Pada bulan Rajab yang baru lalu dalam memberikan hikmah memperingati Isra'-Mi'raj RasuluLlah SAW di Masjid Syura, saya kemukakan perihal lembu besar yang keluar dari lubang sempit seperti di bawah ini:
Dalam Isra Allah SWT memproyeksikan salah satu gambaran kepada RasuluLlah SAW, yaitu RasuluLlah SAW melihat seekor lembu yang besar keluar dari lubang yang sempit. Kemudian lembu itu hendak masuk kembali ke dalam lubang kecil tadi, tetapi lembu itu sudah tidak mampu lagi kembali masuk ke dalamnya. RasuluLlah SAW bertanya kepada Jibril AS yang menuntun buraq kendaraan RasuluLlah dari Al Masjidu lHaram ke Baytu lMaqdis:
- Apakah ini, wahai Jibril? Maka Jibril AS-pun menjawab:
- Ini adalah perumpamaan bagi orang yang mengeluarkan suatu perkataan, kemudian ia berusaha untuk menarik perkataan yang telah terucapkan tadi, namun apa daya, ucapan yang sudah terulur itu tak dapat lagi ditarik masuk ke dalam mulutnya kembali.
***
Dalam diskusi subuh 3 Ramadhan di Masjid Ikhtiar I Kampus Lama Baraya saya kemukakan bahwa ungkapan iman dan taqwa disingkat Imtaq, tidak tepat. Sebenarnya hal itu secara panjang lebar telah saya bahas dalam seri no.147. Secara singkat keterangannya sebagai berikut:
Kata penghubung dan menghubungkan kata ataupun penggalan kalimat yang termasuk dalam kategori skala nominal, yaitu yang dihubungkan itu sederajat, seperti misalnya skala nominal jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Juga kata dan menghubungkan skala ordinal, yaitu yang dihubungkan itu bertingkat, seperti misalnya skala ordinal topografi: gunung dan bukit.
Bagaimana dengan iman dan taqwa? Baiklah kita tilik ayat populer dalam bulan Ramadhan ini:
Ya-ayyuha- Lladziyna A-manuw Kutiba 'alaykumu shShiya-mu kama- Kutiba 'alay Lladziyna min Qablikum La'allakum Tattaquwna, hai orang-orang beriman diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa (S.AlBaqarah,183).
Menilik ayat tersebut yang memerintahkan orang-orang beriman untuk berpuasa supaya bertaqwa, maka kedua derajat ruhaniyah itu masuk dalam skala ordiner, yaitu bertaqwa itu kedudukannya lebih tinggi dari beriman. Dan disinilah salah kiprah terjadi. Yaitu karena kedudukan keduanya itu masuk dalam skala ordiner maka orang menyangka tidaklah salah jika dikatakan: meningkatkan iman dan taqwa.
Kalau ayat itu ditilik baik-baik maka di dalam taqwa tercakuplah iman, karena iman itu adalah modal dasar untuk mencapai taqwa. Kalau iman diibaratkan bukit dan taqwa diibaratkan gunung, maka dalam hal ini bukit itu masuk ke dalam perut gunung.
Kita dapat katakan bukit dan gunung oleh karena bukit itu tidak menyatu dengan gunung. Namun di pihak lain sudah cukup jika dikatakan taqwa saja, karena iman sudah menyatu dalam taqwa. Kalau iman juga mau disebut di samping taqwa dikatakanlah meningkatkan iman untuk menjadi taqwa.
Tentu saja tidaklah salah apabila kita katakan: Sekarang saya akan membahas pengertian iman dan taqwa, oleh karena dalam hal ini maksudnya akan dibahas berturut-turut iman dan taqwa. Yang tidak benar, jika kedua derajat ruhaniyah itu dimasukkan dalam diri manusia sekaligus secara bersamaan. Jadi sekali lagi sudah cukup jika dikatakan meningkatkan taqwa, dan inilah yang dimaksud dengan Ittaquw- Lla-ha Haqqa Tuqa-tihi.
