Transparansi yang mulai dirintis oleh kepemimpinan Habibie kini mengalami set back, kembali ke masa kepemimpinan Orde Lama dan Orde Baru. Rapat konsultasi antara eksekutif dengan legislatif berlangsung tertutup. Menurut Ketua DPR Akbar Tanjung keinginan konsultasi tertutup itu atas permintaan Gus Dur. Tetapi menurut Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak rapat konsultasi tertutup itu atas inisiatif DPR. Mestilah salah seorang di antaranya yang berkata tidak benar, kasarnya berbohong. Sebab tidak mungkin kedua-duanya benar atau kedua-duanya berbohong. Inilah salah satu dari sekian banyak jeleknya ketertutupan, yaitu menimbulkan kontroversi.
Masyarakat punya hak untuk mengetahui proses dialog dalam sidang konsultasi itu. Sidang tertutup itu dipersekongkolkan antara DPR dengan Pemerintah supaya katenye Gus Dur dapat secara blak-blakan memberikan penjelasan yang sesungguh-sungguhnya mengenai alasan pencopotan Yusuf Kalla dan Laksamana Sukardi. Sayangnya substansi yang akan dikonsultasikan itu bukan hanya sekadar pencopotan kedua menteri itu. Banyak yang dirindukan oleh masyarakat untuk dapat diketahui pula (karena itu haknya) apa gerangan jawaban Gus Dur tentang susbstansi antara lain khususnya usulan pencabutan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, hubungan antara melanglang-buana dengan penanggulangan krisis ekonomi dan timbulnya unjuk-rasa yang diakibatkan oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam hal sistem penggajian (baca: tunjangan struktural).
Betulkah kalau ketertutupan itu hanya karena aasan Gus Dur dapat leluasa secara blak-blakan memberikan "alasan lain" (menurut istilah Akbar Tanjung) di samping alasan formal ketidak-kompakan dari kedua orang menteri itu? Bukankah kedua mantan menteri yang dicoba untuk dilindungi itu dapat memberikan klarifikasi secara terbuka tentang "alasan lain" itu. Kemudian serahkanlah kepada masyarakat untuk menilai setelah mendengarkan "alasan lain" yang dikemukakan Gus Dur dan hasil klarifikasi dari kedua mantan menteri bersangkutan. Saya menduga bahwa alasan yang sebenarnya dari ketertutupan rapat konsultasi itu, adalah alasan ewuh-pakewuh, tidak sampai hati ditransparankan anggota DPR "membantai" Gus Dur dalam dialog terbuka itu.
***
Menurut Akbar Tanjung melalui TVRI alasan Gus Dur untuk mengusulkan pencabutan Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, karena pelarangan komunisme, leninisme dan marxisme tidak ada dalam UUD-1945, sedangkan Pemerintah tidak wajib melaksanakan Tap MPR. Rupanya Akbar Tanjung tidak puas dengan jawaban Gus Dur ini. Kita dapat mendengarkan "kekesalan" Akbar Tanjung ini di TVRI. Akbar mengatakan bahwa Presiden telah disumpah untuk sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD-1945, Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bagi para angkatan muda yang hanya mengenal komunisme dari kulitnya saja, dan mendambakan pelurusan sejarah, karena masih ada yang termakan agitasi sehingga angkatan muda itu menyangsikan bahwa PKI yang memberontak di Madiun dan Gestapu, lalu mungkin termakan pula akalnya akan penjelasan Gus Dur bahwa komunisme tidak patut dilarang karena tidak ada dalam UUD-1945, kiranya bermanfaat jika penulis kolom ini mengemukakan hal yang berikut:
Tahun 1847 Karl Marx bersama-sama dengan Engels menulis dan menerbitkan "Communist Manifesto", yang juga biasa disebut dengan "Worker's Declaration of Independence". Buah tangan Marx-Engels tersebut merupakan sebuah literatur yang paling sengit dan radikal yang pernah diterbitkan. Brosur itu menyimpulkan slogan yang sangat agitatif:
The communists consider it superfluous to conceal their opinions and their intentions. They openly declare that their aims can only be achieved by the violence overthrow of the whole contemporary social order. Let the governing classes tremble before the communistic revolutions. The workers have nothing to lose but their chains. They have the whole world to gain. Workers of the world, unite!
(Orang-orang komunis menimbang, itu terlalu berlebihan untuk merahasiakan opini dan niat mereka. Tanpa tedeng aling-aling mereka maklumkan bahwa tujuan mereka hanya dapat dicapai dengan secara dahsyat menumbangkan segenap tatanan sosial kontemporer. Biarkan kelas penguasa gemetar sebelum revolusi komunistis. Para buruh tidak akan kehilangan apa-apa kecuali belenggu-belenggu mereka. Seluruh dunia harus mereka menangkan. Para buruh sedunia, bersatulah!).
Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 bukanlah keputusan emosional seperti yang dituduhkan oleh Agil Siraj, melainkan adalah ibarat penangkal kilat dari sambaran kilat agitasi "Communist Manifesto", yang sudah dua kali membumi di Indonesia, yaitu pemberontakan Madiun dan Gestapu dari kaum komunis. Lahan agitasi "Communist Manifesto" di Indonesia masih kondusif, karena rakyat kita masih banyak yang miskin dan pada umumnya pendidikan mereka masih rendah. Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 adalah upaya taktis dan tujuan nasional mensejahterakan rakyat (Pembukaan UUD-1945, alinea 4) adalah upaya strategis untuk membentengi rakyat Indonesia dari kekafiran marxisme.
Perihal alasan normatif Gus Dur bahwa dalam UUD-1945 tidak ada larangan komunisme adalah alasan yang dhaif, hanya untuk menegakkan benang basah saja. Gus Dur sudah bersumpah untuk sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD-1945, Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Kalau Undang-Undang saja harus dilaksanakan, maka walaupun tidak disebutkan secara eksplisit Tap MPR, sesungguhnya termasuklah pula kewajiban Presiden untuk melaksanakan amanat Tap MPR yang antara lain Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966. Allah berfirman: WLA TQRBWA ALZINY (S. BNY ASRA^YL, 32), dibaca: Wala- taqrabuz zina- (s. bani- isra-i-l), artinya: janganlah kamu dekati zina (17:23). Kalau mendekati zina saja sudah dilarang, apatah pula perbuatan zina yang kedudukannya lebih atas dari pada mendekati zina. Kalau amanat Undang-Undang saja sudah wajib dilaksanakan oleh Pemerintah, apatah pula Tap MPR yang kedudukannya lebih atas dari pada Undang-Undang! WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 30 April 2000
30 April 2000
[+/-] |
421. Transparansi, Budaya Ewuh-Pakewuh dan sekali lagi Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 |
23 April 2000
[+/-] |
420. Pandangan Marxisme Tentang Agama |
Materialisme yang kafir terhadap realitas di luar materi menganggap bahwa Tuhan hanya diciptakan oleh pikiran manusia. Tuhan tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di dalam alam yang mengontrol kehidupan manusia. Marxisme, yaitu kekafiran materialisme versi Marx lebih menitik beratkan refleksi kekuatan misterius itu pada kekuatan ragam produksi kelas borjuis. Sistem sosial-ekonomi kelas borjuis tidak mampu mengatasi krisis pada umumnya, seperti tidak dapat melindungi kelas atas yaitu individu-individu pemodal dari kerugian dan kebangkrutan, juga tidak dapat menghilangkan pengangguran dari kelas bawah. Umumnya sangatlah jarang perencanaan sesuai dengan hasil yang diharapkan. Ada kekuatan misterius yang menghalangi manusia, sehingga manusia tidak dapat mencapai hasil yang diinginkannya. Lalu timbullah kepercayaan bahwa manusia berencana Tuhan yang menentukan. Maka demikianlah, Tuhan menurut pandangan marxisme tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di belakang sistem sosial-ekonomi kelas borjuis, yaitu kekuatan ragam produksi.
Pandangan marxisme terhadap agama berdasar atas data historis Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan. Ia melihat di Eropa bagaimana kaum bangsawan dan pendeta sebagai kelas atas bekerja sama membius kelas bawah supaya sabar menderita menerima nasibnya dengan iming-iming kebahagiaan di akhirat. Demikianlah agama diperalat, yaitu dijadikan obat bius oleh kelas atas untuk mengisap kelas bawah. Itulah sebabnya Marx memberikan karakteristik agama sebagai candu bagi rakyat.
Marilah kita kuliti buah pikiran Karl Marx tersebut. Sejak dini pandangan Karl Marx sudah miring terhadap agama. Ia melihat contoh ayahnya yang berpindah agama karena hanya ingin menjadi notaris di Prusia. Ayah Karl Marx kelahiran Jerman dari etnik Yahudi, tetapi beragama Roma Katholik, pindah ke Prusia sekaligus beralih agama menjadi Kristen Protestan, karena aturan waktu itu di Prusia notaris tidak boleh dijabat oleh swasta, sedangkan pemerintah Prusia waktu itu berhaluan Protestan. Benak Marx dihantui oleh persepsi bahwa agama itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi. Lalu ia terperosok ke dalam lubang perangkap buah pikiran kekafiran materialisme.
