-- WLQD SHRFNA LLNAS FY HDzA ALQURAN MN KL MtSL FABY AKTsR ALNAS ALA KFWRA (S.ALASRY, 17: 89), dibaca: walaqad sharrafna- linna-si fi- ha-dzal qur.a-ni ming kulli matsalin faaba- aktsaran na-si illa- kafu-ran, artinya:
-- Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam Al Qur'an ini tiap-tiap macam perumpamaan, namun kebanyakan manusia enggan (mengambil ibarat), (karena) mereka itu kafir.
Pengikisan tanah di lereng-lereng gunung oleh air bah yang mengalir dengan ganas disebut erosi. Di dalam Al Quran fenomena alam yang berupa erosi ini dinformasikan sebagai bahan bandingan perumpamaan untuk erosi amal sedekah seseorang.
-- YAsYHA ALDzYN AMNWA LA TBThLWA ShDQTKM BALMN WALADzY KALDzY YNFQ MALH RaAa ALNAS WLA YWaMNWA BALLH WALYWM ALAKhR FMtSLH KMTsL ShFWAN 'ALYH TRAB FAShABH WABL FTRKH ShLDA LA YQDRWN 'ALY SyYa MMA KSBWA WALLH LA YHDY ALQWM ALKFRYN (S. ALBQRt, 2:264), dibaca: ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- la- tubthilu- shadaqa-tikum bilmanni wal a-dza- kalladzi- yunfiqu ma-lahu- ria-an na-si wala- yu'minu- biLla-hi walyawmil a-khiri famatsaluhu- kamatsali shafwa-nin 'alayhi tura-bun faasha-bahu- wa-bilun fatarakahu- shaldan la yaqdiru-na 'ala- syaiim mimma- kasabu- waLla-hu la- yahdil qawmal ka-firi-na, artinya:
-- Hai orang-orang beriman, janganlah kamu batalkan amal sedekahmu, dengan cara menyiarkan (kepada umum) dan melukai perasaan (yang diberi sedekah), seperti cara menyumbang dengan penampilan (riya) dari orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan Hari Akhirat; adapun cara yang demikian itu ibarat batu karang licin yang di atasnya terdapat lapisan tanah diguyur oleh curahan hujan yang lebat yang memberikan bekas tanah hanyut dan tinggallah batu karang licin yang gundul, maka demikian pulalah keadaan amal sedekahnya hilang tidak ada yang tinggal.
Perbuatan batil diibaratkan sebagai buih dalam fenomena alam.
-- FASALT AWDYt BQDRHA FAhTML ALSYL ZBDA RABYA WMMA YWQDWN 'ALYH FY ALNAR ABTGhAa hLYt AW MTA'A ZBD MTsLH KDzLK YDhRB ALLH ALhQ WALBAThL FAMA ALZBD FYDzHB JFAa WAMA YNF'A ALNAS FYMKtS FY ALARDh KDzLK YDhRB ALLH ALAMTsAL (s. ALR'AD, 13:17), dibaca: fasa-lat awdiyatun biqadariha- fahtamaks sailu zabadar ra-biyan wamimma- yu-qidu-na 'alaihi finna-rib tigha-a hilyatin aw mata-'in zabzdun mitsluhu- kadza-lika yadhribu Lla-hul haqqa walba-thilun faammaz zabdu fayadzhabu jufa-an wamma- ma- yanfaqun na-sa fayamkutsu fil ardhi kadza-lika yadhribu Lla-hul amtsa-la, artinya:
-- maka arus itu membawa buih yang mengambang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.
Untuk penjelasan lebih lanjut perlu terlebih dahulu dibahas dua kata-kunci: syaithan dan rajm.
Syaithan; antara lain ialah pemimpin kaum munafiq yang memusuhi Nabi Muhammad SAW, seperti Firman Allah:
-- WADzA KhLWA ALA SyYTHYNHM QALWA ANA M'AKUM (S. ALBQRt, 2:14), dibaca: waidza- khalau ila- syaya-thi-nihim qa-lu- inna- ma'akum, artinya:
-- Dan ketika mereka berkhalwat (menyendiri) bersama setan-setan (pemimpin) mereka, mereka berkata kami bersama kalian.
