Seri 338 tgl. 6 September 1998 yang berjudul: Bingkai Reformasi mendapat tanggapan melalui deringan-deringan telepon. Ini sehubungan dengan penggalan tulisan seperti berikut: "Reformasi bukanlah revolusi. Reformasi tidaklah menebas secara penuh serta membuang sama sekali semua nilai, produk zaman yang silam. Reformasi ialah meneruskan yang baik, meluruskan yang menyimpang, memperbaiki yang salah, menambah yang kurang dan membuang yang lebih dalam bingkai nilai yang telah disepakati secara nasional."
Yang ditanggapi ialah meneruskan yang baik dari produk zaman yang silam. Mereka bertanya, yang manakah yang baik yang harus diteruskan dari Orde Baru. Sedianya Seri ini bernomor-urut 339, untuk menjawab tanggapan deringan itu. Namun sengaja ditunda dua nomor dengan pertimbangan tanggal 27 September 1998 hari ini lebih dekat ke hari pemberontakan Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia, 33 tahun yang lalu. Ada baiknya generasi muda sekarang ini diberikan informasi tentang partai-partai politik yang seasas dengan PKI, yang mungkin kurang diketahui oleh generasi muda kita itu tentang partai-partai politik yang berdasar Marxisme yang pernah hidup dalam negara Republik Indonesia.
Kembali kepada deringan telepon tadi, saya jawab dengan ayat yang telah saya kutip dalam Seri 338: WLA YRJMNAKM SYNAN QWMN 'ALY ALA T'ADLWA A'ADLWA HW AQRB LLTQWY (S. Al MAaDT, 8), dibaca: wala- yarjimannakum syana.a-nu qawmin 'ala- allaa- ta'dilu- i-dilu- huwa aqrabu littaqwa- (s. alma-idah), artinya: Janganlah karena kebencianmu atas suatu golongan sehingga kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah karena keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan (5:8).
Janganlah karena ketidak senangan kepada Orde Baru membuat orang tidak berlaku adil. Jangan sampai kebaikan seseorang ditutupi oleh rasa benci. Kalau kita mau adil, haruslah dengan jujur mengakui bahwa ada jasa Pak Harto bersama-sama dengan masyarakat yang anti komunis menyelamatkan Republik Indonesia dari cengkeraman komunisme. Inilah yang dimaksud dengan meneruskan yang baik dari produk zaman yang silam. Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang. Anti komunis, itulah gading Soeharto, KKN itulah belang Soeharto. Itu baru namanya adil, menimbang sama rata, menimbun sama tinggi, menggali sama dalam, menempatkan sesuatu pada tempatnya, mengeluarkan sesuatu dari yang bukan tempatnya.
Ketetapan MPR mengenai Marxisme dilarang di Indonesia harus tetap dipertahankan oleh bangsa Indonesia, oleh karena Das Kapitalnya Karl Marx walaupun memang mengenai ekonomi, akan tetapi berlandaskan atas filsafat historische materialisme, teori pertentangan kelas yang dialektis, radikalisme, dan sikap atheis yang memandang agama itu candu bagi rakyat. (Insya-Allah akan dikuliti nanti Marxisme dalam kolom ini). Maka perlu sekali Orde Reformasi menolak sekeras-kerasnya unjuk-rasa yang menyamaratakan untuk membebaskan semua napol, yang tidak memilah mana napol yang komunis, mana napol uang bukan komunis.
Berikut ini partai-partai politik yang berdasarkan Marxisme:
Partai Komunis Indonesia periode I, dipimpin oleh Muso, dihancurkan oleh Divisi Siliwangi setelah pemberontakan Madiun 1948. Pusatnya di Moscow ibu kota Uni Sovyet. Disebut Marxisme Leninisme, karena diterapkan oleh Lenin. Menerima Marxisme sebagai dogma.
