6 Maret 1994

119. Muslim Cerdik-Cendekia

Dalam cerita-cerita lama ungkapan kaum cerdik-cendekia menggambarkan penasihat raja yang tangkas dan gesit berpikir serta mampu berdialog dengan situasi yang dihadapinya, memecahkan permasalahan yang menghadang di depannya. Sang kadi dalam cerita tentang kusir dengan saudagar dapat memberikan potret sosok cerdik-cendekia itu.

Al Qissah, seorang saudagar menyewa angkutan untuk membawa dagangnya dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Di tengah jalan yang sunyi timbullah niat jahat sang kusir. Dipaksanya saudagar itu bertukar baju dengannya. Maka menjadilah kusir itu seorang saudagar dan sebaliknya saudagar itu berubah penampilannya menjadi kusir. Tiba di negeri yang dituju, setelah menurunkan saudagar palsu beserta barang dagangan rampasannya, sang kusir yang saudagar itu datang melapor ke kadi setempat, menceritakan hal ihwalnya. Atas laporan itu saudagar palsu yang sedang menggelar dagangnya di pasar dipanggil menghadap. Tentu saja dalam interogasi itu saudagar palsu itu bersikeras menyatakan dirinya saudagar asli dan balik menuduh sang kusir yang saudagar itu sebagai tukang fitnah yang licik. Sejenak kadi berpikir, ujung telunjuknya menyentuh keningnya. "Begini, tunggu di luar dan segera masuk kalau saya panggil", ucap sang kadi. Kadi menyuruh juru tulisnya memperhatikan kedua orang itu dari tempat yang tersembunyi bagi keduanya. "Kalau keduanya sudah mengantuk, datang melapor kepada saya", kata kadi kepada juru tulisnya. Pada waktu keduanya sedang mengantuk, tiba-tiba dengan suara nyaring setengah membentak, kadi memanggil: "Kusir masuk!" Maka melompatlah kusir asli memenuhi panggilan itu.

Ungkapan kaum cerdik-cendekia sekarang ini sudah langka dalam pemakaiannya, sudah digeser dengan pemakaian akhiran wan dengan menghilangkan cerdiknya, maka menjadilah cendekiawan. Menyangkut istilah cendekiawan dewasa ini sudah umum disepakati bahwa seorang cendekiawan tidak mesti sarjana dan seorang sarjana belum tentu dengan sendirinya cendekiawan. Seorang sarjana yang hanya tenggelam dalam bidangnya, ibarat tinggal dalam menara gading, dia itu bukanlah seorang cendekiawan. Juga sudah umum diketahui bahwa kata Muslim berarti orang yang menganut agama Islam. Patut dicatat bahwa agama dalam ungkapan agama Islam tidaklah bermakna hanya sekadar ibadah yang ritual belaka, melainkan lebih luas maknanya. Yaitu di samping menyangkut hubungan antara manusia dengan Allah, juga sekali gus menyangkut hubungan antara manusia dengan sesamanya makhluk. Namun apabila Muslim dan cendekiawan itu sudah dikombinasikan dalam ungkapan Muslim Cendekiawan atau Muslim Cerdik-Cendekia, maka maknanya bukan hanya sekadar seorang beragama Islam yang cerdik-cendekia. Sesuai dengan hukum DM dalam bahasa Indonesia, tentu lebih elok ungkapan Muslim Cendekiawan ketimbang Cendekiawan Muslim. Muslim itu tentu lebih di atas dari cendekiawan. Kedudukan cendekiawan hanya sekadar bersifat menerangkan saja.

Apabila seorang cendekia yang beragama Islam memisahkan antara agama dengan politik, maka dia itu adalah Cendekiawan Muslim. Namun apabila ia tidak memisahkan politik itu dari agama tindak politiknya senantiasa dikendalikan oleh nilai wahyu, maka barulah dapat dikatakan ia itu Muslim Cendekiawan. Apabila seorang cendekia yang beragama Islam hanya melaksanakan perintah Iqra (bacalah) saja, ia membaca alam, ia membaca masyarakat tanpa bertumpu pada Bismi Rabbika (atas nama Maha Pengaturmu), artinya ia memisahkan antara Iqra dengan Bismi Rabbika, tidak menjadikannya satu sistem, maka ia itu berpredikat Cendekiawan Muslim. Namun apabila seorang cendekia yang beragama Islam meletakkan ilmunya sebagai sub-sistem dari Ilmu Allah, seperti misalnya yang kita lihat dalam tayangan RCTI sesudah buka puasa, mengkomunikasikan ilmunya tentang biologi sekaligus menunjukkan kebesaran Allah dengan ilmu tentang anatomi lebah dan kehidupan masyarakat lebah dan lain lain binatang, maka ia itu adalah Muslim Cendekiawan.

Apabila seorang cendekia yang beragama Islam sebelum mengambil keputusan hanya berpikir saja tanpa berzikir terlebih dahulu seperti misalnya yang membuat keputusan untuk melaksanakan SDSB, hanya atas dasar pemikiran mendapatkan dana, atau memutuskan untuk menghentikan SDSB, hanya atas dasar pemikiran pertimbangan desakan dari floor, maka ia itu adalah Cendekiawan Muslim. Barulah ia dapat disebut seorang Muslim Cendekiawan apabila keputusan yang diambilnya itu atas dasar pemikiran yang didahului bukan atas dasar mendapatkan dana, bukan atas desakan floor, melainkan keputusannya adalah dari hasil pemikiran yang didahului dengan zikir, Dzikru-Llah (mengingat Allah).

Muslim Cendekiawan haruslah seorang Ulu lAlba-b. Apakah itu Ulu lAlba-b?
Alladziyna Yazdzkuruwna Lla-ha Qiyaaman wa Qu'uwdan wa 'ala- Junuwbihim wa Yatafakkaruwna fiy Khalqi sSama-wa-ti wa lArdhi Rabbnaa Maa Khalaqta ha-dzaa Baathilan Subha-naka fa Qinaa 'Adzaaba nNaari, yaitu mereka yang mengingat Allah tatkala berdiri, duduk, berbaring, dan berpikir tentang kejadian langit dan bumi (kemudian berkata dalam hati nuraninya): Wahai Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau jadikan semuanya itu dengan percuma, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari azab neraka. (S. Ali 'Imra-n 191). WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 6 Maret 1994