Dalam hal ini setan-setan itu ialah anak buah iblis yang memusuhi Nabi Muhamamd SAW yang terdiri dari dua golongan dalam hal politik dan dalam hal perdukunan ramal-meramal.
Rajm; umumnya berarti melempar dengan batu. Kalau Al-Quran dijadikan kamus maka kata rajm berarti pula ramalan, ini dapat dilihat dalam ayat:
-- RJMA BALGhYB (S. ALKHF, 18:22), dibaca: rajman bil ghaybi, artinya:
-- meramal tentang yang ghaib
dan rajm berarti juga mengeluarkan umpatan, seperi ucapan ayah Ibrahim kepada Ibrahim AS. Ini dapat dilihat dalam ayat:
-- LARJMNKM (S. MRYM, 19:46), dibaca: laarjumannakum, artinya:
-- kuumpat engkau
Dan rajm juga berarti usir, yaitu setan atau iblis diusir Allah keluar dari alam malakut.
-- WLQD ZYNA ALASMAa ALDNYA BMShABh WJ'ALNHA RJWMA LLSyYThYN (S. AlMLK, 67:5), dibaca: walaqad dzayyannas sama-id dunya- bimasha-biha waja'alnaaha- rujumal lisysyaya-thi-ni, artinya:
-- Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan pelita-pelita dan Kami menjadikannya pelempar setan.
-- MN KhThF ALKhFThFt FATB'AH ShHAB TsAQB (S. ALShFAT, 37:10), dibaca: man khathifal khathfata faatba'ahu- shiha-bu tsa-qibun, artinya:
-- Bagi siapa (setan) yang menangkap tangkapan (di langit) maka ia segera dikejar oleh suluh api (tahi bintang) yang cemerlang.
Setan-setan anak buah iblis kontemporer berupa pemilik mesin perang satelit mata-mata yang mendata negeri-negeri Islam (seperti Aghanistan dan Iraq) dari atas angkasa, dalam rangka melumatkan negeri-negeri yang dibenci oleh setan-setan itu. Satelit mata-mata itu dikejar oleh tahi bintang berupa meteor-meteor yang terbakar karena bergesek dengan atmosfer bumi. Itu adalah fenomena alam sebagai perumpamaan perbuatan sesat dukun-dukun peramal yang ramalan dan umpatannya diusir oleh cahaya Islam yang yang mengusir kebohongan ramalan dan umpatan para dukun peramal tersebut.
Yang terakhir Firman Allah:
-- MTsL ALJNt ALTY W'AD ALMTQWN TJRY MN ThTHA ANHAR AKLHA DAaM WZhLHA TLK 'AQBY ALDzYN ATQWA AW 'AQBY ALKFRYN ALNAR (ALR'AD, 13:35), dibaca: matsalul jannatul lati- u'idal muttaqu-na tajri- min tahtaihal anha-r ukuluha- da-imuw wa'uqbal ka-firi-nan naari, artinya:
-- Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang taqwa ialah (seperti taman), mengalir sungai-sungai di bawahnya ; makanannya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula); itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertaqwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.
Adapun surga itu tak terkira jauh lebih menyenangkan dari perumpamaan fenoma alam yang dijadikan pembanding. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 25 Desember 2005
25 Desember 2005
[+/-] |
708. Fenomena Alam Dijadikan Perumpamaan |
18 Desember 2005
[+/-] |
707. Melayari Laut dalam Konteks Nilai Sub-Kultur Bugis Makassar |
Kita buka perbincangan ini dengan kelong (syair Makassar) yang menggambarkan nilai semangat istiqamah (konsisten), baik dalam hal prinsip maupun dalam hal operasional:
Takunjungaq bangun turuq
Takuginciriq gulingku
Kualleanna
Tallanga natoaliya
Tak kumau angin buritan
Kemudi takkan kuputar
Kendatipun akan tenggelam
Pantang aku urung berlayar
Yang berikut adalah nilai keberanian yang bersinergi kecakapan berlayar.
