4 Juli 1993

086. Komputerisasi dan Kedewasaan dalam Bersikap

Ada dua jenis komputer, yang analog dan yang digital. Komputer digitallah yang dapat melaksanakan tugas otak, karena dapat menyimpan ingatan, jadi dapat berpikir. Maka terjadilah pergeseran makna, yaitu kalau masyarakat sekarang berucap komputer maka yakinlah bahwa yang dimaksudkan sebenarnya adalah komputer digital, tidak terkecuali dengan yang dimaksud komputerisasi dalam pemeriksaan ujian di bidang pendidikan.

Sikap bangsa Indonesia terhadap teknologi adalah sikap yang dewasa. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara dikatakan bahwa teknologi yang dipakai dalam pembangunan adalah teknologi tepat guna. Jadi bukan sembarang teknologi. Bangsa Indonesia tidak lekas silau dengan teknologi. Bangsa Indonesia tidak menganut paham bahwa teknologi itu bebas nilai. Bangsa Indonesia memilah-milah dalam penggunaan teknologi. Itulah sikap kedewasaan, sebagaimana kata pepatah: Manis tidak lekas ditelan, pahit tidak lekas dimuntahkan, karena buah yang terlalu manis biasanya berulat dan obat yang mujarrab biasanya pahit.

Sikap kedewasaan ini terhadap sesuatu sangat dipertajam oleh Firman Allah dalam S. Al Baqarah 216: Wa 'asa- an takrahuw syay.an wa huwa khayrullakum wa 'asa- an tuhibbuw syay.an wa huwa syarrullakum, artinya: Dan boleh jadi kamu tidak senang akan sesuatu padahal baik bagimu, dan boleh jadi kamu senang akan sesuatu padahal tidak baik bagimu.

Sudah banyak komentar baik tertulis maupun terlisan dari segi silau atau cemerlangnya komputerisasi di bidang pendidikan ini. Kita akan soroti dari segi kesuramannya, supaya kita dapat berpikir secara dewasa, karena pikir itu pelita hati. Kalau kita dari tempat yang silau lalu tiba-tiba masuk ke dalam ruangan, kita tidak akan dengan segera melihat apa-apa dalam ruangan, semuanya kelihatan gelap. Orang-orangan mata kita pada tempat yang silau menyempit, sehingga jika masuk ke dalam ruangan yang tidak silau, maka membutuhkan waktu penyesuaian orang-orangan mata membesar, untuk dapat melihat beberapa obyek yang tadi kita belum mampu melihatnya. Maka cobalah barang sejenak bertenang-tenang menjernihkan pikiran menghalau kesilauan dan mencoba memandang segi kesuraman perihal komputerisasi pemeriksaan ujian ini.

Kita melihat ada tiga yang suram. Yang pertama, kalau nilai ambang batas kelulusan ditetapkan misalnya 6, maka anak yang mencapai nilai 5,999 nasibnya akan lain jika yang menjadi penentu adalah manual atau komputer. Kalau pakai manual yakni orang maka 5,999 itu atas pertimbangan rasional dapat diluluskan. Tentu tidaklah dapat diterima akal sehat kalau anak itu tidak lulus cuma karena perbedaan seperseribu. Lain halnya apabila dengan komputerisasi. Anak itu pasti tidak lulus, karena 5,999 itu ada di bawah nilai ambang batas. Betapapun kecilnya perbedaan itu komputer tidak akan meluluskannya karena komputer tidak punya akal sehat. Tentu saja perbedaan nasib ini antara manual dengan komputerisasi hanya berlaku pada ujian akhir. Kalau dalam UMPTN tidak ada perbedaan antara komputerisasi dengan manual, oleh karena kelolosan masuk PTN berdasar atas rank. Dikatakan lolos karena sesungguhnya yang ikut UMPTN semuanya sudah lulus SMA, semua berhak masuk PTN asal dapat ditampung. Berhubung daya tampung PTN terbatas, maka tidak semua yang lulus SMA itu dapat lolos masuk PTN melalui UMPTN.

