Ibarat rumpun bambu diantara batang-batang terdapat sela-sela. Khuthbah-khuthbah 'Iedil Fithri diibaratkan pohon-pohon bambu yang berupa isi dari rumpun bambu yang merupakan fokus perhatian, sedangkan sela-sela itu biasanya luput. Lalu pada kesempatan ini kita coba memandang sela-sela ini.
Kita mulai dahulu dari kata 'ied(un). Bukan makna ungkapan 'Iedu lFithri yang akan dibahas, karena kita sudah katakan tadi yang akan menjadi pembahasan adalah sela-selanya. Sedangkan makna ungkapan tersebut merupakan isi atau batang-batang bambu. 'Ied(un) adalah bahasa Al Quran (Quranun 'Arabiyyun). Kata ini mempunyai keistimewaan, yaitu hanya satu kali disebutkan dalam Al Quran dalam bentuk maf'uwlun bih (derde naamval, kasus ke-3 maenlich dem), yaitu 'iedan, dalam S.Al Maidah, 144:
Qala 'iesa bnu maryama allahumma rabbana anzil 'alayna maidatan mina ssamai takuwnu lana 'iedan, berkata Isa putera Maryam, ya Tuhan kami turunkanlah kepada kami hidangan dari langit yang akan menjadi (santapan) hari raya.
Pada Hari Raya 'Ied tiga hari yang lalu ketika dalam perjalanan dari rumah ke lapangan parker Mall Studio Jalan Cenderawasih, barulah saya mengerti betul hikmah larangan Rasulullah SAW untuk mempergunakan jalanan sebagai tempat shalat. Mobil harus menerobos liku-liku pelosok jalan untuk dapat lolos dari hambatan. Fasalnya yang dahulunya lapangan sekarang sudah jadi jalanan. Yang mantan lapangan itu yang biasa dipakai untuk shalat 'Ied, tetap dipakai, walupun sudah jadi jalan, walaupun sudah jadi lapangan parkir. Di Jalan Andi Pangerang Petta Rani misalnya dahulu ada dua lapangan yang dipergunakan untuk shalat 'ied. Bahkan poros jalan Abdullah Dg. Sirua dijadikan lapangan utama untuk shalat 'ied. Saya lihat mimbar tempat khatib berkhutbah diletakkan pada simpang tiga Andi Pangerang Petta Rani - Abdullah Dg. Sirua.
Demikian pesatnya pembangunan fisik sehingga lapangan-lapangan yang dahulu ada habis dilahap olehnya. Boleh jadi pembangunan fisik ini yang mengabaikan ilmu planologi tentang perbandingan open space 60% dengan bangunan 40% menjadi salah satu penyebab perkelahian kelompok remaja. Lapangan untuk shalat 'ied selama ini menempati lapangan olah raga. Sekarang lapangan olah raga itu sudah menjadi komplex pemukiman seperti contohnya komplex perumahan Pertamina di Ujung Pandang Baru dahulunya lapangan sepak bola. Atau lapangan olah raga itu sudah menjadi jalan raya seperti misalnya di Jalan Andi Pangerang Petta Rani dan Abdullah Dg. Siruwa itu. Atau lapangan olah raga itu sudah menjadi gedung dengan lapangan parker yang masih dapat dipakai untuk shalat 'ied, namun untuk olah raga tentu tidak mungkin. Dorongan-dorongan kejiwaan yang agresif para remaja tidak dapat disalurkan lagi melalui olah raga. Lalu beralihlah menjadi perkelahian kelompok, apalagi bagi para remaja yang putus sekolah, atau merasa tidak diacuhkan oleh orang tuanya dan masyarakat, yaitu kelompok yang menamakan dirinya antanija (anak tanijampangi = anak jalanan tak terurus, diekspresikan dalam lagu daerah I Kukang).
Bahwa pembangunan fisik yang mengabaikan perbandingan 60% dengan 40% itu tentu bukan salah perencana kota. Ilmu planologi tentang perbandingan itu tinggal menjadi teori belaka. Sebabnya? Pembangunan fisik kelihatannya tidak dapat dikendalikan lagi. Penduduk bertambah terus, kebutuhan bangunan dan jalan raya serta jalan air bertambah terus. Pemecahannya tidak dapat dengan secara parsial belaka. Harus menyeluruh, integrated bahasa canggihnya, yaitu pembangunan wilayah. Kota-kota harus distop pertumbuhannya. Dengan cara apa?