Partai Komunis Indonesia periode II, dipimpin oleh Aidid, dihancurkan setelah pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Pusatnya di Peking (sekarang dieja Beijing), ibu kota Republik Rakyat Cina. Disebut Marxisme Maoisme, karena diterapkan oleh Mao Tse Tung (sekarang dieja Mao Tse Dong). Menerima Marxisme sebagai dogma.
Partai Murba didirikan oleh Tan Malaka. Pernah memberontak dipimpin oleh Chairul Saleh, yang dikenal sebagai gerombolan pengacau Merapi-Merbabu komplex. Disebut Marxisme Trotzkisme, karena diterapkan oleh Trotzky. Juga menerima Marxisme sebagai dogma. Berbeda dengan Marxisme Leninisme dan Marxisme Maoisme yang menempuh gerakan terpusat secara internasional, maka Marxisme Trotzkisme bersifat gerakan nasional, artinya tidak perlu terpusat secara internasional.
Partai Sosialis Indonesia (PSI). Menerima Marxisme sebagai ajaran (leer) bukan sebagai dogma. Mereka lebih suka dengan istilah wetenschappelijke socialisme, sosialisme ilmiyah. Walaupun sama-sama Marxisme, PSI ini berbeda dengan PKI, bahkan mereka bermusuhan dalam kancah politik. PSI menghendaki tujuan partai harus dicapai secara parlementer melalui Pemilu, sedangkan PKI dengan jalan revolusi apabila secara parlementer tidak tercapai. Dalam lapangan politik PSI yang walaupun dasar dan tujuannya berbeda dengan Masyumi, namun karena cara kedua partai itu untuk mencapai tujuan sama, yaitu secara parlementer melalui Pemilu, maka PSI berjinak-jinakan dengan Masyumi, bahkan pernah bersama-sama duduk dalam kabinet pemerintahan. Karena kurang mendapat suara dalam Pemilu tahun 1955 mereka Para pemimpin PSI mengejek dirinya sendiri dengan: Wij zijn officieren zonder soldaten (kami ini perwira tanpa prajurit), tetapi mereka juga mengejek NU yang mendapat banyak suara di Jatim dengan: Zij zijn soldaten zonder officieren (mereka itu para prajurit tanpa perwira). Para pemimpin PSI bangga karena mereka umumnya kaum terpelajar jebolan barat. Itulah sebabnya gerangan setelah Soeharto mendirikan Orde Baru, maka secara individual dari tokoh-tokoh PSI inilah, yang umumnya bermadzhab Berkeley, yang diterima oleh Soeharto konsep strategi pembangunannya, yang berat ke atas, menumpuk pada konglomerasi perusahaan dan industri padat modal, sehingga membuahkan buah pahit, yaitu KKN, perekonomian keropos ke bawah, yang akhirnya bermuara pada serba krisis yang kita alami sekarang ini.
Sebagai tambahan informasi, setelah Bung Karno banting stir ke kiri, Partai Nasional Indonesia pecah dua menjadi PNI-Asu dan PNI-Osa Usep, maka Marhaenisme ajaran Bung Karno diplesetkan menjadi kependekan dari 3 nama orang pencetus dasar filsafat yang menjadi landasan komunisme yaitu Marx-Haegel-Engels. Ini untuk mengejek PNI-Asu yang bermesraan dengan PKI. Asu adalah kependekan dari nama 2 orang yaitu Ali Sastro Amidjojo dan Surachman. PNI yang dipimpin oleh Osa Maliki dan Usep yang anti komunis menyelamatkan PNI dari pengaruh komunisme. Tragedi pecah dua itu berulang kembali pada partai anak dari PNI ini, yaitu PDI. WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 27 September 1998
27 September 1998
[+/-] |
341. Partai-Partai Politik yang Berdasar Marxisme yang Pernah Ada di Republik Indonesia |
20 September 1998
[+/-] |
340. Serba Serbi Sanggahan Terhadap Pemerintahan Habibie |
Ada kebijakan strategis yang ditempuh oleh Pemerintahan Habibie, yaitu kebijakan membuka katup aspirasi seluas-luasnya. Maka maraklah timbulnya sanggahan di sana-sini.