Demikianlah titik tolak buah pikiran kekafiran materialisme marxisme berpangkal pada sentimen emosional terhadap agama. Marxisme timbul dari ketakutan terhadap ketidak-tentuan kehidupan ekonomi di dalam abad tatkala rasa keagamaan yang menyangkut kemanusiaan menderita dekadensi. Metode pendekatan yang materialistik dari marxisme terhadap masalah kemanusiaan merupakan refleksi benak Karl Marx yang dihantui oleh ketidak-tentuan kehidupan ekonomi (termasuk kehidupan ekonominya pribadi) tatkala itu.
Data historis yang diambil Marx hanya Eropa pada abad-abad menjelang akhir periode Abad Pertengahan. Data historis ini sangatlah tidak lengkap untuk membuat generalisasi. Inilah kecerobohan emosional dari Karl Marx. Bahwa karena di Eropa pada penghujung Abad Pertengahan penguasa yang terdiri atas kaum bangsawan yang berkerja sama dengan pendeta memperalat agama untuk menghisap rakyat jelata, lalu semua pada bagian dunia yang lain dari dahulu hingga yang akan datang berlaku karakteristik agama itu candu bagi rakyat. Karl Marx tidak melihat pada revolusi para petani dalam abad ke-14 (di Perancis tahun 1351 M., di Inggris pada tahun 1381 M.), dengan semangat keagamaan menyerang tirani pemerintahan raja dan kaum bangsawan, serta gerakan keagamaan puritan di Inggris dalam abad ke-17, menunjukkan bahwa agama itu bukanlah candu bagi rakyat.
Sentimen keagamaan karena kekafiran Karl Marx yang menyebabkan ia tidak mengkaji bagaimana para Nabi pembawa agama-agama wahyu menentang tirani, yaitu Nabi Musa AS, Nabi 'Isa AS dan Nabi Muhammad SAW. Bagaimana Nabi Muhammad SAW bersama ummatnya menumbangkan sistem sosial-ekonomi 'Arab jahiliyah yang diskriminatif, kemudian mendirikan Negara Islam Madinah di atas landasan kesamaan sosial dan keadilan ekonomi.
Generasi muda Islam yang kurang mendalami ajaran agamanya janganlah terpengaruh kepada Karl Marx yang memukul rata bahwa agama membius penganutnya menerima nasibnya di dunia dengan iming-iming kebahagiaan di akhirat. Bahkan Karl Marx harus dilaknat karena agitasinya itu. Firman Allah SWT:
-- WABTGH FYMA ATK ALLH ALDAR ALAKHRT WLA TNS NSHYBK MN ALDNYA (S. ALQSHSH, 77), dibaca: Wabtaghi fi-ma- a-ta-kaLla-hud da-ral a-khirata wala- tansa nashi-baka minad dunya- (s. alqashash), artinya: tuntutlah kampung akhirat dengan (kemampuan) yang diberikan Allah kepadamu, dan janganlah lupakan bagian engkau dalam dunia (28:77).
Gus Dur, Mathori, Agil Siraj, Muhaimin dan Mukhtar Lubis dengan alasan HAM dan demokrasi menghendaki supaya Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 dicabut. Itu berarti memberikan kebebasan menyebarnya secara luas buah pikiran kekafiran materialisme maxisme, tidak mau repot dalam hal pendidikan anak-cucu kita, khususnya membentengi aqidah mereka dari kekafiran marxisme. Mukhtar Lubis, walaupun dalam keyakinan politiknya berseberangan dengan komunisme, namun kalau masih tetap Mukhtar Lubis yang dahulu, ia adalah penganut wetenschappelijke socialisme, yang menganggap marxisme sebagai ajaran (een leer), bukan dogma. Ajaran ataupun dogma tidak ada bedanya dalam konteks buah pikiran kekafiran materialisme marxisme. Sehingga logis jika Mukhtar Lubis tidak mau repot akan aqidah anak-cucu kita. Yang tidak logis ialah kenyataan Gus Dur cs (baca: PKB) tidak mau repot secara nasional dalam hal pendidikan anak-cucu kita membentengi mereka dari kekafiran marxisme. Ingatlah, hanya sedikit anak-cucu kita yang dididik di pesantren!
