Sayang sekali saya tidak dapat menghadiri Temu Kaji Intensif Islam dan Masa Depan yang diselenggarakan oleh KAHMI yang bekerjasama dengan MUI Sulawesi Selatan pada hari Sabtu dan Ahad, tanggal 18 dan 19 Juni 1994, bertempat di Gedung Harian Fajar, lantai III, jalan Racing Center. Namun walaupun saya tidak sempat menghadiri Temu Kaji tersebut, saya menyempatkan diri untuk turut urun rembug.
Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluk lain di atas bumi ini. Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik kejadian, fiy Ahsani Taqwiym. Karena manusia mempunyai ruh ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme, akal manusia dapat merenung. Ilmu adalah hasil olah akal. Ilmu eksakta/non eksakta, ilmu filsafat adalah hasil pemikiran otak. Ilmu tasawuf adalah hasil renungan qalbu. Karena judul di atas berhubungan dengan pemikiran, maka selanjutnya olah akal itu hanya akan difokuskan pada pemikiran.
Seperti telah dijelaskan dalam Seri 001, kemampuan akal untuk berpikir bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya, ia perlu mendapatkan informasi. Mutu hasil berpikir akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya melalui pintu-pintu masuk ke dalam dirinya yaitu pancaindera. Hasil pemikiran anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya. Jadi akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan akalnya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan jenis informasi yang diperolehnya. Dengan demikian akan relatif juga baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk menimbang baik buruknya sesuatu. Demikian pula akal hanya terbatas untuk memikirkan obyek yang nyata yaitu alam syahadah, karena alam gaib tak dapat dideteksi oleh pancainderanya.
Sungguhpun manusia telah mendapatkan kekuatan istimewa yang berupa akal itu, tetapi karena akal manusia dibatasi oleh kemampuannya memperoleh informasi dari alam syahadah sebagai sumber informasi, maka Allah Yang Maha Pengatur (Ar Rabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang kemudian disebar-luaskan kepada manusia. Wahyu inilah yang memberikan informasi kepada manusia tentang apa yang manusia tidak sanggup mendapatkannya sendiri dengan kekuatan akalnya.
Dalam shalat kita meminta kepada Allah: Ihdina shShira-tha lMustaqiyma, tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim, dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan li lMuttaqiyna, inilah Al Kitab tak ada keraguan di dalamnya menjadi petunjuk orang-orang yang taqwa. Demikianlah wahyu itu menuntun akal manusia untuk berpikir dan menimbang. Dan dengan akal itu manusia berolah akal untuk dapat mencerna informasi baik yang bersumber dari alam syahadah (ayat Kawniyah), maupun yang bersumber dari wahyu (ayat Qawliyah). Maka sikap orang yang taqwa ialah tidak menempatkan akalnya di atas wahyu dan dalam pada itu mempergunakan akalnya untuk memahami, menyimak dan mencerna wahyu dengan kesadaran bahwa kedudukan wahyu berada di atas akalnya.
Walhasil restrukturalisasi pemikiran yang Islami (Iqbal: the Reconstruction of Isalamic Thought), membumikan Al Quran (Quraisy Syihab) redefinisi Islam (Nurcholis Majid), reaktualisasi ajaran Islam (Munawir Syadzali) pada hakekatnya adalah memahami, menyimak dan mencerna wahyu dan menganggap bahwa hasil kajian para ulama terdahulu belumlah final. Apa yang telah dianggap mapan perlu dicairkan kembali atau dengan perkataan lain direstrukturalisasi, dibumikan, diredefinisi, direaktualisasi.
Hal ini dapat dipahami oleh karena seperti telah dikatakan di atas hasil olah pikir itu relatif sifatnya, oleh karena hasil olah pikir tersebut tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang diperoleh; dan tentu saja sangat masuk di akal bahwa informasi yang diperoleh manusia sekarang ini lebih besar jumlahnya, lebih tinggi mutunya dan lebih beragam jenisnya ketimbang informasi yang telah diperoleh orang-orang yang terdahulu. Sungguhpun demikian ada dua catatan yang ingin dikemukakan di sini dalam hal serba RE di atas itu.
Pertama, hendaknya serba RE itu tidak hanya dalam taraf sporadis melainkan secara nizam (sistem), artinya membina metodologi baru dalam mengkaji nash. Sedangkan khusus di bidang fiqh sanggup mengungguli metodologi yang telah dibina oleh keempat imam terdahulu dalam kalangan Ahlu sSunnah dan imam-imam lain dalam kalangan Syi'ah. Seperti diketahui dalam bidang fiqh sekarang ini masih belum ada misalnya dalam kalangan Ahlu sSunnah yang membina metodologi baru, apa pula yang sanggup mengungguli imam yang empat.