Saya masih ingat waktu kecil ketika bermain-main sampan layar, saya yang sedang memegang kemudi di bagian belakang sampan berteriak jagako kepada teman yang bertugas mengimbangi kemiringan sampan, yang berdiri dipinggir sampan pada sisi yang berlawanan dengan layar. Biasanya sampan mempunyai cadik/kengkeng, semacam tangkai yang menganjur keluar kiri kanan sampan untuk keseimbangan sampan. Tetapi waktu saya masih anak-anak dalam soal sampan layar mempunyai nilai tersendiri: Anak-anak/remaja yang melayarkan sampan layar yang memakai cadik dicap penakut. Teriakan jagako itu saya ucapkan untuk memperingatkan teman tadi agar siap siaga akan datangnya angin, karena melihat kerutan kecil air laut yang melaju ke arah sampan layar kami itu. [Cuplikan dari Seri 029, bertanggal 17 Mei 1992]
Yang berikut adalah nilai "pandangan berisi" dan kecekatan berlayar menggergaji menghadapi angin sakal, yaitu dengan mengoperasionalkan tujuan taktis yang kelihatannya menyimpang dari tujuan strategis.
Pada zaman Jepang seorang heitai (serdadu Jepang) membentak nakhoda perahu sambil meludahi kedua telapak tangannya: "Bagero, kunapa purahu kusituka?". Tentera Jepang kalau membentak dengan bagero disertai dengan meludahi telapak tangan itu berarti siap-siap untuk menempeleng. Ia marah besar kepada nakhoda perahu, oleh karena tujuan perahu menyimpang sekitar 45 derajat ke kiri dari arah pulau yang akan dituju, p.Jampea. Melihat gelagat tentera Jepang yang menyandang samurai itu, nakhoda perahu dengan tenang menatap mata heitai Jepang itu dengan sinar mata yang tajam dengan "pandangan berisi", yang mengandung pengaruh sirap. Hasilnya, Jepang itu tertunduk, sikapnya melemah, butir-butir keringat menyembul di keningnya. Dahulu para nakhoda perahu bukan hanya terampil melayarkan bahtera saja, melainkan harus pula menguasai ilmu "pandangan berisi" sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi nakhoda. "Tuan, kita menggergaji, kita mendapat angin sakal, bukan angin buritan", nakhoda itu menjelaskan. Sungguhpun serdadu Jepang itu kurang begitu mengerti penjelasan sang nakhoda, ia mangguk-mangguk saja, maklumlah hatinya sudah kecut oleh sinar mata sang nakhoda. Apa sesungguhnya yang terjadi ialah perahu itu harus menempuh lintasan seperti mata gergaji, zig zag, oleh karena angin tidak bertiup dari belakang perahu. Itu biasa dalam dunia pelayaran, yang belum difahami oleh serdadu Jepang itu. [Cuplikan dari Seri 096, bertanggal 26 September 1993]
Yang berikut adalah nilai musyawarah dan kebersamaan dalam membina negeri:
Malam Jumat, 4 Agustus 1994, di lantai 3 Gedung Harian Fajar itu tatkala mendengarkan alunan suara budayawan Mappaseleng Dg Maqgauq, menyanyikan "Minasa ri Boritta", saya bernostalgia, ingat tempo doeloe, ketika saya masih kecil di kampung halaman, sewaktu lagu-lagu daerah masih sangat dominan, oleh karena belum terjadi akulturasi budaya kita dengan budaya luar. Waktu itu setiap ada "paqgaukang", pesta kenduri, tidak pernah ketinggalan acara kesenian Rambang-Rambang, yaitu nyanyian solo diiringi oleh empat atau lima biola dan rabbana (rebana). Sebelum Perang Dunia kedua kalau ada Pasar Malam di Makassar, Parambang-Rambang Silayaraq (Selayar) tidak pernah absen. Mengapa nyanyian solo yang diiingi dengan perangkat bunyi-bunyian biola dan rebana itu dinamakan apparambang-rambang, menggelar rambang-rambang, oleh karena senantiasa lagu pertama yang dinyanyikan ialah lagu/kelong Rambang-Rambang. [Cuplikan dari Seri 139, bertanggal 7 Agustus 1994).
