Adapun etologist yang mula-mula adalah Nabi Sulaiman AS. Dalam Al Quran Nabi Sulaiman AS disebut ahli tentang manthiqu ththayr, logika burung, katakanlah tabiat burung, etologi tentang burung. Jadi mendahului The Bird Man of Al Catraz. Istilah etologi ini jangan dikacaukan dengan ekologi. Etologi diturunkan dari bahasa Inggris ethology, yaitu suatu ilmu yang berhubungan dengan tabiat binatang. Contoh misalnya kawanan babun, sejenis kera. Bagaimana kelompok babun itu yang didorong oleh naluri mempertahankan hidup, yang dalam hal ini mempertahankan kelompoknya dikaji dalam etologi, yang tentu saja hasil dari observasi mengenai kehidupan babun itu. Adapun babun itu oleh Allah SWT diberi naluri menyusun hirarki kepemimpinan. Apabila akan mendekati daerah yang ada makanan maka seluruh pemimpin dalam formasi hirarki akan mundur ke belakang. Pemimpin yang paling top menempati posisi paling belakang. Sebaliknya jika kelompok babun itu mencium adanya bahaya di depan, maka pemimpin kelompok dalam formasi hirarki pimpinan semuanya maju ke depan untuk melindungi anak buahnya dari bahaya. Pemimpin babun yang paling top akan menempati posisi paling depan. Pemimpin-pemimpin babon mengurusi kelompok-kelompok seperti pada militer, sejenis regu, sejenis kompi, sejenis batalyon. Pemimpin top ibarat komandan divisi. Kalau ada kepala regu berselisih dengan kepala kompi, maka kepala batalyon segera mengetuk kepala dari kepala kompi, membela yang lemah. Apabila seekor kepala regu menganiaya seekor babon dalam regunya, kepala kompi segera mengetuk kepala dari kepala regu.
Kita sebagai manusia patut merasa malu, jika menghadapi "rezeki" para pemimpin yang maju kedepan, anak buah di belakang. Kita sebagai manusia patut merasa malu, jika menghadapi bahaya anak buah disuruh maju, pemimpin tinggal di bunker, atau anak buah dikirim ke negeri orang disuruh berlaga, sementara sang pemimpin tetap menikmati fasilitas dalam istananya. Tidak banyak pemimpin yang maju ke medan laga yang menghadapkan dadanya di ujung senjata musuh.
Dalam perang Hunain, sebuah qabilah yang mahir memanah hampir saja mengocar-kacirkan pasukan Islam, jika pada saat genting itu Rasulullah SAW tidak dengan segera memacu kudanya ke depan di tengah-tengah hujan panah, mengerahkan pasukan Islam untuk menyerbu ke depan.
Beberapa hari yang lalu setelah shalat subuh saya menyaksikan dua ekor kucing jantan berlaga. Dimulai dengan saling menggertak. Yang seekor suara gertakannya nyaring dan intensif, sedangkan sang lawan bunyi gertakannya rendah-rendah saja. Setelah prolog saling menggertak, keduanya lalu berlaga. Ternyata yang tinggi dan nyaring serta intensif bunyinya itu sebentar saja bercakar sudah kalah. Ia memberikan lehernya di depan lawannya, sebagai pernyataan kalah, atau sekurang-kurangnya sebagai isyarat gencetan senjata sepihak. Dan anehnya kucing yang menang itu yang bunyi gertakannya rendah-rendah itu tidak menerkam leher lawannya yang sudah terpasang di depan mulutnya, melainkan sang pemenang mundur meninggalkan lawannya.
Ada yang menarik dalam peristiwa kucing berlaga itu, untuk dijadikan contoh. Karena Allah menyuruh kita untuk belajar dari contoh-contoh kehidupan dari binatang sekalipun, seperti FirmanNya dalam Al Quran S. Al Baqarah, 26. InnaLlaha la yastahyie an yadhriba matsalan ma ba'uwdhatan fa ma fauqaha, Sesungguhnya Allah tidak segan untuk menyodorkan contoh seamsal nyamuk, bahkan yang lebih rendah sekalipun. Kucing yang tinggi dan intensif bunyi gertakannya itu mengingatkan saya pada sebuah Kelong Mangkasara' dalam lagu Ma' Rencong-Rencong, demikian bunyinya:
Gunturuqnaji malompo
Kilaqna maqlaqbang lino
Bosi sarrona
Tamalliang tompoq bangkeng
Hanya gunturnya menggelegar
Kilatnya yang mengglobal
Hujannya yang lebat
Punggung kakipun tak terliwat
Saddam Husain mengumumkan gencetan senjata secara sepihak, ibarat kucing yang kalah tadi. Tetapi Bush (dan juga Clinton?) bukan kucing. Sodoran leher malahan disambut dengan mulut senjata. Move politik Saddam Husain ini bagi Amerika tidak ada pengaruhnya. Mengapa? Gencetan senjata secara sepihak baru efektif apabila dalam keadaan posisi yang menang. Ibarat Sayidina 'Ali melepaskan musuhnya ketika ia menang dalam pergumulan, itu baru punya arti.
Namun tentu saja secara emosional move politik Saddam ini menarik simpati khalayak dunia. Simpati kepada siapa? Kepada rakyat Iraq tentunya yang sudah sangat menderita akibat perang. Namun rakyat Iraq tidaklah identik dengan Saddam Husain. Raja Husain dari Jordania, yang dalam Perang Teluk berdiri di pihak Saddam, dalam pidato pada hari ulang tahun penobatannya baru-baru ini malahan secara tidak langsung mengisyaratkan agar Saddam Husain dienyahkan dari kekuasaannya. Demikian pula Housni Mubarak, Presiden Mesir. Keduanya atas dasar simpati kepada rakyat Iraq yang sudah sangat menderita. Les Aspin Menteri Pertahanan Amerika juga menyuruh mundur Sadam Husain, namun alasannya tentu lain. Ia tidak dapat mengatur kemauan Saddam menurut keinginan Amerika. Lalu apakah Sadam akan bersedia mundur? Dan kalau mundur apakah penderitaan rakyat Iraq akan berakhir?
Menurut pakar sejarah dan sosiologi Ibnu Khaldun penguasa yang mendapatkan kekuasannya dengan jalan kekerasan, pertumpahan darah, maka penguasa yang demikian itu tidak akan mau mundur. Pada 17 Juli 1968 Saddam Husain bersama Ahmad Hasan Bakir berhasil menyingkirkan Abd. Rahman Arif dengan kudeta berdarah. Setelah Bakir meninggal karena serangan jantung tahun 1976, Saddam Husain menjadi penguasa tunggal Iraq, sampai sekarang. Dan walaupun Saddam dapat digulingkan secara paksa, maka belum tentu dapat memecahkan persoalan. Hanya ada manfaatnya jika kelompok yang menggulingkan itu menyelenggarakan pemilihan umum untuk membentuk pemerintahan baru. Lalu Partai Ba'ath dibubarkan, karena ideologi partai ini dengan kepemimpinan otoriter merupakan satu sistem.
Semua pintu yang dapat memungkinkan Amerika masuk ke Asia Barat ditutup. (Saya tidak pakai ungkapan Timur Tengah, karena kaki dan kepala saya ada di Indonesia, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung dalam arti tekstual). Yaitu dengan politik dalam dan luar negeri yang segar dan terbuka. Kebijakan dalam negeri memberi otonomi kepada kelompok Syi'ah di selatan dan Kurdi di utara akan menutup pintu bagi Amerika untuk masuk campur tangan dengan kemasan melindungi rakyat Iraq seperti misalnya non fly zone. Politik luar negeri harus berdasar atas hidup bertetangga secara damai, yang berarti ambisi ekspansi wilayah dengan mengklaim Kuwait atas dasar hak sejarah dihentikan. Maka tertutup pulalah pintu bagi Amerika untuk masuk dengan kemasan melindungi negara-negara tetangga Iraq dari ambisi ekspansi Iraq. Maka demikianlah adanya, Insya Allah. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 31 Januari 1993
31 Januari 1993
[+/-] |
066. Etologi |
24 Januari 1993
[+/-] |
065. Mi'raj dengan Angkasa Luar |
Tulisan ini saya ambil dari penggalan ceramah saya di Masjid Raya dalam rangka Peringatan Isra'-Mi'raj yang diselenggarakan oleh Panitia Hari-Hari Besar Islam, pada malam Sabtu, 22 Januari 1993.