Di layar TV Mukhtar Lubis mengatakan bahwa di Indonesia kita tidak perlu takut pada komunisme. Di negeri Belanda, katanya, Partai Komunis kurang peminatnya. Rupanya Mukhtar Lubis berlagak bebal, atau memang bebal. Di negeri Belanda sedikit rakyatnya yang miskin, umumnya berpendidikan lumayan, sehingga tidak mudah dikelabui komunisme. Sedangkan di Indonesia rakyatnya banyak yang miskin, kurang berpendidikan, sehingga gampang dikelabui komunisme.
Alhasil MPR tidak boleh mencabut Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 dengan alasan HAM dan demokrasi. Sebab HAM hanyalah prioritas kedua dan demokrasi bahkan hanyalah prioritas keempat menurut Pembukaan UUD-1945, alinea ke-4. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 23 April 2000
16 April 2000
[+/-] |
419. Pandangan Marxisme Tentang Moral |
Materialisme adalah buah pikiran yang bertitik tolak dari pangkal kepercayaan bahwa tidak ada realitas di luar materi. Semua buah pikiran materialisme, termasuk versi marxisme, bertujuan untuk mengejar tercapainya hasrat kepuasan kehidupan bersifat materi. Keadilan, kejujuran, kemerdekaan, persamaan, persaudaraan, dan semua nilai moral yang lain dipertahankan bukan karena nilai-nilai yang luhur itu an sich, melainkan hanya karena nilai-nilai itu kelihatannya memberikan kontribusi dalam hal efisiensi bagi hasrat tercapainya kesenangan dan keamanan dalam kehidupan yang bersifat materi. Artinya moral dalam pandangan materialisme tidak lain hanyalah produk sampingan belaka.
Dengan mengaplikasikan proses dialektis, Karl Marx dalam bukunya A Contribution to the Critique of Political Economy mengatakan bahwa ragam (mode) dari produksi dalam kehidupan bersifat materi menentukan proses kehidupan politik, sosial, ekonomi dan intelektual. Manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dalam hal moralitas, oleh karena sistem sosial-ekonomi telah menentukan gagasan tentang moral dan ukuran etis sebagai barang- jadi. Bukanlah kesadaran moralitas manusia yang menentukan kondisi sosial-ekonomi, melainkan sistem sosial-ekonomilah yang menentukan kesadaran manusia. Setiap orang harus menyesuaikan diri pada kode moral yang ditentukan sistem sosial-ekonomi. Oleh karena masyarakat bergerak dalam irama pertentangan kelas, maka moralitas itu senantiasa berupa moralitas kelas. Singkat kata moral manusia ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi.
Syahdan, kita akan kuliti buah pikiran marxisme yang berspekulasi bahwa moral manusia ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi. Marilah kita perhadapkan spekulasi Marx ini pada sejarah Yunani Kuno, pada zaman "negara kota" (city states). Dalam rentang waktu dari 725 SM. hingga 325 SM. tiga negara kota, yaitu Corinth, Sparta dan Athene menghadapi sistem sosial-ekonomi yang sama, yaitu surplus penduduk. Jika benarlah teori "ilmiyah" Marx yang mengatakan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan memilih, oleh karena sistem sosial-ekonomilah yang menentukan kesadaran moralitas dan kehidupan intelektual manusia, maka niscaya ketiga negara kota itu akan menempuh pula upaya yang sama, karena mempunyai sistem moral yang sama, yang dibentuk oleh sistem sosial-ekonomi yang sama.
Namun sejarah berkata lain. Corinth memecahkan masalah surplus penduduknya dengan emigrasi, mencari daerah pertanian ke seberang laut di Siqiliyah (Sicily), Italia selatan, Thrace dll, dimana daerah kolonisasi itu jarang penduduknya, atau penduduknya terlalu lemah untuk dapat membendung invasi emigran dari Corinth itu. Koloni-koloni Yunani itu memperluas daerah georgafis dari masyarakat Yunani tanpa mengubah watak, sehingga pada hakekatnya merupakan reproduksi kebudayaan (baca: sistem moral) dari negeri asalnya. Sparta menempuh cara lain, yaitu menaklukkan negeri-negeri tetangganya seperti Messene, dan untuk memelihara kekuasaannya atas negeri-negeri taklukannya itu Sparta menjadi negara militer dalam arti struktur organisasi dan SDM. Seluruh penduduknya dibina berwatak militer dari atas sampai ke bawah. Caranya ialah dengan jalan menempa anak-anak di dalam barak-barak militer, bahkan bayi-bayi yang dianggap kondisi tubuhnya tidak mampu nanti menjadi militer, dibuang ke jurang-jurang. Athene menempuh cara lain pula, yaitu dengan jalan pengkhususan produksi pertanian untuk ekspor. Athene menempuh perbaikan sistem sosial-ekonomi dengan jalan perdagangan. Athene mengalami zaman keemasan di bawah Pericles. Kemajuan arsitektur memperindah Athene. Kota ini menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan, serta kesenian dan kesusatraan maju dengan pesat.
