Hari Sabtu, 2 hari menjelang lebaran kami berdua, yaitu Drs.H.Mustafa Kamal dan saya berangkat ke Soroako. Mustafa Kamal akan membaca Khuthbah 'Iydilfithri di Wasuponda dan saya di komplex Inco di Soroako. Perhubungan udara Mandai - Soroako 3 kali dalam sepekan, yaitu pada hari-hari: Sabtu, Selasa, Kamis. Namun apabila hari libur tidak ada penerbangan. Berhubung karena Selasa hari libur, maka kami berdua baru dapat kembali pada hari Kamis. Antara hari lebaran dengan hari Kamis itu kami mendapat amanah mengisi acara da'wah, diskusi dan ceramah Silaturrahim (biasanya disebut Halal bi Halal, kata-kata dari bahasa Arab dengan ungkapan Indonesia). Menurut jadwal yang disusun panitia dalam acara-acara itu kami dijadwalkan hadir berdua. Akan tetapi untuk menghemat tenaga disepakati bahwa yang hadir satu orang saja, dan sementara itu yang satunya dapat beristirahat di kamar tamu Masjid Al Ikhwan, Soroako.
Pada hari Rabu menurut jadwal adalah hari yang terakhir, acaranya di pagi hari di Masjid Raya Timampu, dan acara ini adalah giliran saya. Sekadar informasi Timampu ini terletak di pinggir danau Towuti. Kalau dari Soroako, yang terletak di pinggir danau Matano, dalam perjalanan menuju ke Wasuponda, Malili, Palopo, kita akan sampai pada jalan bersimpang dua, ke kanan menuju Wasuponda, sedangkan ke kiri menuju Wawondula. Setelah sampai di Wawondula kita membelok ke kiri meninggalkan jalan mulus, masuk ke dalam jalan provinsi yang kurang mulus, hingga tiba di Timampu. Di Timampu ini baru pertama kali saya mengalami acara Silaturrahim (Halal bi Halal) yang disertai dengan diskusi. Yang menjadikan saya terharu dan juga bangga bahwa baik remaja maupun yang sudah tua tanggapan yang dikemukakan dalam diskusi menunjukkan bahwa pengetahuan ke-Islaman mereka itu wawasannya cukup luas tidak kalah dengan orang kota.
Setelah tiba kembali di Masjid Al Ikhwan di Soroako, saya dapati Mustafa Kamal kesehatannya menurun, lidahnya terasa kaku, tubuh sebelah kanan terasa pegal. Sebelum ke Soroako ia bersafari Ramadhan ke daerah pedalaman Mamuju yang lapangannya termasuk berat. Segera menjelang asar dia dibawa ke bagian emergency RS Soroako, langsung diopmaname. Menurut Panitia sebaiknya datang sehat pulang sehat, tetapi menurut dokter secepatnya harus ke RS di Ujung Pandang. Esoknya, hari Kamis, dengan ambulance Mustafa Kamal dibawa ke lapangan terbang Soroako tetap dalam keadaan diinfus. Tiba di Mandai ambulance sudah menunggu pula dan langsung di bawa ke RS Labuang Baji kamar L7.
Dalam penerbangan pulang di udara antara Soroako dan Mandai ada yang menggelitik dan mengusik batin saya sehingga tidak sempat tertidur, yang biasa saya lakukan dalam perjalanan di udara. Yaitu masalah kesehatan para muballigh kita. Tidak ada lembaga yang bertanggung-jawab tentang kesehatan mereka. Para muballigh kita mengurus kesehatannya masing-masing secara individual. Kalau seperti misalnya Mustafa Kamal yang sedang tidur terbaring di atas tandu dalam pesawat yang kecil itu ada yang mengurus kesehatannya yaitu melalui kartu dana. Ia itu mempunyai kartu dana karena ia seorang dosen senior IKIP yang tidak naik-naik pangkat, tetap IV-B, tetapi bukannya karena tidak cakap. Semua orang di IKIP tahu akan hal itu, ia tidak naik-naik pangkat karena tidak mau menanda tangani formulir pernyataan masuk Golkar sebagai lampiran usulan kenaikan pangkat.