Angkasa luar, atau ruang alam syahadah ini (physical world) relatif sifatnya. Relatif terhadap waktu, relatif terhadap tempat dan relatif terhadap kecepatan gerak. Makin cepat geraknya makin berkurang ukuran panjangnya dalam arah gerak, makin bertambah besar massanya dan waktu berjalan makin lambat. Selain waktu relatif terhadap kecepatan gerak, waktu juga relatif terhadap medan gravitasi. Makin besar medan gravitasi, waktu makin berjalan lebih lambat. Di Saturnus misalnya, yang medan gravitasinya lebih besar dari medan gravitasi bumi, waktu di sana berjalan lebih lambat dari di sini. Ruang alam syahadah ini lengkung ibarat bola berdimenasi empat, [panjang x lebar x tinggi x waktu x i]. Cahaya yang dipancarkan terus menerus akan tiba di tempat semula dalam waktu 200 bilyun tahun, apabila ruang alam syahadah ini statis. Dalam kenyataannya menurut pengamatan alam kita ini sedang berekspansi, mengembang.
Dengan begitu jelaslah bahwa Rasulullah SAW pada waktu Mi'raj bukanlah merupakan perjalanan angkasa luar di alam syahadah ini, karena kecepatan cahaya di alam syahadah adalah kecepatan maximum, lagi pula Mi'rajnya Rasulullah hanya kurang dari 12 jam padahal jarak seperti yang dipaparkan di atas menyangkut waktu bilyunan tahun, lagi pula ruang ini lengkung. Walhasil Rasulullah SAW Mi'raj menembus ruang alam syahadah yang nisbi ini. Menembus masuk alam ghaib yang mutlak, tidak nisbi, alam yang bebas dari ruang dan waktu. Pertanyaan DI MANA tidak punya arti sama sekali, juga pertanyaan KAPAN tidak punya arti juga, yang lalu, sekarang dan yang akan datang "menyatu". Hanya Allah yang Maha Tahu yang mengetahui keadaan ghaib yang demikian itu. Jadi tidak usah pusing-pusing memikirkan bagaimana bisa RasuluLlah "bertemu" dengan Nabi-Nabi terdahulu, melihat surga dan neraka, yang bagi kita di alam syahadah ini surga dan neraka itu sebagai tempat yang akan berisi kelak di waktu yang akan datang.
Janganlah akal kita disuruh berpikir melampauai batas kapasitasnya. Karena kapasitas akal hanya sebatas informasi yang dapat dideteksi oleh pancaindera. Berpikir melampaui batas kapasitas akal minimal tidak efisen maksimal akan merusak iman. Allah berfirman dalam S. Banie Israiel ayat 1: Subha-na lladziy asra' bi 'abadihi- laylan mina lmasjidi lhara-mi ila lmasjidi l-aqsha- alladziy barakna- hawlahu- linuriyahu- min a-y-atina-, innahu- huwa ssamiy'u l'bashyr. Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Al Masjid lHaram ke Al Masjidu lAqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan sebahagian dari tanda-tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Asra dalam ayat tersebut, artinya memperjalankan. Bentuk-bentuk yang lain adalah asri terletak dalam 5 ayat dan yasri dalam sebuah ayat. Dari kelima ayat yang memuat asri semuanya berhubungan dengan perjalanan malam, yaitu perjalanan Nabi Luth AS serta dengan pengikutnya (S. Hud,81 dan S. Al Hijr,65), dan perjalanan Nabi Musa AS dengan ummatnya keluar dari Mesir (S. Taha,77, dan S. Asy Syu'ra',52, dan S. Ad Dukhan, 23). Dan bentuk yasri menyangkut perjalanan mengenai malam itu sendiri (S. Al Fajr,4). Adapun perjalanan malam Nabi Luth AS dan Nabi Musa AS mengandung pengertian yang biasa saja. Tidak sama dengan pengertian asra' bagi Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai kekhususan, yang pertama tidak diikuti oleh manusia lain dan yang kedua seperti telah dikemukakan di atas yakni dari segi proses bukanlah suatu proses yang alamiayah, melainkan proses yang ghaib, karena S.Banie Israiel,1 dimulai dengan Subhana, suatu pernyataan ta'jub, bahwa asra itu bukan proses alamiyah biasa.
Itu menunjukkan bahwa sesungguhnya Mi'raj adalah bagian dari Isra. Memang ada pendapat, dan pada umumnya pendapat itu demikian, bahwa yang dimaksud dengan Isra adalah perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Palestina dan selanjutnya dari Palestina Mi'raj naik ke langit. Dan karena S. Banie Israiel ayat 1 tentang Isra' ini turunnya berbeda sekitar 5 tahun dengan turunnya S. AnNajm, bahkan ada yang berspekulasi behwa peristiwa Isra dengan Mi'raj itu terjadi dalam waktu yang berbeda.
Coba dipikir jika pengertian Isra dipersempit menjadi sekadar perjalanan di atas bumi, yaitu dari Makkah ke Darussalam (Jerusalem), lalu apa peranan kalimah Subhana pada permulaan ayat, dan linuriyahu min ayatina, untuk memperlihatkan sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Kata Subhana pada permulaan ayat menunjukkan bahwa peristiwa asra bi'abdihi bukan proses 'alamiyah yang normal, dan juga tanda-tanda kebesaran apa yang disaksikan RasuluLlah SAW kalau Isra itu hanya sekadar jarak antara Makkah dan Darusslam saja, RasuluLlah SAW tidak akan menyaksikan al ayah al Kubra, ayat yang maha besar yang disaksikan RasuluLlah dalam Mi'raj.
Di dalam matan Hadits tidak dipakai istilah Al Masjidu lAqsha untuk yang di Palestina melainkan Al Baytu lMaqdis. Jadi Rasulullah diperjalankan malam oleh Allah dari Masjidi lHaram ke Baytu lMaqdis tempat transit, di atas permukaan bumi sehingga mempergunakan "mekanisme" transportasi, yaitu buraq. Lalu dari tempat transit itu RasuluLlah menembus ke alam ghaib, Mi'raj ke tempat sujud yang terjauh, Al Masjidu lAqsha. Al Aqsha adalah ism tafdhiel, superlatif, yang terjauh.
Ghulibati rruwm. fiy adna l.ardhi (s. ArRuwm, 30: 2-3), artinya: Telah dikalahkan Rum. Di bumi yang dekat. Ayat (30: 2-3) tersebut menunjuk pada kejadian sejarah, yaitu Hiraqla (575? - 641)M., Kaisar Rum (610 - 641)M. dikalahkan pasukannya di Chalcedon oleh pasukan Khosrau Parvez, Raja Sassan (590 - 628)M. Chalcedon itu terletak di mulut Asia Kecil hanya dipisahkan oleh selat Bosporus dari ibu kota Kerajaan Rum, Konstantinopel. Jadi kalau kita ada di Makkah, maka Chalcedon lebih jauh letakknya dari Baytu lMaqdis. Mengapa bagi Chalcedon yang lebih jauh dikatakan adna, dekat sedangkan Palestina yang lebih dekat dikatakan aqsha? Itu artinya Al Masjid Al Aqsha tidak di Palestina, yang ada di Palestina adalah Al Baytu lMaqdis.
