"Pembakaran buku Franz hanya satu simbol. Seluruh buku komunis harus dimusnahkan, sebab meracuni generasi muda," ujar HM Suaib D, Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam (GPI) kepada pers. GPI adalah salah satu di antara 33 ormas pendukung Aliansi Anti Komunis (AAK). Yang dimaksud dengan buku Franz adalah buku berjudul Pemikiran Karl Marx oleh Franz Magnis Suseno. Ratna Srumpaet yang mewakili Aliansi untuk Kemerdekaan Berpikir dan Bersuara (AKBB) menyahut: "Iqra, bacalah, bukan bakarlah!" Hai, Ratna, jangan memotong ayat. Lengkapnya Firman Allah (demi keotentikan transliterasi huruf demi huruf):
-- AQRA^ BASM RBK ALDZY KHLQ (S. AL 'ALQ, 1), dibaca: Iqra' bismi rabbikal ladzi- khalaq (s. al 'alaq), artinya: Bacalah atas nama Maha Pemeliharamu Yang mencipta (96:1).
Apakah masuk dalam logika sehat, para remaja dan mahasiswa Muslim disuruh atas nama Allah Yang Maha Pemelihara Maha Pencipta untuk membaca buku-buku beraliran kiri yang berlandaskan paradigma atheisme historische materialisme, hai Sarumpaet? Sekali lagi kami ingatkan, jangan mengelabui para remaja dan mahasiswa Muslim dengan menjual ayat secara memotong ayat, hai Sarumpaet!
AAK berjanji akan menyisir dan membakar buku-buku kiri pada Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2001. Penyisiran dan pembakaran itu tidak jadi dilaksanakan, bukan karena Pemerintah melarang sweeping buku kiri. "Gertakan yang serius" dari AAK berhasil menciutkan nyali pemilik toko buku yang berorientasi pada pertimbangan ekonomis. Para pemilik toko buku tidak berani mengambil risiko, sehingga mengembalikan buku-buku kiri kepada penerbitnya sebelum 20 Mei.
***
Bertebarnya buku-buku marxisme pada hakekatnya tidak terpisahkan dari gerilya politik yang dilancarkan oleh komunis gaya-baru. Buku-buku aliran kiri itu sangat bermanfaat bagi gerakan komunis gaya baru tersebut dalam upaya menjaring para remaja dan mahasiswa Muslim untuk dibina melalui diskusi sehingga para remaja dan mahasiswa Muslim itu tanpa sadar menjadi pion-pion orang-orang komunis, karena mereka telah diberi suntikan "narkoba" marxisme sehingga terbius. Beberapa mahasiswa saya di Universitas Muslim Indonesia menjadi simpatisan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dari bacaan-bacaan yang dibacanya dan dari diskusi-diskusi yang diikutinya. Mereka menyangka seorang marxist dapat saja menjadi Muslim yang baik. Bahkan Drs H. Abdurrahman, seorang dosen senior IAIN, mengakatakan dalam sebuah forum mubahatsah, bahwa tidak kurang dari mahasiswa-mahasiswanya adalah simpatisan PRD yang menyangka bahwa marxisme itu sangat Islami. Di Jakarta onderbouw dari PRD yaitu Forum Kota (Forkot) dan Front Aksi Mahasiswa dan Rakyat Untuk Demokrasi (Famred), berbasis massa di IAIN.
Cerita lama berulang kembali. Riwayatmu dulu (meminjam ungkapan Gesang dalam Bengawan Solo), Alimin, yang orang tuanya Muslim yang baik, sejak umur 16 tahun "dicuri" dari orang tuanya dikirim ke Rusia ditempa menjadi kader komunis. Pulang ke Indonesia menjadi benggolan komunis yang menyusup ke dalam Syarikat Islamnya Allahu yarham HOS Tjokroaminoto. Riwayatmu ini (juga meminjam dari Gesang), Budiman Sudjatmiko, yang orang tuanya Muslim taat di Bogor menjadi Ketua PRD dan Faisal Reza, yang kemanakan Tosari Wijaya, menjadi Sekjen PRD, merupakan reklame yang baik sekali untuk memikat para remaja dan mahasiswa Muslim dengan slogan palsu: "Seorang marxist dapat saja menjadi Muslim yang baik, dan marxisme itu sangat Islami."
