Seorang tetangga saya Pak B. yang kini telah almarhum menyimpan kenangan yang berarti. Pada waktu almarhum diopname di Rumah Sakit Ujung Pandang baru, waktu saya melangkah masuk kamarnya saya dapati dia menatap langit-langit. "Assalamu 'alaikum, asyik benar bapak menatap langit-langit." Tanpa menoleh almarhum menjawab: "Lihatlah di atas itu, langit-langit adalah lambang langit." Maka selanjutnya ia menjelaskan. Sudah tiga hari tiga malam ia mencoba mencari jawaban apa yang dilihatnya. Ada dorongan dari dalam dirinya untuk mencari makna lampu yang menyala yang menempel di atas langit-langit sebagai lambang langit. Apa makna lampu yang menyala, inilah yang dia cari jawabannya. Saya tinggalkan almarhum yang masih dalam keadaan bertanya-tanya, berupaya untuk mencari jawaban pertanyaan yang mengusik batinnya itu.
Kalau saya tidak salah dua hari kemudian saya didatangi anak Pak B. menyampaikan pesan untuk datang menjenguk beliau di Rumah Sakit, ada katanya hal penting yang ingin disampaikannya. Saya sudah dapat memperkirakan (menengarai?) apa yang akan disampaikannya kepada saya. Tentu tidak lain adalah jawaban ataupun makna lampu yang menyala yang menempel di langit-langit. Tadi subuh katanya kamarnya tiba-tiba gelap. Rupanya balon lampu di kamarnya itu putus. Seperti Newton yang dapat menangkap makna appel jatuh, atau Singer yang dapat menangkap makna mimpinya dikejar-kejar lembing yang berlubang di ujungnya, almarhum Pak B. ini dengan segera dapat menangkap makna lampu yang padam. Lampu padam karena rusak. Walapun diberi stroom tidak mungkin menyala. Sebaliknya biar bola lampu baik kalau tidak diberi stroom juga tidak akan menyala. Lampu hanya menyala jika balon baik dan ada stroom. Kedengarannya ini sangat sederhana. Namun almarhum Pak B. menangkap makna yang filosofik.
Manusia katanya ibarat lampu. Lampu yang baik ibarat manusia yang baik. Yaitu baik dalam arti mempersiapkan diri dengan usaha yang tekun untuk dapat menerima hidayah dari Allah SWT yang ia ibaratkan stroom. Orang hanya akan mendapatkan hidayah dari Allah SWT jika orang itu mempersiapkan dirinya dengan usaha yang tekun untuk membersihkan batinnya mengisinya dengan iman. Itulah makna lampu yang menyala, manusianya menyiapkan diri untuk dapat memperoleh hidayah dari Allah SWT. Sebaliknya seorang yang tidak berusaha memperbaiki dirinya, tidak mengisi batinnya dengan iman, itu ibarat balon lampu pijar yang rusak, walaupun ada stroom tidak akan menyala. Orang yang demikian itu, yang rusak batinnya tidak mungkin akan dapat menangkap pancaran hidayah yang terus menerus dipancarkan Allah Yang Maha Pengasih. Maka lampu yang tidak menyala adalah ibarat manusia yang batinnya gelap, karena batinnya tidak dibersihkan sehingga tidak siap untuk mendapatkan hidayah.
Apa yang telah diungkapkan oleh almarhum tentang makna fenomena alam yang sangat sederhana itu yakni lampu yang padam dan lampu yang menyala itu dapatlah kita lanjutkan pembahsannya secara analisis seperti berikut.
Allah SWT berfirman dalam S.Al Baqarah 213: Wa Llaahu yahdie man yasyaau, Dan Allah memberikan hidayah kepada yang menghendakinya. Selanjutnya dalam S. Al Anfal 53: Dzaalika bi anna Llaaha alam yaku mughayyiran ni'matan an'amahaa 'alaa qawmin hattaa yughayyiruw maa bi anfusihim. Demikianlah Allah tidak akan membuat perubahan untuk memberi ni'mat atas suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan dirinya. Selanjutnya Allah berfirman dalam S. Ar Ra'd 27: Inna Llaaha yudhillu man yasyaau, wa yahdie ilayhie man ataaba, sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberikan hidayah kepada orang yang tobat.