Perpu no.2 thn.98 bertujuan membatasi jumlah pengunjuk-rasa, supaya unjuk-rasa itu tidak mudah disusupi perusuh. Walaupun Perpu ini tidak membatasi substansi aspirasi, namun ramai mendapat sanggahan berhubung adanya ketentuan perizinan, terutama pasal 9 yang mengganjal kebebasan pers. Perpu ini belum diberlakukan dan sementara digodok dalam DPR.
Rizal Ramli mengusulkan supaya Pemerintahan Habibie segera melakukan perombakan tim ekonomi yang jelas-jelas buruk kinerjanya. Ini pendapat kuda bendi yang hanya melihat satu arah. Coba bayangkan jika tim ekonomi segera dirombak maka rusaklah sistem kibernetika (cybernetics), terutama mizan (equilibrium) sistem dengan komitmen terhadap IMF yang sangat perlu untuk mendapatkan dana untuk mengatasi krisis. Tidaklah betul seperti pendapat Syahrir yang diucapkannya secara emosional bahwa IMF memberi bantuan kepada kita karena mereka kasihan kepada bangsa Indonesia yang hampir mampus, bukan karena kepercayaan IMF terhadap Pemerintahan Habibie. (Gaya preman hujatan mampus yang dilontarkan oleh Syahrir itu saya tidak dapat terima sebagai anggota dari bangsa Indonesia). Sistem kibernetika yang dirusak mizannya akan bereaksi membentuk dirinya menuju mizan yang baru. Akibatnya fatal, tanpa batuan IMF Indonesia yang terdiri dari kepulauan mudah sekali membentuk mizan yang baru yang berwujud Yugoslavia kedua, melalui proses khaos.
Dilihat dari segi ilmu nafsani kacamata kuda bendi ini yang hanya melihat tim ekonomi Pemerintahan Habibie, dalam hati kecil Rizal Ramli ingin diajak menduduki tim ekonomi dengan keyakinan dirinya lebih baik dari tim ekonomi Pemerintahan Habibie. Ibarat fabel anjing hutan dengan buah anggur. Karena lompatan anjing hutan itu tidak berhasil mencapai anggur, maka anjing hutan itu merepet, ah itu anggur yang asam. De druiven zijn hem te zuur (anggur itu asam baginya), kata pepatah Belanda.
Emil Salim mengatakan bahwa kebijakan Pemerintahan Habibie mengusut harta mantan Presiden Soeharto hanya sekadar untuk memuaskan golongan bawah, populis. Gayung bersambut, kata berjawab. Gayung Emil Salim disambut oleh Presiden Habibie dengan ucapan yang kurang populer di mata orang banyak, yaitu Presiden Habibie minta dengan hormat kepada masyarakat yang sedang ramai-ramai menghujat untuk segera berhenti mengakhiri sikap penghujatan atas Haji Muhammad Soeharto. Kalau kebijakan Pemerintahan Habibie mengusut harta mantan Presiden Soeharto hanya sekadar untuk memuaskan masyarakat, lebih baik ia diam saja buat apa mengeluarkan permintaan yang kurang populer di mata orang banyak yang sedang bersikap menghujat Soeharto.