Agar para remaja, mahasiswa dan buruh Muslim dapat menjaga diri tidak kena suntik narkoba marxisme oleh gerilya politik komunis gaya-baru, maka di samping PRD, Famred dan Forkot yang telah disebutkan di atas, perlu mengetahui pula ormas-ormas yang sejenisnya: Liga Mahasiswa Untuk Demokrasi (LMUD), Komite Buruh Aksi untuk Reformasi (Kobar), Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI). Agitasi yang dilancarkan mereka berselubung ataupun bertopengkan memperjuangkan demokrasi, HAM dan membela kaum buruh.
***
UUD 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka berkatalah Tri Agus, koordinator AKBB: "Bagaimana bangsa ini mau cerdas kalau bukunya dibakar". Bangsa ini akan tetap dapat dibuat cerdas tanpa peredaran buku-buku kiri, hai Agus. Bahkan tunas bangsa harus dilindungi dari racun atheisme yang ditebarkan oleh buku-buku kiri. UUD mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Terhadap racun atheisme Tap MPRS No.XXV/MPRS/1966, yang dikukuhkan oleh Tap MPR No.V/MPR/1973, mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melarang penyebaran ajaran komunisme, leninisme dan marxisme. Lagi pula UU No.27 thn 1999 menegaskan pelanggaran terhadap larangan itu adalah tindak pidana. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 27 Mei 2001
27 Mei 2001
[+/-] |
476. Lindungilah Tunas Bangsa dari Marxisme |
20 Mei 2001
[+/-] |
475. Penangkapan yang Berbau Politis, dan UUD 1945 versus KUHP |
Dalam surat penangkapan yang ditandatangani oleh Direktur Pidana Tertentu Korps Reserse Polri, Brigjen (Pol) Aryanto Sutadi, MSc., ustadz Ja'far Umar Thalib (ust.JUT) diduga keras melakukan tindak pidana mengeluarkan perasaan permusuhan terhadap suatu agama sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 a KUHP, dan melakukan tindak pidana melakukan penganiayaan dan pembunuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 340 KUHP jo. Psl 355 (1) dan (2) KUHP jo. Psl 55 KUHP.
Penangkapan ust.JUT sangat kental berbau politis. Mengapa? Apabila betul-betul penangkapan ust.JUT murni yuridis dalam kaitannya dengan pelanggaran terhadap pasal-pasal KUHP seperti yang diperinci di atas, mengapa baru ditangkap pada hari Jum'at 4 Mei 2001, padahal peristiwa pelaksanaan ibadah Abdullah dilaksanakan secara terbuka dan telah lama berlangsung, yaitu pada hari Selasa, 27 Maret 2001, pukul 16.00 WIT. Artinya Polisi tidak mengalami kesukaran serta tidak membutuhkan waktu selama itu untuk mengadakan penyelidikan. Alhasil, sukar disangkal bahwa dalam hal penangkapan ust.JUT, sangatlah kental berbau politis, karena penangkapan ust.JUT mendahului perintah Kapolri Jend. S.Bimantoro agar segera menangkap tokoh-tokoh FKM antara lain: Hamidi Stania (Wakil Sekjen FKM), Hengki Manihutu (Sekjen FKM), W.Tamael Wattimena, Lois Risakota (perwakilan FKM Jakarta). Maka terasa di hati nurani dan diperkuat oleh pemikiran rasional, ada benang merah antara penangkapan ust.JUT dengan tuntutan massa pendukung separatis RMS/FKM ke Mapolda Ambon. (Ketika Alex Manuputty baru saja ditahan di Mapolda pada hari Senin 30 April 2001, karena mengibarkan bendera RMS pada hari Rabu 25 April 2001, tak berselang berapa lama, datanglah massa pendukung RMS/FKM ke Mapolda dengan aspirasi antara lain bahwa seharusnya Polisi terlebih dahulu melakukan penegakan hukum terhadap Laskar Jihad). Itulah dia maka dikatakan penangkapan ust.JUT sangat berbau politis!
