu- liy walyu"minu- bi- (S. albaqarah), artinya: Aku perkenankan permohonan (do'a) pemohon (pendo'a) apabila bermohon (berdo'a) kepadaKu, namun (dengan syarat) haruslah mengikuti perintahKu dan beriman kepadaKu (S. Sapi betina, 2:186).
Wasilah atau perantara dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa barat disebut media. Bentuk kata ini sebenarnya bentuk jama', bentuk tunggalnya adalah medium. Akan tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk kata media dipakai baik dalam bentuk tunggal maupun jama'.
Kita dapat baca kata da'wah dalam ayat (2:186) yang dikutip di atas, yaitu dalam bacaan: da'watad da-'i. Kurang begitu jelas kelihatan kata da'wah, karena konsonan d sesungguhnya mesti dilekatkan pada da-'i, jadi da'wata dda-'i. Bunyi ta apabila ada di akhir kata yang berdiri sendiri dibaca: h. Jadi da'wata dibaca da'wah kalau berdiri sendiri atau di akhir perhentian kalimat yang diucapkan. Dalam ayat (2:186) da'wah berarti permohonan, karena ditujukan kepada Allah. Apabila da'wah ditujukan kepada sesama manusia berarti himbauan. Secara substantif kedua terjemahan itu menujukkan bahwa si pemohon ataupun si penghimbau tidaklah mempunyai otoritas atas kepada siapa permohonan ataupun himbauan itu ditujukan. Demikianlah seluk-beluk kedua kata yang membentuk judul di atas.
Demikianlah seorang muballigh (penyampai) ataupun da'i (penghimbau) harus dapat menyadari posisinya bahwa ia tidak berada di atas orang yang dihimbaunya, tidak mempunyai otoritas atas mereka, tidak dapat memerintah mereka. Sehingga seorang muballigh ataupun da'i tidak dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar (memerintahkan kebajikan, mencegah kemungkaran). Ia hanya dapat yad'u-na ilal khayr (menghimbau, menyampaikan nilai-nilai kebajikan). Oleh sebab itu orang mengenal dua jenis organisasi, yaitu organisasi da'wah dan organisasi (baca: partai) politik. Organisasi da'wah tidak termasuk dalam sistem kekuasaan, seperti misalnya MUI, Muhammadiyah, NU dll, jadi tidak dapat memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran. Partai politik termasuk dalam sistem kekuasaan, sehingga dapat memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran jika Parpol itu menang dalam Pemilu. Sayangnya ummat Islam masih banyak yang tidak menyadari hal ini, sehingga tidak dapat memerintahkan kebajikan menurut nilai Islam, oleh karena tidak atau belum mau mengelompokkan diri dalam partai yang berasaskan Islam.
Hanya pada kesempatan tertentu seorang muballigh dapat menyampaikan pesan-pesan secara langsung kepada ummat yang jumlahnya ratusan ataupun ribuan. Itu hanya dapat dilakukan pada kesempatan membacakan khuthbah Jum'at, khuthbah 'Iydu lFithri dan 'Iydu lQurban, serta pada peringatan hari-hari besar Islam yang lain, seperti peringatan Mawlid dan Isra-Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pada kesempatan lain yang lebih sering muballigh menyampaikan pesan-pesan secara langsung hanya terbatas kepada jumlah ummat yang sedikit, seperti dalam pendidikan formal, paling banyak yang mengisi ruang aula.
Oleh sebab itu muballigh dalam keadaan biasa hanya dapat menyampaikan pesan-pesan secara tidak langsung dengan memakai wasilah: media cetak, media elektronik dan kesenian. Wali Songo mempergunakan cerita wayang dengan gamelan sebagai wasilah da'wah. Cerita wayang itu dimodifikasi sedemikan rupa sehingga dapat berwujud da'wah Islam, seperti misalnya mengintroduser senjata pamungkas yang paling tangguh yang disebut senjata Kalimasodo, yang maksudnya tidak lain dari Kalimah Syahadatain. Substansi pesan-pesan yang disampaikan hanya dapat mengenai sasarannya jika keluar sepenuhnya dengan ikhlas dari qalbu muballigh. Apabila pesan-pesan itu keluar dari sektor shadru dari qalbu (hati nurani) para muballigh, maka pesan-pesan itu akan menghunjam masuk juga ke dalam hati nurani pendengarnya. Jika pesan-pesan itu keluar dari sektor fuad dari qalbu (nalar) para mubaligh, maka pesan-pesan itu akan termakan dengan baik oleh nalar pendengarnya.
Kesenian adalah wasilah yang paling cocok untuk substansi yang berhubungan dengan hati nurani. Rhoma Irama dengan lagu dangdutnya, Ainun Najib dengan Kiyai Kanjengnya merupakan wasilah di bidang musik dewasa ini yang populer. Hanya sayangnya lagu-lagu dangdut mempunyai irama yang genit, merayu dan vulgar (irama India), sehingga tidak begitu cocok untuk wasilah da'wah. Buktinya lagu-lagu dangdut itu pada umumnya menjurus kepada rangsangan kekerasan dan libido kaum remaja. Sebenarnya lagu-lagu jenis keroncong dan seriosa yang cocok sebagai wasilah da'wah. Sayangnya lagu-lagu seriosa tidak merakyat, sedangkan lagu-lagu keroncong yang pernah merakyat itu dikalahkan oleh lagu-lagu dangdut. Menjadi tantangan bagi seniman Muslim untuk menggubah lagu-lagu keroncong sebagai wasilah da'wah. Di Tugu di pinggiran Jakarta ada komunitas saudara-saudara sebangsa kita yang beragama Nasrani, konon turunan dari bangsa Portugis, yang memakai lagu keroncong sebagai musik dalam gereja. Walla-hu a'lamu bishshawa-b. *)
*** Makassar, 5 Desember 1999