Adalah TaqdiruLlah bahwa batu itu jatuh ke bawah ditarik oleh gravitasi. Namun demikian burung dapat membubung ke udara. Lalu manusia dengan teknologinya juga dapat naik melawan gravitasi, juga dengan TaqdiruLlah yang disebut aerodynamica. Nah kalau dalam lapangan fisika manusia punya upaya berkat rahmat Allah berupa akal yang diberikan kepada manusia, mengapa pula dalam ilmu sosial kita tidak dapat mengupayakan aliran urbanisasi ini dapat dihentikan. Upaya itu sudah ada dasar teorinya. Buat growth centers, pusat-pusat pengembangan di daerah rural, pedalaman. Nah silakan itu dikembangkan, untuk memperlengkap tri konsepsinya Gubernur Ahmad Amiruddin.
Yang terakhir dari sela-sela itu ialah tentang arus lalu lintas masuk dan keluar lapangan. Pada zaman Rasullah SAW belum ada kendaraan bermotor, hanya kuda dan unta. Kuda dan unta gampang diputar haluannya, tidak seperti mobil, untuk putar haluan harus achter uit, mundur dahulu, kemudian maju lagi. Susah kalau sudah banyak berdempet. Walaupun kuda dan unta gampang diputar arah, namun Rasulullah mencotohkan, demikian dalam sunnah, arah masuk misalnya dari selatan, keluar mengarah ke utara. Dan inilah yang kita laksanakan sekarang dengan mobil. Bahkan bukan pada waktu shalat 'ied saja, sampai-sampai masuk keluar pompa bensin dan lapangan parker, kita ikut sunnah Rasulullah SAW tanpa menyadarinya bahwa kita telah ikut sunnah. Ini penting disadari, karena kalau kita masuk keluar pompa bensin atau lapangan parker hanya karena ikut rambu-rambu, tidak akan dapat nilai ukhrawi. Namun apabila kita niatkan bahwa itu karena ikut sunnah maka akan memperoleh nilai ukhrawi.
WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 28 Maret 1993
28 Maret 1993
[+/-] |
073. Di Sela-Sela 'Iedu lFithri |
21 Maret 1993
[+/-] |
072. Abdi Bangsa? |
Kita sudah terbiasa mendengar, membaca, menyebutkan abdi bangsa dan abdi negara. Bagi warga Kopri sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan, yaitu tanggal 17 setiap bulan mengucapkan ungkapan abdi negara. Sehingga kelihatannya dan kedengarannya wajar-wajar saja. Namun pada 15 Maret 1993 malam hari mulai timbul rasa tidak wajar mendengarkan ungkapan abdi bangsa itu. Yakni tatkala Mr Mustamin Daeng Matutu dengan lantang meengemukakan ia tidak mau menjadi abdi bangsa, ia cuma mau menjadi hamba Allah. Fasalnya pada malam itu di rumah jabatan Rektor Unhas PT Abdi Bangsa yang mendanai Harian Umum Republika, hariannya ICMI, diadakan upaya dan diskusi menyangkut penyebaran PT tersebut. Mustamin DM melancarkan kritik, yang sudah tentu kritik membangun, terhadap nama PT itu Abdi Bangsa. Kritik itu patut mendapat tanggapan yang serius, oleh karena PT itu adalah milik ICMI yang mengandung huruf-huruf C dan M, cendekiawan dan Muslim. Artinya sepantasnya harus jeli dalam memilih nama. Sebab pandangan seorang sastrawan yang mengatakan what is in a name bertentangan dengan sabda Rasulullah SAW bahwa nama itu penting.