***
Allah SWT adalah ArRahman dan ArRahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dalam konteks ini ayat-ayat Al Quran bernada sejuk dan lembut. Allah SWT adalah Al Qahhar, Maha Gagah Perkasa. Dalam konteks ini ayat-ayat Al Quran bernada keras, seperti contoh ayat yang berikut (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf):
-- QATLWHM Y'ADZBHM ALLH BAYDYKM WYKHZHM (S. ALTWBT, 14), dibaca: qa-tilu-hum yu'adzdzibhumuLla-hu biaydi-kum wayukhzihim (s. attawbah), artinya: Perangilah mereka itu niscaya Allah menyiksa mereka dengan tanganmu, dan menghinakan mereka (9:14). Ayat ini ditujukan kepada para agressor yang memusuhi ummat Islam, seperti kasus pembantaian ummat Islam di Ambon pada awal kerusuhan Idul Fitri Berdarah 19 Januari 1999. Semua ekspresi ust.JUT yang bernada keras, yang oleh polisi ditafsirkan sebagai melakukan tindak pidana mengeluarkan perasaan permusuhan terhadap suatu agama, sesungguhnya adalah merupakan jawaban atas tindakan kristen Maluku yang telah membantai warga Muslim pada awal kerusuhan Idul Fitri Berdarah, 19 Januari 1999 tersebut.
Sangatlah tidak adil rasanya Polisi mencap ust.JUT melakukan tindak pidana mengeluarkan perasaan permusuhan terhadap suatu agama. Semestinya Polisi berterima kasih kepada ust.JUT yang telah berhasil menghambat laju gerakan separatis RMS/FKM pada awal-awal kerusuhan, yang pada waktu itu Polisi kewalahan menghadapi para perusuh separatis RMS/FKM yang sangat bringas menyerang aparat keamanan. Untunglah saat itu dengan kekuasaan Allah SWT, ust.JUT dengan Laskar Jihadnya dapat membantu aparat keamanan menghadapi perusuh separatis RMS/FKM itu.
Pelaksanaan hukum rajam adalah atas kehendak Abdullah sendiri, itu adalah merupakan ibadah bagi Abdullah. Pelaksanaan ibadah Abdullah ini tidak mungkin dapat dikerjakan oleh Abdullah sendiri, melainkan harus dilaksanakan dengan bantuan kaum Muslimin. Pelaksanaan yang berkaitan dengan itu tidak hanya ditentukan atau diputuskan oleh ust.JUT dan Laskar Jihad saja melainkan atas kesepakatan kaum Muslimin yang ada di desa Ahuru, kodya Ambon. UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 menyatakan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamnya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Pelaksanaan ibadah Abdullah yang meminta dirinya dihukum rajam, itulah yang ditafsirkan oleh polisi sebagai ust.JUT melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal KUHP seperti yang diperinci di atas. Padahal diktum "beribadah menurut agamanya" dalam UUD psl.29 (2), terkhusus beribadah menurut agama Islam, adalah melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya. Inilah dilemma hukum yang menimpa ust.JUT, yang tidak melanggar konstitusi (baca: UUD 1945), namun dikatakan melanggar KUHP. Ingatlah, UUD 1945 dua tingkat lebih tinggi di atas KUHP.
***
Kami ingin mengetuk hati nurani penegak hukum dengan pertanyaan berikut: Mengapa Polisi belum (atau tidak?) berhasil menangkap dalang yang biadab dari akar kerusuhan Idul Fitri Berdarah 19 Januari 1999, yang jelas dapat ditelusuri di antara tokoh-tokoh separatis penggerak RMS/FKM, yang mengibarkan bendera RMS di Gunung Nona dan Kudamati pada 18 Januari 1999, sehari sebelum hari pembantaian Idul Fitri Berdarah?! Kasus ust.JUT sangatlah kecil ketimbang dalang biadab perusuh Idul Fitri Berdarah tersebut, yang belum (atau tidak?) berhasil diungkap Polisi hingga kini. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 20 Mei 2001
13 Mei 2001
[+/-] |
474. Syari'at Islam di Aceh, PDIP Tidak Mendukung Apa Mendukung? |
PDIP menolak pemberlakuan Syari'at Islam dalam RUU Nanggroe Aceh Darusslam yang kini sedang dibahas dalam Pansus DPR. Demikian ditegaskan Sutjipto, Sekjen yang juga ketua fraksi PDIP di MPR, setelah menghadiri rapat tertutup PDIP yang dipimpin Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. RUU Nanggroe Aceh merupakan salah satu fokus utama pembahasan dalam rapat tertutup itu. Syari'at Islam di bumi Serambi Mekah itu tidak sesuai dengan Pancasila dasar negara dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau ada permasalahan fundamental, seperti Syari'at Islam maupun referendum, harus menyertakan seluruh rakyat Indonesia. Ini kemudian dibantah oleh Ketua DPP PDIP Roy BB Janis, bahwa PDIP mendukung pelaksanaan Syari'at Islam di Aceh. Namun jangan sampai pelaksanaan Syari'at Islam itu kontra-produktif dengan NKRI.