Sarwono Kusuma Atmaja menganggap bahwa keputusan untuk mengusut kekayaan Pak Harto sesungguhnya terlambat dan bersifat reaktif, tidak proaktif. Menurut hemat saya kebijakan strategis Presiden Habibie untuk memberi kesempatan kepada masyarakat untuk bebas sebebas-bebasnya mengeluarkan pendapat adalah bersifat proaktif, karena kebijakan itu diambil tanpa ada tuntutan sebelumnya. Secara kacamata kuda bendi, alias pandangan sempit, memang kelihatannya kebijakan pengusutan harta mantan Presiden Soeharto itu bersifat reaktif. Akan tetapi jika penutup mata kanan kiri mata kuda bendi itu dibuka (baca: pandangan yang lebih luas), maka kebijakan pengusutan itu termasuk dalam kerangka strategis yang proaktif, yaitu hasil dari kemerdekaan mengeluarkan pendapat. Soal lambat atau cepat itu relatif. Mobil dengan laju 60 km pada jalan dalam kota yang simpang siur termasuk cepat, akan tetapi pada jalan bebas hambatan termasuk lambat. Pemerintahan Habibie ibarat orang yang harus membenahi bengkalai orang berpesta pora yang meninggalkan kesemrautan bersimpang siur, ibarat jaringan jalan dalam kota. Dilihat dari segi ini, maka keputusan Presiden Habibie untuk mengusut harta mantan Presiden Soeharto termasuk tindakan yang cepat.
Unjukrasa mahasiswa yang berlabel Reformasi Kedua antara lain menuntut dibentuknya komite untuk mengambil alih tugas pemerintahan. Menurut mantan kepala Bakin, Mendagri dan Ketua Badan Koordinasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI) itu direkayasa, atau sekurang-kurangnya ditunggangi oleh kepentingan politik suatu golongan. Kita sayangkan golongan yang memanfaatkan mahasiswa untuk kepentingan politiknya. Mengapa tidak bersikap satria dan demokratis untuk tampil kedepan membentuk partai politik dan bersaing secara jujur dengan parpol yang lain dalam Pemilu yad., yaitu salah satu agenda politik Pemerintahan Habibie. Tindakan membentuk komite untuk mengambil alih pemerintahan ini bernuansa kekirian, tidak konstitusional dan keluar dari bingkai reformasi. Apakah dapat dijamin komite ini akan ditaati oleh seluruh bangsa Indonesia? Apa mau kalau Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agusutus 1945 yang dengan susah payah berkuah darah berlinang airmata dipertahankan eksistensinya, akan menjadi Yugoslavia kedua?
Amin Rais dengan sikap curiga melalui wawancara di TV mengatakan bahwa pemerintah mengulur-ulur pembahasan UU Parpol, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD, untuk memperlambat Pemilu, tidak menepati agenda politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ternyata pada hari Rabu, 16 September 1998 pemerintah telah mengirimkan kepada DPR naskah RUU Parpol, RUU Pemilu, RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD untuk segera dibahas. Hendaknya nilai Islami yang dalam hal ini sikap Husnuzhzhan, berprasangka baik, tidak hanya diterjemahkan dalam dunia hukum dengan apa yang kita kenal dengan asas praduga tak bersalah. Hendaknya Amin Rais meninggalkan pemahaman barat bahwa politik itu harus bersikap curiga. Nilai Islami Husnuzhzhan eloklah pula diterjemahkan ke dalam dunia poltik dengan tidak bersikap curiga terhadap sesama ummat, ASYiDaA"u ALaY (A)LKuFfaARi RuHaMaA"u BaYNaHuMHuM (S. Al FaTH, 48:29). Tegas atas orang kafir, bersikap lembut di antara mereka. Husnuzhzhan secara substantif serupa dengan lembut.
Wa Llahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 20 September 1998
13 September 1998
[+/-] |
339. Mengapa Alergi Terhadap Partai Politik? |
Kalau hasrat mengeluarkan aspirasi dikekang puluhan tahun, lalu tiba-tiba kekangan itu dilepas, maka orangpun bebas berunjuk-rasa dari yang tertib sampai yang berakibat menurunkan kurs rupiah, dari aspirasi murni hingga aspirasi titipan yang dibayar, menyembur seperti air yang menerpa keluar dari bendungan. Tidak terkecuali hasrat ingin berkumpul yang dikekang sehingga berakumulasi ibarat air dalam bendungan, setelah diberi kebebasan, maka bermunculanlah sejumlah partai politik. Seorang demokrat tidaklah perlu alergi dengan munculnya partai politik yang banyak itu, karena itu akan diseleksi oleh rakyat melalui Pemilu.
