"Buat apa peribahasa itu dimunculkan kembali dari tumpukan perbendaharaan lama yang kelihatannya sudah ketinggalan zaman? Yang sudah tidak relevan lagi dengan nilai kekinian? Berpacu dengan waktu, atau waktu itu uang! Kita ini sekarang harus bertindak cepat, karena cepat berarti efisien." Itulah penggalan-penggalan kalimat yang sempat saya dengar pada waktu duduk di antara para penunggu pengantin laki-laki. Rupanya telah terjadi diskusi kecil-kecilan sebelum saya datang bergabung di kelompok itu. Biar lambat asal selamat, takkan lari gunung dikejar diucapkan sekadar untuk menghibur para penunggu itu untuk mengisi kekosongan dan kebosanan karena rombongan "raja sehari" yang ditunggu itu belum kunjung datang jua.
Sepintas lalu penggalan-penggalan kalimat yang sempat saya dengar itu kelihatannya ada benarnya. Apapula jika diperhadapkan pada untaian kata dalam Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia: dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya. Maka pepatah: Biar lambat asal selamat ini, tidak perlu diungkit-ungkit lagi, bukan lagi masanya sekarang ini untuk bersikap demikian, cuma menghabiskan waktu saja untuk dibicarakan, tidak efisien. Demikianlah logikanya.
Tunggu dahulu! Apa yang dikutip dari untaian kata dalam Proklamasi itu didahului oleh: dengan cara saksama. Apa maknanya itu! Ini mengandung nilai yang masih relevan hingga kini, yaitu nilai ketelitian, kecermatan. Orang tua yang banyak pengalaman kelihatannya lamban, tidak tergesa-gesa, karena ia itu teliti, sudah banyak makan garam kehidupan yang serba getir, tidak mau seperti keledai, terantuk pada patok yang sama untuk kedua kalinya. Orang muda yang masih kurang pengalaman, belum makan garam kehidupan yang getir, memandang hidup ini dari segi romantika cemerlangnya saja, semangat meledak-letup, rasa optimisme yang berlebihan, maka ia itu bertindak serba cepat, tergesa-gesa.
Kedua nilai cermat dan cepat ini perlu dijadikan satu sistem, yaitu saling membingkai. Cermat diberi berbingkai cepat dan cepat berbingkai cermat. Artinya orang tua yang lamban karena ingin cermat, ditarik oleh orang muda supaya mempercepat langkah. "Hai Pak, yang cepat sedikit". Sebaliknya jika orang muda terlalu cepat, berakselerasi, orang tua menahan, menarik kebelakang. "Hai anak muda, jalan licin berjurang, perlambat langkah". Ini namanya kerja sama antara generasi tua dengan generasi muda dalam arti yang sebenarnya.
Pepatah di atas itu tidak berlaku secara umum, yakni situasional dan berbingkai. Situasional karena adanya pernyataan asal selamat, artinya ada ranjau yang menghadang, maka gerak perlu diperlambat. Berbingkai karena ruang lingkup dibatasi, yang dikejar itu adalah benda yang tidak bergerak terhadap bumi. Kalau yang dikejar itu bergerak ataupun yang datangnya hanya sekilas, maka ingatlah cerita dalam Hikayat Tuanta Salamaka. Bagaimana pengarang hikayat itu menyampaikan pesan berbungkus mistik, bergaya simbolisme dalam peristiwa di telaga Mawang. Datoka ri Pa'gentungang dengan gerak cepat menyulut rokoknya pada kilat yang menyala, menunjukkan kesigapan memanfaatkan kesempatan yang ada walaupun sekejap. Bagaimana kalau yang dikejar itu bergerak mendekat? Juga lihat peristiwa di telaga Mawang, Lo'moka ri Antang menyulut rokok pada titik air hujan dari pinggir saraung (sombrero)-nya.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari dari dahulu hingga sekarang dan insya-Allah untuk masa yang akan datang tidaklah selamanya mesti cepat. Ada yang sengaja diperlambat. Artinya cepat dan lambat itu situasional. Agar jelas inilah contohnya. Ilmu yang sangat bermanfaat dalam mengelola proyek adalah Network Planning. Apabila hasil monitoring pada kegiatan kritis menunjukkan terjadi penyimpangan, yaitu apa yang dicapai dalam pelaksanaan ternyata lebih lambat dari menurut jadwal, maka harus segera diadakan kontrol. Caranya ialah dengan mempercepat kegiatan kritis yang berikutnya. Perlu pengerahan sumber daya dari unit-unit kegiatan lain yang tidak kritis. Itu dapat dilakukan oleh karena kegiatan-kegiatan yang tidak kritis itu mempunyai waktu longgar (float), jadi sebagian sumberdayanya dapat diambil dengan memperlambat kegiatan-kegiatan tersebut. Sumberdaya yang diambil itu kemudian dikerahkan untuk mengeroyok kegiatan kritis yang akan dipercepat itu. Jadi dalam aksi kontrol ini nyatalah bahwa cepat dan lambat itu situasional. Kegiatan-kegiatan yang tidak kritis diperlambat untuk dapat mempercepat kegiatan kritis.
