10 April 1994

122. Sarjana, Cendekiawan, Kaum Intelektual, Kaum Inteligensia.

Yang mana di antaranya Dapat digiring ke dalam Menara Gading?
Menara gading adalah suatu ungkapan simbolik, dalam bahasa Inggeris disebut ivory tower, yang bermakna tempat atau situasi yang terasing dari kehidupan masyarakat sehari-hari. Dapat pula berarti sikap acuh tak acuh, tidak mau perduli, yang mengambil jarak ataupun menutup diri dari kehidupan masyarakat sehari-hari. A place or situation remote from worldly or practical affairs. An attitude of aloofness from or disdain or disregard for worldly or practical affairs. Inilah pengertian menara gading seperti yang saya maksud dalam tulisan saya dalam Seri 119 (6/3-94), yang dipertanyakan oleh Pak Arif Tiro dalam Fajar, 28/3-94: "Kita kembali menyimak menara gading yang dikemukakan oleh Anwar Arifin. Apakah yang dimaksud dengan menara gading di sini sama dengan yang disebutkan oleh H.M.Nur Abdurrahman (6/3)? .......Tentu konsep menara gading yang dimaksud Pak Anwar dan Pak Abdurrahman tidak demikian (maksudnya ibarat ayam-ayam petelur dalam kandang, pen.). Oleh karena itu melalui tulisan ini, penulis mengharapkan penjelasan lebih lanjut dari kedua beliau tersebut."

Saya merasa bertanggung-jawab untuk memberikan penjelasan tentang menara gading ini oleh karena materi ini saya luputkan dari tulisan saya dalam rubrik opini, Fajar 31/3-94, berhubung sangat sukar untuk dibahas dalam satu tulisan dengan psikoanalisisnya Sigmun Freud. Ada beberapa pembaca yang kurang sabar, berhubung besoknya (Jumat) Fajar tidak terbit, menyuruh mengantar disketnya untuk saya copy, karena mereka tidak mendapatkan sambungan tulisan saya itu, yang dituliskan bersambung ke halaman 7. Adapun tentang tulisan Pak Muhammad Arif Tiro yang berjudul Sikap Iqra Bismi Rabbika dalam Metodologi Berilmu dalam Fajar, 7/4-1994 sebagai tanggapan balik terhadap tulisan saya di Fajar, 31/3 terebut, saya ucapkan terima kasih. Saya tidak mempunyai tanggapan balik, berhubung tidak ada yang perlu ditanggapi, sebab tidak ada perbedaan pendapat. Bahkan Pak Muhmmad Arif Tiro sebagai pakar di bidang Statistik memperlengkap penjelasan tentang hal sample yang harus representatif untuk mewakili populasi.

Tentang pengertian sarjana tidak perlu penjelasan panjang lebar. Ia itu mempunyai secarik kertas yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan (pengajaran?) yang formal. Namun yang masih kabur ialah apakah cendekiawan itu kaum intelektual atau inteligensia? Sebenarnya alangkah baiknya jika disepakati bahwa cendekiawan itu kaum intelektual dan kaum cerdik cendekia itu kaum inteligensia. Apabila tidak disepakati, maka sekurang-kurangnya begitulah pemahaman saya buat sementara. Kalau yang dimaksud dengan cendekiawan adalah orang yang mempunyai kemampuan tinggi (great capacity) untuk berpikir, berpengetahuan dan berdalih (reasoning), maka cendekiawan itu sama artinya dengan kaum intelektual. Mereka ini dapat terdiri dari yang mempunyai secarik kertas yang formal (sarjana), maupun yang tidak mempunyai legitimasi secarik kertas formal, seperti misalnya H. Agus Salim, Sutan Syahrir, H.Muh. Natsir dll. Jadi seorang cendekiawan tidak mesti seorang sarjana. Demikian pula sebaliknya, seorang sarjana belum tentu seorang cendekiawan. Seorang sarjana yang tenggelam, tidak nuncul-muncul dalam masyarakat, ia itu bukan cendekiawan.

Apabila kaum cerdik cendekia masih belum mengalami perubahan makna hingga sekarang, yakni seperti telah saya gambarkan potretnya dalam cerita tentang kadi yang dengan cepat dan gesit (hanya selama ujung telunjuk di kening), sudah dapat memecahkan permasalahan saudagar dan kusir itu (Fajar,6/3), maka kaum cerdik cendekia itu adalah kaum inteligensia. "Intelligentsia having good understanding, high mental capacity characterized by quickness of understanding, sound thought and good judgment, considered as an artisic, social or political intellectual elite. Artinya kaum inteligensia terdiri dari para intelektual pilihan dengan karakteristik tersebut. Ketiga orang yang disebut di atas itu termasuklah kaum ineteligensia, kaum intelektual pilihan, social and political of intelectual elites.

Secara aljabar kelas (algebra of classes) dapat dijelaskan dengan diagram Venn seperti berikut. Sarjana dilambangkan dengan lingkaran X, cendekiawan dengan Y dan inteligensia dengan Z. X berpotongan dengan Y. Bidang persekutuan (intersection) X dengan Y (X cap Y) adalah sekaligus sarjana dan cendekiawan. Bagian X yang Y' adalah sarjana yang bukan cendekiawan, dan bagian Y yang X' adalah cendekiawan yang bukan sarjana. Z adalah sub-kelas dari Y yang berpotongan dengan X cap Y. Dalam persekutuan ketiga lingkaran ini terletaklah sarjana yang sekaligus cendekiawan yang sekaligus inteligensia.