Yang kedua, bertolak dari sikap selektif terhadap pendapat para ulama terdahulu, maka perlu berhati-hati terhadap pendapat yang dijadikan rujukan oleh Munawir Syadzali dan pendapat Munawir Syadzali sendiri. Mengapa perlu berhati-hati, diharapkanlah kesabaran pembaca, karena nanti baru dibahas dalam seri 134, hari Ahad yang akan datang, insya Allah. WaLlahu a'lamu bishshawab
*** Makassar, 26 Juni 1994
26 Juni 1994
[+/-] |
133. Catatan terhadap Restrukturalisasi, Reaktualisasi dan Redefinisi Islam |
19 Juni 1994
[+/-] |
132. Political Will dan Hajat Hidup Orang Banyak |
Menurut sumber yang layak dipercaya, Menteri Penerangan Harmoko yang menjadi Amiru lHajj pada waktu masih di Tanah Suci konsep PP No.20/1994 diparaf oleh para menteri yang terkait, kecuali Menteri Penerangan. Ia digantikan oleh Dirjennya memparaf konsep PP No.20/1994 tersebut. Tatkala Menteri Harmoko tiba di tanah air kembali dari menunaikan ibadah haji, konsep itu telah berwujud PP No.20/1994. Kita salut pada Menteri Harmoko yang secara terbuka menyatakan ketidak-setujuannya terhadap bagian PP No.20/1994 itu yang menyangkut tanggung-jawabnya: media masa, karena memang itu tidak senada dengan UU Pokok Pers No.11 tahun 1966: pemilik modal suatu penerbitan pers harus warga negara Indonesia. Sebagai seorang menteri ia adalah seorang pembantu Presiden yang baik, yang tidak menerima begitu saja tanpa reserve.
Seyogianya bagian dari PP No.20/1994 yang bertentangan dengan Undang-Undang, yang dalam hal ini UU Pokok Pers No.11 tahun 1966, dikeluarkan saja dari tubuh PP No.20/1994 itu. Kita katakan seyogianya, bukan semestinya, oleh karena dalam keadaan tertentu political will itu lebih kuat dari peraturan perundang-undangan. Lihat saja contohnya seamsal nama Makassar dengan Ujung Pandang. Seyogianya Makassar yang dipakai, bukan Ujung Pandang, oleh karena sumber hukum penamaan Makassar (Undang-Undang) lebih tinggi dari sumber hukum penamaan Ujung Pandang (Peraturan Pemerintah). Namun hal itu tidak terjadi oleh karena political will lebih kuat dari ketentuan peraturan perundang-undangan, karena situasi menghendaki demikian, yaitu Gowa, Maros dan Pangkep tidak bersedia memberikan bagian kecil dari daerah mereka untuk perluasan Kota Madya ini, jika tetap disebut dengan Kota Madya Makassar. Menurut kenyataannya suatu proses yang berlangsung karena political will rupanya mengikuti hukum mekanika, yaitu Hukum Newton kedua, sebuah benda yang bergerak karena digerakkan oleh gaya akan terus bergerak hingga ada gaya yang menghentikannya. Demikian pula halnya dengan penamaan Ujung Pandang yang mencuat karena political will akan terus mencuat hingga ada political will pula yang menghentikan pencuatannya.
Kembali pada PP No.20/1994 yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada investor asing untuk menguasai saham patungan/menanamkan modal dalam beberapa bidang vital: pelabuhan, penerbangan, listrik untuk umum, kereta api, miyak, air minum, dan media massa bukan hanya sekadar menyentuh satu tingkat sumber hukum yang di atasnya (Undang-Undang), melainkan menyentuh pula sumber hukum yang tiga tingkat di atasnya (Undang-Undang Dasar 1945).
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33, ayat 2 dan 3 dapat kita baca: Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat. Hajat hidup orang banyak dalam pasal 33 ayat 2 dijelaskan oleh ayat 3 dengan kalimat bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, yang secara mudah dapat dibaca dalam PP No.20/1994: listrik untuk umum, kereta api, miyak, air minum, dan media massa. Itu semuanya harus dikuasai oleh negara. Bahwa tanda tangan Presiden pada setiap penanaman modal asing yang menyangkut hajat hidup orang banyak itu dapatlah diartikan sebagai jaminan bahwa itu tetap dikuasai oleh negara. Political will mengenai diundangnya perusahaan asing menanamkan modalnya melalui seleksi ketat oleh tanda tangan Presiden dapat kita fahami oleh karena PJP II membutuhkan dana yang tidak kecil. Situasi menghadapi PJP II ini tidaklah seenak seperti pada waktu lalu ketika kita sangat beruntung, yaitu tatkala kita mulai memasuki PJP I harga minyak bumi melesat melambung tinggi secara tajam dari $6 per barrel menjadi $20 per barrel.
