Menjelang akhir puasa Ramadhan yang baru lalu, terasa kinerja sistem rem mobil saya makin menurun. Sebelum keadaan kritis tercapai (rem sudah hampir tidak mampu bekerja lagi), mobil saya istirahatkan di pekarangan yang sekaligus berfungsi sebagai garase. Untuk membawanya ke bengkel saja risikonya sudah berkadar tinggi, berhubung tidak ada bengkel yang dekat dengan rumah saya. Untunglah sekarang ini sudah ada bengkel yang mobil, untuk memperbaiki kerusakan kecil-kecil, seperti misalnya yang dialami mobil saya yang hanya membutuhkan servis untuk menaikkan kembali kinerja sistem remnya. Bengkel yang mobil bukanlah bermakna hengkel yang berupa mobil melainkan bengkel yang mempunyai mobilitas, melanglang buana, berkelana dari satu tempat ke tempat yang lain tempat ia dibutuhkan untuk menservis. Karena keadaannya yang tidak stasioner itu, maka memanggilnya melalui starko. Nomor telefon pemesan perlu diinformasikan kepadnya untuk umpan balik, mencek kembali untuk menghindarkan panggilan orang yang iseng. Pemesanpun memerlukan umpan balik untuk meyakinkan bahwa panggilannya sudah diterima; dan bagi keduanya memerlukan pembicaraan langsung untuk negosiasi, terutama mengenai waktu servis. Telefon umum sangat berguna utuk komunikasi timbal balik ini. Maka dapatlah difahami penggunaan handphone dari bengkel yang mobil ini merupakan biaya tinggi oleh komunikasi timbal balik tersebut.
Dalam hubungannya dengan mobilitas ini, saya teringat tempo doeloe waktu saya masih kecil. Waktu itu sudah dikenal galangan perahu pinisi', yang mobil. Para panrita lopi (insinyur bangunan perahu) beserta anak-anak buah pengrajin yang terampil (skilled) dari orang-orang Ara tidaklah mesti membuat perahu di Tanaberu. Sejak dahulu orang-orang Ara terkenal ahli dan terampil membuat perahu pinisi' secara tradisional. Ilmu dan keterampilan membuat pinisi' ito diteruskan turun temurun secara pendidikan tradisional pula. Orang-orang Ara cuma ahli dan terampil dalam membuat pinisi, sedangkan yang ahli dan terampil dalam melayarkan pinisi adalah orang Bira di sebelah timurnya dan orang Batangmata di pulau Selayar di seberang selat. Yang membutuhkan perahu cukup hanya memanggil kelompok pengrajin perahu dari Ara itu datang ke tempat pemesan. Merekapun datang beserta anak-bininya, memilih lokasi di pantai di pinggir kampung lalu mendirikan galangan dan perkampungan kecil tempat tinggal keloinpok karyawan galangan itu. Waktu itu di Selayar masih banyak pepohonan untuk bahan baku. Hanya sedikit bagian pohon yang tersisa. Ada bagian pohon untuk lunas, ada bagian untuk tiang layar, ada bagian pohon untuk dinding perahu, sampai-sampai pada lekuk-lekuk dahanpun dimanfaatkan untuk bagian yang lengkung dari perahu.
Kembali pada penurunan kinerja sistem rem mobil saya itu. Sudah diperkirakan sebelumnya, berdasarkan dua gejala, yaitu rem sudah kurang makannya dan minyak rem sewaktu-waktu harus ditambah, maka penurunan kinerja sistem itu disebabkan oleh kampas rem sudah mulai melicin dan karet piston sudah tidak menutup dengan baik sela di antara piston dengan silinderya. Setelah diservis, rem sudah berfungsi lagi dengan baik. Mobil sudah siap pakai lagi diterjunkan dalam hiruk pikuk lalu lintas.
Sungguhpun demikian servis itu tidaklah menjamin kinerja rem tidak akan menurun dengan cepat. Royal mempergunakan rem menyebabkan kinerja rem lekas menurun. Untuk dapat memperlambat menurunnya kinerja rem, maka di samping berhemat dalam menggunankan rem, secara berkala sistem rem diservis ringan, yaitu posisi rotor distel sehingga antara kampas dengan trommel jaraknya tetap.