Dari penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan menara gading itu, dan tentang apa yang dimaksud dengan sarjana, cendekiawan, kaum intelektual, kaum cerdik cendekia, dan kaum inteligensia itu, maka yang bersedia untuk digiring masuk ke menara gading adalah para sarjana yang bukan intelektual (X yang Y' dalam diagram Venn). Namun minimal saya sependapat dengan Muhammad Arif Tiro, janganlah sampai mereka itu menjadi ibarat ayam-ayam petelur dalam kandang, karena ini adalah eksploitasi oleh manusia atas manusia yang bertentangan dengan HAM. Sedangkan maksimal saya tidak setuju adanya menara gading itu dengan alasan di bawah ini.

Dalam S. At Tawbah 122 Allah SWT berfirman: min kulli Firqatin minhum Liyatafaqqahu fiy dDiyn, harus ada sebagian kelompok di antara ummat Islam yang ber-Yatafaqahu fiy dDiyn.

Dalam bahasa Indonesia ber-Yatafaqqahu fiy dDiyn haruslah dinyatakan dalam ungkapan yang lebih panjang: Mengembangkan ilmu untuk memperdalam pemahaman AGAMA Islam. Sengaja saya melanggar Ejaan yang Disempurnakan (EYD) dengan menuliskan agama semua dalam huruf besar, untuk dapat membedakan pengertian agama dalam arti yang sempit, yaitu yang menyangkut semata-mata hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebagaimana difahami masyarakat luas dengan istilah: religion, ataupun godsdienst, dengan AGAMA dalam pengertian yang luas seperti firman Allah dalam S.Al Ma-idah,4): Akmaltu lakum Diynakum, telah Kusempurnakan bagimu AGAMA-mu. Tegasnya yang saya maksud dengan agama, semua huruf kecil, menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah, sedangkan AGAMA, semua huruf besar, menyangkut bukan hanya sekadar hubungan antara manusia dengan Allah, melainkan pula menyangkut hubungan antara manusia dengan sesamanya makhluk, individu dengan individu, individu dengan masyarakat, masyarakat dengan masyarakat, manusia dengan lingkungan hidup, alam sekitar. Yang ber-Yatafaqqahu fiy dDiyn itu adalah Muslim Cendekiawan. Dua di antara tiga orang contoh yang dikemukakan di atas itu adalah Muslim Cendekiawan, yaitu H.Agus Salim dan H.Muh.Natsir.

Adapun Muslim Cendekiawan, seperti yang telah saya uraikan dalam Seri 119, mempunyai tiga kriteria: Pertama, dalam berilmu ia bersikap tidak memisahkan antara Iqra dengan Bismi Rabbika, Kedua, dalam berperilaku ia bersikap tidak memisahkan antara politik, ekonomi, sosial-budaya dengan AGAMA, karena AGAMA itu mencakup politik, ekonomi, sosial-budaya dan agama. Ketiga, dalam mengambil keputusan ia bersikap berzikir dahulu, ingat kepada Allah, ingat kepada wahyu, baru berpikir, berolah otak, mengolah dengan otaknya masukan-masukan untuk menghasilkan keputusan. Jadi mereka yang menyediakan dirinya ber-Yatafaqqahu fiy dDiyn yang termasuk dalam min kulli Firqatin minhum, sebagian di antara ummat Islam yang telah menyediakan dirinya dalam mengembangkan ilmu untuk memperdalam pemahaman AGAMA Islam, tidaklah mungkin mereka itu akan menyediakan dirinya untuk masuk ke dalam menara gading. Lagi pula di samping karakteristik Muslim Cendekiawan yang tidak memungkinkan mereka itu masuk ke dalam menara gading, maka karakteristik AGAMA Islam sampai kepada pelaksanaan syari'at yang ritualpun, tidak mengenal adanya menara gading. Dalam AGAMA Islam tidak dikenal yang disebut dengan ilmu murni, semuanya adalah ilmu terapan. Seperti yang lazim didengar bahwa matematika itu digolongkan dalam ilmu murni, namun dalam pelaksanaan syari'at yang ritual, matematika juga dilibatkan di dalamnya.

Untuk lebih memperjelas hal itu saya akan memberikan contohnya. Para sarjana di bidang ilmu falak (astronomi), dapat saja bercokol dalam menara gadingnya berupa observatorium, meneliti bintang-bintang dengan teropong bintangnya, menulis laporan hasil penelitiannya di malam hari, tidur di siang hari tanpa mengambil perduli dengan kehidupan sehari-hari, seperti ayam petelur yang kerjanya melulu bertelur di dalam kandang, seperti perumpamaan Muhammad Arif Tiro. Lain halnya apabila sarjana itu ber-AGAMA Islam, bagaimanapun ia harus mengambil perduli ikut terlibat dalam masyarakat, sekurang-kurangnya ikut aktif dalam menentukan 1 Ramadhan, permulaan puasa, 1 Syawwal, untuk 'Iydu lFithri, 1 Dzu lHijjah, untuk 'Iydu lAdhha, (satu hari setelah para hajjaj wuquf di 'Arafah, 9 Dzu lHijjah), baik dalam meru'yah bulan (al Qamar, moon) maupun dalam menghisab (pakai matematika) hitungan bulan (asj Sjahr, month). Pula menghisab masuknya lima waktu shalat wajib sesuai dengan masing-masing mathla' pada permukaan bumi ini. Sedangkan bidang disiplin ilmu falak saja, yang sangat jauh dan terisoler dari kehidupan sehari-hari, dalam AGAMA Islam para pakarnya tidak mungkin tidak terlibat dalam aktivitas masyarakat sehari-hari, apatah pula dalam bidang disiplin ilmu yang lain.

Alhasil AGAMA Islam tidak membutuhkan menara gading dan menolak adanya pemahaman tentang ilmu murni. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 10 April 1994