Al Baytu lMaqdis lokasinya lebih luas dari lokasi masjid yang sekarang dinamakan "Masjid al Aqsha". Sedangkan Al Masjid Al Aqsha dalam S. Banie Israiel ayat 1 adalah di ujung perjalanan Mi'raj Raulullah SAW, waktu beliau sujud dihadapan Allah SWT untuk menerima secara langsung kewajiban shalat, yang juga di situlah di Al Masjidu lAqsha berlangsung dialog antara Allah SWT dengan Rasulullah SAW yang terpateri di dalam shalat, yang kita ucapkan dalam shalat:
- Nabi: Attahiyatu liLlahi wa shshalawatu wathhayyibatu
- Allah: Assalamu 'alayka ayyuhannabiyyu wa RahmatuLlahi wa Barakatuhu
- Rasulullah: Assalamu 'alayna wa 'ala 'ibadi Llahi shshalihiyna . Asysyahadu an la ilaha illaLlah
- Allah SWT: Asysyahdu anna MuhammadarRasulullah.
Alhasil, Isra terdiri atas dua bahagian, yaitu bagian perjalanan dalam physical world dari Makkah ke Al Baytu lMaqdis, dan bagian "perjalanan" menembus alam ghaib yang disebut Mi'raj. Tanda kutip dalam tulisan "perjalanan" bermakna bahwa "perjalanan" itu tidaklah bersifat "space-time like", melainkan "perjalanan" yang bebas dari ruang dan waktu. Mi'raj adalah bagian dari Isra menempuh alam ghaib, artinya Mi'raj itu sekali-kali bukan perjalanan angkasa luar. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 24 Januari 1993
Angkasa luar, atau ruang alam syahadah ini (physical world) relatif sifatnya. Relatif terhadap waktu, relatif terhadap tempat dan relatif terhadap kecepatan gerak. Makin cepat geraknya makin berkurang ukuran panjangnya dalam arah gerak, makin bertambah besar massanya dan waktu berjalan makin lambat. Selain waktu relatif terhadap kecepatan gerak, waktu juga relatif terhadap medan gravitasi. Makin besar medan gravitasi, waktu makin berjalan lebih lambat. Di Saturnus misalnya, yang medan gravitasinya lebih besar dari medan gravitasi bumi, waktu di sana berjalan lebih lambat dari di sini. Ruang alam syahadah ini lengkung ibarat bola berdimenasi empat, [panjang x lebar x tinggi x waktu x i]. Cahaya yang dipancarkan terus menerus akan tiba di tempat semula dalam waktu 200 bilyun tahun, apabila ruang alam syahadah ini statis. Dalam kenyataannya menurut pengamatan alam kita ini sedang berekspansi, mengembang.
Dengan begitu jelaslah bahwa Rasulullah SAW pada waktu Mi'raj bukanlah merupakan perjalanan angkasa luar di alam syahadah ini, karena kecepatan cahaya di alam syahadah adalah kecepatan maximum, lagi pula Mi'rajnya Rasulullah hanya kurang dari 12 jam padahal jarak seperti yang dipaparkan di atas menyangkut waktu bilyunan tahun, lagi pula ruang ini lengkung. Walhasil Rasulullah SAW Mi'raj menembus ruang alam syahadah yang nisbi ini. Menembus masuk alam ghaib yang mutlak, tidak nisbi, alam yang bebas dari ruang dan waktu. Pertanyaan DI MANA tidak punya arti sama sekali, juga pertanyaan KAPAN tidak punya arti juga, yang lalu, sekarang dan yang akan datang "menyatu". Hanya Allah yang Maha Tahu yang mengetahui keadaan ghaib yang demikian itu. Jadi tidak usah pusing-pusing memikirkan bagaimana bisa RasuluLlah "bertemu" dengan Nabi-Nabi terdahulu, melihat surga dan neraka, yang bagi kita di alam syahadah ini surga dan neraka itu sebagai tempat yang akan berisi kelak di waktu yang akan datang.
Janganlah akal kita disuruh berpikir melampauai batas kapasitasnya. Karena kapasitas akal hanya sebatas informasi yang dapat dideteksi oleh pancaindera. Berpikir melampaui batas kapasitas akal minimal tidak efisen maksimal akan merusak iman. Allah berfirman dalam S. Banie Israiel ayat 1: Subha-na lladziy asra' bi 'abadihi- laylan mina lmasjidi lhara-mi ila lmasjidi l-aqsha- alladziy barakna- hawlahu- linuriyahu- min a-y-atina-, innahu- huwa ssamiy'u l'bashyr. Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Al Masjid lHaram ke Al Masjidu lAqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan sebahagian dari tanda-tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Asra dalam ayat tersebut, artinya memperjalankan. Bentuk-bentuk yang lain adalah asri terletak dalam 5 ayat dan yasri dalam sebuah ayat. Dari kelima ayat yang memuat asri semuanya berhubungan dengan perjalanan malam, yaitu perjalanan Nabi Luth AS serta dengan pengikutnya (S. Hud,81 dan S. Al Hijr,65), dan perjalanan Nabi Musa AS dengan ummatnya keluar dari Mesir (S. Taha,77, dan S. Asy Syu'ra',52, dan S. Ad Dukhan, 23). Dan bentuk yasri menyangkut perjalanan mengenai malam itu sendiri (S. Al Fajr,4). Adapun perjalanan malam Nabi Luth AS dan Nabi Musa AS mengandung pengertian yang biasa saja. Tidak sama dengan pengertian asra' bagi Nabi Muhammad SAW, yang mempunyai kekhususan, yang pertama tidak diikuti oleh manusia lain dan yang kedua seperti telah dikemukakan di atas yakni dari segi proses bukanlah suatu proses yang alamiayah, melainkan proses yang ghaib, karena S.Banie Israiel,1 dimulai dengan Subhana, suatu pernyataan ta'jub, bahwa asra itu bukan proses alamiyah biasa.
Itu menunjukkan bahwa sesungguhnya Mi'raj adalah bagian dari Isra. Memang ada pendapat, dan pada umumnya pendapat itu demikian, bahwa yang dimaksud dengan Isra adalah perjalanan Rasulullah dari Makkah ke Palestina dan selanjutnya dari Palestina Mi'raj naik ke langit. Dan karena S. Banie Israiel ayat 1 tentang Isra' ini turunnya berbeda sekitar 5 tahun dengan turunnya S. AnNajm, bahkan ada yang berspekulasi behwa peristiwa Isra dengan Mi'raj itu terjadi dalam waktu yang berbeda.
Coba dipikir jika pengertian Isra dipersempit menjadi sekadar perjalanan di atas bumi, yaitu dari Makkah ke Darussalam (Jerusalem), lalu apa peranan kalimah Subhana pada permulaan ayat, dan linuriyahu min ayatina, untuk memperlihatkan sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Kata Subhana pada permulaan ayat menunjukkan bahwa peristiwa asra bi'abdihi bukan proses 'alamiyah yang normal, dan juga tanda-tanda kebesaran apa yang disaksikan RasuluLlah SAW kalau Isra itu hanya sekadar jarak antara Makkah dan Darusslam saja, RasuluLlah SAW tidak akan menyaksikan al ayah al Kubra, ayat yang maha besar yang disaksikan RasuluLlah dalam Mi'raj.
Di dalam matan Hadits tidak dipakai istilah Al Masjidu lAqsha untuk yang di Palestina melainkan Al Baytu lMaqdis. Jadi Rasulullah diperjalankan malam oleh Allah dari Masjidi lHaram ke Baytu lMaqdis tempat transit, di atas permukaan bumi sehingga mempergunakan "mekanisme" transportasi, yaitu buraq. Lalu dari tempat transit itu RasuluLlah menembus ke alam ghaib, Mi'raj ke tempat sujud yang terjauh, Al Masjidu lAqsha. Al Aqsha adalah ism tafdhiel, superlatif, yang terjauh.