Lalu bagaimana dengan ajaran Al Quran? Semua ummat Islam asal saja ia mengerjakan shalat mesti hafal S. Al 'Ashar:
Perhatikanlah waktu!(*)
Sesungguhnya manusia
senantiasa dalam kerugian.
Kecuali,
yang beriman,
dan berbuat kebajikan,
dan berwasiat tentang yang haq,
dan berwasiat atas kesabaran.
Jadi menurut ajaran Islam dalam hal waktu bukanlah soal cepat ataupun lamban yang menjadi perhatian utama. Yang penting adalah memanfaatkan waktu untuk berbuat kebajikan, berkomunikasi dengan sesama manusia untuk meneruskan nilai-nilai wahyu dan dalam berkomunikasi itu tidak ceroboh, tidak tergesa-gesa, melainkan harus cermat, dan untuk itu perlu kesabaran, karena menurut SunnatuLlah semua itu memerlukan waktu untuk berproses, tidaklah cespleng, sebagaimana bualan pembual dalam reklame obat-obatan, kosmetika, sedap-sedapan menthos, kristal, dll. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 24 April 1994
(*) Wa dalam permulaan ayat (1) S. Al'Ashr tersebut menyatakan sebuah qasm, semacam "sumpah", namun tidak cocok untuk dibahasa-Indonesiakan dengan "demi". Sebab dalam bahasa Indonesia "demi" itu menyatakan penguatan yang ditumpukan kepada sesuatu yang lebih "tinggi", yaitu Allah. Sedangkan qasm itu semacam "sumpah" untuk menegaskan di mana yang "bersumpah" kedudukannya itu lebih "tinggi". Jadi Wa l'Ashri tidak cocok di-Indonesia-kan dengan "demi waktu", melainkan "perhatikanlah waktu", karena yang berqasm di sini adalah Allah SWT.
24 April 1994
[+/-] |
124. Biar Lambat Asal Selamat, Takkan Lari Gunung Dikejar |
14 April 1994
[+/-] |
123. Nilai-Nilai yang Disimak dari Shalat, dalam Hubungannya dengan Budaya Mundur dan Unjuk Rasa |
Agar kita sepaham atau kalau tidak sepaham, sekurang-kurangnya demikianlah pemahaman saya, mundur dalam kontex budaya mundur tidaklah bermakna dalam arti gerak yang konkret, "space-like" (untuk meminjam istilahnya Einstein), melainkan mengandung pengertian yang abstrak. Seperti misalnya yang kita ucapkan dalam Shalat: Wajjahtu Wajhiya lilladziy Fathara sSamawa-ti wa lArdha, kuhadapkan muka kepada Yang menciptakan langit dan bumi. Menghadapkan muka di sini tidaklah bermakna dalam arah yang space-like, melainkan abstrak, karena Allah tidak mengisi ruang yang space-like, SubhanaLlah, Maha Suci Allah dari sifat yang demikian itu.
Ajaran Islam mengandung 'Aqiydah, Hukum Syari'ah dan Akhlaq. Ketiga unsur itu merupakan satu sistem artinya tidak berdiri sendiri, melainkan ada kaitan di antara ketiganya, itulah yang disebut dengan Kaffah. Dalam Hukum Syari'ah ada yang menyangkut dengan hubungan antara manusia dengan Allah yang disebut dengan Hablun mina Lla-h dan ada yang menayangkut dengan hubungan antara manusia yang disebut Hablun mina nNaas. Kedua sub-unsur itu juga merupakan satu sistem, tidak berdiri sendiri, ada kaitannya.