Jadi Allah SWT hanya akan memberikan hidayah dan ni'mat kepada hambaNya yang berusaha mengubah dirinya untuk mendapatkan hidayah dan ni'mat itu. Jadi Allah aktif, manusia juga aktif. Secara aktif, hidayah dan ni'mat Allah dipancarkan oleh Allah tak putus-putusnya, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya ke sekelilingnya. Allahu nuru ssamawati wal-ardhi, Allah adalah Cahaya langit dan bumi, demikian Firman Allah SWT dalam S. An Nur 35. Pada pihak yang lain manusia harus aktif pula berikhtiar untuk mendapatkan hidayah dan ni'mat Allah yang dipancarkan Allah itu. Ibarat seorang manusia yang ada di dalam gua yang gelap gulita, mana mungkin akan mendapatkan sinar matahari, apabila orang itu tetap tinggal di dalam gua itu. Ia harus berikhtiar, keluar dari gua untuk mendapatkan sinar matahari itu. Allah memberikan hidayah dengan cahayaNya kepada siapa yang menghendakinya. Allah SWT hanya berkenan memberikan hidayah atau petunjuk kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan petunjuk. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihannya: Apa mau sesat di tempat yang gelap, atau berikhtiar mendapatkan petunjuk, mina zhzhulumaati ila nNur, dari kegelapan ke terang-benderang. Dengan kebebasan memilih itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil pilihan dan perbuatannya. Allah Maha Adil, Yang menghukum manusia atas hasil pilihaannya itu. Manusia harus mempertanggung-jawabkan hasil pilihannya itu kepada Maliki Yawmi dDien, Pemilik Hari Keadilan.
Itulah dia penjabaran makna lampu yang menyala dan lampu yang padam. Suatu fenomena alam yang dapat ditangkap maknanya oleh almarhum Pak B. menjelang akhir ayatnya. Tidak lama sesudah itu Pak B. berpulang ke rahmatuLlah. Menjelang akhir hayatnya almarhum berhasil menangkap inti dari makna kehidupan di dunia ini, dengan melihat apa yang sepintas lalu biasa saja. Lampu yang menyala dan lampu yang padam yang menempel di langit-langit. Inilah kenangan kepada almarhum Pak B. yang berkesan kepada kita semua ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 25 Juli 1993
25 Juli 1993
[+/-] |
088. Bola Lampu Pijar |
18 Juli 1993
[+/-] |
087. Belajarlah dari Sejarah |
Dahulukala pada waktu manusia masih primitif, kebutuhan hidupnya dari berburu, teknologinya masih sangat bersahaja, sehingga membutuhkan ketabahan dalam hal berburu. Haruslah dengan sabar dan tekun menunggu binatang buruannya melintas di depannya. Allah memberikan akal kepada manusia sejalan dengan naluri untuk meningkatkan mutu kehidupan. Maka bertumbuhlah kebudayaan, teknologipun secara berangsur mutunya meningkat. Dari pada menunggu binatang buruan berjam-jam, lahirlah teknologi perangkap. Seperti misalnya menggali lubang yang di atasnya diberi samaran tanah maupun dedaunan. Atau memamfaatkan kelenturan ranting kayu yang dibungkukkan. Demikianlah teknologi perangkap itu lahir untuk mengambil alih pekerjaan menunggu.
Akal dengan dorongan naluri meningkatkan kehidupan mendorong terus pertumbuhan kebudayaan, tercakup di dalamnya peningkatan mutu teknologi. Mulailah memanfaatkan sumberdaya alam untuk menanggulangi pekerjaan berat-berat. Otot manusia disubstitusi dengan penggunaan otot binatang. Muatan menjadi ringan dan jarak menjadi dekat dengan teknologi binatang beban, seperti kuda beban dan unta beban.
Kebudayaan berkembang terus, teknologi meningkat terus. Otot binatang dirasa belum cukup untuk menanggulangi aktivitas manusia yang kian meningkat kebutuhaannya akibat bertumbuhnya kebudayaan. Maka manusia kian meningkatkan teknologinya dengan membuat mesin-mesin yang disebut dengan mesin konversi tenaga. Allah menyediakan tenaga-tenaga yang terkandung dalam sumber daya alam. Mesin konversi tenaga itu menyerap tenaga yang terkandung dalam sumberdaya alam yang disediakan Allah bagi kita di muka bumi ini.