Abdi adalah bentuk genitive dari 'abdun artinya hamba. Sebelum datangnya Islam terkenal nama Abdu l'Uzza, artinya hamba 'Uzza. Seperti diketahui 'Uzza ini adalah salah satu dewa yang disembah oleh masyarakat Arab jahiliyah. Sungguhpun demikian masyarakat jahiliyah juga telah mengenal Allah sebagai warisan dari Millah Ibrahim. Artinya bekas-bekas Millah Ibrahim, nenek moyang bangsa Arab dari jalur Nabi Isma'il AS, sekurang-kurangnya masih ada yang tersisa yakni asma Allah. Buktinya? Ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama 'Abdullah. Maka nama-nama orang Islam berpola kepada nama ayahanda Nabi Muhammad SAW, yaitu dengan membubuhkan Asmau lHusna, nama-nama indah Allah SWT, seperti misalnya 'Abdu lRahman, 'Abdu lRahiem, 'Abdu rRabb, 'Abdu lMalik, 'Abdu lHadie, ada 99 Asmau lHusna ini. Kelima asma Allah yang dicontohkan di atas itu diambil dari S. Al Fathihah. Ar Rahman artinya Maha Pengasih, Ar Rahiem artinya Maha Penyayang, Ar Rabb artinya Maha Pengatur, Al Malik artinya Maha Memliki dan Al Hadie artinya Maha Menunjuki. Jadi sebenarnya dilihat dari segi aqiedah terlarang orang Islam bernama Rahman, Rahim, Malik dll karena itu adalah nama-nama Allah SWT.
Manusia itu adalah hamba Allah, bukan hamba siapa-siapa. Allah tidak boleh disejajarkan dengan apapun juga. Wa lam yakun lahu qufuwan ahad, dan tidak suatu juapun yang setara dengaNya (S.Al Ikhlash, 5). "Sesuatu" yang disejajarkan dengan Allah itu adalah berhala, dan menyembah berhala artinya musyrik.
Para perumus Piagam Jakarta, yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945, dengan sedikit perubahan redaksional dalam alinea ke-4, meletakkan kebangsaan dua tingkat di bawah sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan sangat sadar para pendiri Republik ini tidak memberhalakan bangsa.
Lalu kembali kita kepada yang diprotes oleh Mustamin, abdi bangsa. Bukankah itu berarti mensejajarkan bangsa dengan Allah? Apakah itu bukan memberhalakan bangsa? Ayuh, coba kita jawab dengan sejujurnya! Inilah jeritan seorang hamba Allah yang bernama Mustamin Daeng Matutu dalam bulan Ramdhan malam 22 di rumah jabatan Rektor Unhas, dalam acara promosi saham PT Abdi Bangsa milik Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. Yaitu jeritan hati dari qalbu yang bertawhied.
Jeritan yang tulus ini perlu mendapat tanggapan serius. Walaupun selama ini ucapan, tulisan abdi bangsa, abdi negara kedengarannya dan kelihatannya biasa-biasa saja. Yang ternyata tidak biasa. Menjurus kepada pemujaan selain Allah, menjurus kepada memberhalakan bangsa, menjurus kepada kemusyrikan. Ya, perlu mendapat tanggapan serius. Lebih-lebih bagi para penanggung jawab ICMI, pencetus nama Abdi Bangsa.
Alhasil, bagaimana jika ungkapan abdi rakyat, abdi negara dan abdi bangsa diganti dengan pelayan rakyat, pelayan negara dan pelayan banga? Setuju, wahai hamba Allah? Utamanya para pakar Bahasa Indomesia? WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 21 Maret 1993
14 Maret 1993
[+/-] |
071. Pengertian yang Umum dan Khusus |
Beberapa orang bertanya kepada saya tentang kisah Nabi Ibrahim AS yang ditayangkan RCTI , bahwa agama yang dibawakan Nabi Ibrahim AS adalah Islam. Apakah itu tidak salah? Bukankah agama Islam dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW? Boleh jadi pertanyaan yang dikemukakan kepada Pak Kiyai dan Daeng Naba mengenai Islam ini oleh seorang penanya, dilatar belakangi juga oleh tayangan RCTI tersebut. Lalu saya berpikir lebih baik saya tuliskan jawabannya dalam kolom Wahyu dan akal - Iman dan Ilmu.
Islam adalah bahasa Al Quran yang dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari 3 huruf: sin, lam dan mim, yang berarti patuh, selamat dan murni. Dari segi ruang lingkup, Islam mempunyai pengertian yang teramat umum, umum, khusus dan sangat khusus.