Ada alasan dangkal bagi pengidap alergi partai politik itu. Yakni yang penting sekarang adalah bagaimana menurunkan harga Sembako. Saya katakan dangkal oleh karena para pengidap alergi partai itu tidak dapat melihat jangka pendek dan jangka panjang. Menurunkan harga Sembako adalah jangka pendek, harus dengan segera ditanggulangi. Itulah pekerjaan kita semua, baik masyarakat maupun pemerintah. Bahu-bahu membantu dengan otak dan otot. Memberikan input kepada pemerintah cara terefisien penyaluran beras ke konsumen di pasar-pasar. Membantu memberikan informasi kepada yang berwajib tentang orang-orang yang terlibat dalam aktivitas subversi yaitu mafia beras yang menimbun beras untuk dilempar ke pasar luar negeri, sementara masyarakat kesulitan beras. Atau semacam demo Sembako para mahasiswa Teknologi Industri UMI yang berjalan kaki membagikan paket Sembako kepada abang-abang becak yang berpos pada simpang jalan antara Jal.Urip Sumoharjo dengan Jal.Racing Centre, Jal.Pampang Raya, dan Jal.Pongtiku. Itulah jangka pendeknya.
Kemudian jangka panjangnya ialah mengupayakan kestabilan politik, sehingga berlangsung pembangunan yang adil yang sesuai dengan aspirasi masyarakat. Untuk itu perlu diselenggarakan Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil dan bersih, untuk memilih wakil-wakil kita yang akan membawakan aspirasi kita dalam MPR dan DPR. Untuk itulah perlu partai politik.
Sebenarnya pada zaman Orde Baru ada juga yang alergi terhadap partai politik. Tetapi tidak alergi terhadap partai politik pada umumnya, melainkan alergi terhadap partai politik yang berasaskan Islam. Boleh jadi alergi itu adalah penyakit rekayasa sebagai perintis ke arah asas tunggal (menurut GBHN, satu-satunya asas). Yang menderita penyakit simptomatik alergi itu dipelopori oleh Nurcholis Majid dengan semboyannya yang terkenal: Islam, yes. Partai Islam, no! Maka disamping muslihat wasit menjadi pemain (baca: birokrat sebagai panitia Pemilu) dalam Pemilu, Nurcholis Majid secara komunikasi politik ikut pula bertanggung jawab dalam strategi menciptakan monster yang disebut single majority.
Firman Allah SWT dalam Al Quran: WLTKN MNKM AMT YD'AWN ALY ALKHYR WYaMRWN BALM'ARWF WYNHWN 'AN ALMNKR WAWLAaK HM MFLhWN (S. AL 'AMRAN, 3:104), dibaca: waltakum mingkum ummatuy yad'u-na ilal khayri waya'muru-na bil ma'ru-fi wayanhawna 'anil mungkari waula-ika humul muflihu-na (s. ali 'ilra-n), haruslah ada di antara kamu kelompok yang menyampaikan pesan-pesan kebajikan, memberikan perintah dengan arif dan mencegah kemungkaran, dan mereka itu orang-orang yang mendapat kemenangan.
Kalimah WLTKN -waltakun- dalam ayat (3:104) itu terdapat Lam Al Amr, yaitu huruf Lam yang menyatakan perintah, sehingga apa yang dinyatakan ayat itu wajib hukumnya tentang adanya kelompok berupa organisasi ataupun partai politik dalam kalangan ummat Islam. Sehingga mendirikan organisasi da'wah untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan dan organisasi berupa partai politik untuk memberikan perintah dengan arif dan mencegah kemungkaran merupakan fardhu kifayah. Organisasi da'wah menjalankan komunikasi berjenjang naik (bottom up) dan partai politik meneruskan kekuatan bertangga turun (top down).