Shalat menyangkut dengan Hablun mina Lla-h. Namun demikian, berdasar atas prinsip Kaffah (sistem), maka Shalat itu tidaklah lepas dari Hablun mina nNaas. Dalam Fiqh pendekatan secara Kaffah ini tidak dipakai, sebab yang dibahas hanya tentang apa hukumnya, yakni menyangkut status wajib, bagaimana cara pelaksanaannya, apa rukunnya, persyaratan untuk shahnya dan apa yang membatalkannya. Hal ini memang penting tetapi belum cukup. Padahal kalau pembahasan itu memakai pendekatan Kaffah maka akan terungkap bahwa dalam Shalat itu terdapat nilai-nilai yang mengisyaratkan bagaimana seharusnya orang itu hidup bermasyarakat dan bernegara, Hablun mina nNaas.
Arkian, akan saya ulangi sepenggal yang pernah saya tulis dalam Seri 063. Saya teringat sebuah peristiwa bertahun-tahun yang silam. Kejadiannya dalam bulan Rajab. Allahu yarham H.AbdulGhani, imam tetap Masjid Syura waktu itu sedang mengimami shalat Maghrib. Sementara membaca pangumpu' beliau diserang batuk. Beliau lalu menyingkir ke samping, lalu Drs Sulthan BM, yang sekarang menjadi salah seorang imam tetap Masjid Syura maju ke depan melanjutkan mengimami shalat Maghrib, bacaan pangumpu' disambung dan bacaan serta gerak shalat diteruskan.
Dalam pengertian space-like, Allahu yarham H.AbdulGhani menyamping ke pinggir, dan dalam arti abstrak mundur. Dalam konstruksi mesjid, pada bahagian mihrab harus ada pintu. Maksudnya pintu itu antara lain khusus disediakan bagi imam untuk keluar masjid pergi beristirahat, jika sementara shalat imam tidak sanggup atau tidak wajar lagi untuk mengimami shalat. Ketidak sanggupan itu ada yang nampak, namun ada yang tidak nampak. Semisal diserang batuk, itu adalah ketidak sanggupan yang kelihatan. Kalau mengeluarkan angin, wudhuk akan batal, shalatpun akan batal. Dan ini adalah ketidak bolehan memimpin shalat yang penyebabnya tidak dapat dipantau oleh makmun. Jadi etika kepemimpinan menurut Islam seorang pemimpin akan dengan ikhlas mundur kalau sudah tidak sanggup atau tidak pantas lagi menjadi pemimpin, apakah ketidak sanggupan atau ketidak pantasan itu dapat dipantau atau tidak oleh para pengikutnya.
Adapun nilai lain dalam Shalat yang mengisyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang imam (baca pemimpin) yang melakukan kesalahan, salah bacaannya atau salah gerakannya wajib ditegur (baca unjuk rasa) oleh makmun (baca pengikut). Kalau yang menegur itu laki-laki ucapan teguran itu adalah kalimah SubhanalLah, untuk gerakan yang salah, dan membacakan bacaan yang benar untuk membenarkan bacaan imam. Dan kalau yang menegur itu perempuan cukup dengan isyarat menepuk punggung tangan. Dan imam harus tunduk pada teguran, memperbaiki bacaannya atau memperbaiki gerakannya. Demikianlah nilai yang dapat disimak yang diisyaratkan oleh nilai dalam Shalat tentang kepemimpinan dan kepengikutan. Seorang pengikut wajib menegur pemimpinnya. Namun cara menegur haruslah sopan, tidak boleh vulgar. Unjuk rasa dengan kalimah SubhanalLah bermakna bahwa Allah Maha Suci, hanya Allah yang luput dari kesalahan. Adapun manusia itu tidak akan sunyi dari kesalahan. Pemimpin harus dengan ikhlas dan berlapang dada menerima unjuk rasa, karena teguran itu adalah untuk memperbaiki demi kemaslahatan bersama, bukan untuk menjatuhkan.