Penggunaan mesin konversi tenaga yang mengambil alih pekerjaan otot ini tidak semulus dengan penggunaan teknologi sebelumnya. Pabrik-pabrik menumpuk dekat sumberdaya alam yang dari jenis batubara. Ini menimbulkan masalah sosial, termasuk buruh anak-anak di tambang-tambang batu bara di Inggeris. Saya masih teringat sebuah gambar dalam sebuah kitab sejarah Wereld Geschiedenis, seorang buruh anak kecil duduk di samping lori dalam sebuah lorong bawah tanah sebuah tambang batubara.
Oleh dorongan naluri untuk meningkatkan kwalitas kehidupan dan dengan akal yang diberikan Allah kepada manusia, maka kebudayaan berhasil menelurkan teknologi konversi tenaga orde dua, yaitu tenaga mekanik dikonversikan menjadi tenaga listrik. Maka dalam wujud tenaga listrik dapatlah tenaga itu dikirim dan didistribusikan ke tempat-tempat lain yang cukup jauh hanya dengan bentangan kawat saja. Lokasi pabrik-pabrik tidaklah perlu lagi menumpuk di sekitar daerah batubara. Tumbuhlah industri daya yang sumberdayanya tidak hanya dari batubara saja melainkan sudah merambat ke sumberdaya alam yang lain seperti minyak, angin, batubara putih alias tenaga air terjun, geothermal alias panas bumi dan belakangan dari tenaga radiasi surya dan tenaga nuklir.
Lalu timbullah masalah baru yang belum terpecahkan, yaitu pencemaran limbah industri daya dan industri proses utamanya industri kimia. Di atmosfer merajalelalah CO2, yang dimuntahkan oleh industri daya dan mesin-mesin propulsi, sebagai perangkap panas yang disebut efek rumah kaca, yang menaikkan suhu global. Di stratosfer merajalelalah CFC mengikis lapisan ozon yang Allah tempatkan di atas sana untuk melindungi kita dari bahaya sinar ultra lembayung matahari. Lalu berikutnya cairan racun yang meracuni sungai, laut, bahkan air bawah tanah. Itulah pelajaran sejarah yang difokuskan pada mesin-mesin konversi tenaga yang mengambil alih pekerjaan otot. Yang menumbuhkan industri daya lalu merambat pada industri proses, utamanya industri kimia.
Otak yang dalam tengkorak adalah mekansime akal manusia untuk berpikir yang paling berharga yang dianugerahkan Allah yang Maha Pengasih. Teknologi maju terus sejalan dengan kebutuhan kebudayaan didorong oleh naluri yang ingin meningkat terus. Maka kebudayaanpun melahirkan teknologi komputer digital untuk mengambil alih pekerjaan mekanisme otak.
Seperti halnya dengan teknologi konversi tenaga yang bermuatan kriteria yang saling bentrok, maka demikian pulalah halnya dengan teknologi komputer ini. Ada dua kelompok kriteria yang saling bentrok, yaitu kelompok yang bersifat mekanistik administratif pada pihak yang satu berhadapan dengan kelompok yang bersifat humanisik pada pihak yang lain. Adapun kelompok kriteria yang bersifat mekanistik adminisratif itu misalnya seperti ketepatan dalam operasi matematika, ketelitian dalam mengolah data, kecepatan dalam memproses, keapikan dalam sistem administrasi, sedangkan kriteria yang bersifat humanistik seperti misalnya akal sehat dalam pengambilan keputusan, kelenturan yang rasional dalam penilaian, efisiensi psikologik dalam kepuasan batin, sikap percaya otak sendiri yang tidak mengandalkan kalkulator untuk hitung hafal yang sangat sederhana, membeli barang seharga Rp3500 diberi wang Rp5000 tidak perlu kalkulator, menghindarkan pengangguran terselubung dalam lapangan kerja jasa otak yang antara lain pekerjaan para guru dan dosen dalam memeriksa ujian akhir dan UMPTN yang tidak perlu diambil alih oleh komputer.
Maka dalam menghadapi masa depan kebudayaan ummat manusia perlu betul upaya-upaya yang optimum agar jangan sampai terjadi konflik secara tajam di antara kedua kelompok kriteria yang saling bentrok itu, bercermin dari sejarah pengambil alihan tenaga pekerjaan tenaga otot manusia oleh mesin-mesin konversi tenaga yang menimbulkan permasalahan yang sangat sukar dipecahkan, kalau tidak boleh dikatakan tidak mungkin dapat dipecahkan.