Selama ini baik secara perorangan maupun secara organisasi da'wah Islamiyah telah dilancarkan secara intensif. Secara perorangan seperti para khatib melalui Khuthbah Jum'ah, para muballigh melalui ceramah-ceramah dalam bulan Ramadhan dan selesai shalat wajib berjama'ah, melalui majlis ta'lim, melalui peringatan mawlid dan isra/mi'raj, melalui media televisi dan tulisan-tulisan berupa artikel di media cetak dan berupa makalah dalam diskusi. Secara organisasi berupa seruan dari organisasi-organisasi da'wah seperti Dewan Da'wah, Muhammadiyah, NU, Persis, dll., bahkan fatwa dari Majelis 'Ulama.
Mereka itu semua telah menyampaikan pesan-pesan kebajikan. Akan tetapi mereka itu semua selama ini tidak dapat memberikan perintah dengan arif dan mencegah kemungkaran. Mengapa khatib, muballigh, da'i, Dewan Da'wah, Muhammadiyah, NU, Persis dll, hanya sebatas menyampaikan pesan, namun tidak dapat memberikan perintah dengan arif dan mencegah kemungkaran? Karena mereka tidak punya otoritas untuk Ya'muruwna, memerintahkan, memberikan instruksi. Apakah mereka itu semua para khatib, muballigh, da'i, Muhammadiyah, NU, Persis dll, dapat memberikan sanksi jika penyelenggara tempat-tempat maksiyat yang berkedok tempat hiburan itu tidak mau menutup night clubnya? Jika mereka itu memberikan sanksi dengan mengerahkan massa untuk mengobrak-abrik tempat-tempat maksiyat itu, tentu saja mereka sanggup, akan tetapi dengan cara itu mereka akan melanggar hukum positif yaitu menjadi hakim sendiri secara beramai-ramai.
Untuk itu ummat Islam supaya dapat melakukan ya'muru-na bil ma'ru-fi wayanhawna 'anil mungkari , haruslah membentuk kekuatan dengan mendirikan partai politik berasaskan Islam. Partai politik berasaskan Islam ini bukan hanya sekadar menampung aspirasi ummat Islam, akan tetapi yang terpenting ialah membumikan Nilai Wahyu di atas bumi Indonesia. Yaitu mentransfer Nilai Wahyu sebagai Rahmatan lil'A-lami-n menjadi konsep dasar dalam menyusun sistem politik, ekonomi, dan pemerintahan sehingga tidak terjadi "one man show". Sistem itu diwujudkan berupa peraturan perundang-undangan di negara Republik Indonesia. Itulah gunanya mendirikan partai politik berasaskan Islam, dan ini tidak keluar dari bingkai reformasi seperti yang telah dibahas dalam Seri 338 pada hari Ahad yang lalu. Kita tidak sependapat dengan Nurcholis Majid (jika seandainya masih demikian pendiriannya). Alhasil kita katakan Islam, yes. Partai Islam, yes. WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 13 September 1998
6 September 1998
[+/-] |
338. Bingkai Reformasi |
Reformasi bukanlah revolusi. Reformasi tidaklah menebas secara penuh serta membuang sama sekali semua nilai, produk zaman yang silam. Reformasi ialah meneruskan yang baik, meluruskan yang menyimpang, memperbaiki yang salah, menambah yang kurang dan membuang yang lebih dalam bingkai nilai yang telah disepakati secara nasional. Reformasi tanpa bingkai menghasilkan khaos, keamburadulan. Siang hari bertenun kain, malam hari benang-benang kain dilepaskan kembali. Reformasi tanpa bingkai menghasilkan kesimpang-siuran cara pandang, masing-masing orang memandang masalah poleksosbudhankam menurut selera dan kepentingan masing-masing, kepala sama berbulu pandangan berlain-lainan. Reformasi tanpa bingkai menghasilkan asal-asalan, tidak ada tujuan yang jelas dalam bereformasi, ibarat perahu tanpa kemudi. Reformasi tanpa bingkai menghasilkan produk tanpa konsep dasar, bagai bersandar tanpa tumpuan.
