4 Februari 1996

214. Aktualisasi Al Quran dalam Mengontrol Nilai Budaya

Pada malam Rabu, 10 Ramadhan 1416 H, atau 30 Januari 1996, di rumah jabatan Rektor Universitas Hasanuddin, jalan Kartini, saya memberikan sekapur sirih pengantar diskusi setelah shalat tarwih. Yang hadir pada waktu tersebut adalah dosen-dosen dari tiga fakultas: Fakultas Ekonomi, Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam dan Fakultas Sastra (disusun menurut abjad). Topik yang saya bawakan adalah Aktualisasi Al Quran dalam Mengembangkan Teknologi. Sebenarnya topik tersebut Insya Allah akan saya sajikan sebagai ceramah Tarwih dan ceramah Subuh di masjid Al Markaz Al Islami pada 16 Ramadhan 1416 H. Adalah kesempatan yang baik bagi saya, bahwa pokok-pokok pikiran mengenai topik itu sempat saya utarakan di hadapan dosen-dosen senior dari ketiga fakultas tersebut guna mendapatkan umpan balik.

Saya kemukakan antara lain dalam kesempatan itu cara untuk menanggulangi krisis energi, oleh karena secara global kebutuhan energi makin meningkat, akibat penggunaan teknologi maju di bidang industri. Apakah upaya kita hanya sebatas bagaimana memenuhi kebutuhan energi yang kian membengkak itu? Mengapa tidak kita fokuskan juga pemikiran dan upaya untuk merem pembengkakan itu? Di sinilah gunanya aktualisasi Al Quran.

Jadi kalau selama ini puasa itu ditekankan pada pembinaan diri manusia secara individual, kiranya tiba saatnya kini dalam rangka membumikan Al Quran, patutlah puasa itu mendapat perhatian pula dalam rangka pembinaan komunitas, antara lain mengendalikan ummat manusia agar tidak menjurus lagi kepada mengkonsumsi bahan bakar secara Tubadzdzir Tabdziyran, berboros-borosan. Maka puasa itu akan mendatangkan pula effek dalam menahan lajunya pertambahan kebutuhan energi dan sekaligus mengurangi pencemaran. Bukankah Al Quran itu Hudan li nNa-si, petunjuk bagi manusia yang berupa makhluq pribadi dan makhluq sosial?

Itulah makna perintah berpuasa untuk dapat mengendalikan diri dari dorongan naluri yang ingin hidup enak secara berlebihan. Mengendalikan diri dari pemanfaatan teknologi secara berlebihan. Kalau dapat dikerjakan dengan otot tidaklah perlu mengandalkan mekanisme teknologi. Kalau dapat memakai alat penggodok adonan kue secara tradisional yang manual, lalu buat apa memakai mixer yang memakai sumber energi elektris. Kalau hanya meneteng map untuk naik ke tingkat lima misalnya, mengapa tidak memakai tangga saja ketimbang mempergunakan lift, lain halnya kalau membawa barang berat, ya pakailah lift. Aktualisasinya dimulailah dari diri sendiri. Sebagai contoh saya kemukakan, bahwa saya tidak pernah mempergunakan lift di gedung rektorat Universitas Hasanuddin.

Contoh yang saya kemukakan mengganti mixer dengan alat manual mendapat tanggapan dari Drs. Amrullah B.M MSc dari Fakultas Ekonomi sebagai suatu set back, kemunduran, pada hal kita semestinya commit dengan kemajuan. Maka saya jawab dengan mengemukakan ayat: Wa LalAkhiratu Khayrun laKa mina lUwlay (S. Adh Dhuhay, 4), dan yang kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang terdahulu (93:4).

Karena yang disebut maju adalah yang kemudian itu lebih baik dari sebelumnya, maka jika berbicara mengenai kemajuan kita akan bicara tentang nilai. Ada dua jenis nilai kebenaran. Jenis yang pertama nilai itu benar karena bersumber dari Allah SWT. Nilai jenis yang pertama ini sifatnya mutlak, karena berasal dari Yang Maha Mutlak. Jadi nilai ini tidak bergeser, tidak tergantung pada waktu dan tempat. Mesti tetap benar di mana saja, baik pada waktu yang lalu, baik pada waktu kini, maupun pada waktu yang akan datang. Tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan. Nilai jenis pertama ini disebut al Furqan (2:185). Nilai jenis yang kedua adalah nilai budaya. Kebenaran nilai budaya ini berdasar atas kesepakatan komunitas, sehingga relatif sifatnya. Apa yang disepakati benar oleh suatu bangsa belum tentu benar pula menurut kesepakatan bangsa lain. Apa yang disepakati benar pada waktu yang lalu, belum tentu benar menurut kesepakatan sekarang dan dapat pula berubah kesepakatan itu pada waktu yang akan datang.

Karena adanya nilai budaya yang relatif sifatnya itu maka perlu sekali kita membumikan atau mengaktualisasikan Al Quran untuk mengontrol nilai budaya itu dengan nilai al Furqan, yang dalam hal ini nilai waLa- Tubadzdzir Tabdziyran, janganlah berboros-borosan. Nilai berhemat ini mendapatkan skala prioritas ketimbang nilai budaya yang sekadar ingin hidup enak. Dengan menghemat bahan bakar kita dapat merem pembengkakan akan kebutuhan energi. Di samping itu dan ini tidak kurang pentingnya ialah mengurangi kadar pencemaran udara oleh zat polutan CO2, penyebab kenaikan suhu global yang mencairkan lapisan es di kedua kutub bumi, yang menyebabkan kenaikan permukaan laut. Dan 'ala kulli hal dengan alat penggodok adonan kue yang manual misalnya, dapatlah tercipta lapangan kerja di sektor informal untuk orang banyak yang pinggiran. Maka kita akan menjadi konsumen dari produk industri rumah bangsa kita sendiri. Ini merupakan jawaban terhadap tanggapan DR Muhsin Rahim dari Fakultas MIPA yang mengemukakan mengapa kebanyakan kita ini ummat Islam hanya menjadi konsumen saja dari dari bangsa lain.

Terjemahan ayat (93:4) di atas itu disanggah oleh Suyuti Suhaib MA dosen Bahasa Arab dari Fakultas Sastra bahwa terjemahan itu tidak benar, mestinya harus berbunyi: Sesungguhnya akhirat lebih baik bagi engkau daripada dunia. Memang ada beberapa mufassirin yang mentafsirkan demikian itu. Akan tetapi menurut hemat saya, kontex dari ayat itu ruang lingkupnya di dunia. Coba kita lihat kaitannya dengan ayat-ayat sesudahnya. Yatiyman faAway, keadaan yatim lalu dilindungiNya (93:6). Dha-llan faHaday, kebingungan lalu ditunjukiNya (93:7). 'A-ilan faAghnay, keadaan miskin maka diberiNya kekayaan (93:8). Kontex ayat-ayat itu berhubungan dengan keadaan di dunia, yang mengandung muatan nilai, yaitu kemajuan. Maka menurut saya secara kontextual terjemahan yang saya pakai itu lebih tepat. Lebih-lebih lagi dengan terjemahan yang saya pakai itu nilai Al Quran dapat diaktualisasikan, tidak seperti dengan terjemahan Sesungguhnya akhirat lebih baik bagi engkau daripada dunia, nilai al Furqan tidak dapat diaktualisasikan untuk mengontrol nilai budaya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 4 Februari 1996