Dalam kasus tertentu polygami merupakan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah sosial. Pernyataan saya ini bukanlah suatu hipotesa yang kebenarannya harus diyakinkan dengan pembuktian penelitian, melainkan berlandaskan atas sikap orang beriman, karena polygami sebagai cara untuk menyelesaikan masalah sosial itu bersumber dari ayat Qawliyah. Dalam Si Doel Anak Sekolahan Selayang Pandang (Seri 277) saya kemukakan isu polygami, tepatnya bigami, oleh karena polygami adalah satu-satunya penyelesaian yang adil dari cinta segitiga Jenab, Doel, Sarah. Dalam cerita cinta segitiga yang pernah saya baca semua pengarang mengorbankan salah satunya. Barangkali ada di antara pengarang itu dalam hati kecilnya ingin mengemukakan polygami sebagai jalan penyelesaian, akan tetapi tidak jadi dilakukannya, oleh karena segan mengemukakan polygami secara terbuka. Mengemukakan isu polygami secara terbuka memang riskan, karena peka sehingga mengundang damparatan kaum hawa, tidak terkecuali dari isteri sendiri.
Dalam keluarga yang tenteram dan sejuk (sakinah) antara suami dengan isteri terjalin rasa sayang (mawaddah) dan cinta-kasih (rahmah) timbal-balik, sedangkan dalam hal yang kasuistik, keluarga sakinah dapat pula tercipta dengan rumus: mawaddah dan rahmah berbagi dalam diri dua, tiga, ataupun empat isteri. Dalam cinta segitiga Jenab, Doel, Sarah, Si Doel menyayangi Jenab dan mencintai Sarah. Melalui poroses konflik akhirnya terjalin persahabatan yang ikhlas antara Sarah dengan Jenab, karena masing-masing saling menerima dan memahami bahwa keduanya mencintai Doel. Ini dapat dilihat dalam akhir episode ketiga Sarah dan Jenab berbimbing tangan dengan mesra seusai melepas Doel di lapangan terbang. Kita tunggulah nanti dalam episode keempat apakah Jenab yang akan dikorbankan ataukah cinta segitiga itu diselesaikan dengan bigami.
Walaupun persahabatan yang terjalin antara Jenab dengan Sarah dalam cinta segi tiga itu hanya sebuah cerita, namun dalam kenyataannya ada yang sungguh-sungguh terjadi bahwa isteri-isteri yang dimadu itu hidup rukun. Tidak percuma Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang membuat Undang-Undang Perkawinan memasukkan materi polygami yang mempersyaratkan suami yang ingin berpolygami harus atas persetujuan isterinya. Buat apa dimasukkan dalam undang-undang mengenai persyaratan itu apabila anggota Dewan dan Pemerintah itu mempunyai keyakinan bahwa dalam kenyataannya tidak ada isteri yang bersedia bertanda tangan.
Polygami menurut ajaran Al Quran bukanlah suatu pintu gerbang yang dilalui oleh umum, melainkan hanya berupa pintu khusus untuk hal-hal yang kasuistik. Sebab turunnya ayat menyangkut polygami berlatar belakang kasus yang khusus, yaitu adanya sejumlah anak yatim beribukan janda akibat peperangan. Polygami memberikan jalan keluar bagi permasalahan membesarkan, memelihara, mendidik anak-anak yatim. Firman Allah:
Wa in Khiftum Alla- Tuqshituw fiy lYatamay faNkihuw Ma- Tha-ba laKum min nNisa-i Matsnay wa tsulatsa wa Ruba'a, fa in Khiftum Alla- Ta'diluw fa Wa-hidatan aw Ma- Malakat Ayma-nukum (S. An Nisa-', 3). Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku jujur terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang baik bagimu, berdua, bertiga, atau berempat, apabila engkau khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau nikahilah apa yang dapat kamu kuasai dengan tangan kananmu (4:3).
Adopsi (mengangkat anak) tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Apabila dikhawatirkan tidak berlaku jujur, maksudnya jangan sampai termakan akan harta anak yatim yang akan diasuh, sedangkan dilarang mengadopsi anak, maka jalan yang lebih baik yaitu menikahi ibu mereka janda-janda perang itu. Artinya anak-anak yatim itu menjadilah seperti anak yang bersangkutan, karena anak-anak yatim itu adalah anak-anak dari isterinya sendiri.
Polygami sebagai pintu khusus yang kasuistik mempunyai persyaratan berlaku adil seperti bunyi ayat (4:3). Dapatkah seorang suami berlaku adil bagi isteri-isterinya? Dalam kasus-kasus tertentu mengapa tidak, yaitu sang suami berbagi rata rasa mawaddah wa rahmah. Apa tolok ukurnya suami telah berlaku adil? Kalau di antara isteri-isteri itu hidup rukun secara ikhlas, itulah tolok ukurnya. Persyaratan persetujuan isteri dalam Undang-Undang Perkawinan pada hakekatnya merupakan penafsiran kontextual dari ayat (4:3).