Ghulibati rruwm. fiy adna l.ardhi (s. ArRuwm, 30: 2-3), artinya: Telah dikalahkan Rum. Di bumi yang dekat. Ayat (30: 2-3) tersebut menunjuk pada kejadian sejarah, yaitu Hiraqla (575? - 641)M., Kaisar Rum (610 - 641)M. dikalahkan pasukannya di Chalcedon oleh pasukan Khosrau Parvez, Raja Sassan (590 - 628)M. Chalcedon itu terletak di mulut Asia Kecil hanya dipisahkan oleh selat Bosporus dari ibu kota Kerajaan Rum, Konstantinopel. Jadi kalau kita ada di Makkah, maka Chalcedon lebih jauh letakknya dari Baytu lMaqdis. Mengapa bagi Chalcedon yang lebih jauh dikatakan adna, dekat sedangkan Palestina yang lebih dekat dikatakan aqsha? Itu artinya Al Masjid Al Aqsha tidak di Palestina, yang ada di Palestina adalah Al Baytu lMaqdis.
Al Baytu lMaqdis lokasinya lebih luas dari lokasi masjid yang sekarang dinamakan "Masjid al Aqsha". Sedangkan Al Masjid Al Aqsha dalam S. Banie Israiel ayat 1 adalah di ujung perjalanan Mi'raj Raulullah SAW, waktu beliau sujud dihadapan Allah SWT untuk menerima secara langsung kewajiban shalat, yang juga di situlah di Al Masjidu lAqsha berlangsung dialog antara Allah SWT dengan Rasulullah SAW yang terpateri di dalam shalat, yang kita ucapkan dalam shalat:
- Nabi: Attahiyatu liLlahi wa shshalawatu wathhayyibatu
- Allah: Assalamu 'alayka ayyuhannabiyyu wa RahmatuLlahi wa Barakatuhu
- Rasulullah: Assalamu 'alayna wa 'ala 'ibadi Llahi shshalihiyna . Asysyahadu an la ilaha illaLlah
- Allah SWT: Asysyahdu anna MuhammadarRasulullah.
Alhasil, Isra terdiri atas dua bahagian, yaitu bagian perjalanan dalam physical world dari Makkah ke Al Baytu lMaqdis, dan bagian "perjalanan" menembus alam ghaib yang disebut Mi'raj. Tanda kutip dalam tulisan "perjalanan" bermakna bahwa "perjalanan" itu tidaklah bersifat "space-time like", melainkan "perjalanan" yang bebas dari ruang dan waktu. Mi'raj adalah bagian dari Isra menempuh alam ghaib, artinya Mi'raj itu sekali-kali bukan perjalanan angkasa luar. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 24 Januari 1993
17 Januari 1993
[+/-] |
064. Hak Sejarah, Test Case dan Nilai Ganda |
Iraq dalam personifikasi Saddam Husain tidak henti-hentinya menklaim Kuwait sebagai bagian dari Iraq berdasarkan hak sejarah. Klaim Iraq atas Kuwait ini di samping sebagai tuntutan utama juga dijadikan sebagai test case bagi DK-PBB yang dimotori oleh Amerika Serikat dalam personifikasi George Bush. Yaitu apakah dengan penyusupan berulang kali masuk daerah Kuwait oleh tentara jin dari Saddam Husain, akan mendapat tanggapan George Bush yang menjelang akhir jabatannya sebagai presiden Amerika Serikat. Apakah Bush berani bertindak menyerang Iraq atau tidak. Dan ternyata test case yang berupa gertakan ini disambut Bush cs dengan muntahan mesin perang.
Sebelum melanjutkan pembahasan akan diberikan selingan sedikit mengenai ungkapan tentara jin itu. Adapun ungkapan ini saya pelajari dari guru saya Allahu yarham DR S.Majidi. Beliau memberikan penafsiran tentara jin Nabi Sulaiman AS tidak seperti penafsiran yang umum kita kenal. Ungkapan tentara jin dalam Al Quran S. An Naml, 17 junuwduhu minaljinni, menurut beliau adalah tentera yang sifatnya seperti jin, yaitu tidak kelihatan. Tentara jin Nabi Sulaiman AS menurut beliau terdiri atas manusia biasa. Manusianya kelihatan, tetapi tentaranya tidak kelihatan. Artinya identitasnya sebagai tentara disamarkan, pasukan itu tidak berpakaian seragam. Beliau memberikan contoh tentara Jenghis Khan yang menyusup ke daerah musuh yang akan ditaklukkannya. Pasukan yang menyusup itu mempunyai dua tugas pokok. Pertama, mengadakan sabotase dan kedua, menurunkan semangat perlawanan musuh dengan meniup-niupkan isu tentang kehebatan tentara Mongolnya Jenghis Khan. Beliaupun menunjuk kepada Pasukan Kolone ke-5 Hitler. Menurut beliau taktik itu bukanlah oisinel dari Hitler ataupun Jenghis Khan, melainkan Nabi Sulaimanlah yang memulainya. Dan itulah yang disebut dengan tentara jin.
Kembali kita kepada hak sejaah. Tuntutan wilayah kepada suatu negara tertentu ataupun wilayah tertentu berdasarkan hak sejarah akan mengacaukan dunia. Lihatlah contohnya Israel sekarang. Orang-orang Yahudi membentuk negara Israel di tengah-tengah wilayah orang Arab berdasarkan hak sejarah, seperti yang dalam Perjanjian Lama. Bahkan saya pernah membaca buku expansi Zionisme dalam jangka panjang sampai-sampai menjangkau Madinah di bagaian selatan. Seperti diketahui dahulu di Madinah bermukim orang-orang Yahudi yang diam dalam benteng-benteng. Nah, kalau ini dapat dibenarkan, maka Malaysia dapat mengklaim Singapura sekarang ini. Hubungan Malaysia dengan Pilipina pernah menjadi runyam, karena ulah Pilipina menklaim Sabah, berdasarkan hak sejarah. Katanya Sabah dahulu adalah bagaian dari Kerajaan Sulu yang sekarang bagaian dari Pilipina. Nederland dapat menklaim Luxemburg dan lain sebagainya.
Saddam Husain tidak mengakui Negara Israel karena mencaplok wilayahnya orang-orang Arab Palestina. Alasan hak sejarah orang-orang Yahudi berdasarkan Perjanjian Lama ditolak oleh Saddam Husain. Mengapa? Karena Saddam Husain tidak mengakui Negara Israel yang mencaplok wilayahnya orang-orang Arab Palestina, atas dasar hak sejaah menuut Pejanjian Lama. Nah, inilah yang disebut nilai ganda. Terhadap Israel Saddam menolak prinsip hak sejarah, sedangkan di lain pihak Saddam menklaim Kuwait atas dasar hak sejarah. Nilai hak sejarah Israel atas Palestina no, hak sejarah Iraq atas Kuwait yes.
Apakah cuma Saddam yang memakai nilai ganda ini? Tidak, bukan hanya Saddam seorang. Lawan bebuyutnya juga demikain. DK-PBB dalam pesonifikasi Bush, juga pakai nilai ganda. Pembangkangan Israel terhadap Resolusi Dewan Keamanan bagi Bush yes, sedangkan pembangkangan Saddam Husain bagi Bush no. Dan buat sementara sampai sejauh sekarang ini pelanggaran zone bebas terbang di Iraq no, sedangkan di daerah Bosnia-Herzegoina yes. Baiklah kita tunggu saja bagaimana DK-PBB dalam personifikasi Clinton tidak memakai nilai ganda ini dalam hal zone bebas terbang baik di selatan dan utara Iraq maupun di Bosnia-Herzegoina.
