14 April 1994

123. Nilai-Nilai yang Disimak dari Shalat, dalam Hubungannya dengan Budaya Mundur dan Unjuk Rasa

Agar kita sepaham atau kalau tidak sepaham, sekurang-kurangnya demikianlah pemahaman saya, mundur dalam kontex budaya mundur tidaklah bermakna dalam arti gerak yang konkret, "space-like" (untuk meminjam istilahnya Einstein), melainkan mengandung pengertian yang abstrak. Seperti misalnya yang kita ucapkan dalam Shalat: Wajjahtu Wajhiya lilladziy Fathara sSamawa-ti wa lArdha, kuhadapkan muka kepada Yang menciptakan langit dan bumi. Menghadapkan muka di sini tidaklah bermakna dalam arah yang space-like, melainkan abstrak, karena Allah tidak mengisi ruang yang space-like, SubhanaLlah, Maha Suci Allah dari sifat yang demikian itu.

Ajaran Islam mengandung 'Aqiydah, Hukum Syari'ah dan Akhlaq. Ketiga unsur itu merupakan satu sistem artinya tidak berdiri sendiri, melainkan ada kaitan di antara ketiganya, itulah yang disebut dengan Kaffah. Dalam Hukum Syari'ah ada yang menyangkut dengan hubungan antara manusia dengan Allah yang disebut dengan Hablun mina Lla-h dan ada yang menayangkut dengan hubungan antara manusia yang disebut Hablun mina nNaas. Kedua sub-unsur itu juga merupakan satu sistem, tidak berdiri sendiri, ada kaitannya.

Shalat menyangkut dengan Hablun mina Lla-h. Namun demikian, berdasar atas prinsip Kaffah (sistem), maka Shalat itu tidaklah lepas dari Hablun mina nNaas. Dalam Fiqh pendekatan secara Kaffah ini tidak dipakai, sebab yang dibahas hanya tentang apa hukumnya, yakni menyangkut status wajib, bagaimana cara pelaksanaannya, apa rukunnya, persyaratan untuk shahnya dan apa yang membatalkannya. Hal ini memang penting tetapi belum cukup. Padahal kalau pembahasan itu memakai pendekatan Kaffah maka akan terungkap bahwa dalam Shalat itu terdapat nilai-nilai yang mengisyaratkan bagaimana seharusnya orang itu hidup bermasyarakat dan bernegara, Hablun mina nNaas.

Arkian, akan saya ulangi sepenggal yang pernah saya tulis dalam Seri 063. Saya teringat sebuah peristiwa bertahun-tahun yang silam. Kejadiannya dalam bulan Rajab. Allahu yarham H.AbdulGhani, imam tetap Masjid Syura waktu itu sedang mengimami shalat Maghrib. Sementara membaca pangumpu' beliau diserang batuk. Beliau lalu menyingkir ke samping, lalu Drs Sulthan BM, yang sekarang menjadi salah seorang imam tetap Masjid Syura maju ke depan melanjutkan mengimami shalat Maghrib, bacaan pangumpu' disambung dan bacaan serta gerak shalat diteruskan.

Dalam pengertian space-like, Allahu yarham H.AbdulGhani menyamping ke pinggir, dan dalam arti abstrak mundur. Dalam konstruksi mesjid, pada bahagian mihrab harus ada pintu. Maksudnya pintu itu antara lain khusus disediakan bagi imam untuk keluar masjid pergi beristirahat, jika sementara shalat imam tidak sanggup atau tidak wajar lagi untuk mengimami shalat. Ketidak sanggupan itu ada yang nampak, namun ada yang tidak nampak. Semisal diserang batuk, itu adalah ketidak sanggupan yang kelihatan. Kalau mengeluarkan angin, wudhuk akan batal, shalatpun akan batal. Dan ini adalah ketidak bolehan memimpin shalat yang penyebabnya tidak dapat dipantau oleh makmun. Jadi etika kepemimpinan menurut Islam seorang pemimpin akan dengan ikhlas mundur kalau sudah tidak sanggup atau tidak pantas lagi menjadi pemimpin, apakah ketidak sanggupan atau ketidak pantasan itu dapat dipantau atau tidak oleh para pengikutnya.

Adapun nilai lain dalam Shalat yang mengisyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, seorang imam (baca pemimpin) yang melakukan kesalahan, salah bacaannya atau salah gerakannya wajib ditegur (baca unjuk rasa) oleh makmun (baca pengikut). Kalau yang menegur itu laki-laki ucapan teguran itu adalah kalimah SubhanalLah, untuk gerakan yang salah, dan membacakan bacaan yang benar untuk membenarkan bacaan imam. Dan kalau yang menegur itu perempuan cukup dengan isyarat menepuk punggung tangan. Dan imam harus tunduk pada teguran, memperbaiki bacaannya atau memperbaiki gerakannya. Demikianlah nilai yang dapat disimak yang diisyaratkan oleh nilai dalam Shalat tentang kepemimpinan dan kepengikutan. Seorang pengikut wajib menegur pemimpinnya. Namun cara menegur haruslah sopan, tidak boleh vulgar. Unjuk rasa dengan kalimah SubhanalLah bermakna bahwa Allah Maha Suci, hanya Allah yang luput dari kesalahan. Adapun manusia itu tidak akan sunyi dari kesalahan. Pemimpin harus dengan ikhlas dan berlapang dada menerima unjuk rasa, karena teguran itu adalah untuk memperbaiki demi kemaslahatan bersama, bukan untuk menjatuhkan.

Apabila benar bahwa menurut penelitian budayawan dan pakar sejarah budaya mundur itu bukanlah budaya bangsa Indonesia, maka alangkah sayangnya hal itu, oleh karena pertama, mayoritas bangsa Indonesia adalah Ummat Islam, dan kedua, AGAMA Islam sudah berabad-abad dianut di Indonesia ini, sehingga semestinyalah budaya mundur itu (selesai periode Shalat, maupun sementara melaksanakan keimaman dalam Shalat) telah mengakar di kalangan Ummat Islam di Indonesia ini.

Adalah tanggung jawab seluruh Ummat Islam agar nilai mundur yang diisyaratkan oleh 'ibadah Shalat itu dimasyarakatkan, didarah-dagingkan, dibudayakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Membudayakan budaya mundur bukanlah meniru-niru budaya bangsa lain, oleh karena budaya mundur itu adalah bagian dari ajaran Islam. Yang salah besar jika teknis pelaksanaan budaya mundur itu meniru cara bushido Jepang, harakiri. Akan halnya unjuk rasa haruslah berlandaskan nilai SubhanaLlah. Pelaksanaan teknisnya telah dicontohkan oleh para alim-ulama sewaktu berunjuk rasa yang sejuk tentang hal SDSB sekitar 4 bulan yang lalu di Jakarta. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 17 April 1994