Alhasil buah pikiran Marx bahwa moral sudah merupakan "barang jadi" yang ditentukan oleh sistem sosial-ekonomi digugurkan oleh sejarah ketiga negara kota Yunani Kuno itu. Sistem moral ketiga kota itu bukanlah produk dari sistem sosial-ekonomi yang surplus penduduknya. Sebaliknya sistem moral yang berbeda menghasilkan perubahan sistem sosial-ekonomi yang berbeda pula dari ketiga kota itu, Corinth, Sparta dan Athene seperti yang telah ditunjukkan di atas. Alhasil sejarah Yunani Kuno menunjukkan bahwa bukanlah sistem sosial-ekonomi yang selalu menentukan moral, tetapi dapat pula sebaliknya, sistem morallah yang mengubah wajah sistem sosial-ekonomi.
Karl Marx mengkritik filosof yang hanya mengkaji saja. Marx berpendirian tidak cukup mengkaji saja, melainkan hasil kajian itu harus dipakai untuk mengubah masa depan. Sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tentang tujuan nasional dalam alinea ke-4, bahwa negara harus melindungi seluruh tumpah darah Indonesia, maka perlu sekali negara menghabisi upaya revolusioner kaum komunis yang ingin mengubah masa depan Indonesia berpedomankan marxisme. Itulah guna dan pentingnya Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966.
Dalam mengkaji masa lalu Abad Pertengahan di kontinen Eropa, Marx melakukan dua kesalahan. Pertama, kesalahan teknis, yaitu kecerobohan generalisasi. Bahwa apa yang terjadi di Eropa di Abad Pertengahan itu Marx mengira berlaku di segala tempat dari dahulu hingga yang akan datang. Kedua, kesalahan prinsipiel, yaitu kekafiran (atheisme), menolak realitas di luar materi. Ada moralitas yang tidak bersumber dari akar sejarah, melainkan bersumber dari wahyu yaitu ajaran akhlaq yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul. Ajaran akhlaq tertinggi adalah taqwa. Ketaqwaan memegang peranan yang sangat penting dalam mengkaji masa lalu. Orang yang berpikiran jernih akan mengatakan bahwa perombakan sistem sosial-ekonomi masyarakat Arab jahiliyah disebabkan oleh ajaran akhlaq dan kemasyarakatan dari Risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW. Ketaqwaan sangatlah perlu dalam mengkaji masa lalu untuk hari esok. Firman Allah SWT dalam ayat yang berikut mengapit perintah mengkaji itu dengan perintah taqwa: YAYHA ALDZYN AMNWA ATQWA ALLH WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD WATQWA ALLH (S. ALHSYR, 18), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manut taquLla-ha waltanzhur nafsum ma- qaddamat lighadiw taquLla-ha (59:18), artinya: Hai orang-orang beriman, taqwalah kepada Allah dan mestilah orang mengkaji masa lalu untuk masa depan, dan taqwalah kepada Allah (s. berkumpul). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 16 April 2000
8 April 2000
[+/-] |
418. Pandangan Marxisme Tentang Sejarah dan Negara |
Dalam tulisan ini dipakai istilah marxis kalau penekanannya pada buah- pikiran, sedangkan komunis, kalau penekanannya sebagai kekuatan sosial politik. Filsafat historische materialisme (buah pikiran Karl Marx yang materialistik dalam menafsirkan sejarah) merupakan paradigma dari seluruh sistem pemikiran Marx. Dengan menjiplak metode dialektika dari Hegel (these, anti-these, synthese), Marx memahamkan proses sejarah sebagai rentetan konflik (antagonism) dalam wujud revolusi di antara dua kelas yang berlawanan (these melawan anti-these). Buah dari revolusi itu menghasilkan kelas baru (synthese), yang ordenya lebih tinggi dari kedua kelas (these dan anti-these) yang selesai tabrakan itu. Demikianlah proses yang dialektis itu berjalan terus. Begitu tumbuh orde sosial-ekonomi yang baru (new emerging force), maka terjadilah pula konflik dengan kelas hasil synthese tadi (old established force). Maka terjadilah pula revolusi, kekuatan baru (anti-these) melabrak kekuatan lama (these) yang berupaya mempertahankan status-quo, oleh karena jika terjadi perubahan sistem-ekonomi tentu saja akan menghapuskan supremasi kelas yang bertahan itu. Marx sama sekali menepis mengenai kemungkinan terjadinya konsiliasi ataupun kompromi dari kedua kelas itu.