Marilah kita mulai dahulu dengan memabahas pengertian Islam dalam ruang lingkup yang teramat umum. Allah SWT sebagai Al Khaliq, Maha Pencipta juga adalah Ar Rabb, Maha Pengatur. Allah mengatur hasil ciptaanNya itu dengan TaqdiruLlah, aturan Allah. DiaturNya makrokosmos dengan sunnatulLah yang dikenal dalam ilmu fisika dan astronomi dengan medan gravitasi. Allah mengontrol gerak matahari misalnya dengan gravitasi ini. Yang menurut penafsiran Newton medan gravitasi ini menyebabkan timbulnya gaya centripetal, yaitu gaya yang menuju ke titik pusat galaxy Milky Way. Atau menurut penafsiran Einstein gravitasi itu adalah garis geodesik berupa alur yang dilalui oleh matahari dan semua benda langit yang lain. Di samping gravitasi ini Allah mengontrol hasil ciptaanNya dengan TaqdiruLlah berupa gaya elektromagnet, seperti misalnya gaya tarik menarik antara proton dengan elektron dalam atom. Juga TaqdiruLlah berupa gaya kuat yang menahan proton dalam inti atom supaya tidak pecah berhamburan akibat gaya elektromagnet yang saling menolak di antara proton yang bermuatan sama itu, yakni bermuatan positif. Juga TaqdiruLlah yang disebut gaya lemah yang menyebabkan inti atom menjadi tidak stabil, menjadi lapuk dengan mengeluarkan sinar radio aktif. Sampai sekarang ilmu fisika baru mengenal keempat jenis TaqdiruLlah ini, yang tentu saja masih banyak jenis TaqdiruLlah yang lain yang belum diketahui oleh manusia, karena Allah hanya memberikan ilmu yang sedikit kepada manusia. Wa ma uwtietum mina-l'ilmi illa qalielan. Semua makhluq ciptaan Allah tunduk pada keempat jenis TaqdiruLlah tersebut: medan gravitasi, medan elektromagnet, gaya kuat dan gaya lemah. Artinya semua makhluq di langit, makrokosmos dan di bumi (mikrokosmos) adalah Islam, tunduk dan patuh pada TaqdiruLlah. Dengan gaya personifikasi Allah berfirman dalam S. Ali 'Imran 83:
...wa lahu aslama man fie ssamawati wa l-ardhi ..., dan Islamlah barang siapa yang ada di langit (makrokosmos) dan di bumi (mikrokosmos). Dikatakan gaya personifikasi, oleh karena benda-benda ciptaan Allah dinyatakan dalam ungkapan man, barang siapa.
Selanjutnya kita akan membicarakan pengertian Islam dalam ruang lingkup setingkat di bawah yang teramat umum, yaitu yang umum. Dalam ruang lingkup ini, Islam berarti semua risalah (message) dalam bentuknya yang otentik, asli yang dibawakan oleh para nabi dan rasul.(*) Ada yang membedakan antara nabi dengan rasul. Nabi mendapat wahyu dari Allah SWT hanya untuk diri nabi itu sendiri, sedangkan rasul mendapatkan wahyu dari Allah untuk diteruskan kepada ummatnya. Jadi seorang rasul sudah dengan sendirinya nabi, akan tetapi seorang nabi belum tentu rasul. Ada pula yang berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara nabi dengan rasul. Kalau kita merujuk kepada Al Quran, yang artinya: Maka Allah membangkitkan nabi-nabi untuk penggembira dan penggentar dan menurunkan Kitab bersama mereka itu di atas kebenaran untuk (menetapkan keputusan) hukum (siapa yang benar) di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan (2:213), maka barulah perlu dan cukup tentang kriteria seorang Nabi ialah mendapat wahyu dan mendapatkan Kitab sebagai rujukan untuk menetapkan keputusan hukum (yahkum). Maka dalam ruang lingkup inilah risalah yang dibawakan oleh Nabi Ibrahim AS adalah Islam. Allah berfirman dallam S. Ali 'Imran 19: Inna ddiena 'inda Llahi l-islam .... sesungguhnya addien menurut Allah adalah Islam. Ungkapan ad dien lebih luas dari pengertian agama, artinya bukan hanya sekadar yang ibadah ritual saja. Maka lebih elok jika ad dien diterjemahkan dalam ungkapan agama dalam pengertian yang lebih luas.