Di samping mengemukakan polygami sebagai jalan keluar untuk kasus yang khas, ayat (4:3) mengemukakan pula salah satu metode untuk menghilangkan perbudakan secara mulus, yaitu menikahi hamba sahaya perempuan (yang dikuasai dengan tangan kanan). Dahulu pada zaman budak-budak masih banyak, membebaskan budak secara massal menimbulkan keonaran. Bagaimana Spartacus dengan pasukan gladiatornya menjarah kota-kota. Mengapa sampai demikian oleh karena para gladiator itu tidak mempunyai keterampilan selain berkelahi. Budak-budak Negro yang dibebaskan dan membebaskan diri secara massal setelah Civil War di Amerika membentuk kelompok-kelompok penjarah yang membalas dendam atas mantan tuan-tuannya. Dengan manikahi budak-budak perempuan berarti memotong rantai perbudakan selanjutnya, oleh karena anak dari budak perempuan yang dinikahi oleh tuannya atau dinikahi oleh orang merdeka yang lain, tidak lagi berstatus budak. Perbudakan dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terhapuskan secara tuntas. Di Makassar ini saja ada perbudakan di Jalan Nusantara, yang dikenal dalam istilah Al Quran dengan Raqabah, yaitu perempuan-perempuan belia yang diperjual belikan untuk kepentingan bisnis jasa sex.
Akhirnya dipersilakan membaca kelong (pantun Makassar) di bawah ini:
Ruai bungung mattinri,
Sillembang-lembang je'ne'na.
Kereang minjo,
Nipira'nyu' namate'ne.
Dua sumur berdampingan,
setara air keduanya.
Mana gerangan menyejukkan,
dipakai membasuh muka
Allesai pattinriang,
Keboka le'leng pa'jaya.
Kere nialle,
kere niboli' salasa.
Coba dibanding-banding,
yang putih yang hitam manis.
Mana dipilih,
Mana ditinggal pedih.
Kebimbangan untuk memilih salah satu di antara dua calon isteri yang seimbang terpecahkan dengan melihat hasil teknolgi permulaan abad ke-20, seperti dinyatakan oleh kelong yang berikut ini:
Iyaminjo alle rapang,
rimminrona masinaya.
Se'reji jarung,
naruwa bannang panjai'
Ambillah itu ibarat,
mesin jahit yang berputar.
Jarum sebatang,
mengayom dua benang.
WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 29 Juni 1997
29 Juni 1997
[+/-] |
279. Polygami |
22 Juni 1997
[+/-] |
278. Dari Defensif ke Ofensif, dari Apologi ke Proaktif |
Pada waktu Neil Armsrong menginjakkan kakinya di bulan, maka banyaklah yang berlomba-lomba mangutip dan membacakan ayat: Yama'syara lJinni walInsi Inistata'tum an Tanfudzuw min Aqtha-ri sSamawati wa lArdhi faNfudzuw La- Tanfuzuwna Illa- bi Sulthanin (S. Ar Rahman, 33). Hai para jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus penjuru-penjuru langit dan bumi, maka tembuslah, namun kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (55:33).
S. Ar Rahman 33 tersebut dikemukakan berlatar belakang sikap apologi, yaitu bermaksud membela diri ummat Islam dari keterbelakangannya di bidang Iptek, jangan sampai ada tanggapan bahwa keterbelakangan ummat Islam karena ajaran Al Quran. Sikap apologi yang demikian itu sifatnya negatif, karena bukankah itu berarti menempatkan Al Quran dibawah isu kemajuan Iptek?
Sikap apologi adalah suatu sikap dan gairah membela apa yang kita yakini dalam bentuk lisan maupun tulisan. Maka posisi para apolog itu selalu dalam keadaan yang defensif. Walaupun selamanya berada dalam keadaan yang defensif, sikap apologi tidaklah selamanya negatif, melainkan dapat pula positif, seperti jika Illa- bisulthanin dalam S. Ar Rahman 33, persyaratan tentang kekuatan, energi, tegasnya persyaratan bahan bakar difokuskan pada situasi krisis energi yang melanda peradaban ummat manusia sekarang ini. Bukankah lebih baik jika persediaan bahan bakar yang sudah menipis itu dipakai saja untuk aktivitas pembangunan di muka bumi ini, ketimbang untuk mengarungi angkasa luar? Mufassir yang memfokuskan pada krisis energi ini menempatkan Al Quran di atas isu Iptek. Maka sikap apologi positif itu harus memenuhi kriteria: Al Quran tidak diletakkan di bawah isu apapun juga dan membela salah pengertian terhadap pemahaman Al Quran, baik yang datang dari kalangan ummat Islam sendiri, maupun utamanya yang berasal dari luar kalangan ummat Islam.