Teori pertentangan kelas itu ditimba Marx dari sejarah Abad Pertengahan di Eropah (rentang waktu antara zaman Klasik dengan Renaissance, dari abad ke-5 M., hingga sekitar tahun 1500 M.). Golongan tukang pada waktu itu bertumbuh menjadi kelas saudagar dan industriawan, yang kemudian disebut kelas borjuis lalu menjadi anti-these dari kelas feodal (these) sebagai kelas penguasa. Benturan kelas borjuis dengan kelas feodal tersebut membuahkan synthese berupa kelas kapitalis. Selanjutnya tanpa didukung oleh fakta sejarah Marx berspekulasi menduga bahwa proses dialektis berlanjut terus dengan timbulnya kelas baru, yaitu kelas proletar, sebagai anti-these dari kelas kapitalis. Revolusi kelas proletar itu akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, dan inilah akhir sejarah pertentangan kelas menurut spekulasi Marx. Kemudian Marx berangan-angan lebih lanjut, yaitu masyarakat tanpa kelas ini nanti dapat berjalan tanpa negara, semua orang bekerja sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya. Untuk itu diperlukan waktu antara yang dikendalikan oleh Diktator Proletar. Menurut Marx negara harus bubar, oleh karena negara itu tidak lain dari alat kelas atas untuk menekan kelas bawah, yaitu alat kelas feodal menekan kelas borjuis dan alat kelas kapitalis menekan kelas proletar.
Ada tiga hal yang perlu dikuliti dari pemahaman Marx tersebut.
Pertama, pendapatnya yang menepis akan kemungkinan terjadinya kompromi diantara kelas yang baru tumbuh yang ditekan dengan kelas lama yang menekan. Pada tahun 1689 di Inggris terjadi kompromi antara golongan feodal sebagai kelas penguasa dengan kelas borjuis. Tidak seperti rekannya di daratan Eropa golongan aristokrat di Inggris mempunyai sikap keterbukaan, sehingga dapat mengakomodasikan diri untuk menerima perubahan-perubahan dalam sistem sosial-ekonomi. Maka perubahan sistem sosial-ekonomi dapat berlangsung dengan mulus tanpa tumbangnya dengan sengit kelas penguasa. Di sinilah letak kesalahan Marx, yaitu mengadakan rampatan (generalisasi) dengan hanya melihat di daratan Eropa. (Kecerobohan Marx dengan generalisasi ini tampak pula dalam pandangannya terhadap agama, bahwa agama itu candu bagi rakyat, yang insya-Allah akan dibahas tersendiri dalam sebuah nomor seri).
Kedua, pertentangan kelas antara kaum feodal sebagai kelas penekan dengan kaum borjuis sebagai kelas yang ditekan. Apa sesungguhnya yang terjadi pada Abad Pertengahan di Eropah, kalau disimak dengan teliti, kelas borjuis bukanlah kelas yang ditekan oleh kelas feodal. Pertikaian antara kelas feodal dengan kelas borjuis bukanlah pertikaian antara kelas penekan dengan kelas yang ditekan. Karena sesungguhnya kelas yang ditekan oleh kaum feodal adalah petani yang terikat pada tanah. Kelas petani inilah kelas yang tertekan, baik oleh kelas feodal maupun oleh kelas borjuis, ibarat seekor kelinci yang dijepit dua ekor gajah yang berkelahi. Kedua ekor gajah itu adalah kelas feodal dan kelas borjuis, sedangkan sang kelinci adalah petani.
Ketiga, apakah mungkin terjadi masyarakat tanpa kelas, tanpa negara, yang berjalan seperti arloji otomatis. Masyarakat angan-angan (utopia), tanpa negara, tanpa kelas, orang bekerja sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya yang berjalan seperti arloji otomatis tidak berhasil diwujudkan oleh Diktator Proletar, dengan hancurnya Uni Sovyet. (Arloji otomatis adalah ungkapan pengasuh kolom ini saja, bukan dari Marx). Alhasil konsep Marx yang materialistik dalam menafsirkan sejarah yang menjadi paradigma dari seluruh sistem pemikiran Marx ditolak oleh kenyataan sejarah.