Ayat yang dikutip di atas lebih diperinci dalam S. Al Baqarah, 136: Quwluw amanna biLlahi wa ma unzila ilayna wa ma unzila ila ibrahima wa 'ismaila wa is-haqa wa ya'quwba wa l-asbathi wa ma uwtiya muwsa wa 'iesa wa ma utiya min rabbihim la nufarriqu bayna ahadin minhum wa nahnu lahu muslimuwn. Katakanlah (hai Muhammad) kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, dan Ismail, dan Ishak dan Ya'qub dan anak-cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan apa yang diberikan (kepada para nabi) dari Maha Pengatur mereka, tidak kami bedakan seorangpun di antara mereka (para nabi itu) dan kami kepada Allah adalah para Muslim. Para Muslim, muslimuwn mempunyai sekali gus dua arti yaitu penganut dan bersikap, para penganut Islam dan mempunyai sikap patuh kepada Allah.
Kita sekarang turun tangga di bawah ruang lingkup yang umum, yaitu ruang lingkup yang khusus. Dalamm ruang lingkup ini Islam berarti risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW. Berfirman Allah dalam S. Al Maidah, 3, yaitu ayat yang terakhir yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW:
... al yawma akmaltu lakum dienakum wa atmamtu 'alaykum ni'matie wa radhietu lakumu l-islama dienan. Pada hari ini Kusempurnakan bagimu agamamu (dalam pengertian yang luas) dan Kucukupkan ni'matKu atasmu dan Aku berkenan Islam menjadi agamamu (dalam arti yang luas).
Dan tingkat ruang lingkup yang terakhir, yang terendah, yaitu dalam ruang lingkup yang sangat khusus yaitu berarti Rukun Islam yang lima. Pada suatu waktu ketika Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau sedang duduk melingkar, maka datanglah ke dalam majelis itu seorang yang kelihatannya dari jauh, namun pada pakaiannya tidak tanda-tanda bahwa ia dari jauh, pakaiannya itu tidak kusut, kemudian duduk dan bertanya kepada RasululLah: Ma l-iman, ma l-islam wa ma l-ihsan, artinya apakah itu iman, apakah itu islam dan apakah itu ihsan. Maka RasululLah menjawab bahwa yang bertanya pengetahuannya tidak kurang dari yang ditanyai. Kemudian RasuluLlah dalam jawabannya mengenai Islam seperti berikut: Islam adalah persaksian tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah pesuruh Allah dan hambaNaya, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa dalam bulan Ramadhan dan naik haji bagi yang mampu. Dan jawaban penjelasan RasuluLlah itulah disebut Rukun Islam yang lima, suatu pengertian Islam dalam ruang lingkup yang sangat khusus. Setelah orang itu pergi, Nabi SAW menjelaskan bahwa orang itu adalah Jibril yang mewujudkan dirinya ssebagai manusia. Walahu a'almu bishshawab.
-----------------------------------
(*)
Abu Zar bertanya kepada Rasulullah SAW: Berapakah jumlah para nabi ?". Beliau SAW enjawab, "Mereka berjumlah 124.000 orang, sebanyak 315 dari mereka adalah Rasul". (HR. Ahmad).