Arkian, bagaimana pula menurut Syari'at Islam tentang hajat hidup orang banyak ini? Bacalah Hadits RasuluLlah yang berikut ini:
Li nNa-si Syuraka-u fiy Tsala-tsin: al Ma-i, wa lKalai, wa NNa-ri (Rawa-hu Ahmad wa Abuw Da-wud), artinya: Hajat hidup orang banyak ada tiga: Air, padang rumput dan api.
Secara kontekstual air dapat bermakna air minum, air untuk irigasi, air untuk pembangkit tenaga listrik, terusan air untuk lalu-lintas air, padang rumput di tempat yang tidak ada padang rumput dapat bermakna apa saja yang erat hubungannya dengan sumberdaya alam bagi ternak, sedangkan api dapat bermakna bahan bakar konvensional (bahan bakar fosil: minyak bumi dan batu bara) maupun bahan bakar non-konvensional (bahan bakar nuklir). WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 19 Juni 1994
12 Juni 1994
[+/-] |
131. Latah |
Pernah dengar atau baca ungkapan free gift dalam bahasa Inggeris? Gift atau pemberian itu suatu perbuatan yang tidak di bawah paksaan, artinya atas kemauan sendiri. Jadi sebenarnya tidak perlu disifati dengan free, sukarela. Gaya penekanan yang berlebihan ini disebut gaya pleonasme. Dalam bahasa Indonesia gaya pleonasme ini tidak terkecuali, seperti misalnya menengadah ke atas, menunduk ke bawah, ikut latah. Lawan pleonasme ini adalah gaya kontradiktif. Bahasa Indonesia kontemporer tidak sunyi dari gaya kontradiktif ini, seumpama sumbangan wajib. Sumbangan itu atas dasar sukarela jadi tidak wajib. Gaya kontradiktif ini tujuannya untuk menghaluskan. Gaya penghalusan itu disebut dengan gaya euphemisme.
Latah adalah semacam penyakit jenis kejiwaaan yang menimpa manula umumnya yang perempuan. Seorang perempuan tua yang berpenyakit latah ini kalau dibuat terperanjat, ia akan menurut tanpa pikir apa yang kita ucapkan. Menurut beberapa orang mahasiswa yang bermukim di Asrama ITB, Rumah G (Barrack) ada seorang bibik, pembantu, banyak mahasiswa yang tidak tahu nama sebenarnya. Ia dipanggil dengan nama Bibik Latah. Kalau ia dibuat terperanjat, misalnya tiba-tiba ia dipanggil dengan suara yang membentak ia akan terperangah. Pada waktu itu kalau kita sebut: buang! ia akan ikut menyebut buang, bukan itu saja, ia akan membuang apa yang sedang dipegangnya. Para mahasiswa penghuni asrama tentu saja memilah-milah, bilakah kondisi yang cocok menjadi shocker, yaitu menilik dahulu apa yang dipegang oleh Bibik Latah. Kalau yang sedang dipegang oleh Bibik Latah barang pecah belah ataupun makanan, tidak ada mahasiswa bagaimanapun nakalnya akan sampai hati menyuruh bibik itu untuk latah. Barulah ia akan menjadi shocker, mencegat, membuat Bibik Latah terperanjat, jika yang dipegang bibik itu pakaian kotor yang akan dicuci. Langganan tukang cuci pakaian isteri saya waktu masih mahasiswi dan tinggal di asrama puteri Jalan Papandayan Bandung, juga seorang perempuan tua yang berpenyakit latah, mereka menamakannya pula dengan Bibik Latah.
Demikianlah, latah itu penyakit ikut-ikutan, penyakit yang hanya menimpa perempuan tua. Tidak pernah saya dengar ada laki-laki tua yang berpenyakit latah. Kalau memang demikian, maka ini menjadi salah satu fakta kelebihan (atau ketidak-lengkapan penyakit kejiwaan yang disandang?) laki-laki ketimbang perempuan. Kata ini mengalami perluasan arti dengan gaya pleonasme itu: ikut latah. Dengan ungkapan bergaya pelonasme ini, ikut latah, di samping perluasan arti, hilang pula dua unsur, yaitu perempuan tua dan tidak perlu diikuti dahulu dengan instruksi seorang shocker.