***
K.ondisi tenaga ruhaniyah kita setelah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan ibarat sistem rem mobil yang telah dipulihkan kinerjanya. Seperti mobil yang telah siap dipakai untuk terjun dalam hiruk-pikuk kesemrawutan ramainya lalu lintas, diri kitapun siap menempuh onak duri rimba belantara dan lingkungan kehidupan keseharian. Sistem rem mobil berfungsi merem laju mobil sehingga terpelihara dari kecelakaan bertabrakan bahaya berlalu-lintas. Tenaga ruhaniyah yang telah dipulihkan kinerjanya berfungsi memelihara diri dari musibah onak duri rimba belantara lingkungan kehidupan keseharian.
Diri yang terpelihara dari kejahatan itulah yang disebut Taqwa, yang berasal dari akar kata yang dibentuk oleh tiga huruf waw, qaf, ya, WaQaY atau WaQiYa, yang artinya terpelihara. Tujuan puasa seperti Firman Allah SWT dalam (2:183) adalah: La'allakum Tattaquwna, supaya kamu taqwa, terpelihara. Apa yang senantiasa kita libatkan diri dalam lingkungan kehidupan keseharian menurut istilah yang diberikan oleh RasuluLlah SAW adalah Jiha-du lAkbar, Jiha-du nNafs, perjuangan paling sengit, penjuangan melawan kedirian. AnNafsu (kedirian) yang selalu dikontrol, direm oleh tenaga ruhaniyah kita antara lain adalah sifat-sifat tercela: tamak (rakus) akan makanan dan minuman, harta, kedudukan, sex; hasad (dengki) terhadap keberhasilan orang lain; 'ujub (pongah) merasa diri hebat serba mampu; 'ujub ini kalau tidak cepat-cepat direm oleh tenaga ruhaniyah dapat meningkat menjadi sifat riya (pamer kebolehan dirinya kepada masyarakat); dan apabila dibiarkan melaju terus ibarat mobil melancar tanpa mampu direm lagi, maka sifat riya itu meningkat menjadi sifatnya iblis: takbur.
Lingkungan external kehidupan keseharian sangat berpengaruh atas keadaan internal kedirian kita yang antara lain telah disebutkan di atas itu. Sama halnya dengan kinerja sistem rem pada mobil demikian pula dengan kinerja tenaga ruhaniyah kita akan cepat menurun apabla terlalu banyak dipakai. Adapun resepnya agar supaya kita dapat menghemat tenaga ruhaniyah adalah Firman Allah SWT (17:32) wa La- Taqrabuw zZinay, dan janganlah kamu dekati zina; dan Sabda RasuluLlah SAW yang melarang kita semeja dengan peminum.
Sama halnya dalam hal memelihara kinerja sistem rem dengan secara peniodik menyetel rotorya, maka untuk memelihara kinerja tenaga ruhaniyah kita, disunnatkan puasa enam hari bulan Syawal dan puasa sunnat periiodik hari Senin dan Kamis. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 25 Februari 1996
25 Februari 1996
[+/-] |
217. Mobilitas, Kinerja Sistem Rem dan What Next Sesudah Ramadhan |
18 Februari 1996
[+/-] |
216. Menyambut 'IydulFithri |
Insya Allah besok kita akan tiba pada akhir ibadah puasa dan lusa akan merayakan hari kemenangan, hari raya Iydu IFithri, bagi mereka yang berhasil dalam jihad, berjuang mengendalikan diri selama 29 hari lamanya. Ayyaaman Ma 'dudaatin, jumlah hari yang terhitung dalam bulan Ramadhan tahun ini, baik menurut ru'yah maupun menurut hisab, adalah 29 hari, berhubung bulan Sya'ban sebelumnya terhitung 30 han. Besok malam, malanm Selasa insya Allah akan terdengar pula ummat Islam mengumandangkan kalimah Takbir, Tahlil, Tahmid dan Tasbih. Kalimah Takbir, Allahu Akbar, ialah mengagungkanNya. Kalimah Tahlil, Laa Ila-ha Illa Lla-h, ialah mengEsakanNya, Kalimah Tahmid, Alllamdu liLla-h, wa !iLlahi lHamd, ialah memujiNya dan Kalimah Tasbih, SubhaanaLla-h, ialah mensucikanNya. Kalimah inilah yang membasahi bibir ummat Islam, bergemuruh menggelora berkumandang ibarat gemulung ombak, sambung-menyambung, ikhlas keluar dan qalbu yang penuh iman, terdengar di mana-mana, di dusun kecil yang terpencil, di kota metropolitan yang hiruk pikuk, mengatasi deru mesin-mesin pabrik, mengatasi hingar bingar lalu lintas.