Walaupun teori pertentangan kelas yang berwujud pemberontakan adalah hasil generalisasi yang ceroboh dari Marx, namun kaum komunis sudah menganggapnya doktrin yang dogmatis. Para marxist telah dua kali memberontak di Indonesia, yaitu pemberontakan komunis di Madiun yang dikendalikan dari Uni Sovyet dan pemberontakan Gestapu PKI yang dikendalikan dari RRC. Sungguh kebablasan jika ada pendapat yang ingin memberi kebebasan para kamerad itu atas nama demokrasi dan HAM untuk menyebarkan komunisme. Sebab walaupun kekuatan komunis sukar untuk memberontak kembali, namun sekurang-kurangnya mereka dapat mengecoh masyarakat miskin, lagi pula mereka akan bergerak bebas menanamkan antagonisme dalam masyarakat. Kita sudah cukup dipusingi oleh peristiwa Banyuwangi, Ketapang, Kupang, Sambas, Ambon dan Maluku Utara, yang boleh jadi dicetuskan oleh orang-orang yang terpikat pada teori pertentangan kelas dari Marx. Maka pimpinan MPR tidak perlu mengagendakan peninjauan tentang Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966.
Bagi generasi muda Islam tidak perlu terpikat oleh teori "ilmiyah" pertentangan kelas dari Marx. Ingatlah akan Firman Allah:
-- WTLK ALAYAM NDAWLHA BYN ALNAS (AL 'AMRAN, 140), dibaca: wa tilkal ayya-mu nuda-wiluha- baynan na-s (s. ali 'imra-n), artinya: hari-hari itu Kami gulirkan di antara manusia (3:140). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 8 April 2000
2 April 2000
[+/-] |
417. Marxisme Ibarat Bulan |
Sebermula, perlu diperjelas bahwa dalam tulisan ini dipakai istilah marxis kalau penekanannya pada buah-pikiran, sedangkan komunis, kalau penekanannya sebagai kekuatan sosial. Tatkala memberikan sambutan pada pembukaan Kongres PDIP di Semarang Gus Dur mengatakan antara lain bahwa Pemerintah jangan diperalat untuk melarang komunisme. Sesungguhnya Gus Dur tidak boleh berkata demikian, karena Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 serta UU No.27 thn 1999 menegaskan PKI sebagai partai terlarang, melarang penyebaran ajaran komunisme, leninisme dan marxisme, serta pelanggaran terhadap larangan itu adalah tindak pidana. Maka Pemerintah berkewajiban melarang penyebaran komunisme, leninisme dan marxisme.
Dewasa ini dalam masyarakat telah muncul secara terbuka orang-orang yang bersimpati kepada Karl Marx dan ajaraannya. Katakanlah misalnya dalam wujud tulisan seperti tulisan Mardiadi Amin pada halaman Opini, Harian FAJAR, edisi Kamis, 19 Agustus 1999 yang mengatakan bahawa bukan marxismenya yang rusak melainkan leninisme dan stalinisme. Ini telah saya bantah dalam Seri 387, Ahad 29 Agustus 1998. Demikian pula Suapri Giffari dalam tulisannya yang berjudul: Pesan Karl Marx untuk Gus Dur, dalam Harian FAJAR, edisi Jum'at, 24 Maret 2000. Giffari kebablasan menyanjung Karl Marx sehingga menulis bahwa teori-teori Karl Marx turut memicu Revolusi Perancis. Itupun telah saya koreksi dalam Seri 416, bahwa tidak benar teori-teori Karl Marx turut memicu Revolusi Perancis, sebab Revolusi Perancis lebih dahulu meletus (1789 M.) ketimbang kelahiran Marx (1818 M.).
Sepintas lalu marxisme memang menarik utamanya bagi kaum muda. Siapa yang tidak tertarik, Karl Marx adalah pahlawan kaum proletar. Menurut sejarah kelas proletar dalam zaman Romawi Kuno adalah golongan yang tak berpunya. Istilah proletar ini diadopsi oleh Marx sebagai kelas pekerja yang menjual dirinya (baca: tenaganya) kepada kaum kapitalis. Secara "ilmiyah" Marx dalam Das Kapital menghantam sistem kapitalisme dengan teori nilai-surplus (surplus value). Marx menunjukkan bagaimana jahatnya kaum kapitalis mengisap tenaga kelas pekerja dengan senjata nilai surplus itu. Upah yang diterima buruh sesungguhnya hanya untuk membeli harga tenaga selama misalnya 4 jam saja bekerja, namun kaum pemodal mepekerjakan buruhnya selama 10 jam. Kelebihan yang 6 jam yang dicuri dengan licik dari tenaga buruh itulah yang disebut dengan nilai-surplus. Demikianlah sepintas lalu indahnya teori Karl Marx dalam membela kaum yang lemah.