Titik kulminasi dari sikap nilai ganda ini disebut nifaq. Penyandangnya disebut munafiq. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al Quran, S. Al Baqarah, 14:
Wa idza laqulwlazdiena amanuw qaluw amanna wa idza khalaw ila syayathienihim qaluw innaa ma'akum innama nahnu mustahziuwn, apabila mereka itu di kalangan orang beriman mereka berkata kami beriman, namun apabila mereka menghadapi setan-setan (ketua mereka) berkatalah mereka itu sesungguhnya kami bersamamu, tadi kami hanya berolok-olok saja. Inilah sikap nilai ganda yang paling puncak, inilah titik kulminasi penilai ganda, yang disebut munafiq. Yang di titik kulminasi nilai ganda itu bertujuan untuk cari selamat. Dan yang masih berada di bawah titik kulminasi, artinya belum di puncak, katakanlah masih di lereng, semisal Bush dan Saddam, nilai ganda itu bertujuan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Ya, untuk mencari selamat, untuk kepentingan politik dan kekuasaan sebatas di dunia ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 17 Januari 1993
Sebelum melanjutkan pembahasan akan diberikan selingan sedikit mengenai ungkapan tentara jin itu. Adapun ungkapan ini saya pelajari dari guru saya Allahu yarham DR S.Majidi. Beliau memberikan penafsiran tentara jin Nabi Sulaiman AS tidak seperti penafsiran yang umum kita kenal. Ungkapan tentara jin dalam Al Quran S. An Naml, 17 junuwduhu minaljinni, menurut beliau adalah tentera yang sifatnya seperti jin, yaitu tidak kelihatan. Tentara jin Nabi Sulaiman AS menurut beliau terdiri atas manusia biasa. Manusianya kelihatan, tetapi tentaranya tidak kelihatan. Artinya identitasnya sebagai tentara disamarkan, pasukan itu tidak berpakaian seragam. Beliau memberikan contoh tentara Jenghis Khan yang menyusup ke daerah musuh yang akan ditaklukkannya. Pasukan yang menyusup itu mempunyai dua tugas pokok. Pertama, mengadakan sabotase dan kedua, menurunkan semangat perlawanan musuh dengan meniup-niupkan isu tentang kehebatan tentara Mongolnya Jenghis Khan. Beliaupun menunjuk kepada Pasukan Kolone ke-5 Hitler. Menurut beliau taktik itu bukanlah oisinel dari Hitler ataupun Jenghis Khan, melainkan Nabi Sulaimanlah yang memulainya. Dan itulah yang disebut dengan tentara jin.
Kembali kita kepada hak sejaah. Tuntutan wilayah kepada suatu negara tertentu ataupun wilayah tertentu berdasarkan hak sejarah akan mengacaukan dunia. Lihatlah contohnya Israel sekarang. Orang-orang Yahudi membentuk negara Israel di tengah-tengah wilayah orang Arab berdasarkan hak sejarah, seperti yang dalam Perjanjian Lama. Bahkan saya pernah membaca buku expansi Zionisme dalam jangka panjang sampai-sampai menjangkau Madinah di bagaian selatan. Seperti diketahui dahulu di Madinah bermukim orang-orang Yahudi yang diam dalam benteng-benteng. Nah, kalau ini dapat dibenarkan, maka Malaysia dapat mengklaim Singapura sekarang ini. Hubungan Malaysia dengan Pilipina pernah menjadi runyam, karena ulah Pilipina menklaim Sabah, berdasarkan hak sejarah. Katanya Sabah dahulu adalah bagaian dari Kerajaan Sulu yang sekarang bagaian dari Pilipina. Nederland dapat menklaim Luxemburg dan lain sebagainya.
Saddam Husain tidak mengakui Negara Israel karena mencaplok wilayahnya orang-orang Arab Palestina. Alasan hak sejarah orang-orang Yahudi berdasarkan Perjanjian Lama ditolak oleh Saddam Husain. Mengapa? Karena Saddam Husain tidak mengakui Negara Israel yang mencaplok wilayahnya orang-orang Arab Palestina, atas dasar hak sejaah menuut Pejanjian Lama. Nah, inilah yang disebut nilai ganda. Terhadap Israel Saddam menolak prinsip hak sejarah, sedangkan di lain pihak Saddam menklaim Kuwait atas dasar hak sejarah. Nilai hak sejarah Israel atas Palestina no, hak sejarah Iraq atas Kuwait yes.
Apakah cuma Saddam yang memakai nilai ganda ini? Tidak, bukan hanya Saddam seorang. Lawan bebuyutnya juga demikain. DK-PBB dalam pesonifikasi Bush, juga pakai nilai ganda. Pembangkangan Israel terhadap Resolusi Dewan Keamanan bagi Bush yes, sedangkan pembangkangan Saddam Husain bagi Bush no. Dan buat sementara sampai sejauh sekarang ini pelanggaran zone bebas terbang di Iraq no, sedangkan di daerah Bosnia-Herzegoina yes. Baiklah kita tunggu saja bagaimana DK-PBB dalam personifikasi Clinton tidak memakai nilai ganda ini dalam hal zone bebas terbang baik di selatan dan utara Iraq maupun di Bosnia-Herzegoina.
Titik kulminasi dari sikap nilai ganda ini disebut nifaq. Penyandangnya disebut munafiq. Sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Al Quran, S. Al Baqarah, 14:
Wa idza laqulwlazdiena amanuw qaluw amanna wa idza khalaw ila syayathienihim qaluw innaa ma'akum innama nahnu mustahziuwn, apabila mereka itu di kalangan orang beriman mereka berkata kami beriman, namun apabila mereka menghadapi setan-setan (ketua mereka) berkatalah mereka itu sesungguhnya kami bersamamu, tadi kami hanya berolok-olok saja. Inilah sikap nilai ganda yang paling puncak, inilah titik kulminasi penilai ganda, yang disebut munafiq. Yang di titik kulminasi nilai ganda itu bertujuan untuk cari selamat. Dan yang masih berada di bawah titik kulminasi, artinya belum di puncak, katakanlah masih di lereng, semisal Bush dan Saddam, nilai ganda itu bertujuan untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Ya, untuk mencari selamat, untuk kepentingan politik dan kekuasaan sebatas di dunia ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 17 Januari 1993
10 Januari 1993
[+/-] |
063. Shalat, Kepemimpinan dan Kepengikutan |
Saya teringat sebuah peristiwa bertahun-tahun yang silam. Kejadiannya dalam bulan Rajab. Allahu yarham H. AbdulGhani, imam tetap Masjid Syura waktu itu sedang mengimami shalat Maghrib. Sementara membaca pangumpu' beliau diserang batuk. Beliau lalu meningkir ke samping, lalu Drs Sulthan BM, yang sekarang menjadi salah seorang imam tetap Masjid Syura maju ke depan melanjutkan mengimami shalat Maghrib, bacaan pangumpu' disambung dan gerak shalat diteruskan. Allahu yarham H. AbdulGhani keluar melalui pintu samping mihrab, kemudian setelah serangan batuknya pulih ikut kembali shalat berjama'ah menjadi makmum dengan masbuk dengan menempati shaf paling belakang.
Sekarang ini sudah masuk lagi bulan Rajab, itulah sebabnya saya teringat akan peristiwa pergantian keimaman dalam shalat Maghrib di Masjid Syura tersebut. Bahkan dalam bulan Rajab ada suatu peristiwa yang sangat penting yang selalu diperingati oleh ummat Islam sedunia, peristiwa Isra' dan Mi'raj. Tulisan ini akan membicarakan secuil dari sekian banyak segi dalam meresapi makna Isra' dan Mi'raj itu. Akan dibatasi hanya dalam hal hasil yang dibawa pulang oleh RasululLah SAW dari Mi'raj beliau, yaitu shalat. Itupun hanya menyangkut dengan apa yang tertera dalam judul di atas, Kepemimpinan dan Kepengikutan.
Shalat adalah bahasa Al Quran, biasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan sembahyang, ataupun misalnya to pray, bidden dalam bahasa Inggeris dan Belanda. Terjemahan-terjemahan itu tidaklah mencakup makna yang sebenarnya. To pray dan bidden adalah berdoa, dan berdoa itu hanya merupakan bagian dari shalat. Adapun terjemahan dengan sembahyang juga tidak kena. Bukan karena semata-semata "yang" itu dari "hyang" maka terjemahan itu tidak kena, melainkan lebih dari itu. Shalat esensinya bukan menyembah, melainkan berzikir, mengingat, jadi juga bukan mengheningkan cipta. Maka sebaiknya shalat itu tidak usah diterjemahkan. Dalam bahasa daerah Sunda tidak diterjemahkan, tetap shalat.