Yang mengusik batin saya ialah para muballigh yang tidak mempunyai kartu dana katakanlah misalnya KH Moh Danyal yang tubuhnya sudah melemah, namun masih penuh dengan semangat, yang kelihatannya menjadi segar-bugar bila berda'wah di atas mimbar. Para muballigh semacam itu perlu ada lembaga yang bertanggung jawab atas kesehatan mereka, sekurang-kurangnya dalam bulan Ramadhan, utamanya menjelang 2 pekan akhir Ramadhan. Mereka perlu cek-up karena tentu saja kondisi fisik akan melemah, melayani 2 sampai 3 kali setiap malam berpindah dari masjid ke masjid dari satu kota ke kota yang lain.
Maka dalam perjalanan pulang itu terpikirlah oleh saya tentang lembaga-lembaga ke-Islaman yang sudah ada. Ada BAZIS, ada RS Islam Faisal, ada IMMIM dan tidak kurang jumlahnya dokter-dokter Muslim yang tinggi dedikasinya. Lembaga-lembaga itu tinggal dikordinasikan saja. Pokoknya itu hanya masalah manajemen, sumberdaya manusia cukup, fasilitas ada. Para muballigh berhak mendapatkan dana pelayanan kesehatan dari BAZIS. Mereka itu adalah Ibnu sSabiyl, pejuang di jalan Allah, yang disebut dalam S. Al Baqarah 177. Adapun mereka yang mengeluarkan zakat, infaq dan sadaqahnya (ZIS), yang mendanai BAZIS, mereka itulah yang disebut dengan wa Ata lMaala 'ala- Hubbihi, juga dalam ayat yang sama: wa Ata lMa-la 'ala- Hubbihi Dzawi lQurba- wa lYataama wa lMasaakiyna wa bna sSabiyli wa fiy rRiqaabi artinya, dan dia memberikan harta yang disayanginya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, pejuang di jalan Allah, dan untuk memerdekakan budak.
Sedikit catatan yang tidak kurang pentingnya tentang budak: jangan dikira sekarang ini budak sudah tidak ada lagi. Contohnya seperti sebagian para pramuria yang jatuh ke lembah nista itu karena penipuan sindikat yang "menjual" mereka kepada tauke pemilik night club, kemudian mereka itu terperangkap tidak dapat membebaskan dirinya lagi. Kasihan, mereka itu statusnya sudah menjadi budak. Mereka ini perlu pula dipikirkan dan diupayakan mengangkatnya dari lembah nista, seperti Firman Allah dalam S. Al Balad 13: Fakku Raqabah, (upaya) memerdekakan budak. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 27 Maret 1994
27 Maret 1994
[+/-] |
121. Kesehatan para Muballigh, Tantangan bagi BAZIS |
20 Maret 1994
[+/-] |
120. Nuku vs Wieling, Membuktikan Diri Bersih, vs Asas Praduga Tak Bersalah |
Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas tersangka harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805. Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram. Ia membebaskan (1780-1797) dan mempertahankan (1797-1805) wilayah kerajaannya dengan jalan peperangan yang sengit diselingi dengan diplomasi yang handal dan dengan siasat mengadu domba ketiga gubernur itu selama 25 tahun. Beberapa tahun menjelang akhir hayatnya (14 November 1805), yaitu sejak Gubernur Ternate menjalankan mekanisme pemerintahan Inggeris (1799), terjadi gencetan senjata antara Kerajaaan Tidore dengan Gubernur Ternate, yang menjalankan mekanisme pemerintahan Inggeris itu. Setelah Pemerintah Inggeris menyerahkan kembali kekuasaan kepada Pemerintah Belanda (1 Maret 1803), Ternate dimasukkan ke dalam wilayah Gubernur Ambon. Di Ternate hanya ditempatkan Wakil Gubernur Ambon, yaitu Carel Lodewijk Wieling.