Rasu!uLlah SAW bersabda: Man Shaama Ramadhaana Iymanan wa Htisaaban Ghufira Lahu- Maa Taqaddama min Dzanbihi. Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan introspeksi diri, maka diampuni dosanya yang silam.
Artinya jika puasa kita berhasil, maka pada ] Syawwal ini kita akan bersih dari dosa, kembali suci: 'Iydu lFithri, ibarat bayi yang baru lahir, apa yang kita makan menjadi suci, karena didapatkan secara halal dan sudah dikeluarkan Zakat Fithrinya.
Ada dua jenis dosa, yang pertama adalah dosa yang tak berampun yaitu murtad dan musyrik, dan dosa jenis yang kedua ialah dosa yang berampun. Adapun dosa yang berampun ada dua jenis, yaitu pertama, pelanggaran pelanggaran larangan Allah SWT yang tidak merugikan orang lain dan kedua adalah pelanggaran-pelanggaran larangan Allah SWT yang merugikan orang lain.
Seumpama apabila ada yang minum khamar kemudian teler langsung rebah tenlentang, maka orang itu berdosa secara langsung kepada Allah SWT, karena melanggar penintahNya. Akan tétapi jika sehabis minum khamar ia setengah teler kemudian menganiaya orang, maka ia melakukan dosa secara langsung karena melanggar perintahNya dan di samping itu ia akan niendapatkan pula dosa karena menganiaya orang lain. Dalam hal ini Allah SWT hanya akan mengampuni dosanya apabila orang yang dianiayanya itu memaafkannya.
Adapun Sabda RasuluLlah SAW seperti yang telah dikemukakan di atas itu, konteksnya adalah mengenai dosa karena melakukan pelanggaran-pelanggaran larangan Allah SWT yang tidak merugikan orang lain. Itulah sebabnya supaya betul-betul bersih dari dosa dalam suasana lebaran itu orang berusaha meluruskan silang sangketa dengan saling memaafkan secara ikhlas: Mina l'Aaidiyna wa lFaaiziyna, TaqabbalaLla-hu Minnaa wa Minkum. Bukan secara basa-basi dalam bentuk plastis yang formal: Selamat Hari Raya Lebaran, mohon maaf lahir batin, yang sekadar hanya diucapkan di mulut, namun dalam hati tidaklah ikhlas.
Silang sangketa. yang tidak terselesaikan di dunia ini akan diselesaikan kelak oleh Hakim Yang Maha Adil di Hari Qiyamat. RasuluLlah SAW dalam suatu majelis dengan para sahabat bertanya kepada anggota majelis tentang pengertian Muflis (bangkrut). Maka para sahabat menjawab bahwa yang disebut muflis adalah orang yang sudah habis uang dan harta benda. Muflis yang dikemukakan para sahabat itu adalah kebangkrutan bisnis orang didunia ini. Sedangkan yang dimaksudkan RasuluLlah SAW adalah bangkrut di Hari Qiyamat. RasulüLlah SAW selanjutnya menjelaskan bahwa pada Han Qiyamat datanglah orang-orang dengan ama! kebajikannya masing-masing, yaitu ama! shalatnya, amal zakatnya, amal puasanya. Amal-amalnya itu dipakai untuk membayar pelunasan utang utangnya yang dibawa mati, yaitu utang-utang yang semasa di dunia yang belum sempat diselesaikan. RasuluLlah SAW memperinci perbuatan penyebab dosa yang merugikan orang lain, yaitu: syatama, menymndir, yaitu berucap ataupun menulis dengan gaya sinisme, qadzafa, mengumpat, membentak, berucap ataupun menulis dengan gaya sarkasme, dharaba, memukul, menganiaya, safaqa daama, mengucurkan darah, memperkosa, aka1a maala makan harta orang, menipu, mencuri, merampok dan fasada, merusak, berbuat seperti bangsa Vandal, fandalisme.