Puluhan tahun lalu di kota Makassar berjangkit penyakit ikut latah dalam hal per-ayam goreng-an. Rupanya karena dirangsang oleh ayam goreng model bumbu mBok Brek, di beberapa tempat tidak kurang jumlahnya yang ikut latah menjual ayam goreng. Tentu saja dilihat dari segi perpasaran, tidak mungkin penjual ayam goreng melatah, apabila penyakit ikut latah itu tidak menimpa pula penikmat ayam goreng. Sebenarnya dari segi cita rasa ayam goreng mBok Brek jauh lebih enak dari Kentucky maupun California Fried Chicken. Tidak adakah yang berani mencoba peluang bisnis per-ayam goreng-an, membangkitkan kembali ayam goreng mBok Berek ini? Insya Allah akan dapat bersaing merebut pasar KFC dan CFC!
Dari sisi lain adapula penyakit ikut-ikutan bukan karena latah, melainkan karena iri. Mudah-mudahan gagasan pencetus Ikatan Cendekiawan Kebangsaan Indonesia (ICKI) yang tidak jadi tercetus itu, Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP), atau entahlah kalau masih ada yang lain, yang baru mau akan dicetuskan, bukanlah penyakit ikut latah, karena iri hati. Bahkan mudah-mudahan bukan betul-betul penyakit latah yang asli (khusus untuk manula yang didahului oleh shock), karena ini akan lebih runyam lagi.
Akhirnya selayaknyalah ayat yang berikut ini elok direnungkan oleh yang akan ikut-ikutan (turut ramai) bergabung ke dalam yang akan dicetuskan itu, seandainya jadi dicetuskan.
Wa la- Taqfu ma- laysa laka bihi 'Ilman, inna sSam'a wa lBashara, wal Fua-da, kullu Ula-ika Ka-na 'anhu Masuwlan (S.Baniy Isra-iyl, 36), dan janganlah engkau ikut-ikutan tentang apa yang tidak ada padamu pengetahuan dengannya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, kesemuanya itu akan dipertanggung-jawabkan (17:36). WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 12 Juni 1994
5 Juni 1994
[+/-] |
130. Cendekiawan dengan Konotasi Positif: Bertindak, Berucap yang Terucapkan dan Berucap dalam Hati |
Salah satu ciri cendekiawan adalah kepekaan sosial. Hanya orang yang mempunyai kepekaan sosial yang mampu melihat kemungkaran. RasuluLlah memberi tuntunan supaya ummatnya berdialog dengan situasi yang mungkar itu. Tidak semua orang sama kemampuannya, tergantung kepribadian seseorang. RasuluLlah memperinci sikap cendekiawan yang mampu melihat kemungkaran itu dalam tiga tingkat.
Dalam sebuah Hadits, Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya (falyughayyiru biyadihi), apabila ia tak sanggup, hendaklah diubahnya dengan lisannya (fabilisa-nihi), apabila itupun tak sanggup cukup dengan kalbunya (biqalbihi), namun yang terakhir ini pertanda yang terlemah imannya.
Bilyad, dengan tangan, tidaklah mungkin jika tidak mempunyai kekuatan. Kekuatan tidak mungkin dimiliki jika tidak mempunyai kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuasaan haruslah ia berpolitik. Dengan kekuatan politik baik di eksekutif maupun di legislatif, nilai-nilai moral ditransfer, dituangkan menjadi norma hukum dalam wujud peraturan perundang-undangan. Yang berbuat mungkar, yang melanggar peraturan perundang-undangan itu mendapat sanksi dari negara, akan berhadapan dengan negara. Jadi kekuasaan yang ingin dicapai dengan berpolitik adalah sasaran antara. Sasaran akhirnya ialah amar ma'ruf nahiy mungkar, berbuat kebajikan bagi negara dan ummat manusia serta mencegah kemungkaran.
Berpolitik harus bermoral, yaitu dengan tuntunan nilai-nilai wahyu sehingga terhindarlah apa yang biasa didengar, bahwa politik itu kotor. Politik tidak akan kotor jika dituntun oleh nilai-nilai wahyu. Terkenal dalam dunia politik yang disebut dengan dagang sapi, atau dengan ungkapan lain: kompromi. Apabila politik itu dituntun oleh nilai wahyu maka tidak usah dikuatirkan tentang dagang sapi itu. RasuluLlah SAW telah memberikan tuntunan tentang kompromi ini dalam perpolitikan. Tatkala penguasa Quraisy menyodorkan tawaran kompromi kepada RasululLah SAW bahwa Penguasa Quraisy bersedia menyembah Allah SWT bersama-sama dengan ummat Islam, dengan syarat: Kalau hari ini bersama-sama menyembah Allah SWA maka esoknya bersama-sama pula menyembah sejumlah dewa yang dilambangkan sebagai patung-patung sekitar Ka'bah, dengan segera secara tegas RasuluLlah SAW menolak tawaran kompromi itu dengan S. Al Ka-firuwn:
(1). Katakanlah, hai orang-orang kafir!
