25 Juli 1993

088. Bola Lampu Pijar

Seorang tetangga saya Pak B. yang kini telah almarhum menyimpan kenangan yang berarti. Pada waktu almarhum diopname di Rumah Sakit Ujung Pandang baru, waktu saya melangkah masuk kamarnya saya dapati dia menatap langit-langit. "Assalamu 'alaikum, asyik benar bapak menatap langit-langit." Tanpa menoleh almarhum menjawab: "Lihatlah di atas itu, langit-langit adalah lambang langit." Maka selanjutnya ia menjelaskan. Sudah tiga hari tiga malam ia mencoba mencari jawaban apa yang dilihatnya. Ada dorongan dari dalam dirinya untuk mencari makna lampu yang menyala yang menempel di atas langit-langit sebagai lambang langit. Apa makna lampu yang menyala, inilah yang dia cari jawabannya. Saya tinggalkan almarhum yang masih dalam keadaan bertanya-tanya, berupaya untuk mencari jawaban pertanyaan yang mengusik batinnya itu.

Kalau saya tidak salah dua hari kemudian saya didatangi anak Pak B. menyampaikan pesan untuk datang menjenguk beliau di Rumah Sakit, ada katanya hal penting yang ingin disampaikannya. Saya sudah dapat memperkirakan (menengarai?) apa yang akan disampaikannya kepada saya. Tentu tidak lain adalah jawaban ataupun makna lampu yang menyala yang menempel di langit-langit. Tadi subuh katanya kamarnya tiba-tiba gelap. Rupanya balon lampu di kamarnya itu putus. Seperti Newton yang dapat menangkap makna appel jatuh, atau Singer yang dapat menangkap makna mimpinya dikejar-kejar lembing yang berlubang di ujungnya, almarhum Pak B. ini dengan segera dapat menangkap makna lampu yang padam. Lampu padam karena rusak. Walapun diberi stroom tidak mungkin menyala. Sebaliknya biar bola lampu baik kalau tidak diberi stroom juga tidak akan menyala. Lampu hanya menyala jika balon baik dan ada stroom. Kedengarannya ini sangat sederhana. Namun almarhum Pak B. menangkap makna yang filosofik.

Manusia katanya ibarat lampu. Lampu yang baik ibarat manusia yang baik. Yaitu baik dalam arti mempersiapkan diri dengan usaha yang tekun untuk dapat menerima hidayah dari Allah SWT yang ia ibaratkan stroom. Orang hanya akan mendapatkan hidayah dari Allah SWT jika orang itu mempersiapkan dirinya dengan usaha yang tekun untuk membersihkan batinnya mengisinya dengan iman. Itulah makna lampu yang menyala, manusianya menyiapkan diri untuk dapat memperoleh hidayah dari Allah SWT. Sebaliknya seorang yang tidak berusaha memperbaiki dirinya, tidak mengisi batinnya dengan iman, itu ibarat balon lampu pijar yang rusak, walaupun ada stroom tidak akan menyala. Orang yang demikian itu, yang rusak batinnya tidak mungkin akan dapat menangkap pancaran hidayah yang terus menerus dipancarkan Allah Yang Maha Pengasih. Maka lampu yang tidak menyala adalah ibarat manusia yang batinnya gelap, karena batinnya tidak dibersihkan sehingga tidak siap untuk mendapatkan hidayah.

Apa yang telah diungkapkan oleh almarhum tentang makna fenomena alam yang sangat sederhana itu yakni lampu yang padam dan lampu yang menyala itu dapatlah kita lanjutkan pembahsannya secara analisis seperti berikut.

Allah SWT berfirman dalam S.Al Baqarah 213: Wa Llaahu yahdie man yasyaau, Dan Allah memberikan hidayah kepada yang menghendakinya. Selanjutnya dalam S. Al Anfal 53: Dzaalika bi anna Llaaha alam yaku mughayyiran ni'matan an'amahaa 'alaa qawmin hattaa yughayyiruw maa bi anfusihim. Demikianlah Allah tidak akan membuat perubahan untuk memberi ni'mat atas suatu kaum, hingga mereka mengubah keadaan dirinya. Selanjutnya Allah berfirman dalam S. Ar Ra'd 27: Inna Llaaha yudhillu man yasyaau, wa yahdie ilayhie man ataaba, sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberikan hidayah kepada orang yang tobat.

Jadi Allah SWT hanya akan memberikan hidayah dan ni'mat kepada hambaNya yang berusaha mengubah dirinya untuk mendapatkan hidayah dan ni'mat itu. Jadi Allah aktif, manusia juga aktif. Secara aktif, hidayah dan ni'mat Allah dipancarkan oleh Allah tak putus-putusnya, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya ke sekelilingnya. Allahu nuru ssamawati wal-ardhi, Allah adalah Cahaya langit dan bumi, demikian Firman Allah SWT dalam S. An Nur 35. Pada pihak yang lain manusia harus aktif pula berikhtiar untuk mendapatkan hidayah dan ni'mat Allah yang dipancarkan Allah itu. Ibarat seorang manusia yang ada di dalam gua yang gelap gulita, mana mungkin akan mendapatkan sinar matahari, apabila orang itu tetap tinggal di dalam gua itu. Ia harus berikhtiar, keluar dari gua untuk mendapatkan sinar matahari itu. Allah memberikan hidayah dengan cahayaNya kepada siapa yang menghendakinya. Allah SWT hanya berkenan memberikan hidayah atau petunjuk kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan petunjuk. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihannya: Apa mau sesat di tempat yang gelap, atau berikhtiar mendapatkan petunjuk, mina zhzhulumaati ila nNur, dari kegelapan ke terang-benderang. Dengan kebebasan memilih itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil pilihan dan perbuatannya. Allah Maha Adil, Yang menghukum manusia atas hasil pilihaannya itu. Manusia harus mempertanggung-jawabkan hasil pilihannya itu kepada Maliki Yawmi dDien, Pemilik Hari Keadilan.

Itulah dia penjabaran makna lampu yang menyala dan lampu yang padam. Suatu fenomena alam yang dapat ditangkap maknanya oleh almarhum Pak B. menjelang akhir ayatnya. Tidak lama sesudah itu Pak B. berpulang ke rahmatuLlah. Menjelang akhir hayatnya almarhum berhasil menangkap inti dari makna kehidupan di dunia ini, dengan melihat apa yang sepintas lalu biasa saja. Lampu yang menyala dan lampu yang padam yang menempel di langit-langit. Inilah kenangan kepada almarhum Pak B. yang berkesan kepada kita semua ini. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 25 Juli 1993