Namun keindahan teori Marx itu ibarat indahnya bulan purnama yang dilihat dengan mata telanjang. Apabila bulan itu dilihat dengan teropong bintang, maka keindahan bulan itu menjadi lenyap, ibarat wajah gadis yang penuh dengan borok dan bopeng-bopeng, sangat tidak semulus jika dilihat dengan mata telanjang. Marilah kita lihat wajah teori Marx itu dengan teropong. Teori "ilmyah" nilai surplus ini tidak memperhitungkan teknologi. Pupuk hasil jerih payah insinyur kimia dan metode pengolahan lahan dari insinyur pertanian, sebenarnya itulah yang dapat melipat-gandakan hasil perkebunan dan pertanian, ketimbang nilai surplus tenaga buruh perkebunan dan buruh tani. Maka untuk meningkatkan produksi tidak perlu lagi mencuri sekian jam dari tenaga pekerja. Lagi pula seperti kita lihat dewasa ini di negara-negara kapitalis tidak sebagaimana persepsi Karl Marx yang menuduh negara adalah alat untuk melindungi pemodal dalam memeras buruh dengan peluru nilai surplus. (Ini akan diulas tersendiri insya Allah dalam sebuah nomor seri). Terlebih pula antagonisme antara pemodal dengan buruh di beberapa tempat tidak terjadi lagi, berhubung para buruh mempunyai pula saham dalam perusahan tempatnya bekerja. Bahkan beberapa pekerja Turki yang memburuh di Eropah Barat kembali ke negerinya dan secara patungan membangun pabrik. Ini namanya kemanunggalan majikan dengan buruh. Alhasil teori nilai surplus sudah ketinggalan zaman.
Namun di mana-mana utamanya di negeri-negeri miskin, termasuk di Indonesia, kejahatan kaum kapitalis dengan peluru nilai-surplusnya menurut visi Marx itu, masih dipakai orang komunis dalam agitasi dan propaganda untuk menarik kaum muda yang jiwanya masih berapi-api untuk berevolusi. Bahkan waktu pertama kalinya marxisme diperkenalkan di Indonesia tahun dua puluhan, tokoh-tokoh Islam seperti almarhum Haji Oemar Said Tjokroaminoto dapat pula terkecoh oleh propaganda kaum marxis ini, sehingga Syarikat Islam dapat disusupi kaum komunis.
Demikianlah ibarat melihat bulan dengan mata telanjang, marxisme indah dipandang mata. Sehingga ada beberapa di antara generasi muda Islam yang terbius oleh agitasi dan propaganda penyebar marxisme. Mereka itu terbius karena hanya mengenal marxisme dari kulitnya saja. Mereka itu terkecoh ibarat terkecoh melihat bulan purnama dengan mata telanjang sehingga bulan terkesan halus dan mulus. Mereka itu mudah dibius, oleh karena misi marxisme membela kaum proletar, seperti cahaya bulan purnama yang indah (baca: yang mereka pelajari dari "kulit" marxisme), seirama dengan Risalah yang dibawakan Nabi Muhammad RasuluLlah SAW:
-- ARaYT ALDZY YKDZB BALDYN. FDZLK ALDZY YD'A ALYTYM. WLA YHDH 'ALY TH'AAM ALMSKYN. FWYL LLMSHLYN. ALDZYN HM 'AN SHLATHM SAHWN. ALDZYN HM YRA^WN. WYMN'AWN ALMA'AWN (S. ALMA'AWN, 1-7), dibaca: Araaytal ladzi- yukadzdzibu biddi-n. Fadza-likal ladzi- yadu''ul yati-m. Wala- yahudhdhu 'ala- tha'a-mil miski-n. Fawaylul lilmushalli-n. Alladzi-na hum 'an shala-tihim sa-hu-n. Alladzi-na hum yura-u-n. Wayamna'u-nal ma-'u-n (106:1-7), artinya: Apakah engkau tahu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah mereka yang mengusir anak yatim. Dan tiada menyuruh memberi makan orang-orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang lalai dengan shalatnya. Yaitu mereka yang suka berpenampilan. Dan enggan memberikan benda-benda perkakas (s. benda-benda perkakas).
Insya Allah dalam seri-seri berikutnya pengasuh kolom ini akan menguliti marxisme, ibarat Neil Armstrong yang menjejakkan kakinya di bulan, yaitu pandangan marxisme terhadap sejarah, negara, moral dan agama. Tulisan berseri tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan betapa pentingnya Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 itu dipertahankan. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b
*** Makassar, 2 April 2000