3 Januari 1993

062. Pahlawan, Pengkhianat dan Bajak Laut

Di dalam sejarah tanah air khususnya dan sejarah dunia umumnya ketiga ungkapan yang disebut dalam judul di atas sering muncul. Ambillah misalnya sebagai contoh I Manindori, yang oleh Belanda dalam Geschidenis der Nederlands Indie disebutkan bahwa Troenodjojo werd gesteund door de uitgedreven Macassarsche zee rovers, Trunojoyo dibantu oleh bajak laut Makassar yang terdesak keluar dari sarangnya. Nah siapakah itu yang dimaksud oleh Belanda dengan Macassarsche zee rovers itu? Mereka itu adalah sisa-sisa Angkatan Laut Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh I Manindori, yang pernah menjabat kedudukan struktural sebagai Kepala Daerah Galesong, sehingga bergelar Karaeng Galesong. Pada waktu terjadinya perang melawan Kompeni Belanda, Karaeng Galesong sudah menjabat Panglima Angkatan Laut Kerajaan Gowa. Karaeng Galesong tidak mau mengakui Perjanjian Perdamaian Bungaya, lalu atas seizin Sulthan Hasanuddin, meninggalkan Kerajaan Gowa dengan pengikutnya yang masih setia kepadanya, mencari daerah lain di mana saja untuk meneruskan perjuangan melawan Belanda. Di Madura Karaeng Galesong diterima oleh Troenojoyo bahkan diangkat menjadi menantunya. Jadi Karaeng Galesong menerapkan salah satu cappaq dari tiga cappaq senjata orang Bugis Makassar. Ketiga cappaq (ujung) itu yakni ujung lidah (diplomasi), ujung kemaluan (pernikahan) dan ujung badik (peperangan).

Dalam buku sejarah yang resmi sebagai pegangan dalam sekolah-sekolah Arung Palakka dijuluki pengkhianat karena minta bantuan Belanda untuk memerangi Sultan Hasanuddin.

Dari cuplikan sejarah yang di atas itu kelihatan bagaimana rancunya hasil penilaian sejarah itu. Itu disebabkan karena dalam menilai itu perlu standar. Dan standar itu tergantung dari kriteria yang dibuat oleh penilai. Dan biasanya penilai ini sangat tergantung dari kondisi yang situasional. Dan inilah yang biasa terjadi dalam sejarah.

Karaeng Galesong dinilai oleh Belanda dengan memakai standar yang subyektif situasional. Karaeng Galesong tidak tunduk pada Perjanjian Bungaya. Jadi kesatuannya bukanlah kesatuan yang sah sebagai angkatan laut suatu kerajaan. Jadi ia dan pasukannya adalah bajak-bajak laut. Sekarang buku sejarah yang dipakai di sekolah-sekolah bukan lagi Geschidenis der Nederlands Indie,
melainkah Sejarah Nasional. Jadi standarnya tentu sudah berubah, kriteria yang dipakai dalam penilaian sudah berubah. Karaeng Galesong adalah seorang pejuang, seorang pahlawan.

Baik Sultan Hasanuddin maupun Karaeng Galesong, keduanya mujur dalam sejarah. Mengapa? Karena kita dijajah Belanda. Jadi standar penilaian yang memakai kriteria Latoa maupun kriteria Lamuda tidak ada perbedaan. Baik dahulu maupun sekarang keduanya adalah pejuang melawan penjajah Belanda. Namun Arung Palakka bernasib tidak mujur dalam sejarah, karena standar penilaian yang Latoa tidak sama dengan standar penilaian yang Lamuda. Menurut Latoa belum dikenal apa yang disebut dengan nasionalisme Indonesia, karena paham nasionalisme itu baru ada dalam buku Lamuda. Nah para ahli sejarah kita, atau menurut julukan yang diberikan oleh A.Muis para tukang dongeng, tidak berlaku adil terhadap Arung Palakka. Apa itu yang disebut adil? Menempatkan sesuatu pada tempatnya. Maka peristiwa di zamannya Arung Palakka haruslah pula ditempatkan standar itu menurut kriteria Latoa. Kalau standar penilaian Arung Palakka memakai kriteria Lamuda itu namanya tidak menempatkan standar itu pada tempatnya, dan itu artinya tidak adil. Artinya Arung Palakka harus dinilai menurut Latoa, yaitu belum ada paham nasionalisme. Kerajaan-kerajaan di Nusantara adalah kerajaan yang merdeka dan berdaulat masing-masing. Maka Arung Palakka adalah pahlawan Kerajaan Bone.