Logika apa yang dipakai PDIP (versi Sutjipto) sehingga masih menuntut lagi, bahwa permasalahan Syari'at Islam di Aceh harus menyertakan seluruh rakyat Indonesia? Apakah PDIP (versi Sutjipto) menyangka bahwa para anggota DPR (termasuk anggota DPR dari PDIP sendiri) itu bukan wakil rakyat Indonesia? Bukankah pemberlakuan Syari'at Islam dalam RUU Nanggroe Aceh Darusslam yang sedang dibahas oleh Pansus itu, kemudian akan dikemukakan dalam Sidang Paripurna? Apakah proses itu tidak menyertakan seluruh rakyat Indonesia? Dan bukankah pula keputusan pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh itu sudah disahkan dalam UU No.24 tahun 2000? Dan itu berarti telah menyertakan seluruh rakyat Indonesia, hai Sutjipto. Terlepas dari PDIP tidak mendukung (versi Sucipto) atau mendukung (versi Roy), saya terpanggil untuk menyambut rasa ketidak ikhlasan PDIP, karena curiga bahwa Syari'at Islam akan kontra-produktif dengan dasar negara dan NKRI.
***
Pancasila dasar negara? Itu baru wacana bahasan akademis, bagi yang tidak mensakralkan Pancasila. Mengapa? Memang dalam alinea ke-4 UUD 1945 dikatakan: "yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, dst. hingga: serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." Alinea ke-4 ini tidak bicara tentang Pancasila, sebab "serta dengan mewujudkan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia", adalah tujuan yang hendak dicapai oleh ke-4 sila sebelumnya. Jadi menurut alinea ke-4 ini hanyalah Empat Sila, bukan Lima Sila. Lagi pula dalam Bab XI, psl 29 ayat (1) dikatakan: Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Adalah hak semua agama di Indonesia untuk memahamkan Tuhan Yang Maha Esa menurut theologinya masing-masing. Allah SWT berfirman (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf):
-- FAMNWAaMNWA BALLH WRSLH WLA TQWLWA TSLATS (S. ALNSA^, 171), dibaca: Fa.a-minu- billa-hi warusulihi- wala- taqu-lu- tsa-litsun (s. annisa-u), artinya: Maka berimanlah kamu sekalian kepada Allah dan Rasul-RasullNya, dan janganlah berkata: tsa-lits (4:171). Yang dimaksud dengan tsalits adalah trinitas (Bapak-Anak-Ruh suci), ataupun trimurti (Brahma-Wisynu-Syiwa). Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara, itu sangat sesuai dengan Syari'at Islam, karena ungkapan Maha Esa bukanlah sepertiga + sepertiga + sepertiga. Alhasil, pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh tidaklah melanggar konstitusi, sehingga PDIP tidak perlu curiga bahwa Syari'at Islam akan kontra-produktif dengan dasar negara dan NKRI.