Syahdan, 2 orang penghuni istana Tidore, yaitu dayang-dayang puteri Boki Fathimah yang bernama Sulasi dan Barunarasa mencuri emas, intan-berlian puteri itu dan melarikan diri ke Ternate. Nuku bersurat kepada Wieling pada 28 Muharram 1220 (18 April 1885) supaya kedua tersangka itu diextradisikan ke Tidore. Wieling menolak permintaan extradisi itu oleh karena menurut penyelidikannya Sulasi yang dahulunya bernama Sarbanun adalah sesungguhnya berasal dari sebuah kampung dekat Gamkonora di Ternate, dan Barunarasa dahulu bernama Kuning adalah budak Kapitan Makassar di Ternate. Keduanya adalah penduduk Ternate, bukan penduduk Tidore, jadi tidak tergolong di bawah jurisdictie kerajaan Tidore (en dus in geen opsigte tot de Jurisdictie van het Tidorsche Rijk behooren; ejaan Belanda lama, sekarang opzicht dan behoren). Nuku dapat memahami penolakan itu, tidak seperti Amerika dan Inggeris yang tidak mau memahami Moammer Qaddafi yang menolak extradisi 2 orang tersangka warga Libia. Bukan hanya sekadar tidak mau mengerti bahkan melalui PBB memboikot Libia.
Yang Nuku tidak mau mengerti ialah bahwa hasil pengadilan Belanda di Ternate menyatakan kedua tersangka tidak bersalah karena penuntut tidak dapat membuktikan kesalahan mereka. Seseorang tidak dapat dikatakan bersalah apabila tidak dapat dibuktikan kesalahannya, yakni asas praduga tak bersalah. Kejaksaan bukan saja bertugas memberantas kejahatan, tetapi juga melindungi siapa yang tidak bersalah (om zoo wel de ontschuld te beschermen als het quaad te beteugelen; ejaan lama, sekarang zo dan kwaad). Sedangkan dalam Kerajaan Tidore sejak Kolano Kaicil Cire raja Tidore yang mula-pertama masuk Islam (1450), berlaku hukum acara sesuai yang diletakkan asasnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA: anna- laka hadza, dari mana milikmu ini, tersangka harus membuktikan kebersihan dirinya.
Sesungguhnya tidaklah adil jika asas praduga tak bersalah ini diperlakukan tanpa batas. Mesti diberi berbingkai dengan anna- laka hadza. Memang kata orang asas praduga tak bersalah ini sinkron dengan Hak Asasi Manusia, semua manusia mempunyai hak untuk dinyatakan tak bersalah sebelum dibuktikan kesalahannya oleh putusan pengadilan. Namun tak dapat disangkal bahwa kelemahan asas praduga tak bersalah ini terletak dalam hal: tidak semua orang yang tak dapat dibuktikan kesalahannya itu betul-betul menjamin bahwa mereka itu tidak bersalah. Banyak para penjahat kaliber kerapu (sebangsa kakap namun jauh lebih besar) yang berlindung di balik perisai asas praduga tak bersalah ini. Seperti contoh data sekunder yang dikemukakan oleh Ahmad Ali, di Amerika Serikat hanya 17% penjahat kerapu ini yang dapat dijaring oleh putusan pengadilan. Tentulah sangat tidak adil jika asas praduga tak bersalah ini lebih banyak melindungi penjahat ketimbang perlindungan hukum terhadap saksi korban. Dalam 100 tindak pidana, 17 orang saksi korban yang dilindungi hukum, 83 orang penjahat yang terlindungi oleh asas praduga tak bersalah, demikian cerita data dari negerinya Uncle Sam di atas itu.
