2 April 2000

417. Marxisme Ibarat Bulan

Sebermula, perlu diperjelas bahwa dalam tulisan ini dipakai istilah marxis kalau penekanannya pada buah-pikiran, sedangkan komunis, kalau penekanannya sebagai kekuatan sosial. Tatkala memberikan sambutan pada pembukaan Kongres PDIP di Semarang Gus Dur mengatakan antara lain bahwa Pemerintah jangan diperalat untuk melarang komunisme. Sesungguhnya Gus Dur tidak boleh berkata demikian, karena Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 serta UU No.27 thn 1999 menegaskan PKI sebagai partai terlarang, melarang penyebaran ajaran komunisme, leninisme dan marxisme, serta pelanggaran terhadap larangan itu adalah tindak pidana. Maka Pemerintah berkewajiban melarang penyebaran komunisme, leninisme dan marxisme.

Dewasa ini dalam masyarakat telah muncul secara terbuka orang-orang yang bersimpati kepada Karl Marx dan ajaraannya. Katakanlah misalnya dalam wujud tulisan seperti tulisan Mardiadi Amin pada halaman Opini, Harian FAJAR, edisi Kamis, 19 Agustus 1999 yang mengatakan bahawa bukan marxismenya yang rusak melainkan leninisme dan stalinisme. Ini telah saya bantah dalam Seri 387, Ahad 29 Agustus 1998. Demikian pula Suapri Giffari dalam tulisannya yang berjudul: Pesan Karl Marx untuk Gus Dur, dalam Harian FAJAR, edisi Jum'at, 24 Maret 2000. Giffari kebablasan menyanjung Karl Marx sehingga menulis bahwa teori-teori Karl Marx turut memicu Revolusi Perancis. Itupun telah saya koreksi dalam Seri 416, bahwa tidak benar teori-teori Karl Marx turut memicu Revolusi Perancis, sebab Revolusi Perancis lebih dahulu meletus (1789 M.) ketimbang kelahiran Marx (1818 M.).

Sepintas lalu marxisme memang menarik utamanya bagi kaum muda. Siapa yang tidak tertarik, Karl Marx adalah pahlawan kaum proletar. Menurut sejarah kelas proletar dalam zaman Romawi Kuno adalah golongan yang tak berpunya. Istilah proletar ini diadopsi oleh Marx sebagai kelas pekerja yang menjual dirinya (baca: tenaganya) kepada kaum kapitalis. Secara "ilmiyah" Marx dalam Das Kapital menghantam sistem kapitalisme dengan teori nilai-surplus (surplus value). Marx menunjukkan bagaimana jahatnya kaum kapitalis mengisap tenaga kelas pekerja dengan senjata nilai surplus itu. Upah yang diterima buruh sesungguhnya hanya untuk membeli harga tenaga selama misalnya 4 jam saja bekerja, namun kaum pemodal mepekerjakan buruhnya selama 10 jam. Kelebihan yang 6 jam yang dicuri dengan licik dari tenaga buruh itulah yang disebut dengan nilai-surplus. Demikianlah sepintas lalu indahnya teori Karl Marx dalam membela kaum yang lemah.

Namun keindahan teori Marx itu ibarat indahnya bulan purnama yang dilihat dengan mata telanjang. Apabila bulan itu dilihat dengan teropong bintang, maka keindahan bulan itu menjadi lenyap, ibarat wajah gadis yang penuh dengan borok dan bopeng-bopeng, sangat tidak semulus jika dilihat dengan mata telanjang. Marilah kita lihat wajah teori Marx itu dengan teropong. Teori "ilmyah" nilai surplus ini tidak memperhitungkan teknologi. Pupuk hasil jerih payah insinyur kimia dan metode pengolahan lahan dari insinyur pertanian, sebenarnya itulah yang dapat melipat-gandakan hasil perkebunan dan pertanian, ketimbang nilai surplus tenaga buruh perkebunan dan buruh tani. Maka untuk meningkatkan produksi tidak perlu lagi mencuri sekian jam dari tenaga pekerja. Lagi pula seperti kita lihat dewasa ini di negara-negara kapitalis tidak sebagaimana persepsi Karl Marx yang menuduh negara adalah alat untuk melindungi pemodal dalam memeras buruh dengan peluru nilai surplus. (Ini akan diulas tersendiri insya Allah dalam sebuah nomor seri). Terlebih pula antagonisme antara pemodal dengan buruh di beberapa tempat tidak terjadi lagi, berhubung para buruh mempunyai pula saham dalam perusahan tempatnya bekerja. Bahkan beberapa pekerja Turki yang memburuh di Eropah Barat kembali ke negerinya dan secara patungan membangun pabrik. Ini namanya kemanunggalan majikan dengan buruh. Alhasil teori nilai surplus sudah ketinggalan zaman.

Namun di mana-mana utamanya di negeri-negeri miskin, termasuk di Indonesia, kejahatan kaum kapitalis dengan peluru nilai-surplusnya menurut visi Marx itu, masih dipakai orang komunis dalam agitasi dan propaganda untuk menarik kaum muda yang jiwanya masih berapi-api untuk berevolusi. Bahkan waktu pertama kalinya marxisme diperkenalkan di Indonesia tahun dua puluhan, tokoh-tokoh Islam seperti almarhum Haji Oemar Said Tjokroaminoto dapat pula terkecoh oleh propaganda kaum marxis ini, sehingga Syarikat Islam dapat disusupi kaum komunis.

Demikianlah ibarat melihat bulan dengan mata telanjang, marxisme indah dipandang mata. Sehingga ada beberapa di antara generasi muda Islam yang terbius oleh agitasi dan propaganda penyebar marxisme. Mereka itu terbius karena hanya mengenal marxisme dari kulitnya saja. Mereka itu terkecoh ibarat terkecoh melihat bulan purnama dengan mata telanjang sehingga bulan terkesan halus dan mulus. Mereka itu mudah dibius, oleh karena misi marxisme membela kaum proletar, seperti cahaya bulan purnama yang indah (baca: yang mereka pelajari dari "kulit" marxisme), seirama dengan Risalah yang dibawakan Nabi Muhammad RasuluLlah SAW:
-- ARaYT ALDZY YKDZB BALDYN. FDZLK ALDZY YD'A ALYTYM. WLA YHDH 'ALY TH'AAM ALMSKYN. FWYL LLMSHLYN. ALDZYN HM 'AN SHLATHM SAHWN. ALDZYN HM YRA^WN. WYMN'AWN ALMA'AWN (S. ALMA'AWN, 1-7), dibaca: Araaytal ladzi- yukadzdzibu biddi-n. Fadza-likal ladzi- yadu''ul yati-m. Wala- yahudhdhu 'ala- tha'a-mil miski-n. Fawaylul lilmushalli-n. Alladzi-na hum 'an shala-tihim sa-hu-n. Alladzi-na hum yura-u-n. Wayamna'u-nal ma-'u-n (106:1-7), artinya: Apakah engkau tahu orang-orang yang mendustakan agama? Itulah mereka yang mengusir anak yatim. Dan tiada menyuruh memberi makan orang-orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang lalai dengan shalatnya. Yaitu mereka yang suka berpenampilan. Dan enggan memberikan benda-benda perkakas (s. benda-benda perkakas).

Insya Allah dalam seri-seri berikutnya pengasuh kolom ini akan menguliti marxisme, ibarat Neil Armstrong yang menjejakkan kakinya di bulan, yaitu pandangan marxisme terhadap sejarah, negara, moral dan agama. Tulisan berseri tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan betapa pentingnya Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966 itu dipertahankan. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b

*** Makassar, 2 April 2000