Bukankan telah tiba saatnya kita berupaya menggali Al Quran sehingga sikap apologi positif yang defensif meningkat menjadi sikap ofensif, yaitu proaktif. Yakni mencari ayat-ayat Al Quran untuk mengoreksi Iptek. Berikut ini saya kemukakan sikap ofensif itu dalam bidang ilmu falak.
Dalam istilah sehari-hari benda-benda yang kita lihat di atas bola langit hanya dibedakan dalam: matahari, bulan dan bintang-bintang. Untuk keperluan praktis dalam hal pelayaran dan pertanian beberapa dari bintang itu diberi nama diri. Dalam ilmu falak bintang-bintang itu di samping diberi nama diri juga diberikan pula nama jenis atau nama golongan. Ada yang disebut dengan bintang-bintang tetap. Mengapa dikatakan demikian, karena walaupun bintang-bintang itu kelihatannya beredar mengelilingi bumi dilihat dari bumi ini, bintang-bintang itu jaraknya tidak berubah-ubah antara satu dengan yang lain di atas bola langit. Ada pula yang digolongkan dalam jenis planet. Istilah ini diambil dari bahasa Yunani yang berarti musafir. Mengapa disebut musafir, oleh karena bintang-bintang jenis planet itu bergerak terhadap bintang-bintang tetap itu. Dilihat dari segi gerak ini, kalau kita mau konsekwen, maka baik matahari maupun bulan tergolong dalam planet, oleh karena kedua benda langit ini adalah musafir. Letak kedunya bergeser, tidak tetap jaraknya terhadap bintang-bintang tetap. Golongan yang ketiga disebut dengan galaxy yaitu gugus bintang-bintang tetap. Ada pula gugus yang lebih besar, yaitu gugus yang anggotanya terdiri atas galaxy dan disebut dengan super-galaxy atau cluster.
Dengan berkembangnya ilmu falak ditambah pula lagi dengan penggunaan instrumen yang canggih-canggih yang menopang ilmu falak itu utamanya teropong bintang dan kamera untuk membuat foto, maka penggunaan istilah bintang tetap itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Hasil foto bintang-bintang tetap itu dilihat dari bumi pada bola langit dengan instrumen yang sudah canggih, hanya dalam jangka waktu tahunan sudah dapat dilihat bahwa letak bintang-bintang tetap itu tidak tetap lagi jaraknya.
Maka dalam ilmu falak perlu dibongkar kriteria yang dipakai dalam klasifikasi jenis bintang. Kita tentu tidak dapat lagi mempergunakan gerak sebagai kriteria dalam klasifikasi penggolongan jenis bintang. Maka di sinilah sikap ofensif yang ptoaktif itu diterapkan. Al Quran memberikan kriteria yang lain sama sekali dalam klasifikasi jenis bintang itu.
Dalam Al Quran bintang-bintang dibedakan dalam tiga jenis: kawkabun, bentuk jama'nya kawakibun, najmun, bentuk jama'nya nujuwmun dan buruwjun.
Adapun kawkabun adalah jenis bintang-bintang yang letaknya dekat dengan bumi, seperti dalam S. Ashshaffat 6: Inna- Zayyanna- sSama-a dDunya- biZiynati (ni)lKawa-kibi, sesungguhnya Kami hiasi langit yang dekat dunia dengan hiasan kawakib. Kemudian dalam S. An Nur dijelaskan bahwa kawkabun itu tidak mempunyai cahaya sendiri, ia bercahaya karena memantulkan cahaya dari sebuah sumber cahaya. Dengarlah firman Allah dalam S. An Nur 35: al Mishba-hu fiy Zuja-jatin azZuja-jatu Kaannaha- Kawkabun, pelita di tengah kaca dan kaca itu ibarat kawkabun. Ayat itu menggambarkan sebuah pelita yang dikelilingi gelas. Maka tentu permukaan gelas itu memantulkan cahaya pelita, seperti kawkabun yang permukaannya memantulkan cahaya matahari. Bahwa bumi bercahaya juga yaitu cahaya pantulan dapat kita lihat di televisi hasil pemotretan dari pesawat ulang-alik. Kriteria yang diberikan Al Quran pada jenis bintang Kawkab adalah jaraknya yang dekat dan sifat fisiknya tidak bercahaya sendiri. Bintang-bintang jenis kawkab ini adalah bintang-bintang yang menjadi anggota tatasurya kita.
Allah berfirman dalam S. Al An'a-m 97 dan S. Ath Tha-riq 3: Wa Huwa Lladziy Ja'ala Lakumu nNujuwma liTahtaduw biHa fiy Zhulumati lBarri walBahri. An Najmu tsTsa-qibu. Dan Dialah yang menjadikan bagimu nujum untuk menjadi pedoman dengannya dalam kegelapan malam baik di darat maupun di laut. Najmun itu panas menyala.