Kata dasar rambang menjadi kata kerja aqrambangang, itu terkhusus istilah yang digunakan dalam kalangan pelaut, artinya berbanjar mengembang layar. Dalam bahasa Makassar kata kerja ditasrifkan. Untuk orang pertama tunggal aqrambangang. Orang pertama jamak kiqrambangang. Orang pertama jamak waktu yang akan datang (future tense) nakiqrambangang. Tasrif (konyugasi) terakhir ini dapat dilihat dalam kelong Rambang-Rambang di bawah.
Pakabajiki boritta
Kimassing massamaturuq
Nakiqrambangang
Ansombali mateqneya
Benahilah negeri kita
Masing-masing bersepakat
Berbanjar mengembang layar
Berlayar mencapai sejahtera
Karena nakiqrambangang dalam bentuk future tense, maka berbanjar mengembang layar baru dikerjakan setelah terjadi kesepakatan. Jadi nilai filosofis kelong Rambang-Rambang, yaitu pekerjaan membenahi negeri barulah dilakukan setelah terjadi kesepakatan, bukanlah tiba masa tiba akal.
***
Hasil istinbath (penggalian) nilai Sub-Kultur di atas itu utamanya nilai musyawarah/kesepakatan dan kebersamaan serta istiqamah dalam membenahi negeri mestilah berutumpu pada paradiqma Nilai Al-Furqan dari Syari'at Islam. yaitu bertawakkal kepada Allah, seperti FirmanNya:
-- WSyAWRHM FY ALAMR FADzA 'AZMT FTWKL 'ALY ALLH AN ALLH YhB ALMTWKLYN (S. AL'AMRAN, 3:159), dibaca: wasya-wirhum fil amri faidza- 'azamta fatawakkal 'alaLla-hi inaaLla-ha yuhibuul mutawakkli-na, artinya: Dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan (negara dan kemasyarakatan), maka apabila engkau telah menetapkan cita-cita, bertawakkallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang tawakkal. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 18 Desember 2005
11 Desember 2005
[+/-] |
706. Sepuluh Ribu dari Faran |
Berdasar atas Perjanjian Gencetan Senjata Hudaibiyah selama sepuluh tahun di antara Madinah dengan Makkah, maka qabilah Banu Bakr bergabung ke dalam aliansi kaum kafir Quraisy Makkah, sementara Banu Khuza'ah ke dalam aliansi kaum Muslimin Madinah. Ternyata dua tahun kemudian Banu Bakr dengan dukungan pihak Makkah menyerang Banu Khuza'ah. Dalam penyerangan itu banyak penduduk Banu Khuza'ah yang terbunuh. Utusanpun dikirim ke Madinah melaporkan pihak Makkah telah melanggar Perjanjian Hudaibiyah. RasuluLlah SAW segera mengumpulkan pasukan, lalu bergerak menuju Makkah, dan dalam perjalanan beberapa qabilah lain datang bergabung dengan RasuluLlah SAW. Tatkala pasukan itu tiba di FARAN jumlahnya telah mencapai SEPULUH RIBU orang. RasuluLlah SAW yang memimpin pasukan SEPULUH RIBU orang dari FARAN ini dinubuwatkan jauh sebelumnya oleh Nabi Musa AS. Kita kutip dari The Holy Bible, King James (authorize) Version:
"And this is the blessing, where-with Moses the man of God blessed the Children of Israel before his death. And he said the LORD came from Sinai, and rose up from Seir unto them; he shined forth from mount PARAN and he came with TEN THOUSANDS of saints; from his right hand sent a fiery law for them" (Deuteronomy 33:1-2). Dan inilah berkat atas Bani Israil yang diberikan oleh Musa orang kepercayaan Tuhan sebelum wafatnya. Dan ia berkata: Tuhan datang dari Thursina dan terbit dari Seir atas mereka; ia terus bersinar gemerlapan dari bukit FARAN dan ia datang dengan SEPULUH RIBU pasukan syuhada; dari tangan kanannya datang syari'at yang cemerlang untuk mereka.