Dan akhirnya baiklah kita bersama-sama membaca Firman Allah dalam S. Al Hasyr, 18: Ya ayyuhalladziena amanuw ittaqulLaha waltanzhur nafsun ma qaddamat lighadin wattaquLlaha innaLlaha khabierun bima ta'maluwn. Hai orang-orang beriman taqwalah kepada Allah dan mestilah setiap orang mengkaji masa lalu untuk orientasi masa depan dan taqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah meliput apa-apa yang kamu lakukan. WaLlahu a'lamu bishshwab.
*** Makassar, 18 Juli 1993
4 Juli 1993
[+/-] |
086. Komputerisasi dan Kedewasaan dalam Bersikap |
Ada dua jenis komputer, yang analog dan yang digital. Komputer digitallah yang dapat melaksanakan tugas otak, karena dapat menyimpan ingatan, jadi dapat berpikir. Maka terjadilah pergeseran makna, yaitu kalau masyarakat sekarang berucap komputer maka yakinlah bahwa yang dimaksudkan sebenarnya adalah komputer digital, tidak terkecuali dengan yang dimaksud komputerisasi dalam pemeriksaan ujian di bidang pendidikan.
Sikap bangsa Indonesia terhadap teknologi adalah sikap yang dewasa. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dikatakan bahwa teknologi yang dipakai dalam pembangunan adalah teknologi tepat guna. Jadi bukan sembarang teknologi. Bangsa Indonesia tidak lekas silau dengan teknologi. Bangsa Indonesia tidak menganut paham bahwa teknologi itu bebas nilai. Bangsa Indonesia memilah-milah dalam penggunaan teknologi. Itulah sikap kedewasaan, sebagaimana kata pepatah: Manis tidak lekas ditelan, pahit tidak lekas dimuntahkan, karena buah yang terlalu manis biasanya berulat dan obat yang mujarrab biasanya pahit.
Sikap kedewasaan ini terhadap sesuatu sangat dipertajam oleh Firman Allah dalam S. Al Baqarah 216: Wa 'asa- an takrahuw syay.an wa huwa khayrullakum wa 'asa- an tuhibbuw syay.an wa huwa syarrullakum, artinya: Dan boleh jadi kamu tidak senang akan sesuatu padahal baik bagimu, dan boleh jadi kamu senang akan sesuatu padahal tidak baik bagimu.
Sudah banyak komentar baik tertulis maupun terlisan dari segi silau atau cemerlangnya komputerisasi di bidang pendidikan ini. Kita akan soroti dari segi kesuramannya, supaya kita dapat berpikir secara dewasa, karena pikir itu pelita hati. Kalau kita dari tempat yang silau lalu tiba-tiba masuk ke dalam ruangan, kita tidak akan dengan segera melihat apa-apa dalam ruangan, semuanya kelihatan gelap. Orang-orangan mata kita pada tempat yang silau menyempit, sehingga jika masuk ke dalam ruangan yang tidak silau, maka membutuhkan waktu penyesuaian orang-orangan mata membesar, untuk dapat melihat beberapa obyek yang tadi kita belum mampu melihatnya. Maka cobalah barang sejenak bertenang-tenang menjernihkan pikiran menghalau kesilauan dan mencoba memandang segi kesuraman perihal komputerisasi pemeriksaan ujian ini.
Kita melihat ada tiga yang suram. Yang pertama, kalau nilai ambang batas kelulusan ditetapkan misalnya 6, maka anak yang mencapai nilai 5,999 nasibnya akan lain jika yang menjadi penentu adalah manual atau komputer. Kalau pakai manual yakni orang maka 5,999 itu atas pertimbangan rasional dapat diluluskan. Tentu tidaklah dapat diterima akal sehat kalau anak itu tidak lulus cuma karena perbedaan seperseribu. Lain halnya apabila dengan komputerisasi. Anak itu pasti tidak lulus, karena 5,999 itu ada di bawah nilai ambang batas. Betapapun kecilnya perbedaan itu komputer tidak akan meluluskannya karena komputer tidak punya akal sehat. Tentu saja perbedaan nasib ini antara manual dengan komputerisasi hanya berlaku pada ujian akhir. Kalau dalam UMPTN tidak ada perbedaan antara komputerisasi dengan manual, oleh karena kelolosan masuk PTN berdasar atas rank. Dikatakan lolos karena sesungguhnya yang ikut UMPTN semuanya sudah lulus SMA, semua berhak masuk PTN asal dapat ditampung. Berhubung daya tampung PTN terbatas, maka tidak semua yang lulus SMA itu dapat lolos masuk PTN melalui UMPTN.