Kriteria yang dipergunakan Al Quran dalam jenis bintang yang disebut Najmun yaitu jarak yang jauh karena dapat dipakai sebagai pedoman dalam kegelapan malam dan sifat fisiknya yang panas menyala, ibarat suluh api atau obor yang menyala, (Syihabun tsaqib).
Jadi baik kawkabun maupun najmun kriteria dalam penggolongan bintang-bintang itu bukanlah geraknya seperti cara lama, melainkan jatak dan keadaan fifiknya.
Akan halnya istilah gugus bintang dengan nama jenis galaxy yang dalam bahasa Al Quran disebut buruwjun, tidak ada permasalahan. Boleh tetap dipakai galaxy, namun tentu lebih elok jika memakai istilah Al Quran yaitu buruj. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 22 Juni 1997
15 Juni 1997
[+/-] |
277. Si Doel Anak Sekolahan Selayang Pandang |
Tatkala kapal sungai berlunas datar menepi sungai Mississippi, terdengarlah teriakan anak kapal yang sedang mengukur kedalaman sungai: "mark twain, mark one." Anak kapal itu mengukur kedalaman sungai dengan tali yang diberi tanda (mark) berupa simpul. Ujung tali diberi pemberat sehingga ujung tali dapat menyentuh dasar sungai. Dari ujung tali ke simpul satu (mark one) panjangnya 6 kaki (180 cm), dari simpul pertama ke simpul dua (mark twain) juga 6 kaki, demikianlah seterusnya.
Seorang humorist sekali-gus pengarang yang produktif bernama Samuel Langhorne Clem'ens (1835 - 1910), lahir di kota kecil Hannibal, di lembah sungai Mississippi, memakai nama samaran Mark Twain dalam karya-karyanya. Sejumlah karyanya antara lain: The Adventures of Tom Sawyer, The Adventure of Hukleberry Finn, dan Tom Sawyer Abroad. Salah seorang pengarang Indonesia Angkatan Balai Pustaka yang bernama Aman Dt Madjoindo menyadur The Adventures of Tom Sawyer, memindahkan Hannibal di pinggir sungai Mississippi ke Betawi di muara Ciliwung. Maka The Adventures of Tom Sawyer tersadurlah menjadi Si Doel Anak Betawi, yang kemudian memberikan inspirasi atas lahirnya serial sinetron Si Doel Anak Sekolahan.
Hari Selasa yang lalu selesailah episode ke-3 Si Doel Anak Sekolahan ditayangkan oleh RCTI. Episode ke-4 sedang dalam persiapan. Tom di lembah Mississippi dan Doel di pinggir Ciliwung, anak yatim yang nakal yang diasuh oleh bibinya bergelut dalam lingkungan budaya yang masih solid. Berbeda sekali dengan Doel Anak Sekolahan yang bertemakan pergumulan antara arus globalisasi budaya kota metropolitan yang pragmatis yang bersifat agresif melawan subkultur Betawi, yaitu tradisi Betawi yang bersendikan nilai Islam dalam posisi defensif.
Perbenturan kedua budaya itu dalam skala makro disimbolkan oleh terjadinya tabrakan dalam skala mikro antara sedan yang dikemudikan oleh Sarah dengan oplet yang dikemudikan oleh Si Doel. Dalam komunikasi antara Sarah yang berlatar belakang budaya metropolitan dengan Si Doel yang berlatar belakang subkultur Betawi, sosok Sarah larut ke dalam subkultur Betawi. Inti subkultur Betawi seperti apa yang ditanamkan Sabeni, sang ayah, kepada Si Doel, sang anak, yaitu kejujuran, harga diri, keadilan dan solidaritas. Keempat pesan nilai dari sang ayah kepada sang anak membentuk akhlaq Si Doel. Dalam sosok Si Doel secara mikro tergambarlah masyarakat ideal subkultur Betawi secara makro.
Akhlaq Si Doel diilustrasikan tatkala Si Doel menjadi pegawai dalam perusahaan Oom Wisnu. Roy mencak-mencak karena proposalnya yang penuh dengan manipulasi angka-angka dikoreksi Si Doel, pada hal dalam perusahan tersebut manipulasi angka-angka itu sudah lumrah. Paraf Si Doel hanya sebagai formalitas saja, tidak perlu dikoreksi segala. Si Doel meninggalkan perusahaan Wisnu karena dua hal, pertama tidak mau berlaku tidak jujur, dan kedua harga dirinya tersinggung setelah ia mengetahui bahwa ia diterima di perusahaan itu karena jasa Sarah, tidak perduli walaupun Sarah mencintainya dan dicintainya. Harus dapat dipilah antara cinta dengan harga diri. "Saya masih merasa kuat untuk tidak dikasihani", demikian kata Si Doel kepada Sarah.