Apabila benar bahwa menurut penelitian budayawan dan pakar sejarah budaya mundur itu bukanlah budaya bangsa Indonesia, maka alangkah sayangnya hal itu, oleh karena pertama, mayoritas bangsa Indonesia adalah Ummat Islam, dan kedua, AGAMA Islam sudah berabad-abad dianut di Indonesia ini, sehingga semestinyalah budaya mundur itu (selesai periode Shalat, maupun sementara melaksanakan keimaman dalam Shalat) telah mengakar di kalangan Ummat Islam di Indonesia ini.
Adalah tanggung jawab seluruh Ummat Islam agar nilai mundur yang diisyaratkan oleh 'ibadah Shalat itu dimasyarakatkan, didarah-dagingkan, dibudayakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Membudayakan budaya mundur bukanlah meniru-niru budaya bangsa lain, oleh karena budaya mundur itu adalah bagian dari ajaran Islam. Yang salah besar jika teknis pelaksanaan budaya mundur itu meniru cara bushido Jepang, harakiri. Akan halnya unjuk rasa haruslah berlandaskan nilai SubhanaLlah. Pelaksanaan teknisnya telah dicontohkan oleh para alim-ulama sewaktu berunjuk rasa yang sejuk tentang hal SDSB sekitar 4 bulan yang lalu di Jakarta. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 17 April 1994
10 April 1994
[+/-] |
122. Sarjana, Cendekiawan, Kaum Intelektual, Kaum Inteligensia. |
Yang mana di antaranya Dapat digiring ke dalam Menara Gading?
Menara gading adalah suatu ungkapan simbolik, dalam bahasa Inggeris disebut ivory tower, yang bermakna tempat atau situasi yang terasing dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Dapat pula berarti sikap acuh tak acuh, tidak mau perduli, yang mengambil jarak ataupun menutup diri dari kehidupan masyarakat sehari-hari. A place or situation remote from worldly or practical affairs. An attitude of aloofness from or disdain or disregard for worldly or practical affairs. Inilah pengertian menara gading seperti yang saya maksud dalam tulisan saya dalam Seri 119 (6/3-94), yang dipertanyakan oleh Pak Arif Tiro dalam Fajar, 28/3-94: "Kita kembali menyimak menara gading yang dikemukakan oleh Anwar Arifin. Apakah yang dimaksud dengan menara gading di sini sama dengan yang disebutkan oleh H.M.Nur Abdurrahman (6/3)? .......Tentu konsep menara gading yang dimaksud Pak Anwar dan Pak Abdurrahman tidak demikian (maksudnya ibarat ayam-ayam petelur dalam kandang, pen.). Oleh karena itu melalui tulisan ini, penulis mengharapkan penjelasan lebih lanjut dari kedua beliau tersebut."
Saya merasa bertanggung-jawab untuk memberikan penjelasan tentang menara gading ini oleh karena materi ini saya luputkan dari tulisan saya dalam rubrik opini, Fajar 31/3-94, berhubung sangat sukar untuk dibahas dalam satu tulisan dengan psikoanalisisnya Sigmun Freud. Ada beberapa pembaca yang kurang sabar, berhubung besoknya (Jumat) Fajar tidak terbit, menyuruh mengantar disketnya untuk saya copy, karena mereka tidak mendapatkan sambungan tulisan saya itu, yang dituliskan bersambung ke halaman 7. Adapun tentang tulisan Pak Muhammad Arif Tiro yang berjudul Sikap Iqra Bismi Rabbika dalam Metodologi Berilmu dalam Fajar, 7/4-1994 sebagai tanggapan balik terhadap tulisan saya di Fajar, 31/3 terebut, saya ucapkan terima kasih. Saya tidak mempunyai tanggapan balik, berhubung tidak ada yang perlu ditanggapi, sebab tidak ada perbedaan pendapat. Bahkan Pak Muhmmad Arif Tiro sebagai pakar di bidang Statistik memperlengkap penjelasan tentang hal sample yang harus representatif untuk mewakili populasi.