Orang yang muflis itu akhirnya habis amalan kebajikannya untuk dipakai membayar utang. Namun jika masih ada yang datang menagih, maka Allah SWT mengambil dosa yang menagih itu untuk ditimpakan kepada orang yang sudah bangkrut itu. Akhirnya orang yang datang dengan amal-anial kebajikanrtya itu, karena sudah bangkrut, faTurihat fiy nNaar, maka ia dilempar masuk neraka.
Marilah kita menyambut Han Raya 'IydulFithri dengan Kalimnah Takbir, Tahlil, Tahmid dan Tasbih: Allahu Akbar, Aflahu Akbar, Laa Ila-ha Illa Lla-hu, Allahu Akbar, Allahu Akbar, wa liLla-hi IHamd, SubahaanaLla-hi Bukratan waAshiylan.
WaLlahu A'lamu hi shShawab.
*** Makassar, 18 Februari 1996
11 Februari 1996
[+/-] |
215. Sumber Rujukan Informasi |
Pada waktu saya masih kecil saya telah mendapatkan informasi bahwa Al Quran terdiri atas 31 Juz di kalangan Syi'ah. Juga menurut keyakinan penganut Syi'ah, Jibril sebagai pembawa wahyu dari Allah SWT, semestinya membawa wahyu itu kepada Bagenda Ali, akan tetapi Jibril salah alamat, ia membawa wahyu itu kepada Nabi Muhammad SAW. Hal itu saya tanyakan kepada ayah saya dan mendapat jawaban bahwa Jibril itu malaikat sangat tidak masuk akal jika melakukan kesalahan yang begitu besar. Kemudian ayah saya menambahkan lagi bahwa wahyu itu ada sebagian dengan perantaraan Jibril dan sebagian pula diterima Nabi Muhammad SAW secara langsung. Sehingga tambah tidak masuk akal lagi jika Jibril memang salah alamat, lalu selanjutnya wahyu yang diturunkan secara langsung itu diubah pula alamatnya oleh Allah SWT dari Bagenda Ali kepada Nabi Muhammad SAW, mengikuti kesalahan alamat Jibril. SubhanaLlah, Maha Suci Allah dari pebuatan yang serupa itu. Tentang hal Al Quran yang 31 Juz itu ayah saya menjelaskan bahwa dalam Al Quran terdapat ayat yang menjelaskan bahwa Allah menjaga kemurnian Al Quran, Wa Inna- Lahu Lahafizhuwn, sehingga tidaklah mungkin dalam kalangan Syi'ah terdapat 31 Juz. Sebab kalau demikian berarti Al Quran sudah tidak terjaga lagi kemurniannya, berhubung sudah ada dua jenis Al Quran, ada yang 30 Juz dan ada yang 31 Juz.
Di kemudian hari tatkala saya sudah dewasa saya sempat membaca Mahabharata. Dewasa ini bahkan sudah pernah ditayangkan sebagai cerita bersambung malalui televisi. Dalam cerita Mahabharata itu tersebutlah seorang utusan dewa yang salah alamat. Dia menyerahkan bingkisan (senjata ampuh) yang dibawanya kepada Karna, pada hal bingkisan itu semestinya diserahkankan kepada Harjuna. Apakah cerita yang rancu tentang Jibril yang salah alamat itu tidak bersumber dari cerita Mahabharata ini? Perihal cerita Al Quran yang 31 Juz dalam kalangan Syi'ah itu, di perpusatakaan pribadi saya sekarang ini ada sebuah Al Quran terdiri atas 30 Juz, 114 Surah, cetakan Teheran, ibu kota Iran, sebuah Negara Islam Mazhab Syi'ah Itsna 'Asyariyah. Informasi yang saya dapatkan pada waktu anak-anak tentang hal Al Quran yang 31 Juz, bersumber dari tangan kedua. Dikatakan dari tangan kedua oleh karena informasi itu tentang Syi'ah yang sumbernya dari kalangan yang bukan Syi'ah. Sedangkan informasi yang saya dapatkan sekarang yaitu Al Quran cetakan Teheran adalah dari tangan pertama, yaitu Al Quran yang dicetak oleh kalangan Syi'ah sendiri.