Si Doel mulai renggang dengan keluarga Jenab, karena tidak dapat menerima tawaran ayah Jenab untuk menjadi manajer dalam perusahaan ayah Jenab. Di sini dilustrasikan benturan antara nilai keadilan dan solidaritas melawan pandangan pragmatisme. Menurut Si Doel tidak perlu membeli mesin-mesin baru yang mengehemat jumlah operator. Si Doel mendisain mesin cetak batu-bata yang sederhana, yang dapat dioperasikan oleh karyawan yang ada dalam perusahaan itu yang rata-rata rendah pendidikannya. Dengan mesin hasil disain Si Doel tidak perlu ada karyawan yang di-PHK-kan. Ayah Jenab tidak setuju berdasar asar pragmatisme perhitungan ekonomis. Membuat mesin disain Si Doel membutuhkan waktu. Mem-PHK-kan karyawan dengan memberikan pesangon lebih ekonomis ketimbang hilangnya keuntungan akibat menunggu mesin disain Si Doel selesai dibuat. Demikianlah Si Doel menolak tawaran ayah Jenab, pertama menurutnya tidak adil mengambil karyawan baru dengan mem-PHK-kan karyawan lama yang telah berjasa selama ini. Kedua, karena solider terhadap teman-temannya yang akan di-PHK-kan itu.
Dalam Episode ke-3 Si Doel Anak Sekolahan diakhiri dengan adegan melepas Si Doel ke Swis. Apa yang akan terjadi kelak setelah Si Doel kembali, kita tunggulah episode yang berikutnya. Masalah yang menggelitik kita sambil menunggu, yaitu bagaimana kesudahan keluarga Si Doel nantinya. Kalau Si Doel sudah berumah tangga apa pula jika ditempatkan di luar p. Jawa, Lela menerima lamaran dari pengusaha yang bermukim di Arab Saudi, Atun juga sudah kawin dengan Karyo, kemudian pindah tempat bermukim, karena Karyo selalu berselisih dengan Mandra, maka akhirnya tinggallah Mandra sendirian. Dan itulah akhir turunan keluarga Sabeni. Maka akan terjadilah apa yang dikuatirkan Si Doel dalam renungannya, bahwa kelak rumah dan pekarangannya akan digilas oleh roda besi perkembangan kota.
Sebenarnya Sabeni tidak perlu dimatikan pula, walaupun almarhum Benyamin S. telah mendahului kita semua ke alam baqa. Sabeni cukup diceritakan menderita cacat berat pada wajahnya dan suaranya berubah dalam kecelakaan itu, sehingga wajahnya dioperasi plastik. Jadi orang lain dapat memerankan Sabeni, sehingga sejemput keluarga itu dapat bertahan sebagai simbol bertahannya pula subkultur Betawi. Seperti dalam kenyataannya hingga dewasa ini subkultur Betawi masih tetap bertahan di Condet, lebih-lebih lagi setelah kawasan Condet dijadikan cagar budaya atas prakarsa Bang Ali.
Lalu bagaimana nasib cinta segitiga Jenab, Doel, Sarah? Biasanya pengarang mengorbankan salah satunya. Maka sudah dapat dibayangkan bahwa Jenablah yang akan dikorbankan dengan rumus: Jenab akan belajar mencintai orang lain. Padahal menurut saya penyelesaiannya yang adil dalam cinta segitiga itu adalah polygami. Modal dasarnya sudah ada. Sarah berpegang tangan seusai melepas si Doel di lapangan terbang. Sudah saling mengerti mereka berdua mencintai Si Doel. faNkihuw Ma- Tha-ba laKum min nNisa-i Matsnay wa tsulatsa wa Ruba'a, fa in Khiftum Alla- Ta'diluw fa Wa-hidatan (S. An Nisa-', 3), maka nikahilah perempuan-perempuan yang baik bagimu, berdua, bertiga, atau berempat, apabila engkau khawatir tidak dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja atau nikahilah apa yang kamu peroleh dengan tangan kananmu (4:3). Insya-Allah akan menyusul pembahasan tentang poligami. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 15 Juni 1997
8 Juni 1997
[+/-] |
276. Sportivitas, Wasit dan Pemain |
Dalam Perang Salib Sultan Salahuddin alAyyubi mengumumkan gencetan senjata sepihak. Dasar pertimbangannya oleh karena lawannya, yaitu Raja Richard the Lion Heart sedang sakit. Inilah nilai "Rijal", semangat sportivitas kejantanan, yaitu tidaklah patut memerangi lawan yang dalam keadaan sakit. Bahkan Salahuddin menyamar sebagai tabib datang keperkemahan Richard, untuk mengobatinya. Kedua belah pihak yang berperang menghormati tata-krama tidak mengusik tabib. Setelah Richard disembuhkan Salahuddin atas pertolongan Allah SWT, perang dilanjutkan kembali. Nilai Rijal ini berakar pada keadilan dan kejujuran.