Bunyi nubuwat tersebut bersinergi dengan nubuwat Habakkuk dan Isaiah. Tidak seorangpun bangsa Israel termasuk Yesus, yang ada hubungannya dengan Paran. Bukit Faran berlokasi di pegunungan Siraat yang mengelilingi Makkah. Hajar, dengan anaknya Ismail AS, berkelana di padang gurun Birsheba, yang kemudian menetap di padang gurun Paran (Genesis, 21:14,21). Ismail AS mengawini perempuan Mesir dan dari kelahiran anak sulungnya, Haidar (Kedar), memberikan keturunan kepada bangsa Arab, yang juga merupakan garis lurus silsilah: Haidar - Jamal - Sahail - Binta - Salaman - Hamyasa - 'Adad - 'Addi - Adnan - Ma'ad - Nizar - Mudhar - Ilyas - Mudrikah - Khuzaimah - Kinanah - Nadhar - Malik - Fihir - Ghalib - Luaiy - Ka'ab - Murrah - Kilab - Qushay - 'Abdul Manaf - Hasyim - 'Abd.Muththalib - 'Abdullah - NABI MUHAMMAD SAW.
Inilah nubuwat dalam (Habakkuk 3:3):
-- The Holy One from Mount Paran. His glory covered the heavens and the earth was full of his praise. Esa yang Suci dari gunung Paran. Kemuliaannya meliputi langit dan bumipun penuh dengan pujiannya.
Dan inilah nubuwat dalam Isaiah mengenai Kedar, para penghuni padang gurun FARAN.
-- The oracle concerning Arabia. In the thickest in Arabia you will lodge, O caravans of De'danites . For they have fled from the swords, .... from the bent bow, ... For thus the Lord said to me, "Within a year, according to the years of a hireling, all the glory of Kedar will come to an end . And the remainders of the archers of the mighty men of Kedar will be few (Isaiah 21:13,15-17). Ucapan ilahi terhadap Arabia. Di belukar Arabia engkau akan bermalam, wahai kafilah-kafilah orang Dedan . Karena mereka melarikan diri dari pedang ... dan dari busur yang dilentur, .... Karena beginilah Tuhan berfirman kepadaku: "Dalam setahun lagi, menurut masa kerja prajurit upahan, maka semua kemuliaan Kedar akan habis. Dan dari pemanah-pemanah yang gagah perkasa dari bani Kedar, akan tersisa sejumlah kecil saja.
-- "For behold darkness shall cover the earth, .... but the LORD will arise upon you, and the glory will be seen upon you .... All the flocks of Kedar shall be gathered to you, .... and I will glorify My Glorious House" (Isaiah, 60:2,7). Karena sesungguhnya kegelapan akan meliputi bumi, .... namun (terang) Tuhan akan terbit atas kamu, .... Semua kawanan domba Kedar akan berhimpun kepadamu, .... dan Aku akan menyemarakkan Rumah KeagunganKu."
Kaitkanlah nubuwat-nubuwat dalam Isaiah itu dengan nubuwat dalam Deuteronomy dan Habakkuk. Kedar runtuh dan jumlah pemanah, orang-orang kuat dari anak-anak Kedar, lenyap dalam setahun setelah mereka itu melarikan diri dari pedang-pedang dan dari busur-busur yang dibentang (Isaiah). Maka "sinar gemerlapan dari bukit FARAN" (Deuteronomy) adalah Muhammad SAW. Dalam Habakkuk, praise from Mount Paran adalah Muhammad SAW, karena secara harfiah Muhammad berarti praise. Terang Tuhan yang terbit atas bani Kedar yang dalam kegelapan adalah Muhammad SAW, karena beliau adalah satu-satunya Nabi melalui siapa bangsa Arab menerima wahyu di masa kegelapan jahiliyah.