Ajaran Islam tentang kepemimpinan dan kepengikutan dapat kita simak dari shalat. Kepemimpinan dan kepengikutan tidak boleh lepas dari kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial. Perhatikanlah misalnya dalam shalat maghrib, 'isya, zhuhur, di mesjid. Setelah selesai shalat berjama'ah, bersama-sama shalat diimami oleh imam, lalu masing-masing melanjutkan shalat sunnat. Atau sebaliknya, sebelum shalat subuh, zhuhur dan 'ashar masing-masing secara individual shalat sunnat, baru dilanjutkan dengan shalat berjama'ah. Kalau tadi pada waktu shalat berjama'ah menggambarkan suatu jama'ah, komunitas, maka pada waktu shalat sunnat menggambarkan suatu hal yang menunjukkan perorangan. Artinya shalat berjama'ah diikuti oleh shalat sunnat, atau sebaliknya shalat sunnat diikuti shalat berjama'ah, menggambarkan makhluk sosial dan makhluk pribadi.
Seorang imam yang merasa tidak sanggup lagi memimpin shalat, dia minggir secara "legowo", seperti yang dilakukan oleh Allahu yarham H.AbdulGhani. Dalam konstruksi mesjid, pada bahagian mihrab harus ada pintu. Maksudnya pintu itu antara lain khusus disediakan bagi imam untuk keluar masjid pergi beristirahat, dan kalau masih sanggup shalat akan menjadi makmun. Inilah ajaran etika dalam kepemimpinan dalam Islam, kalau sudah merasa tinggak sanggup lagi, akan dengan ikhlas akan minggir. Ketidak sanggupan itu ada yang nampak, namun ada yang tidak nampak. Semisal diserang batuk, itu adalah ketidak sanggupan yang kelihatan. Kalau mengeluarkan angin, wudhuk akan batal, shalatpun akan batal. Dan ini adalah ketidak bolehan memimpin shalat yang penyebabnya tidak dapat dipantau oleh makmun. Jadi etika kepemimpian menurut Islam seorang pemimpin akan dengan ikhlas menyingkir kalau sudah tidak sanggup atau tidak pantas lagi menjadi pemimpin, apakah ketidak sanggupan atau ketidak pantasan itu dapat dipantau atau tidak oleh para pengikutnya.
Seorang imam yang melakukan kesalahan, salah bacaannya atau salah gerakannya wajib ditegur oleh makmun. Kalau yang menegur itu laki-laki ucapan teguran itu adalah kalimah subhalLah, untuk gerakan yang salah, dan membacakan bacaan yang benar untuk membenarkan bacaan imam. Dan kalau yang menegur itu perempuan cukup dengan isyarat menepuk punggung tangan. Dan imam harus tunduk pada teguran, memperbaiki bacaannya atau memperbaiki gerakannya. Adapun nilai yang dapat disimak tentang kepemimpinan dan kepengikutan adalah seorang pengikut wajib menegur pemimpinnya. Namun cara menegur adalah harus sopan, tidak boleh brutal. Teguran dengan kalimah subhanalLah bermakna bahwa Allah Maha Suci, hanya Allah yang luput dari kesalahan. Adapun manusia itu tidak akan sunyi dari kesalahan. Pemimpin harus dengan ikhlas dan berlapang dada menerima teguran, karena teguran itu adalah untuk memperbaiki, bukan untuk menjatuhkan.
Sebaliknya, seorang makmum tidak boleh mendahului imam. Sebelum komando Allahu Akbar dikomandokan imam, makmum tidak boleh bergerak. Ini adalah ajaran kepengikutan menurut Islam, ketaatan pengikut kepada pemimpinnya.
Demikianlah nilai-nilai yang dapat disimak dari shalat tentang hal kepemimpinan dan kepengikutan, khususnya etika kepemimpian dan etika kepengikutan dalam hal membina komuniksi yang baik dan terbuka antara pemimpin dengan pengikut. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 10 Januari 1993
Sekarang ini sudah masuk lagi bulan Rajab, itulah sebabnya saya teringat akan peristiwa pergantian keimaman dalam shalat Maghrib di Masjid Syura tersebut. Bahkan dalam bulan Rajab ada suatu peristiwa yang sangat penting yang selalu diperingati oleh ummat Islam sedunia, peristiwa Isra' dan Mi'raj. Tulisan ini akan membicarakan secuil dari sekian banyak segi dalam meresapi makna Isra' dan Mi'raj itu. Akan dibatasi hanya dalam hal hasil yang dibawa pulang oleh RasululLah SAW dari Mi'raj beliau, yaitu shalat. Itupun hanya menyangkut dengan apa yang tertera dalam judul di atas, Kepemimpinan dan Kepengikutan.
Shalat adalah bahasa Al Quran, biasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan sembahyang, ataupun misalnya to pray, bidden dalam bahasa Inggeris dan Belanda. Terjemahan-terjemahan itu tidaklah mencakup makna yang sebenarnya. To pray dan bidden adalah berdoa, dan berdoa itu hanya merupakan bagian dari shalat. Adapun terjemahan dengan sembahyang juga tidak kena. Bukan karena semata-semata "yang" itu dari "hyang" maka terjemahan itu tidak kena, melainkan lebih dari itu. Shalat esensinya bukan menyembah, melainkan berzikir, mengingat, jadi juga bukan mengheningkan cipta. Maka sebaiknya shalat itu tidak usah diterjemahkan. Dalam bahasa daerah Sunda tidak diterjemahkan, tetap shalat.
Ajaran Islam tentang kepemimpinan dan kepengikutan dapat kita simak dari shalat. Kepemimpinan dan kepengikutan tidak boleh lepas dari kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial. Perhatikanlah misalnya dalam shalat maghrib, 'isya, zhuhur, di mesjid. Setelah selesai shalat berjama'ah, bersama-sama shalat diimami oleh imam, lalu masing-masing melanjutkan shalat sunnat. Atau sebaliknya, sebelum shalat subuh, zhuhur dan 'ashar masing-masing secara individual shalat sunnat, baru dilanjutkan dengan shalat berjama'ah. Kalau tadi pada waktu shalat berjama'ah menggambarkan suatu jama'ah, komunitas, maka pada waktu shalat sunnat menggambarkan suatu hal yang menunjukkan perorangan. Artinya shalat berjama'ah diikuti oleh shalat sunnat, atau sebaliknya shalat sunnat diikuti shalat berjama'ah, menggambarkan makhluk sosial dan makhluk pribadi.
Seorang imam yang merasa tidak sanggup lagi memimpin shalat, dia minggir secara "legowo", seperti yang dilakukan oleh Allahu yarham H.AbdulGhani. Dalam konstruksi mesjid, pada bahagian mihrab harus ada pintu. Maksudnya pintu itu antara lain khusus disediakan bagi imam untuk keluar masjid pergi beristirahat, dan kalau masih sanggup shalat akan menjadi makmun. Inilah ajaran etika dalam kepemimpinan dalam Islam, kalau sudah merasa tinggak sanggup lagi, akan dengan ikhlas akan minggir. Ketidak sanggupan itu ada yang nampak, namun ada yang tidak nampak. Semisal diserang batuk, itu adalah ketidak sanggupan yang kelihatan. Kalau mengeluarkan angin, wudhuk akan batal, shalatpun akan batal. Dan ini adalah ketidak bolehan memimpin shalat yang penyebabnya tidak dapat dipantau oleh makmun. Jadi etika kepemimpian menurut Islam seorang pemimpin akan dengan ikhlas menyingkir kalau sudah tidak sanggup atau tidak pantas lagi menjadi pemimpin, apakah ketidak sanggupan atau ketidak pantasan itu dapat dipantau atau tidak oleh para pengikutnya.