Lalu apakah Arung Palakka juga seorang pahlawan kemanusiaan? Tunggu dahulu, ini perlu pembahasan, oleh karena kemanusiaan itu tidak mengenal perbedaan antara standar yang Latoa ataupun yang Lamuda. Standar penilain yang dipakai untuk kemanusiaan perlu standar yang tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan. Yaitu standar yang berlandaskan nilai mutlak, standar yang ditentukan oleh Allah SWT, seperti FirmanNya dalam S. Al Hajj 39 dan 40:

Udzina lilladziena yuqatiluwna biannahum dzhulimuw wa inna Llaha 'ala nashrihim laqadier. Alladziena ukhrijuw min diyarihim bi qhayri haqqin illa an yaquwluwna rabbuna Llah, diizinkan berperang bagi mereka yang dizalimi dan sesungguhnya Allah berkuasa memenangkan mereka. Yaitu mereka yang diusir dari tanah airnya dengan tidak semena-mena, hanya karena mereka berkata Maha Pengatur kami adalah Allah.

La Maddaremmeng, Raja Bone ke-13, menerapkan Syari'at Islam dengan murni dan konsekwen. La Maddaremmeng memakai prinsip Rabbuna Llah, Maha Pengaturku adalah Allah, memakai aturan menurut Allah dalam kerajannya. Sebenarnya La Maddaremmeng ini perlu diangkat dalam sejarah, bahwa ia mendahului gerakan Paderi di Minangkabaw. La Maddaremmeng adalah Pahlawan Islam. Ia memberantas adat kebiasaan yang bertentangan dengan Syari'at Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum tuak. Yaitu sejalan yang dikemukakan oleh Taunta Salamaka kepada Karaeng Pattingalloang. Kalau Tauanta Salamaka terpaksa meninggalkan Kerajaan Gowa, maka Lamaddaremmeng bentrok dengan Kerajaan Gowa yang masih memelihara tradisi yang bertentangan dengan Syari'at Islam itu. Bone kalah perang, sejumlah rakyatnya ditawan, dikerahkan ke Gowa untuk kerja paksa, artinya diusir dari tanah airnya dan dizalimi. Arung Palakka berperang untuk memberantas kezaliman ini. Sampai sejauh ini Arung Palakka masih memenuhi kriteria pahlawan kemanusiaan itu menurut standar Al Quran:
berperang melawan perlakuan terhadap rakyatnya yang zhulimuw, dizalimi, ukhrijuw min diyarihim, diusir dari tanah airnya untuk kerja paksa.

Nabi bersabda: Qulilhaqqa walau kana murran, katakanlah kebenaran itu walaupun pahit. Arung Palakka memerangi Pariaman, daerah asal Mara Rusli, pengarang roman Sitti Nurbaya dan roman sejarah La Hami. Bukti sejarah bahwa Arung Palakka memerangi dan mengalahkan Pariaman adalah payung atribut kerajaan itu masih ada sekarang tersimpan di Bone. Sahabat saya mantan Kepala Kanwil Perhubungan Laut, almarhum Drs Norman Razak pernah mengeluh pada saya, katanya: Wah, nenek moyang saya diambil payung kebesarannya dibawa ke Bone setelah Arung Palakka mengalahkan Pariaman.

Arung Palakka mempunyai hak kebebasan memilih mitranya dari kerajaan manpun. Namun dengan memerangi Pariaman sebagai persyaratan untuk mendapatkan bantuan dari bakal mitranya, yaitu Belanda, ia bertindak menzalimi sesama manusia, yang dalam hal ini rakyat Pariaman. Dan inilah cacat Arung Palakka untuk suatu gelar pahlawan kemanusiaan. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 3 Januari 1993