Tentang pengertian sarjana tidak perlu penjelasan panjang lebar. Ia itu mempunyai secarik kertas yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan (pengajaran?) yang formal. Namun yang masih kabur ialah apakah cendekiawan itu kaum intelektual atau inteligensia? Sebenarnya alangkah baiknya jika disepakati bahwa cendekiawan itu kaum intelektual dan kaum cerdik cendekia itu kaum inteligensia. Apabila tidak disepakati, maka sekurang-kurangnya begitulah pemahaman saya buat sementara. Kalau yang dimaksud dengan cendekiawan adalah orang yang mempunyai kemampuan tinggi (great capacity) untuk berpikir, berpengetahuan dan berdalih (reasoning), maka cendekiawan itu sama artinya dengan kaum intelektual. Mereka ini dapat terdiri dari yang mempunyai secarik kertas yang formal (sarjana), maupun yang tidak mempunyai legitimasi secarik kertas formal, seperti misalnya H. Agus Salim, Sutan Syahrir, H.Muh. Natsir dll. Jadi seorang cendekiawan tidak mesti seorang sarjana. Demikian pula sebaliknya, seorang sarjana belum tentu seorang cendekiawan. Seorang sarjana yang tenggelam, tidak nuncul-muncul dalam masyarakat, ia itu bukan cendekiawan.
Apabila kaum cerdik cendekia masih belum mengalami perubahan makna hingga sekarang, yakni seperti telah saya gambarkan potretnya dalam cerita tentang kadi yang dengan cepat dan gesit (hanya selama ujung telunjuk di kening), sudah dapat memecahkan permasalahan saudagar dan kusir itu (Fajar,6/3), maka kaum cerdik cendekia itu adalah kaum inteligensia. "Intelligentsia having good understanding, high mental capacity characterized by quickness of understanding, sound thought and good judgment, considered as an artisic, social or political intellectual elite. Artinya kaum inteligensia terdiri dari para intelektual pilihan dengan karakteristik tersebut. Ketiga orang yang disebut di atas itu termasuklah kaum ineteligensia, kaum intelektual pilihan, social and political of intelectual elites.
Secara aljabar kelas (algebra of classes) dapat dijelaskan dengan diagram Venn seperti berikut. Sarjana dilambangkan dengan lingkaran X, cendekiawan dengan Y dan inteligensia dengan Z. X berpotongan dengan Y. Bidang persekutuan (intersection) X dengan Y (X cap Y) adalah sekaligus sarjana dan cendekiawan. Bagian X yang Y' adalah sarjana yang bukan cendekiawan, dan bagian Y yang X' adalah cendekiawan yang bukan sarjana. Z adalah sub-kelas dari Y yang berpotongan dengan X cap Y. Dalam persekutuan ketiga lingkaran ini terletaklah sarjana yang sekaligus cendekiawan yang sekaligus inteligensia.
Dari penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menara gading itu, dan tentang apa yang dimaksud dengan sarjana, cendekiawan, kaum intelektual, kaum cerdik cendekia, dan kaum inteligensia itu, maka yang bersedia untuk digiring masuk ke menara gading adalah para sarjana yang bukan intelektual (X yang Y' dalam diagram Venn). Namun minimal saya sependapat dengan Muhammad Arif Tiro, janganlah sampai mereka itu menjadi ibarat ayam-ayam petelur dalam kandang, karena ini adalah eksploitasi oleh manusia atas manusia yang bertentangan dengan HAM. Sedangkan maksimal saya tidak setuju adanya menara gading itu dengan alasan di bawah ini.
Dalam S. At Tawbah 122 Allah SWT berfirman: min kulli Firqatin minhum Liyatafaqqahu fiy dDiyn, harus ada sebagian kelompok di antara ummat Islam yang ber-Yatafaqahu fiy dDiyn.
