12 Juni 1994

131. Latah

Pernah dengar atau baca ungkapan free gift dalam bahasa Inggeris? Gift atau pemberian itu suatu perbuatan yang tidak di bawah paksaan, artinya atas kemauan sendiri. Jadi sebenarnya tidak perlu disifati dengan free, sukarela. Gaya penekanan yang berlebihan ini disebut gaya pleonasme. Dalam bahasa Indonesia gaya pleonasme ini tidak terkecuali, seperti misalnya menengadah ke atas, menunduk ke bawah, ikut latah. Lawan pleonasme ini adalah gaya kontradiktif. Bahasa Indonesia kontemporer tidak sunyi dari gaya kontradiktif ini, seumpama sumbangan wajib. Sumbangan itu atas dasar sukarela jadi tidak wajib. Gaya kontradiktif ini tujuannya untuk menghaluskan. Gaya penghalusan itu disebut dengan gaya euphemisme.

Latah adalah semacam penyakit jenis kejiwaaan yang menimpa manula umumnya yang perempuan. Seorang perempuan tua yang berpenyakit latah ini kalau dibuat terperanjat, ia akan menurut tanpa pikir apa yang kita ucapkan. Menurut beberapa orang mahasiswa yang bermukim di Asrama ITB, Rumah G (Barrack) ada seorang bibik, pembantu, banyak mahasiswa yang tidak tahu nama sebenarnya. Ia dipanggil dengan nama Bibik Latah. Kalau ia dibuat terperanjat, misalnya tiba-tiba ia dipanggil dengan suara yang membentak ia akan terperangah. Pada waktu itu kalau kita sebut: buang! ia akan ikut menyebut buang, bukan itu saja, ia akan membuang apa yang sedang dipegangnya. Para mahasiswa penghuni asrama tentu saja memilah-milah, bilakah kondisi yang cocok menjadi shocker, yaitu menilik dahulu apa yang dipegang oleh Bibik Latah. Kalau yang sedang dipegang oleh Bibik Latah barang pecah belah ataupun makanan, tidak ada mahasiswa bagaimanapun nakalnya akan sampai hati menyuruh bibik itu untuk latah. Barulah ia akan menjadi shocker, mencegat, membuat Bibik Latah terperanjat, jika yang dipegang bibik itu pakaian kotor yang akan dicuci. Langganan tukang cuci pakaian isteri saya waktu masih mahasiswi dan tinggal di asrama puteri Jalan Papandayan Bandung, juga seorang perempuan tua yang berpenyakit latah, mereka menamakannya pula dengan Bibik Latah.

Demikianlah, latah itu penyakit ikut-ikutan, penyakit yang hanya menimpa perempuan tua. Tidak pernah saya dengar ada laki-laki tua yang berpenyakit latah. Kalau memang demikian, maka ini menjadi salah satu fakta kelebihan (atau ketidak-lengkapan penyakit kejiwaan yang disandang?) laki-laki ketimbang perempuan. Kata ini mengalami perluasan arti dengan gaya pleonasme itu: ikut latah. Dengan ungkapan bergaya pelonasme ini, ikut latah, di samping perluasan arti, hilang pula dua unsur, yaitu perempuan tua dan tidak perlu diikuti dahulu dengan instruksi seorang shocker.

Puluhan tahun lalu di kota Makassar berjangkit penyakit ikut latah dalam hal per-ayam goreng-an. Rupanya karena dirangsang oleh ayam goreng model bumbu mBok Brek, di beberapa tempat tidak kurang jumlahnya yang ikut latah menjual ayam goreng. Tentu saja dilihat dari segi perpasaran, tidak mungkin penjual ayam goreng melatah, apabila penyakit ikut latah itu tidak menimpa pula penikmat ayam goreng. Sebenarnya dari segi cita rasa ayam goreng mBok Brek jauh lebih enak dari Kentucky maupun California Fried Chicken. Tidak adakah yang berani mencoba peluang bisnis per-ayam goreng-an, membangkitkan kembali ayam goreng mBok Berek ini? Insya Allah akan dapat bersaing merebut pasar KFC dan CFC!

Dari sisi lain adapula penyakit ikut-ikutan bukan karena latah, melainkan karena iri. Mudah-mudahan gagasan pencetus Ikatan Cendekiawan Kebangsaan Indonesia (ICKI) yang tidak jadi tercetus itu, Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP), atau entahlah kalau masih ada yang lain, yang baru mau akan dicetuskan, bukanlah penyakit ikut latah, karena iri hati. Bahkan mudah-mudahan bukan betul-betul penyakit latah yang asli (khusus untuk manula yang didahului oleh shock), karena ini akan lebih runyam lagi.

Akhirnya selayaknyalah ayat yang berikut ini elok direnungkan oleh yang akan ikut-ikutan (turut ramai) bergabung ke dalam yang akan dicetuskan itu, seandainya jadi dicetuskan.
Wa la- Taqfu ma- laysa laka bihi 'Ilman, inna sSam'a wa lBashara, wal Fua-da, kullu Ula-ika Ka-na 'anhu Masuwlan (S.Baniy Isra-iyl, 36), dan janganlah engkau ikut-ikutan tentang apa yang tidak ada padamu pengetahuan dengannya, karena sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, kesemuanya itu akan dipertanggung-jawabkan (17:36). WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 12 Juni 1994