Setting dokumen sejarah yang berikut adalah bingkai reformasi yang dimaksud:
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. (tiga alinea Piagam Jakarta, 22 Juni 1945).
Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. (Teks Proklamasi, 17 Agustus 1945, proklamator Soekarno - Hatta).
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang bekedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar, 18 Agustus 1945).
Bingkai yang di atas itu dipakai baik selama Orde Lama dan Orde Baru di masa lampau maupun Orde Reformasi yang sekarang. Jangan sampai kebencian kepada rejim Soekarno dan rejim Soeharto menyebabkan pula bingkai nilai itu dibuang jauh, jangan sampai kebencian kepada suatu kaum menyebabkan kita tidak berlaku adil dan jujur.
***
Kebenaran itu ada dua jenis. Pertama, kebenaran relatif yang berasal dari kelompok manusia. Kebenaran jenis ini berdasar atas dasar kesepakatan bersama oleh kelompok. Kedua, kebenaran mutlak yang bersumber dari Maha Sumber yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul. Kebenaran relatif akan dapat bertahan selama kesepakatan itu tidak bertentangan dengan kebenaran mutlak.
Kalau disimak bingkai nilai yang telah disepakati oleh bangsa Indonesia di atas itu, tidaklah bertentangan dengan nilai mutlak. Bahkan nilai relatif bingkai tersebut adalah aktualisasi nilai mutlak yang dioperasionalkan oleh bangsa Indonesia dalam menegara. Bingkai di atas itu sesungguhnya membumikan nilai wahyu ke atas bumi persada Indonesia. Supaya tidak salah paham perlu ditekankan bahwa bingkai itu tetap dipertahankan bukan karena disakralkan, melainkan karena bingkai itu merupakan satu kesatuan dengan negara Republik Indonesia. Melepaskan bingkai itu berarti membubarkan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, suatu perbuatan yang sia-sia, yang dikandung berceceran yang dikejar tidak dapat.
***
Sekarang ada yang membicarakan cara pemilihan presiden, apakah secara langsung atau tidak langsung. Undang-Undang Dasar jangan disakralkan, dapat diubah jika dianggap perlu. Reformasi berupa perubahan cara pemilihan presiden itu masih dalam bingkai yang dikemukakan di atas.
Yang lebih ramai dibicarakan yaitu tentang bentuk negara kesatuan atau negara federasi. Sebenarnya jika bingkai nilai di atas itu diperlakukan dalam bereformasi, kemudian disusul dengan perilaku menegara di atas keadilan antara pusat dengan daerah, serta antara daerah dengan daerah yang lain, maka apa yang disebutkan provinsi dengan negara bagian pada hakekatnya hanyalah permainan semantik belaka. Mengapa? Oleh karena keadilan dalam kontex pembagian rezeki antara pusat dengan daerah dan antara daerah dengan daerah, maka provinsi dengan negara bagian secara substansial adalah sama, hanya berbeda dalam hal semantik. Lihatlah contoh misalnya negara India, suatu negara kesatuan dibagi atas provinsi, namun Hyderabad sebenarnya suatu kerajaan kecil dalam negara kesatuan India. "Kerajaan" Hyderabad sesungguhnya jauh lebih kental sifat "kerajaannya" ketimbang Daerah Istimewa Yogyakarta.
Firman Allah SWT dalam Al Quran:
Ya-ayyuhallasziyna A-manuw Kuwnuw Qawwamoyna liLla-hi Syuhada-a bilQisthi wa Laa Yarjimannakum Syanaanu Qawmin 'alay Allaa Ta'diluw I'diluw Huwa Aqrabu lilTaqway IttaquLla-ha inna Lla-ha Khabiyrun biMaa Ta'maluwn (S. Al Maaidah, 5:8). Hai orang-orang beriman jadikanlah (dirimu) berpendirian karena Allah, bersaksi dengan jujur, janganlah karena kebencianmu atas suatu golongan sehingga kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah karena keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan, taqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa-apa yang kamu lakukan. WaLla-hu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 6 September 1998