Dalam bahasa Indonesia ber-Yatafaqqahu fiy dDiyn haruslah dinyatakan dalam ungkapan yang lebih panjang: Mengembangkan ilmu untuk memperdalam pemahaman AGAMA Islam. Sengaja saya melanggar Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dengan menuliskan agama semua dalam huruf besar, untuk dapat membedakan pengertian agama dalam arti yang sempit, yaitu yang menyangkut semata-mata hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebagaimana difahami masyarakat luas dengan istilah: religion, ataupun godsdienst, dengan AGAMA dalam pengertian yang luas seperti firman Allah dalam S.Al Ma-idah,4): Akmaltu lakum Diynakum, telah Kusempurnakan bagimu AGAMA-mu. Tegasnya yang saya maksud dengan agama, semua huruf kecil, menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah, sedangkan AGAMA, semua huruf besar, menyangkut bukan hanya sekadar hubungan antara manusia dengan Allah, melainkan pula menyangkut hubungan antara manusia dengan sesamanya makhluk, individu dengan individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, manusia dengan lingkungan hidup, alam sekitar. Yang ber-Yatafaqqahu fiy dDiyn itu adalah Muslim Cendekiawan. Dua di antara tiga orang contoh yang dikemukakan di atas itu adalah Muslim Cendekiawan, yaitu H.Agus Salim dan H.Muh.Natsir.
Adapun Muslim Cendekiawan, seperti yang telah saya uraikan dalam Seri 119, mempunyai tiga kriteria: Pertama, dalam berilmu ia bersikap tidak memisahkan antara Iqra dengan Bismi Rabbika, Kedua, dalam berperilaku ia bersikap tidak memisahkan antara politik, ekonomi, sosial-budaya dengan AGAMA, karena AGAMA itu mencakup politik, ekonomi, sosial-budaya dan agama. Ketiga, dalam mengambil keputusan ia bersikap berzikir dahulu, ingat kepada Allah, ingat kepada wahyu, baru berpikir, berolah otak, mengolah dengan otaknya masukan-masukan untuk menghasilkan keputusan. Jadi mereka yang menyediakan dirinya ber-Yatafaqqahu fiy dDiyn yang termasuk dalam min kulli Firqatin minhum, sebagian di antara ummat Islam yang telah menyediakan dirinya dalam mengembangkan ilmu untuk memperdalam pemahaman AGAMA Islam, tidaklah mungkin mereka itu akan menyediakan dirinya untuk masuk ke dalam menara gading. Lagi pula di samping karakteristik Muslim Cendekiawan yang tidak memungkinkan mereka itu masuk ke dalam menara gading, maka karakteristik AGAMA Islam sampai kepada pelaksanaan syari'at yang ritualpun, tidak mengenal adanya menara gading. Dalam AGAMA Islam tidak dikenal yang disebut dengan ilmu murni, semuanya adalah ilmu terapan. Seperti yang lazim didengar bahwa matematika itu digolongkan dalam ilmu murni, namun dalam pelaksanaan syari'at yang ritual, matematika juga dilibatkan di dalamnya.
Untuk lebih memperjelas hal itu saya akan memberikan contohnya. Para sarjana di bidang ilmu falak (astronomi), dapat saja bercokol dalam menara gadingnya berupa observatorium, meneliti bintang-bintang dengan teropong bintangnya, menulis laporan hasil penelitiannya di malam hari, tidur di siang hari tanpa mengambil perduli dengan kehidupan sehari-hari, seperti ayam petelur yang kerjanya melulu bertelur di dalam kandang, seperti perumpamaan Muhammad Arif Tiro. Lain halnya apabila sarjana itu ber-AGAMA Islam, bagaimanapun ia harus mengambil perduli ikut terlibat dalam masyarakat, sekurang-kurangnya ikut aktif dalam menentukan 1 Ramadhan, permulaan puasa, 1 Syawwal, untuk 'Iydu lFithri, 1 Dzu lHijjah, untuk 'Iydu lAdhha, (satu hari setelah para hajjaj wuquf di 'Arafah, 9 Dzu lHijjah), baik dalam meru'yah bulan (al Qamar, moon) maupun dalam menghisab (pakai matematika) hitungan bulan (asj Sjahr, month). Pula menghisab masuknya lima waktu shalat wajib sesuai dengan masing-masing mathla' pada permukaan bumi ini. Sedangkan bidang disiplin ilmu falak saja, yang sangat jauh dan terisoler dari kehidupan sehari-hari, dalam AGAMA Islam para pakarnya tidak mungkin tidak terlibat dalam aktivitas masyarakat sehari-hari, apatah pula dalam bidang disiplin ilmu yang lain.
Alhasil AGAMA Islam tidak membutuhkan menara gading dan menolak adanya pemahaman tentang ilmu murni. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 10 April 1994