Seorang imam yang melakukan kesalahan, salah bacaannya atau salah gerakannya wajib ditegur oleh makmun. Kalau yang menegur itu laki-laki ucapan teguran itu adalah kalimah subhalLah, untuk gerakan yang salah, dan membacakan bacaan yang benar untuk membenarkan bacaan imam. Dan kalau yang menegur itu perempuan cukup dengan isyarat menepuk punggung tangan. Dan imam harus tunduk pada teguran, memperbaiki bacaannya atau memperbaiki gerakannya. Adapun nilai yang dapat disimak tentang kepemimpinan dan kepengikutan adalah seorang pengikut wajib menegur pemimpinnya. Namun cara menegur adalah harus sopan, tidak boleh brutal. Teguran dengan kalimah subhanalLah bermakna bahwa Allah Maha Suci, hanya Allah yang luput dari kesalahan. Adapun manusia itu tidak akan sunyi dari kesalahan. Pemimpin harus dengan ikhlas dan berlapang dada menerima teguran, karena teguran itu adalah untuk memperbaiki, bukan untuk menjatuhkan.
Sebaliknya, seorang makmum tidak boleh mendahului imam. Sebelum komando Allahu Akbar dikomandokan imam, makmum tidak boleh bergerak. Ini adalah ajaran kepengikutan menurut Islam, ketaatan pengikut kepada pemimpinnya.
Demikianlah nilai-nilai yang dapat disimak dari shalat tentang hal kepemimpinan dan kepengikutan, khususnya etika kepemimpian dan etika kepengikutan dalam hal membina komuniksi yang baik dan terbuka antara pemimpin dengan pengikut. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 10 Januari 1993
3 Januari 1993
[+/-] |
062. Pahlawan, Pengkhianat dan Bajak Laut |
Di dalam sejarah tanah air khususnya dan sejarah dunia umumnya ketiga ungkapan yang disebut dalam judul di atas sering muncul. Ambillah misalnya sebagai contoh I Manindori, yang oleh Belanda dalam Geschidenis der Nederlands Indie disebutkan bahwa Troenodjojo werd gesteund door de uitgedreven Macassarsche zee rovers, Trunojoyo dibantu oleh bajak laut Makassar yang terdesak keluar dari sarangnya. Nah siapakah itu yang dimaksud oleh Belanda dengan Macassarsche zee rovers itu? Mereka itu adalah sisa-sisa Angkatan Laut Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh I Manindori, yang pernah menjabat kedudukan struktural sebagai Kepala Daerah Galesong, sehingga bergelar Karaeng Galesong. Pada waktu terjadinya perang melawan Kompeni Belanda, Karaeng Galesong sudah menjabat Panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa. Karaeng Galesong tidak mau mengakui Perjanjian Perdamaian Bungaya, lalu atas seizin Sulthan Hasanuddin, meninggalkan Kerajaan Gowa dengan pengikutnya yang masih setia kepadanya, mencari daerah lain di mana saja untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Di Madura Karaeng Galesong diterima oleh Troenojoyo bahkan diangkat menjadi menantunya. Jadi Karaeng Galesong menerapkan salah satu cappaq dari tiga cappaq senjata orang Bugis Makassar. Ketiga cappaq (ujung) itu yakni ujung lidah (diplomasi), ujung kemaluan (pernikahan) dan ujung badik (peperangan).
Dalam buku sejarah yang resmi sebagai pegangan dalam sekolah-sekolah Arung Palakka dijuluki pengkhianat karena minta bantuan Belanda untuk memerangi Sultan Hasanuddin.
Dari cuplikan sejarah yang di atas itu kelihatan bagaimana rancunya hasil penilaian sejarah itu. Itu disebabkan karena dalam menilai itu perlu standar. Dan standar itu tergantung dari kriteria yang dibuat oleh penilai. Dan biasanya penilai ini sangat tergantung dari kondisi yang situasional. Dan inilah yang biasa terjadi dalam sejarah.
Karaeng Galesong dinilai oleh Belanda dengan memakai standar yang subyektif situasional. Karaeng Galesong tidak tunduk pada Perjanjian Bungaya. Jadi kesatuannya bukanlah kesatuan yang sah sebagai angkatan laut suatu kerajaan. Jadi ia dan pasukannya adalah bajak-bajak laut. Sekarang buku sejarah yang dipakai di sekolah-sekolah bukan lagi Geschidenis der Nederlands Indie,
melainkah Sejarah Nasional. Jadi standarnya tentu sudah berubah, kriteria yang dipakai dalam penilaian sudah berubah. Karaeng Galesong adalah seorang pejuang, seorang pahlawan.
Baik Sultan Hasanuddin maupun Karaeng Galesong, keduanya mujur dalam sejarah. Mengapa? Karena kita dijajah Belanda. Jadi standar penilaian yang memakai kriteria Latoa maupun kriteria Lamuda tidak ada perbedaan. Baik dahulu maupun sekarang keduanya adalah pejuang melawan penjajah Belanda. Namun Arung Palakka bernasib tidak mujur dalam sejarah, karena standar penilaian yang Latoa tidak sama dengan standar penilaian yang Lamuda. Menurut Latoa belum dikenal apa yang disebut dengan nasionalisme Indonesia, karena paham nasionalisme itu baru ada dalam buku Lamuda. Nah para ahli sejarah kita, atau menurut julukan yang diberikan oleh A.Muis para tukang dongeng, tidak berlaku adil terhadap Arung Palakka. Apa itu yang disebut adil? Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka peristiwa di zamannya Arung Palakka haruslah pula ditempatkan standar itu menurut kriteria Latoa. Kalau standar penilaian Arung Palakka memakai kriteria Lamuda itu namanya tidak menempatkan standar itu pada tempatnya, dan itu artinya tidak adil. Artinya Arung Palakka harus dinilai menurut Latoa, yaitu belum ada paham nasionalisme. Kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah kerajaan yang merdeka dan berdaulat masing-masing. Maka Arung Palakka adalah pahlawan Kerajaan Bone.
Lalu apakah Arung Palakka juga seorang pahlawan kemanusiaan? Tunggu dahulu, ini perlu pembahasan, oleh karena kemanusiaan itu tidak mengenal perbedaan antara standar yang Latoa ataupun yang Lamuda. Standar penilain yang dipakai untuk kemanusiaan perlu standar yang tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan. Yaitu standar yang berlandaskan nilai mutlak, standar yang ditentukan oleh Allah SWT, seperti FirmanNya dalam S. Al Hajj 39 dan 40:
Udzina lilladziena yuqatiluwna biannahum dzhulimuw wa inna Llaha 'ala nashrihim laqadier. Alladziena ukhrijuw min diyarihim bi qhayri haqqin illa an yaquwluwna rabbuna Llah, diizinkan berperang bagi mereka yang dizalimi dan sesungguhnya Allah berkuasa memenangkan mereka. Yaitu mereka yang diusir dari tanah airnya dengan tidak semena-mena, hanya karena mereka berkata Maha Pengatur kami adalah Allah.
La Maddaremmeng, Raja Bone ke-13, menerapkan Syari'at Islam dengan murni dan konsekwen. La Maddaremmeng memakai prinsip Rabbuna Llah, Maha Pengaturku adalah Allah, memakai aturan menurut Allah dalam kerajannya. Sebenarnya La Maddaremmeng ini perlu diangkat dalam sejarah, bahwa ia mendahului gerakan Paderi di Minangkabaw. La Maddaremmeng adalah Pahlawan Islam. Ia memberantas adat kebiasaan yang bertentangan dengan Syari'at Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum tuak. Yaitu sejalan yang dikemukakan oleh Taunta Salamaka kepada Karaeng Pattingalloang. Kalau Tauanta Salamaka terpaksa meninggalkan Kerajaan Gowa, maka Lamaddaremmeng bentrok dengan Kerajaan Gowa yang masih memelihara tradisi yang bertentangan dengan Syari'at Islam itu. Bone kalah perang, sejumlah rakyatnya ditawan, dikerahkan ke Gowa untuk kerja paksa, artinya diusir dari tanah airnya dan dizalimi. Arung Palakka berperang untuk memberantas kezaliman ini. Sampai sejauh ini Arung Palakka masih memenuhi kriteria pahlawan kemanusiaan itu menurut standar Al Quran:
berperang melawan perlakuan terhadap rakyatnya yang zhulimuw, dizalimi, ukhrijuw min diyarihim, diusir dari tanah airnya untuk kerja paksa.