(2). Tidak kusembah apa yang kamu sembah.
(3). Dan kamu bukanlah penyembah apa yang kusembah.
dst. hingga akhir ayat.
Sedang yang tidak prinsip boleh kompromi. RasuluLlah SAW menandatangani Perjanjian Hudaybiyah dengan penguasa Quraisy. Salah satu diktum perjanjian itu berbunyi bahwa rombongan kaum Muslimin dari Madinah harus menunda setahun lagi baru dapat masuk Makkah. Menurut tuntunan RasuluLlah kompromi dalam masalah yang bukan prinsip itu merupakan sasaran antara, perencanaan taktis dalam rangka perencanaan strategis.
Billisa-n dengan ucapan, dengan tulisan, mencegah kemungkaran dengan tulisan, dengan khuthbah, dengan ceramah-ceramah, berani mengemukakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Apabila upaya billisa-n hanya secara individual, maka hasilnya kurang efektif. Orang boleh dengar kalau mau mendengar, mencuekkan kalau tidak mau ambil perduli. Sudah berapa kali ditulis, berapa kali dikhuthbahkan, berapa kali diceramahkan tentang hal seperti misalnya tempat hiburan yang bernama night club adalah sesungguhnya tempat pelacuran berselubung, tetapi tetap saja tempat pelacuran berselubung itu berlangsung terus. Yang dimaksud dengan tempat pelacuran berselubung bukanlah pelacurannya yang berselubung, melainkan tempatnya berselubungkan label dengan gaya euphemisme: entertainment. Mengapa, karena tidak ada aturan sanksinya menurut hukum.
Cara billisa-n ini akan menjadi efektif kalau dilaksanakan dengan terprogram melalui organisasi, seperti misalnya mas media, MUI, NU, Muhammadiah, ICMI dll. Dikatakan efektif oleh karena mas media dan organisasi-organisasi itu dapat menjadi pressure groups bagi eksekutif dan legislatif dalam mengambil keputusan politik. Contoh yang jelas pada ujung tahun 1993 dalam hal nahiy mungkar tentang SDSB. Keputusan politik memperpanjang izin SDSB dibatalkan karena sengitnya billisa-n dari pressure groups. Jadi tidaklah perlu dikhawatirkan bahwa organisasi yang berbilang jumlahnya itu akan mengakibatkan terjadinya pengkotakan yang melemahkan persatuan, sepanjang pressure groups itu menulis dan berlisan tentang amar ma'ruwf nahy mungkar.
Bilqalb, dengan kalbu, yaitu tingkat yang terlemah imannya, karena hanya menyangkut dirinya saja, yaitu berikrar agar dirinya terhindar dari kemungkaran. Tetapi ini juga masih mendapat predikat cendekiawan, karena masih peka sosial, mampu melihat yang mungkar dan masih mempunyai kesadaran untuk tidak ikut terlibat dalam kemungkaran, sehingga tidak dapat dibeli pendiriannya.
Orang Islam tidaklah boleh berpikir bebas, kebebasannya harus berbingkai. Ia harus bersikap Iqra bismi Rabb, membaca atas nama Allah Yang Maha Pengatur. Berzikir, mengingat Firman Allah dan Sabda Rasul terlebih dahulu barulah berpikir, Yadzkuruwna Lla-h, wa Yatafakkaruwn. Tidak menerima buah-buah pikiran di luar bingkai Firman Allah dan Sabda Rasul, termasuk di dalamnya menolak sikap berpikir bebas itu sendiri. Menolak meruju' pada pemahaman Benda, Gregori, dll. tentang hal dikhotomi cendekiawan dengan politikus, dan cendekiawan dengan konotasi negatif, misalnya tidak asli, bandit, dll. Mestilah mengacu pada Hadits dan Sunnah Rasul tentang pemahaman cendekiawan yang berkonotasi positif, dan tidak adanya dikhotomi antara politikus dengan cendekiawan, artinya seorang yang terjun dalam kancah politik tidaklah berhenti menjadi cendekiawan. Juga tidak akan mengagumi cara Socrates mempertahankan kebenaran dengan bersedia minum racun. Itu adalah bunuh diri dan itu sesat menurut ajaran Al Quran. WaLla-hu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 5 Juni 1994