26 Juni 1994

133. Catatan terhadap Restrukturalisasi, Reaktualisasi dan Redefinisi Islam

Sayang sekali saya tidak dapat menghadiri Temu Kaji Intensif Islam dan Masa Depan yang diselenggarakan oleh KAHMI yang bekerjasama dengan MUI Sulawesi Selatan pada hari Sabtu dan Ahad, tanggal 18 dan 19 Juni 1994, bertempat di Gedung Harian Fajar, lantai III, jalan Racing Center. Namun walaupun saya tidak sempat menghadiri Temu Kaji tersebut, saya menyempatkan diri untuk turut urun rembug.

Allah meniupkan ruh ke dalam diri manusia, yang tidak diberikanNya kepada makhluk lain di atas bumi ini. Allah menciptakan manusia dengan sebaik-baik kejadian, fiy Ahsani Taqwiym. Karena manusia mempunyai ruh ia mempunyai kekuatan ruhaniyah yaitu akal. Dengan akal itu manusia mempunyai kesadaran akan wujud dirinya. Dengan otak sebagai mekanisme, akal manusia dapat berpikir dan dengan qalbu (hati nurani) sebagai mekanisme, akal manusia dapat merenung. Ilmu adalah hasil olah akal. Ilmu eksakta/non eksakta, ilmu filsafat adalah hasil pemikiran otak. Ilmu tasawuf adalah hasil renungan qalbu. Karena judul di atas berhubungan dengan pemikiran, maka selanjutnya olah akal itu hanya akan difokuskan pada pemikiran.

Seperti telah dijelaskan dalam Seri 001, kemampuan akal untuk berpikir bertumbuh sesuai dengan pertumbuhan diri manusia. Agar manusia dapat mempergunakan akalnya, ia perlu mendapatkan informasi. Mutu hasil berpikir akal tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang didapatkannya melalui pintu-pintu masuk ke dalam dirinya yaitu pancaindera. Hasil pemikiran anak tammatan SMA lebih bermutu ketimbang hasil pemikiran anak tammatan SD, karena anak tammatan SMA lebih besar jumlah, lebih bermutu dan lebih beragam jenis informasi yang diperolehnya. Jadi akal manusia itu relatif sifatnya, baik dalam hal evolusi pertumbuhan akalnya, maupun dalam hal jumlah, mutu dan jenis informasi yang diperolehnya. Dengan demikian akan relatif juga baik untuk memikirkan pemecahan masalah, maupun untuk menimbang baik buruknya sesuatu. Demikian pula akal hanya terbatas untuk memikirkan obyek yang nyata yaitu alam syahadah, karena alam gaib tak dapat dideteksi oleh pancainderanya.

Sungguhpun manusia telah mendapatkan kekuatan istimewa yang berupa akal itu, tetapi karena akal manusia dibatasi oleh kemampuannya memperoleh informasi dari alam syahadah sebagai sumber informasi, maka Allah Yang Maha Pengatur (Ar Rabb) memberikan pula sumber informasi berupa wahyu yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul yang kemudian disebar-luaskan kepada manusia. Wahyu inilah yang memberikan informasi kepada manusia tentang apa yang manusia tidak sanggup mendapatkannya sendiri dengan kekuatan akalnya.

Dalam shalat kita meminta kepada Allah: Ihdina shShira-tha lMustaqiyma, tuntunlah kami ke jalan yang lurus. Maka Allah menjawab: Alif, Lam, Mim, dza-lika lKita-bu la- Rayba fiyhi Hudan li lMuttaqiyna, inilah Al Kitab tak ada keraguan di dalamnya menjadi petunjuk orang-orang yang taqwa. Demikianlah wahyu itu menuntun akal manusia untuk berpikir dan menimbang. Dan dengan akal itu manusia berolah akal untuk dapat mencerna informasi baik yang bersumber dari alam syahadah (ayat Kawniyah), maupun yang bersumber dari wahyu (ayat Qawliyah). Maka sikap orang yang taqwa ialah tidak menempatkan akalnya di atas wahyu dan dalam pada itu mempergunakan akalnya untuk memahami, menyimak dan mencerna wahyu dengan kesadaran bahwa kedudukan wahyu berada di atas akalnya.

Walhasil restrukturalisasi pemikiran yang Islami (Iqbal: the Reconstruction of Isalamic Thought), membumikan Al Quran (Quraisy Syihab) redefinisi Islam (Nurcholis Majid), reaktualisasi ajaran Islam (Munawir Syadzali) pada hakekatnya adalah memahami, menyimak dan mencerna wahyu dan menganggap bahwa hasil kajian para ulama terdahulu belumlah final. Apa yang telah dianggap mapan perlu dicairkan kembali atau dengan perkataan lain direstrukturalisasi, dibumikan, diredefinisi, direaktualisasi.

Hal ini dapat dipahami oleh karena seperti telah dikatakan di atas hasil olah pikir itu relatif sifatnya, oleh karena hasil olah pikir tersebut tergantung pada jumlah, mutu dan jenis informasi yang diperoleh; dan tentu saja sangat masuk di akal bahwa informasi yang diperoleh manusia sekarang ini lebih besar jumlahnya, lebih tinggi mutunya dan lebih beragam jenisnya ketimbang informasi yang telah diperoleh orang-orang yang terdahulu. Sungguhpun demikian ada dua catatan yang ingin dikemukakan di sini dalam hal serba RE di atas itu.

Pertama, hendaknya serba RE itu tidak hanya dalam taraf sporadis melainkan secara nizam (sistem), artinya membina metodologi baru dalam mengkaji nash. Sedangkan khusus di bidang fiqh sanggup mengungguli metodologi yang telah dibina oleh keempat imam terdahulu dalam kalangan Ahlu sSunnah dan imam-imam lain dalam kalangan Syi'ah. Seperti diketahui dalam bidang fiqh sekarang ini masih belum ada misalnya dalam kalangan Ahlu sSunnah yang membina metodologi baru, apa pula yang sanggup mengungguli imam yang empat.

Yang kedua, bertolak dari sikap selektif terhadap pendapat para ulama terdahulu, maka perlu berhati-hati terhadap pendapat yang dijadikan rujukan oleh Munawir Syadzali dan pendapat Munawir Syadzali sendiri. Mengapa perlu berhati-hati, diharapkanlah kesabaran pembaca, karena nanti baru dibahas dalam seri 134, hari Ahad yang akan datang, insya Allah. WaLlahu a'lamu bishshawab

*** Makassar, 26 Juni 1994