Saya pernah pula mendapatkan informasi dari tangan kedua, yaitu sebuah informasi yang bersumber dari sebuah buku yang ditulis oleh penulis yang bukan dari Jama'ah Tabligh mengenai Jama'ah Tabligh dalam uraian yang cukup pendek. Dalam buku itu diinformasikan bahwa golongan Jama'ah Tabligh dalam shalat tidak membaca Al Fatihah. Sepintas lalu kelihatan rasa-rasanya informasi itu mengandung kebenaran, oleh karena anggota Jama'ah ini kalau datang di mesjid tidak bersedia menjadi imam shalat. Bahwa ketidak sediaan menjadi imam itu boleh jadi dengan tujuan untuk menyembunyikan, bahwa mereka itu tidak membaca Al Fatihah. Karena sumber informasi tentang tidak membaca Al Fatihah itu bersumber dari tangan kedua, maka tentu lebih bijak untuk memperoleh informasi dari tangan pertama. Pada waktu ada rombongan Jama'ah Tabligh dari Pakistan berkunjung ke Masjid Syura bersilaturrahim, tatkala tiba waktu shalat 'Isya, saya persilakan ketua rombongan menjadi imam. Pada mulanya ia menolak, akan tetapi akhirnya ia maju ke depan menjadi imam. Dan ia membaca Al Fatihah. Jadi menurut apa yang disaksikan sesungguhnya dari tangan pertama, anggota Jama'ah Tabligh membaca Al Fatihah dalam shalat. Tentulah tidak wajar kita bersikap curiga bahwa orang Pakistan itu terpaksa membaca Al Fatihah karena menjadi imam. Suatu hal yang mustahil mereka yang menzakatkan waktunya untuk pergi berda'wah antar negara akan main-main dengan shalat.
Coba dibayangkan membaca tentang ajaran Islam dari buku yang ditulis oleh orientalis yang bukan Islam. Saya pernah mempunyai buku Pelajaran Agama Islam yang ditulis oleh Kramer. Saya katakan pernah, karena buku itu sekarang sudah tidak ada pada saya. Buku itu dipinjam oleh paman saya, kemudian dibakar olehnya. Paman saya itu marah kepada saya, buat apa buku semacam itu disimpan-simpan, bagaimana kelak jika beristeri apa pula kalau sudah mempunyai anak (saya waktu itu masih bujang) lalu mereka mebacanya. Banyak kesalahan terdapat di dalamnya dari yang kecil sampai yang besar. Kesalahan besar dari buku itu menaikkan amarah orang Islam yang membacanya, sehingga tidak perlu saya kemukakan di sini kesalahan besar itu. Yang saya kemukakan hanya sebuah contoh kesalahan yang terhitung paling kecil dalam buku itu. Bahwa kata Islam berasal dari Isa, Subuh, Lohor, Asar, Magrib. Sedangkan hurufnya saja sudah salah, hanya M dari Maghrib yang benar, yang lain salah semua. Isa bukan alif melainkan 'ain, Subuh bukan sin melainkan shad, Lohor bukan lam melainkan Zha dan Asar bukan alif dan sin melainkan 'ain dan shad. Menulisnya saja sudah salah, apatah pula terlebih lagi arti dari Islam itu sudah sangat jauh menyimpang dari arti yang sesungguhnya.