*** Makassar, 14 Maret 1993
7 Maret 1993
[+/-] |
070. Berpuasa di Rantau |
Baru-baru ini di surat-surat kabar diberitakan bahwa ummat Islam di Jerman bingung untuk menentukan bilakah mulai berpuasa. Saya heran membaca berita itu, mengapa baru tahun ini diberitakan tentang kebingungan itu? Ataukah kebingungan itu sudah berlaku dari tahun ke tahun dan baru sempat diberitakan sekarang? Saya tidak tahu apakah koran-koran di Jerman tidak ada informasi itu. Kalau di negeri Belanda tempat saya merantau waktu itu sebagai ibnu-ssabil, semua koran memuat informasi tentang posisi matahari dan bulan setiap hari. Kalau bukan pada halaman pertama, maka pada halaman kedua sudut kanan di pojok bawah setiap hari tertera pukul berapa matahari dan bulan terbit dan terbenam. Misalnya sebagai contoh, dalam koran harian Winschoter Courant, terbitan Dinsdag (Selasa), 28 agusuts 1973, redaksional aslinya tertulis demikian: 29 agustus, Zon op 05.46, Zon onder 19.34, Maan op 07.35, Maan onder 19.32. Zon op artinya matahari terbit, Zon onder matahari terbenam, Maan op bulan terbit, Maan onder bulan terbenam. Dengan demikian halaman 2 pojok kanan bawah Winschoter Courant terbitan 28 Agustus 1973 menginformasikan kepada kita bahwa pada tanggal 29 Agustus 1973 waktu senja, bulan terbenam 2 menit lebih dahulu dari matahari. Kesimpulannya, itulah akhir bulan Rajab 1393H, yang artinya keesokan harinya 30 Agustus 1973 waktu matahari terbenam masuklah 1 Sya'ban 1393H. Dengan cara itu kita dapat menentukan bahwa 1 Ramadhan 1393H jatuh pada malam Jum'at dan siangnya hari Jum'at 28 September 1973 mulailah orang berpuasa, dan dengan cara yang sama pula dapat diketahui 'Iedu-lFithri 1 Syawwal 1373 H jatuh pada hari Ahad, 28 Oktober 1973.
Karena informasi mengenai terbit dan tenggelamnya matahari itu setiap hari ada di koran-koran maka waktu imsak dan berbuka puasa ma fiy-lmasalah, no problem. Waktu imsak? Ya kurangi saja 90 menit dari waktu matahari terbit. Kalau di Jerman koran-korannya tidak memuat informasi posisi bulan dan matahari yang setiap hari itu, apa susahnya minta informasi kepada teman-teman di negeri Belanda? Dan di samping informasi dari koran para ibnu ssabil yang mahasiswa biasanya mendapatkan pula sumber informasi dari sumber yang lain. Di dalam box surat saya dan teman-teman Muslim yang lain, didapatkan jadwal waktu puasa yang dikirim dari masjid Mubarak di Scheveningen, masjid yang diasuh oleh aliran Qadiyaniyah. Walaupun saya bukan dari aliran Qadiyaniyah ini, namun saya sangat menghargai usaha saudara-saudara kita itu dari golongan tersebut untuk menservis para ibnu ssabiel. Karena jadwal yang dibuat mereka itu cocok dengan hasil olahan data saya, maka besar dugaan saya merekapun membuat jadwal berdasarkan informasi posisi matahari dan bulan di koran-koran setempat, artinya jadwal puasa itu sumbernya bukan dari Pakistan.
Apa masih ada kemungkinan kesukaran yang lain? Kelihatannya ada tetapi dapat diatasi. Kalau pada waktu di Den Haag saya menempati apartmen yang mempunyai fasilitas untuk masak sendiri. Jadi untuk berbuka puasa dan makan sahur, tidak ada masalah. Sayangnya saya mulai mengalami bulan puasa tidak di Den Haag, melainkan di Maastricht, ibu kota Provinsi Limburg, sehingga terpaksa tinggal di sebuah hotel di kota itu, yaitu hotel Beaumont, untuk mengadakan penelitian tentang "volkskarakter" (watak penduduk) propinsi pinggiran terselatan yang berbatasan dengan Jerman. Sebelumnya saya mengadakan mengadakan penelitian volkskarakter di propinsi pinggiran di kota Winshoten propinsi Groningan, propinsi pinggiran terutara yang berbatasan dengan Denmark di jazirah Jutland salah satu dari negeri Skandinavia.
Menyimpang sedikit dari substansi yang dinyatakan oleh judul, saya kemukakan sedikit tentang hasil-hasil yang saya peroleh. Bahwa di sebelah utara s. Rijn postur tubuhnya umumnya tinggi-tinggi beragama Protestan, di sebelah selatan s. Rijn postur tubuhnya lebih pendek umumnya beragama Katholik. Itu dahulu akibat Tachtig Jarige Oorlog (Perang 80 tahun), di mana s. Rijn menjadi daerah front dalam peperangan itu. Bagian selatan diduduki penjajah Spanyol yang beragama Katholik, sehingga penduduk sebelah selatan itu umumnya beragama Katholik serta percampuran dengan darah Spanyol itu menyebabkan tubuh blasteran itu pendek-pendek. Sedangkan di utara s. Rijn tidak dapat diduduki oleh Kerajaan Spanyol, sehingga postur tubuhnya tetap tinggi-tinggi dan tetap beragama Protestan. Sekarang pada umunya generasi mudanya menjadi agnostik bahkan atheis.