Dengan asas praduga tak bersalah sukarlah pengadilan dapat menjaring para pemegang posisi kunci yaitu Sumarlin dan Mooy serta yang memberikan rekomendasi (lonceng kucing, kattebelletje) yaitu Sudomo pada waktu Eddy Tansil melicinkan jalan untuk mendapatkan kredit Rp1,3 triliun. Sangat sukar sekali jaksa untuk menutut apapula untuk dapat membuktikan kesalahan tiga serangkai tersebut. Namun andaikata hukum acara kita menganut asas anna- laka hadza, maka dalam pengadilan ketiga serangkai itu yang harus mengemukakan daftar kekayaan masing-masing dan dari mana asalnya. Dan jika ada kekayaan yang tidak jelas dari mana rimbanya, maka rimbanya itu adalah dari komisi yang didapatkan sebagai wang jasa dalam kasus korupsi kelas kerapu Eddy Tansil ini. Paling-paling yang dapat dijaring oleh pengadilan yang hukum acaranya berasaskan praduga tak bersalah ini hanyalah para tersangka yang terlibat langsung, yaitu Eddy Tansil, Maman Suparman, Towil Heryoto dan Subekti Ismaun (siapa-siapa lagi yang menyusul?).
Walaupun sebenarnya RI tidak menganut asas anna- laka hadza, eloklah kiranya untuk kebaikan mereka sendiri di mata (baca pengadilan) masyarakat, maka ketiga sekawan itu, mereka itu patut secara jantan menjawab tantangan "pengadilan" masyarakat itu dengan sukarela secara terbuka mengumumkan daftar kekayaan dan asal-usul kekayaannya itu sehingga dengan demikian bersihlah mereka itu di mata masyarakat, jikalau ketiganya memang bersih!
Walhasil sebagai kesimpulan asas praduga tak bersalah itu harus diberi berbingkai. Yang menyangkut korupsi apapun jenis kelasnya dipakailah asas anna- laka hadza sebagai bingkai asas praduga tak bersalah. Ini bahan pemikiran bagi para pembuat undang-undang, jika mereka mau berpikir dan mempunyai waktu untuk itu! WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 20 Maret 1994
6 Maret 1994
[+/-] |
119. Muslim Cerdik-Cendekia |
Dalam cerita-cerita lama ungkapan kaum cerdik-cendekia menggambarkan penasihat raja yang tangkas dan gesit berpikir serta mampu berdialog dengan situasi yang dihadapinya, memecahkan permasalahan yang menghadang di depannya. Sang kadi dalam cerita tentang kusir dengan saudagar dapat memberikan potret sosok cerdik-cendekia itu.
Al Qissah, seorang saudagar menyewa angkutan untuk membawa dagangnya dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Di tengah jalan yang sunyi timbullah niat jahat sang kusir. Dipaksanya saudagar itu bertukar baju dengannya. Maka menjadilah kusir itu seorang saudagar dan sebaliknya saudagar itu berubah penampilannya menjadi kusir. Tiba di negeri yang dituju, setelah menurunkan saudagar palsu beserta barang dagangan rampasannya, sang kusir yang saudagar itu datang melapor ke kadi setempat, menceritakan hal ihwalnya. Atas laporan itu saudagar palsu yang sedang menggelar dagangnya di pasar dipanggil menghadap. Tentu saja dalam interogasi itu saudagar palsu itu bersikeras menyatakan dirinya saudagar asli dan balik menuduh sang kusir yang saudagar itu sebagai tukang fitnah yang licik. Sejenak kadi berpikir, ujung telunjuknya menyentuh keningnya. "Begini, tunggu di luar dan segera masuk kalau saya panggil", ucap sang kadi. Kadi menyuruh juru tulisnya memperhatikan kedua orang itu dari tempat yang tersembunyi bagi keduanya. "Kalau keduanya sudah mengantuk, datang melapor kepada saya", kata kadi kepada juru tulisnya. Pada waktu keduanya sedang mengantuk, tiba-tiba dengan suara nyaring setengah membentak, kadi memanggil: "Kusir masuk!" Maka melompatlah kusir asli memenuhi panggilan itu.