Dan tak lebih dari setahun setelah hijrah, anak cucu keturunan Kedar yaitu pasukan dari Makkah berjumpa dengan pasukan mujahidin Muhajirin dan Anshar dari Madinah dalam Perang Badar. Maka tumbanglah kemuliaan Bani Kedar, yaitu kafir Quraisy penduduk Makkah, kalah telak dalam Perang Badar. Muhammad SAW mensucikan kembali itu "Glorious House, Rumah Keagungan Tuhan, BaituLlah" di Makkah dengan membersihkannya dari patung-patung berhala. Setiap sekeping berhala tumbang, RasuluLlah SAW mengucapkan ayat:
-- WQL JAa ALhQ WZHQ ALBAThL AN ALBARhL KAN ZHWQA (S ISRAa, 17:81), dibaca: waqul ja-al haqqu wazahaqal ba-thilu innal ba-thila ka-na zahu-qan. Katakanlah telah datang kebenaran dan telah lenyap yang batil, sesungguhnya kebatilan itu niscaya lenyap. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 11 Desember 2005
4 Desember 2005
[+/-] |
705. Gayung Bersambut, Kata Berjawab |
Baru-baru ini saya menerima "surat panjang" dari yang menyatakan dirinya "Imam" Majlis Al-Munajah Al-Ardh dengan tembusan kepada segala macam, yang tebalnya cukup lumayan 28 halaman. Pada pokoknya sang "Imam" memprotes apa yang saya tulis dalam Seri 699 mngenai bagian ceramahnya, bahwa itu sudah menyeleweng dan keluar jalur ajaran Islam, karena sang "Imam" menyatakan ada Al-Quran rahasia, dan untuk dapat mengetahui Al-Quran rahasia itu haruslah mengetahui rahasia titik nun dan titik ba, yang ujung-ujungnya sang "Imam" menyatakan: "Al-Quran yang dikodifikasikan/dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup /penentu/penunjuk." Anehnya dalam "surat panjang" itu sama sekali sang "Imam" tidak menyinggung sedikitpun tentang "Al-Quran yang dikodifikasikan/dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup /penentu/penunjuk."
Pengasuh kolom ini, yang Wakil Ketua Majlis Syura KPPSI, menjadi "kesal" dengan pernyataan sang "Imam" bahwa Al-Quran yang dikodifikasikan/dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup /penentu/penunjuk. Mengapa "kesal", karena pernyataan itu "menantang/menyalahkan" yang diperjuangkan KPPSI menegakkan Syari'at Islam menurut AL-Quran yang 114 Surah dan 30 Juz. Seperti diketahui, berdasarkan hasil jajak pendapat dari Tim Pengkajian Konsep Syari'at Islam (TPKSI) yang dibentuk atas dasar SK Gubernur Sul-Sel No.601/X/2001, tgl.2 Oktober 2001, masyarakat di Sul-Sel 91% yang setuju pelakanaan Syari'at Islam. Perlu ditabayyun kata "Konsep" dalam TPKSI itu bukan "Konsep" tentang Syari'at islam, karena Syari'at Islam itu bukan "Konsep" manusia, melainkan dari Allah SWT. Alhasil yang dimaksud ialah "Konsep" tentang PELAKSANAAN Syari'at Islam.
***
Saya fokuskan jawaban saya pada titik Nun dan titik Ba yang dijadikan paradigma, karena dengan tertebasnya paradigma tersebut, maka tertebaslah pula pandangan sang "Imam" yang keluar dari Jalur Syari'at Islam tersebut, yaitu "Al-Quran yang dikodifikasikan / dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup / penentu / penunjuk."