Bahwa di negeri Belanda yang luasnya hanya sekitar seperempat luas p.Jawa, terdapat tiga jenis "etnik" dengan bahasa daerah sendiri. Di utara berdiam etnik Frischen (yang kita kenal di Indonesia ini dengan susu-kalengnya "cap nona") dengan bahasa daerah frisch yang sangat berbeda dengan bahasa Belanda. Di selatan berdiam etnik Limburger dengan bahasa daerah limburg, yang juga berbeda dengan bahasa Belanda. Di kawasan barat yang dikenal dengan daerah kincir angin yang sentralnya pada kota segitiga Den Haag, Amsterdam dan Rotterdam (= Europoort, pelabuha Eropa), bermukim etnik Holland, dengan bahasa holland (Hollandche taal), yang juga menjadi bahasa nasional dengan predikat Nederlandsche taal, yang juga menjadi nama negeri itu, yakni Nederland. Sesama etnik mereka pakai bahasa daerahnya di luar lembaga resmi (kantor dan sekolah). Patut diduga itulah latar belakang, mengapa Negeri Belanda sampai era modern ini berebentuk Kerajaan, untuk dapat mempersatukan ketiga etnik yang berbeda bahasa itu. Seperti juga Belgia yang berbentuk Kerajaan, karena mempunyai dua bahasa di utara berbahasa Belanda di selatan berbahasa Perancis. Inggris juga berbentuk kerajaan untuk "mempersatukan" Enggland, Wales, Scotland dan Ireland, maka negeri itu bernama United Kingdom. Bahkan sampai sekarang etnik irlandia tidak seluruhnya merasa masuk UK, pertama karena masalah etnik dan kedua masalah agama. Boleh jadi akan terjadi "balkanisasi", jika mengubah bentuk negeri-negeri itu dari Kerajaan menjadi Republik.
Kembali kepada substansi yang dinyatakan oleh judul, berpuasa di rantau. Menurut kitab-kitab kuning, Maastricht sudah terletak melampaui batas standar jarak untuk disebut musafir dari tempat bermukum saya, yaitu Den Haag. Bukannya saya tidak bersyukur kepada Allah SWT karena karena di Maasricht itu saya tetap berpuasa, yakni tidak memanfaatkan dispensasi bagi para musafir. Saya mempunyai alasan tersendiri untuk tidak menunda puasa. Bagaimana alasan itu? Silakan baca kolom Kalam Ramadhan yang berjudul Barang Siapa yang Sakit, Atau Dalam Perjalanan .....Alhamdulillah pelaksanaan berbuka puasa dengan makanan ringan dan makanan yang benar-benaran, serta makan sahur dapat diatur atas pengertian pengelola hotel yang berprinsip para tanu hotel adalah raja.
Jatah ontbijt (break fast, makan pagi) dan makan siang digeser untuk buka puasa, dan jatah makan siang digeser untuk makan sahur. Ketiga jatah itu secara teknis diantarkan ke kamar hotel dengan jarak antara seperti berikut. Satu jam setelah makanan ringan diantarkanlah makanan berat, dan dua jam kemudian diantarkan makanan untuk sahur. Itu berarti saya makan sahur dengan makanan yang sudah tidak panas lagi, kecuali kopinya tetap panas tentu, karena dalam termos. Dan selebihnya, ma fiy-lmasalah, suasana kota Maastricht lebih kurang berada di antara kota Makassar dengan Jakarta. Sedikit di atas Makassar, sedikit di bawah Jakarta. Itulah upaya mencari sumber informasi, dan pemecahan masalah teknis disekitar berpuasa di rantau orang. Pokoknya ada usaha dan bersikap terbuka, yang dalam hal ini dengan pengelola hotel. Di mana ada kemauan di situ ada jalan, insya Allah. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 7 Maret 1993