Ungkapan kaum cerdik-cendekia sekarang ini sudah langka dalam pemakaiannya, sudah digeser dengan pemakaian akhiran wan dengan menghilangkan cerdiknya, maka menjadilah cendekiawan. Menyangkut istilah cendekiawan dewasa ini sudah umum disepakati bahwa seorang cendekiawan tidak mesti sarjana dan seorang sarjana belum tentu dengan sendirinya cendekiawan. Seorang sarjana yang hanya tenggelam dalam bidangnya, ibarat tinggal dalam menara gading, dia itu bukanlah seorang cendekiawan. Juga sudah umum diketahui bahwa kata Muslim berarti orang yang menganut agama Islam. Patut dicatat bahwa agama dalam ungkapan agama Islam tidaklah bermakna hanya sekadar ibadah yang ritual belaka, melainkan lebih luas maknanya. Yaitu di samping menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah, juga sekali gus menyangkut hubungan antara manusia dengan sesamanya makhluk. Namun apabila Muslim dan cendekiawan itu sudah dikombinasikan dalam ungkapan Muslim Cendekiawan atau Muslim Cerdik-Cendekia, maka maknanya bukan hanya sekadar seorang beragama Islam yang cerdik-cendekia. Sesuai dengan hukum DM dalam bahasa Indonesia, tentu lebih elok ungkapan Muslim Cendekiawan ketimbang Cendekiawan Muslim. Muslim itu tentu lebih di atas dari cendekiawan. Kedudukan cendekiawan hanya sekadar bersifat menerangkan saja.
Apabila seorang cendekia yang beragama Islam memisahkan antara agama dengan politik, maka dia itu adalah Cendekiawan Muslim. Namun apabila ia tidak memisahkan politik itu dari agama tindak politiknya senantiasa dikendalikan oleh nilai wahyu, maka barulah dapat dikatakan ia itu Muslim Cendekiawan. Apabila seorang cendekia yang beragama Islam hanya melaksanakan perintah Iqra (bacalah) saja, ia membaca alam, ia membaca masyarakat tanpa bertumpu pada Bismi Rabbika (atas nama Maha Pengaturmu), artinya ia memisahkan antara Iqra dengan Bismi Rabbika, tidak menjadikannya satu sistem, maka ia itu berpredikat Cendekiawan Muslim. Namun apabila seorang cendekia yang beragama Islam meletakkan ilmunya sebagai sub-sistem dari Ilmu Allah, seperti misalnya yang kita lihat dalam tayangan RCTI sesudah buka puasa, mengkomunikasikan ilmunya tentang biologi sekaligus menunjukkan kebesaran Allah dengan ilmu tentang anatomi lebah dan kehidupan masyarakat lebah dan lain lain binatang, maka ia itu adalah Muslim Cendekiawan.
Apabila seorang cendekia yang beragama Islam sebelum mengambil keputusan hanya berpikir saja tanpa berzikir terlebih dahulu seperti misalnya yang membuat keputusan untuk melaksanakan SDSB, hanya atas dasar pemikiran mendapatkan dana, atau memutuskan untuk menghentikan SDSB, hanya atas dasar pemikiran pertimbangan desakan dari floor, maka ia itu adalah Cendekiawan Muslim. Barulah ia dapat disebut seorang Muslim Cendekiawan apabila keputusan yang diambilnya itu atas dasar pemikiran yang didahului bukan atas dasar mendapatkan dana, bukan atas desakan floor, melainkan keputusannya adalah dari hasil pemikiran yang didahului dengan zikir, Dzikru-Llah (mengingat Allah).
Muslim Cendekiawan haruslah seorang Ulu lAlba-b. Apakah itu Ulu lAlba-b?
Alladziyna Yazdzkuruwna Lla-ha Qiyaaman wa Qu'uwdan wa 'ala- Junuwbihim wa Yatafakkaruwna fiy Khalqi sSama-wa-ti wa lArdhi Rabbnaa Maa Khalaqta ha-dzaa Baathilan Subha-naka fa Qinaa 'Adzaaba nNaari, yaitu mereka yang mengingat Allah tatkala berdiri, duduk, berbaring, dan berpikir tentang kejadian langit dan bumi (kemudian berkata dalam hati nuraninya): Wahai Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau jadikan semuanya itu dengan percuma, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka. (S. Ali 'Imra-n 191). WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 6 Maret 1994