Nabi bersabda: Qulilhaqqa walau kana murran, katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. Arung Palakka memerangi Pariaman, daerah asal Mara Rusli, pengarang roman Sitti Nurbaya dan roman sejarah La Hami. Bukti sejarah bahwa Arung Palakka memerangi dan mengalahkan Pariaman adalah payung atribut kerajaan itu masih ada sekarang tersimpan di Bone. Sahabat saya mantan Kepala Kanwil Perhubungan Laut, almarhum Drs Norman Razak pernah mengeluh pada saya, katanya: Wah, nenek moyang saya diambil payung kebesarannya dibawa ke Bone setelah Arung Palakka mengalahkan Pariaman.
Arung Palakka mempunyai hak kebebasan memilih mitranya dari kerajaan manpun. Namun dengan memerangi Pariaman sebagai persyaratan untuk mendapatkan bantuan dari bakal mitranya, yaitu Belanda, ia bertindak menzalimi sesama manusia, yang dalam hal ini rakyat Pariaman. Dan inilah cacat Arung Palakka untuk suatu gelar pahlawan kemanusiaan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 3 Januari 1993
Dalam buku sejarah yang resmi sebagai pegangan dalam sekolah-sekolah Arung Palakka dijuluki pengkhianat karena minta bantuan Belanda untuk memerangi Sultan Hasanuddin.
Dari cuplikan sejarah yang di atas itu kelihatan bagaimana rancunya hasil penilaian sejarah itu. Itu disebabkan karena dalam menilai itu perlu standar. Dan standar itu tergantung dari kriteria yang dibuat oleh penilai. Dan biasanya penilai ini sangat tergantung dari kondisi yang situasional. Dan inilah yang biasa terjadi dalam sejarah.
Karaeng Galesong dinilai oleh Belanda dengan memakai standar yang subyektif situasional. Karaeng Galesong tidak tunduk pada Perjanjian Bungaya. Jadi kesatuannya bukanlah kesatuan yang sah sebagai angkatan laut suatu kerajaan. Jadi ia dan pasukannya adalah bajak-bajak laut. Sekarang buku sejarah yang dipakai di sekolah-sekolah bukan lagi Geschidenis der Nederlands Indie,
melainkah Sejarah Nasional. Jadi standarnya tentu sudah berubah, kriteria yang dipakai dalam penilaian sudah berubah. Karaeng Galesong adalah seorang pejuang, seorang pahlawan.
Baik Sultan Hasanuddin maupun Karaeng Galesong, keduanya mujur dalam sejarah. Mengapa? Karena kita dijajah Belanda. Jadi standar penilaian yang memakai kriteria Latoa maupun kriteria Lamuda tidak ada perbedaan. Baik dahulu maupun sekarang keduanya adalah pejuang melawan penjajah Belanda. Namun Arung Palakka bernasib tidak mujur dalam sejarah, karena standar penilaian yang Latoa tidak sama dengan standar penilaian yang Lamuda. Menurut Latoa belum dikenal apa yang disebut dengan nasionalisme Indonesia, karena paham nasionalisme itu baru ada dalam buku Lamuda. Nah para ahli sejarah kita, atau menurut julukan yang diberikan oleh A.Muis para tukang dongeng, tidak berlaku adil terhadap Arung Palakka. Apa itu yang disebut adil? Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka peristiwa di zamannya Arung Palakka haruslah pula ditempatkan standar itu menurut kriteria Latoa. Kalau standar penilaian Arung Palakka memakai kriteria Lamuda itu namanya tidak menempatkan standar itu pada tempatnya, dan itu artinya tidak adil. Artinya Arung Palakka harus dinilai menurut Latoa, yaitu belum ada paham nasionalisme. Kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah kerajaan yang merdeka dan berdaulat masing-masing. Maka Arung Palakka adalah pahlawan Kerajaan Bone.
Lalu apakah Arung Palakka juga seorang pahlawan kemanusiaan? Tunggu dahulu, ini perlu pembahasan, oleh karena kemanusiaan itu tidak mengenal perbedaan antara standar yang Latoa ataupun yang Lamuda. Standar penilain yang dipakai untuk kemanusiaan perlu standar yang tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan. Yaitu standar yang berlandaskan nilai mutlak, standar yang ditentukan oleh Allah SWT, seperti FirmanNya dalam S. Al Hajj 39 dan 40:
Udzina lilladziena yuqatiluwna biannahum dzhulimuw wa inna Llaha 'ala nashrihim laqadier. Alladziena ukhrijuw min diyarihim bi qhayri haqqin illa an yaquwluwna rabbuna Llah, diizinkan berperang bagi mereka yang dizalimi dan sesungguhnya Allah berkuasa memenangkan mereka. Yaitu mereka yang diusir dari tanah airnya dengan tidak semena-mena, hanya karena mereka berkata Maha Pengatur kami adalah Allah.
La Maddaremmeng, Raja Bone ke-13, menerapkan Syari'at Islam dengan murni dan konsekwen. La Maddaremmeng memakai prinsip Rabbuna Llah, Maha Pengaturku adalah Allah, memakai aturan menurut Allah dalam kerajannya. Sebenarnya La Maddaremmeng ini perlu diangkat dalam sejarah, bahwa ia mendahului gerakan Paderi di Minangkabaw. La Maddaremmeng adalah Pahlawan Islam. Ia memberantas adat kebiasaan yang bertentangan dengan Syari'at Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum tuak. Yaitu sejalan yang dikemukakan oleh Taunta Salamaka kepada Karaeng Pattingalloang. Kalau Tauanta Salamaka terpaksa meninggalkan Kerajaan Gowa, maka Lamaddaremmeng bentrok dengan Kerajaan Gowa yang masih memelihara tradisi yang bertentangan dengan Syari'at Islam itu. Bone kalah perang, sejumlah rakyatnya ditawan, dikerahkan ke Gowa untuk kerja paksa, artinya diusir dari tanah airnya dan dizalimi. Arung Palakka berperang untuk memberantas kezaliman ini. Sampai sejauh ini Arung Palakka masih memenuhi kriteria pahlawan kemanusiaan itu menurut standar Al Quran:
berperang melawan perlakuan terhadap rakyatnya yang zhulimuw, dizalimi, ukhrijuw min diyarihim, diusir dari tanah airnya untuk kerja paksa.
Nabi bersabda: Qulilhaqqa walau kana murran, katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. Arung Palakka memerangi Pariaman, daerah asal Mara Rusli, pengarang roman Sitti Nurbaya dan roman sejarah La Hami. Bukti sejarah bahwa Arung Palakka memerangi dan mengalahkan Pariaman adalah payung atribut kerajaan itu masih ada sekarang tersimpan di Bone. Sahabat saya mantan Kepala Kanwil Perhubungan Laut, almarhum Drs Norman Razak pernah mengeluh pada saya, katanya: Wah, nenek moyang saya diambil payung kebesarannya dibawa ke Bone setelah Arung Palakka mengalahkan Pariaman.
Arung Palakka mempunyai hak kebebasan memilih mitranya dari kerajaan manpun. Namun dengan memerangi Pariaman sebagai persyaratan untuk mendapatkan bantuan dari bakal mitranya, yaitu Belanda, ia bertindak menzalimi sesama manusia, yang dalam hal ini rakyat Pariaman. Dan inilah cacat Arung Palakka untuk suatu gelar pahlawan kemanusiaan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 3 Januari 1993
Langganan:
Postingan (Atom)