Yang kedua, pemeriksaan dengan manual sekali gus process oriented dan output oriented. Sedangkan pemeriksaan secara komputerisasi hanya output oriented. Yang process oriented oleh cara manual tidak mungkin timbul porofesi joki, sedangkan yang output oriented saja dengan komputerisasi itulah sumber lahirnya profesi joki, oleh karena jawaban soal itu sangat mudah dikomunikasikan, cukup dengan isyarat yang sangat sederhana. Joki tidak mungkin ada jika process oriented oleh karena jalannya pengerjaan soal itu dari tahap ke tahap mustahil untuk dapat dikomunikasikan.

Yang ketiga, seorang anak didik sudah tertentu kemampuan kognisi (kesadaran pengertian)-nya. Kalau dalam cara menguji itu anak didik dengan leluasa diberi kesempatan untuk dapat menunjukkan kemampuannya itu, maka ini tidak dapat diperiksa oleh komputer. Apa sebabnya? Komputer terlalu bodoh sehingga tidak dapat mengikuti tahap demi tahap proses pengerjaan soal itu. Komputer hanya mampu memeriksa jika cara pengujian itu secara pilihan ganda. Untuk menjaga jangan sampai anak yang diuji itu tidak leluasa main judi dengan sembarang tembak, maka dibuat aturan denda untuk jawaban yang salah. Ada sepuluh soal matematika. Anak yang diuji yang telah mempunyai kadar kemampuan kognisi yang tertentu dapat menyelesaikan dan menjawab 6 soal dengan benar. Dia dapat mengerjakan 4 soal yang selebihnya dengan kemampuan kognisi yang lebih rendah. Ia tidak dapat menyelesaikan ke 4 soal itu dengan sempurna benar, artinya tidak keseluruhannya salah sama sekali. Maka di antara 4 soal itu pemerikasa dengan fair dapat memberikan nilai, walaupun nilai itu tidak penuh. Dari 6 solah yang benar itu ia dapat nilai 6. Dan dari sisa 4 soal yang tidak seluruhnya benar namun juga tidak seluruhnya salah ia dapat nilai secara fair katakanlah 2,5. Maka anak itu akan mendapat nilai 6 + 2,5 = 8,5, nilainya cukup tinggi di atas nilai ambang batas kelulusan 6, ia dapat lulus ujian akhir kalau itu ujian akhir SMA misalnya. Dan ia dapat rank yang cukup tinggi untuk UMPTN dan dapat masuk daerah lolos untuk ke PTN. Bagaimana dengan pemeriksaan komputerisasi? Sudah dikatakan di atas bahwa komputer itu bodoh dalam hal tidak mempunyai kemampuan untuk dapat memeriksa soal pekerjaan anak dalam proses tahap demi tahap. Komputer hanya terampil dalam hal memeriksa jika dengan cara pilihan ganda, output oriented. Untuk anak yang sama tadi dia dapat menjawab 6 soal dengan benar. Katakanlah satu nomor dapat nilai satu kalau benar dan dapat denda -0,25 untuk jawaban yang salah. Anak itu dapat nilai 6. Kalau ia tidak dapat menahan diri, dan pada umumnya anak itu tidak dapat menahan diri, maka dia akan mengisi ke-4 soal yang sisa dengan cara main judi, menebak, untung-untungan. Maka ia akan mendapat denda 4 X 0,25 = 1. Walhasil anak itu mendapatkan nilai 6 - 1 = 5, dia di bawah nilai ambang batas kelulusan, dia tidak lulus ujian akhir, jika ujian akhir itu ujian akhir SMA. Dan juga dia tidak akan lolos masuk PTN, jika itu UMPTN, karena rank nilainya jauh di bawah.

Untuk materi yang non eksakta halnya sama saja. Jawaban ujian yang berupa esei tidak mungkin dapat diperiksa komputer.

Nah itulah dia tiga segi kesuraman komputerisasi pemeriksaan yang buat sementara orang luput dari perhatiannya, ibarat orang yang silau matanya, orang-orangan matanya mengecil sehingga tidak sempat melihat yang suram. Maka marilah kita membuka orang-orangan mata kita sedikit lebar dan jawablah pertanyaan ini: Mana yang diprioritaskan, membebaskan orang yang bersalah, atau menghukum orang yang benar; meluluskan orang yang kadar kemampuan kognisinya kurang atau tidak meluluskan orang yang kadar kemampuan kognisinya cukup lumayan? WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 4 Juli 1993