***
Andi Alfian Mallarangeng, pakar muda kita, yang diorbitkan kepopulerannya melampaui pakar-pakar lain oleh publikasi media bertayang, tiga kali saya mendengar melalui tayangan layar kaca Alfian juga menolak pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh dengan alasan keseragaman. Itukan cara berpikir Orde Baru yang berparadigma "keseragaman", yang lebih menekankan tunggal ikanya, ketimbang bhinnekanya. Terlepas dari sikap kontra versus pro kepada Gus Dur sebagai Presiden, saya setuju dengan apa yang dikemukakan oleh Gus Dur di depan ummat Buddha yang merayakan Waisak ke-2545 di Hall Badminton Gelora Bung Karno malam Selasa ybl. Gus Dur sempat mengemukakan tentang negara Cina, satu negara, dua sistem: Cina daratan sistem komunis, Hongkong sistem liberal. Contoh yang dikemukakan Gus Dur itu tepat sekali. Sedangkan negara Cina yang komunis otoriter masih toleran kepada sistem liberal-kapitalis di Hongkong, yang nota bene kedua sistem itu sangat bertentangan, maka betapa pula di Republik Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini, PDIP (versi Sutjipto) menolak pemberlakuan Syari'at Islam di Aceh, padahal Ketuhanan Yang Maha Esa itu sangat sesuai dengan Syari'at Islam. Selanjutnya Gus Dur berkata pula: "Indonesia yang sangat luas dari Sabang sampai Merauke, dengan berbagai bahasa dan adat-istiadat, tentu saja sangat wajar, kalau hukum yang digunakan berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain." Apa yang dikatakan Gus Dur itu benar sekali, karena dalam pandangan masyarakat Aceh, pelaksanaan Syari'at Islam itu akan mengembalikan adat istiadat dan jati diri masyarakat Aceh, seperti halnya dengan masyarakat Bugis-Makassar. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 13 Mei 2001
6 Mei 2001
[+/-] |
473. Malahayati, RA Kartini, Publikasi dan Imajinasi Chusnul Mariyah |
Malahayati, jelas itu nama perempuan. Siapa dia? Tidak begitu dikenal umum. Mengapa? Hampir tidak pernah dipublikasikan melalui media bertulis maupun media bertayang. Saya yakin bahwa banyak di antara pembaca yang baru membaca namanya pada judul di atas. Malahayati hanya dikenal dalam lingkuangan terbatas, yaitu di Perhubungan Laut dan di TNI Angkatan Laut. Malahayati adalah nama sebuah kapal perang RI. Dalam kalangan sipil hanya dikenal sebatas Perhubungan Laut, yaitu nama sebuah pelabuhan di Aceh (jarang sekali termaktub dalam peta, jadi hanya dikenal sebatas oleh kalangan masyarakat Aceh saja).
RA Kartini, siapa yang tidak kenal! Mengapa? Karena buah pikirannya berupa surat-surat yang dikirim kepada Ny. Abendanon di negeri Belanda tersebar oleh publikasi. Bahkan setiap 21 April diekspos oleh media bertulis maupun media bertayang, sering diiringi pula publikasi melalui media bernada: "Raden Ajeng Kartini puteri sejati. Putri Indonesia harum namanya.
Imajinasi Chusnul Maria, apa itu? Chusnul Mariyah memberikan komentar (baca: imajinasi) tentang RUU Daerah Istimewa Nanggroe Aceh Darussalam yang memberlakukan Syari'at Islam. Bagaimana bunyi imajinasi itu? Bacalah The Jakarta Post, April 27, 2001. Begini bunyinya: "Experts warned House of Representatives legislators on Thursday of constitutional offenses resulting from the adoption of special autonomy status in Aceh, based on a bill currently being deliberated by the lawmakers. Chusnul criticized the possibility of implementing Islamic Law in the province, saying many problems would arise as a result. 'I am not against Islamic law, but we have to admit that such a law could lead to violence against women, who make up 75 percent of the whole Acehnese population,' Chusnul said."
Demikianlah imajinasi Chusnul. Saya berani mengatakan imajinasi oleh karena pernyataan itu tidak bertumpu di atas Nash, yaitu Al Quran dan Al Hadits, dan juga tidak bertopang pada dunia empiris Kerajaan Aceh yang memberlakukan Syari'at Islam, sebelum penjajahan Belanda. (Perlawanan Aceh terhadap Belanda baru berakhir tahun 1937). Patut diduga (meminjam ungkapan Memo I) bahwa sungguh-sungguh (meminjam ungkapan Tap MPR) Chusnul menyangka bahwa "filosofi" media nada Sabda Alam: "Wanita dijajah pria sejak dulu" berasal dari Syari'at Islam. Maka ia berkata: "Saya tidak menetang Syari'at Islam, namun kita harus mengakui bahwa Syari'ah itu dapat menggiring ke arah kekerasan terhadap perempuan, yang meliputi 75% dari seluruh penduduk Aceh." Sudah sangat sering dipublikasikan bahwa menurut Nash, perempuan sangatlah dilindungi oleh Syari'ah. Oleh sebab itu akan dikemukakan dari segi empirisnya saja, seperti di bawah ini.