Dua orang petinju saling gebuk. Mata bengkak berdarah, hidung bercucuran darah memperlihatkan keduanya bersungguh-sungguh saling gebuk. Setelah pertandingan usai, keduanya saling merangkul. Inilah semangat sportivitas, yang menang mengakui perlawanan sengit yang kalah, yang kalah mengakui kelebihan lawannya. Semangat sportivitas ini berakar pada kejujuran dan keadilan sang wasit yang tidak memihak sehingga pertandingan berlangsung sesuai dengan aturan main dunia pertinjuan.
Pertarungan yang sportif yang menghasilkan sikap yang sportif tidak mungkin tercapai apabila ada salah satu kontestan yang sedang sakit seperti dalam kasus Salahuddin melawan Richard di atas itu. Masalah kontestan yang sakit kita dapat lihat misalnya PDI sebagai salah satu kontestan. PDI menderita sakit, atau mencari penyakit menjelang Pemilu. Apakah Fatimah Ahmad, motor penggerak utama Kongres Medan itu, yang walaupun mendapat tekanan external, tidak jeli melihat bahwa Kongres Medan itu akan menghasilkan penyakit bagi PDI? Padahal untuk menghadapi Pemilu memerlukan kondisi seprima mungkin?
Suppoter ataupun simpatisan yang sportif dari para kontestan itu (bukan supporter karena berjudi) walaupun jagoannya menang, ia akan menerima kemenangan itu tidak dengan rasa puas, lebih-lebih lagi bagi supporter dari kontestan yang kalah. Sewaktu saya menanyakan kepada seorang simpatisan Golkar bagaimana perasaannya tatkala menyaksikan hasil perhitungan suara di TV ia menjawab sepotong dalam bahasa Indonesia, sepotong dalam bahasa Makassar. Demikian jawabannya: "Tentu saja saya merasa senang Golkar menang, mingka tena bela nassipa' kusa'ring (namun bagi saya tidak sedap rasanya)." "Mengapa tidak sedap?" tanya saya lebih lanjut. "Kaniya' jekkonna (ada kecurangan)". "Sebagai simpatisan Golkar, apakah anda percaya ada kecurangan?" "Ya, mana mungkin ada asap kalau tidak ada api", jawabnya polos.
Dalam suatu pertandingan tidak terkecuali bagi kontestan OPP dalam Pemilu, harus dinyatakan dengan jujur dan terbuka bahwa mesti ada yang menang ada yang kalah. Yang mengatakan dalam Pemilu siapapun yang menang adalah kemenangan kita semua itu sikap apologi namanya. Yang benar jika dikatakan dalam Pemilu mesti ada kontestan yang menang ada yang kalah, namun perlu ditambah dengan ungkapan: Yang menang haruslah menang dengan jujur dan yang kalah adalah kalah secara terhormat. Ibarat petinju di atas, yang menang mengakui secara sportif sengitnya perlawanan yang kalah dan yang kalah dengan sportif mengakui keunggulan sang pemenang. Juga tak perlu kita menegakkan benang basah bahwa tidak ada kecurangan, sebab seperti dikatakan oleh simpatisan Golkar di atas itu bahwa mana mungkin ada asap kalau tidak ada api.
Nilai instrumen (mekanisme) Pemilu yang kita miliki sekarang ini terus terang sangatlah sukar untuk mendapatkan kinerja yang memadai dari manusia pelaksana, sehingga nilai praxis tidaklah dapat berjalan dengan mulus. Dalam nilai instrumen wasit (baca: anggota Panitia Pemilu yang pejabat) sekaligus menjadi pemain (baca: kader ataupun fungsionaris Golkar). Sebagai manusia biasa yang senantiasa digoda oleh iblis, sangat sukar baginya untuk memilah dirinya antara wasit yang berdiri sama tengah dengan kader OPP yang diberi target. Bisikan iblis untuk berlaku curang akan lebih nyaring bunyinya dari bisikan hati nurani yang menyuruh untuk berlaku jujur. Panggilan dunia untuk mempertahankan jabatan yang sementara dijabat akan lebih dominan dari panggilan iman: Wabi lAkhirati Hum Yuwqinuwna (S. Al Baqarah, 4). Mereka yakin akan akhirat (2:4). Pertanggung-jawaban untuk mencapai target lebih difokuskan ketimbang pertanggung-jawaban kepada Allah SWT sebagai Maliku Yawmi dDiyni, Penguasa Hari Pengadilan di Hari Kiamat.
Allah SWT berfirman:
YaAyyuha- Lladziyna Amanuw Ttaquw Llaha waLtanzhur Nafsun Ma- Qaddamat liGhadin waTtaquw Llaha Inna Llaha Khabiyrun biMa- Ta'maluwna (S. Al Hasyr, 18). Hai orang-orang beriman, taqwalah kepada Allah dan mestilah orang memperhatikan apa yang lalu untuk orientasi masa depan, dan taqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Meliput apa yang kamu kerjakan (59:18).