Yang kedua, pemeriksaan dengan manual sekali gus process oriented dan output oriented. Sedangkan pemeriksaan secara komputerisasi hanya output oriented. Yang process oriented oleh cara manual tidak mungkin timbul porofesi joki, sedangkan yang output oriented saja dengan komputerisasi itulah sumber lahirnya profesi joki, oleh karena jawaban soal itu sangat mudah dikomunikasikan, cukup dengan isyarat yang sangat sederhana. Joki tidak mungkin ada jika process oriented oleh karena jalannya pengerjaan soal itu dari tahap ke tahap mustahil untuk dapat dikomunikasikan.
Yang ketiga, seorang anak didik sudah tertentu kemampuan kognisi (kesadaran pengertian)-nya. Kalau dalam cara menguji itu anak didik dengan leluasa diberi kesempatan untuk dapat menunjukkan kemampuannya itu, maka ini tidak dapat diperiksa oleh komputer. Apa sebabnya? Komputer terlalu bodoh sehingga tidak dapat mengikuti tahap demi tahap proses pengerjaan soal itu. Komputer hanya mampu memeriksa jika cara pengujian itu secara pilihan ganda. Untuk menjaga jangan sampai anak yang diuji itu tidak leluasa main judi dengan sembarang tembak, maka dibuat aturan denda untuk jawaban yang salah. Ada sepuluh soal matematika. Anak yang diuji yang telah mempunyai kadar kemampuan kognisi yang tertentu dapat menyelesaikan dan menjawab 6 soal dengan benar. Dia dapat mengerjakan 4 soal yang selebihnya dengan kemampuan kognisi yang lebih rendah. Ia tidak dapat menyelesaikan ke 4 soal itu dengan sempurna benar, artinya tidak keseluruhannya salah sama sekali. Maka di antara 4 soal itu pemerikasa dengan fair dapat memberikan nilai, walaupun nilai itu tidak penuh. Dari 6 solah yang benar itu ia dapat nilai 6. Dan dari sisa 4 soal yang tidak seluruhnya benar namun juga tidak seluruhnya salah ia dapat nilai secara fair katakanlah 2,5. Maka anak itu akan mendapat nilai 6 + 2,5 = 8,5, nilainya cukup tinggi di atas nilai ambang batas kelulusan 6, ia dapat lulus ujian akhir kalau itu ujian akhir SMA misalnya. Dan ia dapat rank yang cukup tinggi untuk UMPTN dan dapat masuk daerah lolos untuk ke PTN. Bagaimana dengan pemeriksaan komputerisasi? Sudah dikatakan di atas bahwa komputer itu bodoh dalam hal tidak mempunyai kemampuan untuk dapat memeriksa soal pekerjaan anak dalam proses tahap demi tahap. Komputer hanya terampil dalam hal memeriksa jika dengan cara pilihan ganda, output oriented. Untuk anak yang sama tadi dia dapat menjawab 6 soal dengan benar. Katakanlah satu nomor dapat nilai satu kalau benar dan dapat denda -0,25 untuk jawaban yang salah. Anak itu dapat nilai 6. Kalau ia tidak dapat menahan diri, dan pada umumnya anak itu tidak dapat menahan diri, maka dia akan mengisi ke-4 soal yang sisa dengan cara main judi, menebak, untung-untungan. Maka ia akan mendapat denda 4 X 0,25 = 1. Walhasil anak itu mendapatkan nilai 6 - 1 = 5, dia di bawah nilai ambang batas kelulusan, dia tidak lulus ujian akhir, jika ujian akhir itu ujian akhir SMA. Dan juga dia tidak akan lolos masuk PTN, jika itu UMPTN, karena rank nilainya jauh di bawah.
Untuk materi yang non eksakta halnya sama saja. Jawaban ujian yang berupa esei tidak mungkin dapat diperiksa komputer.
Nah itulah dia tiga segi kesuraman komputerisasi pemeriksaan yang buat sementara orang luput dari perhatiannya, ibarat orang yang silau matanya, orang-orangan matanya mengecil sehingga tidak sempat melihat yang suram. Maka marilah kita membuka orang-orangan mata kita sedikit lebar dan jawablah pertanyaan ini: Mana yang diprioritaskan, membebaskan orang yang bersalah, atau menghukum orang yang benar; meluluskan orang yang kadar kemampuan kognisinya kurang atau tidak meluluskan orang yang kadar kemampuan kognisinya cukup lumayan? WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 4 Juli 1993