Sumber Rujukan Informasi dari tangan pertama sangatlah penting untuk mendapatkan kesimpulan yang proporsional. Kalau mau mengetahui tentang Islam, maka sumber rujukannya adalah nash, yaitu Al Quran dan Hadits Shahih. Kalau mau mengetahui tentang pemahaman Ahlu Sunnah bacalah tulisan ulama-ulama besar dari golongan Ahlu Sunnah. Kalau mau mengetahui faham Mu'tazilah bacalah pendapat yang dikemukakan oleh ulama-ulama besar golongan Mu'tazilah. Kalau mau tahu tentang pemahaman Syi'ah bacalah tulisan ulama-ulama besar Syi'ah. Dengan demikian timbullah rasa saling menghargai antara satu golongan dengan golongan yang lain, terhindarlah sikap curiga antara satu dengan yang lain, sehingga terbinalah rasa Ukhuwah Islamiyah, rasa persaudaraan berdasarkan ajaran Islam dalam kalangan Ummat Islam sedunia. WaLlahu a'lamu bishshawab. *)
*** Makassar, 11 Februari 1996
4 Februari 1996
[+/-] |
214. Aktualisasi Al Quran dalam Mengontrol Nilai Budaya |
Pada malam Rabu, 10 Ramadhan 1416 H, atau 30 Januari 1996, di rumah jabatan Rektor Universitas Hasanuddin, jalan Kartini, saya memberikan sekapur sirih pengantar diskusi setelah shalat tarwih. Yang hadir pada waktu tersebut adalah dosen-dosen dari tiga fakultas: Fakultas Ekonomi, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam dan Fakultas Sastra (disusun menurut abjad). Topik yang saya bawakan adalah Aktualisasi Al Quran dalam Mengembangkan Teknologi. Sebenarnya topik tersebut Insya Allah akan saya sajikan sebagai ceramah Tarwih dan ceramah Subuh di masjid Al Markaz Al Islami pada 16 Ramadhan 1416 H. Adalah kesempatan yang baik bagi saya, bahwa pokok-pokok pikiran mengenai topik itu sempat saya utarakan di hadapan dosen-dosen senior dari ketiga fakultas tersebut guna mendapatkan umpan balik.
Saya kemukakan antara lain dalam kesempatan itu cara untuk menanggulangi krisis energi, oleh karena secara global kebutuhan energi makin meningkat, akibat penggunaan teknologi maju di bidang industri. Apakah upaya kita hanya sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan energi yang kian membengkak itu? Mengapa tidak kita fokuskan juga pemikiran dan upaya untuk merem pembengkakan itu? Di sinilah gunanya aktualisasi Al Quran.
Jadi kalau selama ini puasa itu ditekankan pada pembinaan diri manusia secara individual, kiranya tiba saatnya kini dalam rangka membumikan Al Quran, patutlah puasa itu mendapat perhatian pula dalam rangka pembinaan komunitas, antara lain mengendalikan ummat manusia agar tidak menjurus lagi kepada mengkonsumsi bahan bakar secara Tubadzdzir Tabdziyran, berboros-borosan. Maka puasa itu akan mendatangkan pula effek dalam menahan lajunya pertambahan kebutuhan energi dan sekaligus mengurangi pencemaran. Bukankah Al Quran itu Hudan li nNa-si, petunjuk bagi manusia yang berupa makhluq pribadi dan makhluq sosial?
Itulah makna perintah berpuasa untuk dapat mengendalikan diri dari dorongan naluri yang ingin hidup enak secara berlebihan. Mengendalikan diri dari pemanfaatan teknologi secara berlebihan. Kalau dapat dikerjakan dengan otot tidaklah perlu mengandalkan mekanisme teknologi. Kalau dapat memakai alat penggodok adonan kue secara tradisional yang manual, lalu buat apa memakai mixer yang memakai sumber energi elektris. Kalau hanya meneteng map untuk naik ke tingkat lima misalnya, mengapa tidak memakai tangga saja ketimbang mempergunakan lift, lain halnya kalau membawa barang berat, ya pakailah lift. Aktualisasinya dimulailah dari diri sendiri. Sebagai contoh saya kemukakan, bahwa saya tidak pernah mempergunakan lift di gedung rektorat Universitas Hasanuddin.