Demikianlah, Allah memberi petunjuk supaya belajar dari pengalaman masa lalu, untuk rencana perbaikan masa depan. Mengapa sampai terjadi kecurangan dalam Pemilu di masa-masa lalu, seperti telah dikatakan di atas, akar masalahnya terletak dalam hal wasit merangkap menjadi pemain. Oleh sebab itu sangat perlu Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat yang berwenang membuat undang-undang (nilai instrumen) untuk memperbaiki struktur organisasi Panitia Pemilu. Dikatakan sangat perlu, supaya dalam Pemilu yang akan datang insya Allah tidak lagi timbul riak, ombak, gelombang di sana sini akibat terjadinya kecurangan.
Struktur organisasi Panitia Pemilu yang akan datang kelak patut mencontoh pola struktur Panitia Hari-Hari Besar Islam dan Panitia TilawatilQuran. Ketuanya dari Pemda, namun sejumlah organisasi kemasyarakatan diikut-sertakan dalam panitia. Jadi perlu ada kemauan politik utamanya dari Golkar yang memenangkan Pemilu untuk mengubah nilai instrumen yang ada sekarang ini menjadi berpola seperti struktur kedua panitia semi-formal tersebut di atas. Yaitu Panitia Pemilu bukan pantia yang independen, melainkan semua pihak terlibat di dalamnya. Panitia Pemilu terdiri atas koalisi antara Pemda dengan kontestan OPP dan LSM. Panitia koalisi ini di samping menghindarkan wasit ikut bermain, mempunyai pula efek tambahan, yaitu pejabat yang duduk dalam panitia koalisi itu terbebas dari tekanan psikologis untuk mencapai target. Tentu saja kemauan politik ini membutuhkan keberanian untuk mewujudkannya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar 8 Juni 1997
1 Juni 1997
[+/-] |
275. Antara Taqdir Allah Dengan Ikhtiar Manusia |
Sebelum perang ada seorang muballigh keturunan Cina, sehingga ia lebih dikenal dengan nama kehormatan Guru Baba'. Ia pergi seorang diri bertabligh ke pelosok-pelosok, ke daerah-daerah rawan. Caranya berkomunikasi mudah dipahami. Di suatu tempat di perbatasan Bone dengan Camba, yang waktu itu masih rawan, ia menaklukkan seorang kepala rampok dalam pertarungan fisik. Setelah perampok itu mengakui kekalahannya, Guru Baba menjelaskan dengan cara sederhana tentang keterbatasan manusia. Ia berkata kepada perampok itu: "Coba angkat kaki kirimu", kata Guru Baba'. "Itu hal yang mudah," jawab perampok itu sambil dengan segera mengangkat kaki kirinya. "Sekarang," kata Guru Baba', "coba angkat kaki kananmu". Perampok itu menurunkan kaki kirinya, kemudian mengangkat kaki kanannya. "Angkat kaki kananmu tanpa menurunkan kaki kirimu," perintah Guru Baba'.
Taqdir dalam bahasa Indonesia biasanya diterjemahkan dengan nasib. Sesungguhnya terjemahan itu tidak kena, terlalu simplistik. Taqdir berasal dari akar kata yang dibentuk oleh tiga huruf, Qaf, Dal dan Ra, QaDdaRa, yang berarti membuat sesuatu menurut ukuran ataupun kapasitas tertentu. Firman Allah:
Sabbihi Sma Rabbika lA'lay. Alladziy Khalaqa faSawway. Walladziy Qaddara faHaday (S. Al A'lay, 1-3). Sucikanlah Nama Maha Pengaturmu. Yaitu Yang mencipta, lalu menyempurnakan. Yaitu Yang membuat menurut ukuran, lalu memberi petunjuk (87:1-3).
Wa Khalaqa Kulla Syayin faQaddarahu Taqdiyran (S. Al Furqa-n, 2). Dan Dia menciptakan lalu menentukan ukuran tiap-tiap sesuatu (25:2).
Allah menciptakan setiap benda langit, lalu menyempurnakan bentuknya. Allah menjadikan setiap benda langit dalam ukuran tertentu, lalu menunjukkan jalan benda-benda langit melalui medan gravitasi. Allah membuat ukuran dan kapasitas tertentu dalam DNA setiap benda hayati. (Untuk mengetahui apa itu DNA, silakan baca Seri 267, 6 April 1997, yang berjudul Cloning). DNA adalah blue print yang mengandung program Allah secara spesifik untuk setiap benda hayati. Apa akan menjadi pohon kurma, atau lebah, atau manusia. Jadi setiap benda hayati telah ditaqdirkan Allah sesuai program Allah dalam DNA. Allah telah mentaqdirkan lebah dapat terbang (Qaddara), kemudian Allah menunjuki lebah itu dengan naluri (faHaday) sehingga dapat membuat sarang yang indah dan mengumpulkan madu bunga-bungaan yang sedap rasanya, minuman yang berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit. Allah mentaqdirkan manusia tidak dapat terbang seperti lebah, sehingga kepala perampok itu tidak dapat mengangkat kaki kanannya sementara kaki kirinya tidak berjejak di atas bumi, seperti yang diperagakan Guru Baba dalam diri perampok itu.