***
Kerajaan Aceh dikenal dengan nama Samudra oleh Marco Polo, yang mengunjungi negeri itu dalam tahun 1292. Padahal Samudra hanyalah nama salah satu dari enam buah pelabuhan-niaga di bagian utara Kerajaan Aceh. Dari kata Samudra inilah berasal nama Sumatera. Pada tahun 1586, armada Angkatan Laut Kerajaan Aceh, yang panglimanya adalah seorang perempuan, yaitu Laksamana Malahayati menjerang Portugis di Malaka dengan kekuatan yang terdiri dari 500 buah kapal perang dengan 60,000 "marinir". (Seperti diketahui Malaka diduduki oleh Portugis sejak tahun 1511). Laksamana Malahayati tercatat pula memimpin perang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599. Dalam buku "Vrouwelijke Admiral Malahayati", penulis wanita Belanda Marie van Zuchtelen menyebutkan bahwa armada ini terdiri dari sekitar 2000 prajurit perempuan yang gagah, tangkas dan berani, yang terdiri dari janda-janda (inong bale) pahlawan yang telah tewas.
Pada permulaan abad ke-20 tercatat dua pahlawan perempuan dari Kerajaan Aceh, yaitu Cut Nyak Din dan Cut Meutia. Sangatlah picik horison pengethuaannya kalau masih ada yang tidak kenal Cut Nyak Din.(*) Eros Djarot telah memperkenalkannya melalui film berjudul Cut Nyak Din. Akan halnya Cut Meutia, boleh jadi masih banyak yang belum pernah mendengar namanya. Ironis memang, bahwa Exxon Mobil Corp. yang mengolah gas alam (dari sumur-sumur gas alam di daerah Arun) menjadi gas alam dicairkan (liquefied natural-gas, LNG) jauh lebih dikenal dari Cut Meutia. Padahal daerah Arun ini menjadi medan tempur perlawanan gerilya Aceh terhadap Belanda pada permulaan abad ke-20. Di daerah Arun inilah Cut Meutia syahid dalam perang bersosoh dengan tentera Belanda rencong versus pedang, disaksikan dari atas dahan pohon oleh Teuku Raja Sabi, putera Cut Meutia yang masih bocah. Teuku Raja Sabi di bawah bimbingan ayah tirinya, Pang Nanggroe, meneruskan perlawanan gerilya hingga tahun 1937. Di Arun inilah berdiri rumah panggung Cut Meutia yang menjadi obyek wisata sejarah. Mudah-mudahan rumah panggung itu masih berdiri hingga dewasa ini.
Dari dunia empiris Kerajaan Aceh tersebut menunjukkan bahwa Syari'at Islam memberikan hak yang sama, tak terkecuali hak untuk mendapatkan pendidikan, kepada laki-laki dan perempuan, alhasil tidak ada masalah gender. Perempuanpun dapat menjadi Panglima Angkatan Laut, pemimpin gerilya, jika ia terdidik dan kapabel untuk itu, seperti halnya dengan Malahayati, Cut Nyak Din dan Cut Meutia. Maka ucapan Chusnul di The Jakarta Port itu sungguh-sungguh imajinasi.
***
Firman Allah SWT (demi keotentikan, transliterasi huruf demi huruf):
-- A'ADLWA HW AQRB LLTQWY (S. ALMA^DT, 8), dibaca: I'dilu- huwa aqrabu littaqwa- (s. alma-idah), artinya: Berlaku adillah, (adil) itu lebih dekat kepada taqwa (5:8). Dalam konteks ini publikasi informasi diperintahkan Allah SWT supaya adil merata. Pahlawan perempuan, pendekar bangsa tidak hanya sebatas di Jawa saja, dalam arti di samping RA Kartini yang mulia harum namanya, pendekar bangsa, haruslah pula marak dipublikasikan pahlawan-pahlawan perempuan di luar Jawa. Keadilan bukan hanya dalam pembagian rezeki antara pusat dengan daerah, akan tetapi juga dalam hal martabat dan kemuliaan. WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.
*** Makassar, 6 Mei 2001
-----------------------------
(*)
Dalam film itu tidak muncul nama Cut Meurah Gambang, anak Cut Nyak Dhien, yang meneruskan jihad melawan Belanda.