Contoh yang saya kemukakan mengganti mixer dengan alat manual mendapat tanggapan dari Drs. Amrullah B.M MSc dari Fakultas Ekonomi sebagai suatu set back, kemunduran, pada hal kita semestinya commit dengan kemajuan. Maka saya jawab dengan mengemukakan ayat: Wa LalAkhiratu Khayrun laKa mina lUwlay (S. Adh Dhuhay, 4), dan yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang terdahulu (93:4).
Karena yang disebut maju adalah yang kemudian itu lebih baik dari sebelumnya, maka jika berbicara mengenai kemajuan kita akan bicara tentang nilai. Ada dua jenis nilai kebenaran. Jenis yang pertama nilai itu benar karena bersumber dari Allah SWT. Nilai jenis yang pertama ini sifatnya mutlak, karena berasal dari Yang Maha Mutlak. Jadi nilai ini tidak bergeser, tidak tergantung pada waktu dan tempat. Mesti tetap benar di mana saja, baik pada waktu yang lalu, baik pada waktu kini, maupun pada waktu yang akan datang. Tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan. Nilai jenis pertama ini disebut al Furqan (2:185). Nilai jenis yang kedua adalah nilai budaya. Kebenaran nilai budaya ini berdasar atas kesepakatan komunitas, sehingga relatif sifatnya. Apa yang disepakati benar oleh suatu bangsa belum tentu benar pula menurut kesepakatan bangsa lain. Apa yang disepakati benar pada waktu yang lalu, belum tentu benar menurut kesepakatan sekarang dan dapat pula berubah kesepakatan itu pada waktu yang akan datang.
Karena adanya nilai budaya yang relatif sifatnya itu maka perlu sekali kita membumikan atau mengaktualisasikan Al Quran untuk mengontrol nilai budaya itu dengan nilai al Furqan, yang dalam hal ini nilai waLa- Tubadzdzir Tabdziyran, janganlah berboros-borosan. Nilai berhemat ini mendapatkan skala prioritas ketimbang nilai budaya yang sekadar ingin hidup enak. Dengan menghemat bahan bakar kita dapat merem pembengkakan akan kebutuhan energi. Di samping itu dan ini tidak kurang pentingnya ialah mengurangi kadar pencemaran udara oleh zat polutan CO2, penyebab kenaikan suhu global yang mencairkan lapisan es di kedua kutub bumi, yang menyebabkan kenaikan permukaan laut. Dan 'ala kulli hal dengan alat penggodok adonan kue yang manual misalnya, dapatlah tercipta lapangan kerja di sektor informal untuk orang banyak yang pinggiran. Maka kita akan menjadi konsumen dari produk industri rumah bangsa kita sendiri. Ini merupakan jawaban terhadap tanggapan DR Muhsin Rahim dari Fakultas MIPA yang mengemukakan mengapa kebanyakan kita ini ummat Islam hanya menjadi konsumen saja dari dari bangsa lain.
Terjemahan ayat (93:4) di atas itu disanggah oleh Suyuti Suhaib MA dosen Bahasa Arab dari Fakultas Sastra bahwa terjemahan itu tidak benar, mestinya harus berbunyi: Sesungguhnya akhirat lebih baik bagi engkau daripada dunia. Memang ada beberapa mufassirin yang mentafsirkan demikian itu. Akan tetapi menurut hemat saya, kontex dari ayat itu ruang lingkupnya di dunia. Coba kita lihat kaitannya dengan ayat-ayat sesudahnya. Yatiyman faAway, keadaan yatim lalu dilindungiNya (93:6). Dha-llan faHaday, kebingungan lalu ditunjukiNya (93:7). 'A-ilan faAghnay, keadaan miskin maka diberiNya kekayaan (93:8). Kontex ayat-ayat itu berhubungan dengan keadaan di dunia, yang mengandung muatan nilai, yaitu kemajuan. Maka menurut saya secara kontextual terjemahan yang saya pakai itu lebih tepat. Lebih-lebih lagi dengan terjemahan yang saya pakai itu nilai Al Quran dapat diaktualisasikan, tidak seperti dengan terjemahan Sesungguhnya akhirat lebih baik bagi engkau daripada dunia, nilai al Furqan tidak dapat diaktualisasikan untuk mengontrol nilai budaya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 4 Februari 1996