Setiap pohon kurma, setiap ekor lebah, setiap seorang manusia ditaqdirkan Allah dengan program secara spesifik yang di"print" dalam DNA-nya masing-masing. Itulah sebabnya tak ada seorang juapun yang sama dan sebangun bentuk fisik manusia. Usia setiap manusia telah ditaqdirkan Allah dalam ukuran tertentu. Kalau mengambil perumpamaan tabung gas, maka setiap orang telah ditakdirkan Allah volume tabung gasnya. Apabila gas dalam tabung telah habis terpakai maka sampailah pula pada saat ajalnya.
Faidza- Ja-a Ajaluhum La- Yasta'khiruwna Sa-'atan wa La- Yastaqdimuwna (S. Al A'ra-f, 34). Apabila datang ajal mereka itu, tidaklah dapat mundur waktunya atau maju (7:34).
Ikhtiar manusia dalam bingkai Taqdir Allah terletak dalam hal penghematan pengeluaran gas dari tabung. Orang yang hemat memakai gasnya dalam arti hidup teratur, menjaga kesehatan, tidak hura-hura, tidak suka balap, tidak mengobral sex, tidak minum XTC, heroin dan sebangsanya, maka rentang waktu hidupnya panjang. Sedangkan sebaliknya orang yang tidak berikhtiar menghemat gas kehidupannya, hidup tidak teratur, berhura-hura, mengobral sex dan seterusnya, gasnya akan lekas habis, rentang waktu hidupnya pendek. Artinya orang yang ditaqdirkan Allah kecil tabung gasnya tetapi hemat memakainya, umurnya lebih panjang dari orang yang ditaqdirkan besar tabung gasnya tetapi boros memakainya. Besar kecilnya volume tabung adalah Taqdir Allah, sedangkan panjang pendek rentang waktu hidupnya tergantung pada ikhtiar manusia.
Berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, Allah memberikan ruh kepada manusia, yaitu manusia mempunyai ruh dan jasmani. Hidup di didunia ini ibarat pabrik, tempat manusia yang beriman untuk memproduksi kebajikan. Allah memberikan kebebasan kepada ruh manusia untuk beriman ataupun ingkar.
Wa Quli lHaqqu min Rabbikum faMan Sya-a falYu'min wa Man Sya-a fa lYakfur (S. Al Kahf, 29). Katakanlah kebenaran dari Maha Pengaturmu, siapa yang mau berimanlah, siapa yang mau kafirlah (18:29).
Allah mentaqdirkan manusia mempunyai ruh dan jasmani. Ruhnya diberi kebebasan memilih untuk beriman atau kafir, sedangkan jasmaninya diprogramkan Allah dalam DNA-nya.
Ikhtiar manusia yang dibatasi oleh Taqdir Allah dapat pula diilustrasikan dalam Dinamika Teknik, khususnya dalam rancang bangun otomotif. Manusia dapat berikhtiar merancang bangun kapasitas mesin otomotif sekehendaknya. Namun bagaimanapun besar kapasitas mesin itu, percepatan (dinyatakan dalam simbol a) yang dihasilkannya dibatasi oleh Taqdir Allah yang berwujud koefisien gesek antara ban dengan permukaan jalan (dinyatakan dalam simbol f) dan percepatan gravitasi (dinyatakan dalam simbol g). Supaya lebih jelas dikemukakan di bawah ini rumus yang menyatakan hubungan besaran-besaran tersebut:
amaximum = fcg/(b-fh),
c = jarak antara titik berat mobil dengan titik tengah dari kedua ban depan,
b = jarak antara titik tumpu ban belakang pada jalan dengan titik tumpu ban depan pada jalan, dan
h = tinggi titik berat mobil di atas jalan.
Bagaimanapun besarnya gaya dorong (F) mesin mobil, percepatan yang dihasilkan oleh mesin itu tidak dapat melebihi ungkapan sebelah kanan persamaan dalam rumus di atas. Ikhtiar manusia dapat menambah besar maximum dengan membuat konstruksi rangka mobil dengan memperbesar h. Akan tetapi ikhtiar manusia dari segi konstruksi ini dibatasi Taqdir Allah sebatas mobil itu masih dalam keadaan stabil, sebab jika h diperbesar seenaknya maka mobil akan berjungkir balik, ibarat orang ber-kop rol. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 1 Juni 1997