5 Juni 1994

130. Cendekiawan dengan Konotasi Positif: Bertindak, Berucap yang Terucapkan dan Berucap dalam Hati

Salah satu ciri cendekiawan adalah kepekaan sosial. Hanya orang yang mempunyai kepekaan sosial yang mampu melihat kemungkaran. RasuluLlah memberi tuntunan supaya ummatnya berdialog dengan situasi yang mungkar itu. Tidak semua orang sama kemampuannya, tergantung kepribadian seseorang. RasuluLlah memperinci sikap cendekiawan yang mampu melihat kemungkaran itu dalam tiga tingkat.

Dalam sebuah Hadits, Rasulullah bersabda: Barangsiapa yang melihat kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya (falyughayyiru biyadihi), apabila ia tak sanggup, hendaklah diubahnya dengan lisannya (fabilisa-nihi), apabila itupun tak sanggup cukup dengan kalbunya (biqalbihi), namun yang terakhir ini pertanda yang terlemah imannya.

Bilyad, dengan tangan, tidaklah mungkin jika tidak mempunyai kekuatan. Kekuatan tidak mungkin dimiliki jika tidak mempunyai kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuasaan haruslah ia berpolitik. Dengan kekuatan politik baik di eksekutif maupun di legislatif, nilai-nilai moral ditransfer, dituangkan menjadi norma hukum dalam wujud peraturan perundang-undangan. Yang berbuat mungkar, yang melanggar peraturan perundang-undangan itu mendapat sanksi dari negara, akan berhadapan dengan negara. Jadi kekuasaan yang ingin dicapai dengan berpolitik adalah sasaran antara. Sasaran akhirnya ialah amar ma'ruf nahiy mungkar, berbuat kebajikan bagi negara dan ummat manusia serta mencegah kemungkaran.

Berpolitik harus bermoral, yaitu dengan tuntunan nilai-nilai wahyu sehingga terhindarlah apa yang biasa didengar, bahwa politik itu kotor. Politik tidak akan kotor jika dituntun oleh nilai-nilai wahyu. Terkenal dalam dunia politik yang disebut dengan dagang sapi, atau dengan ungkapan lain: kompromi. Apabila politik itu dituntun oleh nilai wahyu maka tidak usah dikuatirkan tentang dagang sapi itu. RasuluLlah SAW telah memberikan tuntunan tentang kompromi ini dalam perpolitikan. Tatkala penguasa Quraisy menyodorkan tawaran kompromi kepada RasululLah SAW bahwa Penguasa Quraisy bersedia menyembah Allah SWT bersama-sama dengan ummat Islam, dengan syarat: Kalau hari ini bersama-sama menyembah Allah SWA maka esoknya bersama-sama pula menyembah sejumlah dewa yang dilambangkan sebagai patung-patung sekitar Ka'bah, dengan segera secara tegas RasuluLlah SAW menolak tawaran kompromi itu dengan S. Al Ka-firuwn:

(1). Katakanlah, hai orang-orang kafir!
(2). Tidak kusembah apa yang kamu sembah.
(3). Dan kamu bukanlah penyembah apa yang kusembah.
dst. hingga akhir ayat.

Sedang yang tidak prinsip boleh kompromi. RasuluLlah SAW menandatangani Perjanjian Hudaybiyah dengan penguasa Quraisy. Salah satu diktum perjanjian itu berbunyi bahwa rombongan kaum Muslimin dari Madinah harus menunda setahun lagi baru dapat masuk Makkah. Menurut tuntunan RasuluLlah kompromi dalam masalah yang bukan prinsip itu merupakan sasaran antara, perencanaan taktis dalam rangka perencanaan strategis.

Billisa-n dengan ucapan, dengan tulisan, mencegah kemungkaran dengan tulisan, dengan khuthbah, dengan ceramah-ceramah, berani mengemukakan yang benar itu benar, yang salah itu salah. Apabila upaya billisa-n hanya secara individual, maka hasilnya kurang efektif. Orang boleh dengar kalau mau mendengar, mencuekkan kalau tidak mau ambil perduli. Sudah berapa kali ditulis, berapa kali dikhuthbahkan, berapa kali diceramahkan tentang hal seperti misalnya tempat hiburan yang bernama night club adalah sesungguhnya tempat pelacuran berselubung, tetapi tetap saja tempat pelacuran berselubung itu berlangsung terus. Yang dimaksud dengan tempat pelacuran berselubung bukanlah pelacurannya yang berselubung, melainkan tempatnya berselubungkan label dengan gaya euphemisme: entertainment. Mengapa, karena tidak ada aturan sanksinya menurut hukum.

Cara billisa-n ini akan menjadi efektif kalau dilaksanakan dengan terprogram melalui organisasi, seperti misalnya mas media, MUI, NU, Muhammadiah, ICMI dll. Dikatakan efektif oleh karena mas media dan organisasi-organisasi itu dapat menjadi pressure groups bagi eksekutif dan legislatif dalam mengambil keputusan politik. Contoh yang jelas pada ujung tahun 1993 dalam hal nahiy mungkar tentang SDSB. Keputusan politik memperpanjang izin SDSB dibatalkan karena sengitnya billisa-n dari pressure groups. Jadi tidaklah perlu dikhawatirkan bahwa organisasi yang berbilang jumlahnya itu akan mengakibatkan terjadinya pengkotakan yang melemahkan persatuan, sepanjang pressure groups itu menulis dan berlisan tentang amar ma'ruwf nahy mungkar.

Bilqalb, dengan kalbu, yaitu tingkat yang terlemah imannya, karena hanya menyangkut dirinya saja, yaitu berikrar agar dirinya terhindar dari kemungkaran. Tetapi ini juga masih mendapat predikat cendekiawan, karena masih peka sosial, mampu melihat yang mungkar dan masih mempunyai kesadaran untuk tidak ikut terlibat dalam kemungkaran, sehingga tidak dapat dibeli pendiriannya.

Orang Islam tidaklah boleh berpikir bebas, kebebasannya harus berbingkai. Ia harus bersikap Iqra bismi Rabb, membaca atas nama Allah Yang Maha Pengatur. Berzikir, mengingat Firman Allah dan Sabda Rasul terlebih dahulu barulah berpikir, Yadzkuruwna Lla-h, wa Yatafakkaruwn. Tidak menerima buah-buah pikiran di luar bingkai Firman Allah dan Sabda Rasul, termasuk di dalamnya menolak sikap berpikir bebas itu sendiri. Menolak meruju' pada pemahaman Benda, Gregori, dll. tentang hal dikhotomi cendekiawan dengan politikus, dan cendekiawan dengan konotasi negatif, misalnya tidak asli, bandit, dll. Mestilah mengacu pada Hadits dan Sunnah Rasul tentang pemahaman cendekiawan yang berkonotasi positif, dan tidak adanya dikhotomi antara politikus dengan cendekiawan, artinya seorang yang terjun dalam kancah politik tidaklah berhenti menjadi cendekiawan. Juga tidak akan mengagumi cara Socrates mempertahankan kebenaran dengan bersedia minum racun. Itu adalah bunuh diri dan itu sesat menurut ajaran Al Quran. WaLla-hu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 5 Juni 1994