Dalam "surat panjang" itu, sang "Imam" menulis:
-- "Pernyataan tuan ini, yaitu tidak ada titik Nun dan titik Ba, dengan sendirinya membantah keotentikan Al-Quran yang tuan maksudkan. Jika menurut tuan awal turunnya quran itu tidak mempunyai titik dan sekarang sudah mempunyai titik dan tanda baca berarti secara logika sederhana dengan sendirinya Al-Quran telah dirubah (mestinya diubah-HMNA-) dengan adanya campur tangan manusia." Sang "Imam" menguatkan pendapatnya itu dengan ayat yang sama sekali tidak relevan dengan apa yang dibantahnya itu.
-- Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Quran itu sebagai peraturan (yang) benar dalam bahasa Arab ... (S. Ar-Ra'd: 37).
Ini lucu, sang "Imam" memakai ayat dari "Al-Quran yang dikodifikasikan / dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah", padahal sang "Imam" bilang itu "tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup / penentu / penunjuk." Rupanya sang "Imam" hanya memakainya untuk "berdebat" saja.
Dalam museum di Al Qahirah (Cairo) ada tersimpan surat asli Nabi Muhammad SAW kepada Pembesar Qibthi, kita kutip kalimat pertama dari surat itu:
-- MN MhMD 'ABD ALLH WRSWLH ALY ALMQWQS 'AzhM ALQBTh dibaca min muhammadin 'abdiLla-hi warasu-lihi ilal muqawqisi 'azhi-mil qibthi. Artinya: Dari Muhammad hamba Allah dan RasulNya, kepada Muqawqis pembesar Qibthi. Dalam surat asli tersebut ada huruf-huruf Nun, Ba, Ya, Qaf dan Zha yang semuanya tidak pakai titik.
Pemberian titik dan tanda baca tidak mengubah Rasm 'Utsmaniy, tidak menambah ataupun mengurangi jumlah huruf. Kalimah Basmalah; terdiri atas huruf-huruf: (1)Ba, (2)Sin, (3)Mim, (4)Alif, (5)Lam, (6)Lam, (7)Ha, (8)Alif, (9)Lam, (10)Ra, (11)ha, (12)Mim, (13)Nun, (14)Alif, (15)Lam, (16)Ra, (17)ha, (18)Ya, (19)Mim, jumlahnya 19. Angka 19 ini tidak berubah baik sebelum maupun sesudah huruf Ba dan Nun dalam kalimah Basmalah diberi titik.
-- Atas perintah Nabi SAW, Al-Quran ditulis oleh penulis-penulis wahyu di atas pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu. Semuanya ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan dan belum terhimpun dalam satu mushhaf. Semuanya ditulis dalam huruf gundul belum ada titik dan belum diberi baris.
-- Atas anjuran 'Umar ibn Khattab RA, maka Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq RA, memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan ayat-ayat Al Qur'an dari para penulis wahyu, kemudian di simpan oleh Hafshah bt. 'Umar.
-- Di masa Khalifah 'Usman bin 'Affan, untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushhaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya berupa huruf gundul yang terdapat pada Hafshah. 'Usman bin 'Affan RA memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushhaf tersebut ditulis masih tetap tanpa titik dan tanpa baris. Hasil penulisan tersebut satu disimpan oleh 'Usman bin 'Affan RA dan sisanya disebar ke berbagai penjuru wilayah Khilafah.
-- Abul Asad Ad-Dualy, yang ditugaskan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, meletakkan titik pada tiap akhir kalimat dari ayat. Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf supaya huruf-huruf Ba, Ta, Tsa, dst dengan mudah dapat dibedakan. Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar, maka pada Ba diberi satu titik di bawah, Ta dua titik di atas, Tsa tiga titik di atas dst. Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah, Sukun dan tanda panjang, dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.
Alhasil dengan belum adanya titik Nun dan titik Ba pada zaman RasuluLlah SAW, tertebaslah paradigma yang di atasnya bertumpu pandangan sang "Imam" yang keluar dari Jalur Syari'at Islam, yaitu yang katanya: "Al-Quran yang dikodifikasikan/dibukukan dalam 30 Juz, 114 Surah, tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hidup /penentu/penunjuk." Na'udzu biLlah min dzalik. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 4 Desember 2005