***
Seorang mahasiswa saya dari Fakultas Teknologi Industri UMI dalam mata-kuliah Manajemen dalam Islam, mendatangi saya di rumah mengemukakan kedua hal yang di atas itu. Memang saya didik mereka itu tentang nilai keterbukaan. Katanya:
- Bagaimana dalam dunia ilmiyah jika kita mempunyai pendapat, sedangkan pendapat kita berbeda dengan orang lain, padahal pendapat orang lain itu lebih kuat dasarnya, apakah pendapat kita itu tidak boleh ditarik kembali? Lalu saya jawab:
- Dalam dunia ilmiyah pendapat yang kita keluarkan bukanlah ibarat seekor lembu yang besar keluar dari lubang yang sempit, sehingga lembu itu tidak mampu lagi kembali masuk ke dalamnya. Ingatlah pendapat Imam Syafi'i dalam ilmu fiqhi: Qawlu lQadiym dan Qawlu lJadiyd, pendapat lama dan pendapat baru. Lalu saya teruskan lagi:
- Adapun yang dimaksud dengan lembu itu adalah kata-kata sesumbar, dan janji-janji yang muluk-muluk. Kata-kata sesumbar seumpama ucapan arogan disertai dengan tepukan dada: tena tau kutawarri anrinni, tidak ada orang yang saya tawar di sini. Janji-janji yang muluk-muluk misalnya dalam kampanye pemilihan umum menawarkan program-program yang muluk-muluk yang sukar dilaksanakan.
Mahasiswa itu kemudian melanjutkan dengan menyodorkan guntingan dari halaman pertama Pedoman Rakyat, kolom HIKMAH PUASA. edisi 1 Februari 1995. Saya kutip:
Barang siapa yang melaksanakan Puasa karena iman dan taqwa diampuni dosa-dosanya yang dahulu dan yang akan datang. (Hadis Nabi Muhammad SAW).
Sambil menyodorkan itu ia mengatakan bahwa pendapat saya tentang tidak benarnya ungkapan iman dan taqwa itu, tentu bukanlah semacam lembu tersebut. Saya maklum bahwa mahasiswa saya itu secara halus mengatakan kepada saya supaya saya menarik kembali pendapat saya berhubung karena ungkapan iman dan taqwa itu dikuatkan oleh Hadits RasuluLlah SAW, Maka saya jawab:
Saya tidak akan menarik pendapat saya kembali, oleh karena apa yang tertulis dalam Harian Pikiran Rakyat itu TIDAK BENAR TERJEMAHANNYA. Adapun matan Hadits itu demikian: Man Sha-ma Ramadha-na I-manan waHtisa-ban Ghufira Lahu Ma- Taqaddama Min Dznbihi (H.R. Bukhari). Adapun terjemahannya yang betul adalah: Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan menghisab dirinya (introspeksi), diampuni dosanya yang lalu.
Hadits yang diterjemahkan salah itu meletakkan iman setingkat dengan taqwa, dan itu adalah kesalahan yang parah, sebab bertentangan dengan S.Al Baqarah 183 yang meletakkan taqwa lebih tinggi tingkatnya dari iman.
Maka hindarkanlah untuk ikut latah mempergunakan ungkapan dua singkatan yang bersajak awal dan akhir: Imtaq-Iptek. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 26 Februari 1995
26 Februari 1995
[+/-] |
166. Lembu Besar yang Keluar dari Lubang Sempit dan Hubungannya dengan Imtaq |
19 Februari 1995
[+/-] |
165. Hukuman mati, Bagian dari Hukum Qishash |
Setelah sekian lama persoalan hukuman mati terpendam dalam perbincangan sejak mendiang Kusni Kasdud dieksekusi, yang seperti diketahui pembahasan itu dimulai oleh mendiang Adam Malik dalam mas media, maka setelah mendiang Kacong Laranu dieksekusi, kini pembahasan hukuman mati itu kembali muncul lagi ke permukaan. Seperti biasa umumnya suatu materi pembahasan ada yang pro dan ada yang kontra. Sehingga pro dan kontra tentang hal hukuman mati itu adalah wajar.
Namun yang tidak wajar adalah jika yang tidak setuju hukuman mati itu adalah mereka yang beragama Islam dan Kristen. Kita dapat membaca Firman Allah dalam Al Quran:
Ya-ayyuha- Lladziyna A-manuw Kutiba 'alayKumu lQisha-shau fiy lQatlay, ..... (S.AlBaqarah, 178), hai orang-orang beriman diperlukan atas kamu qishash dalam pembunuhan, ..... (2:178).
Adapun yang dimaksud dengan hukum qishash adalah hukum pembalasan hukuman mati bagi pembunuh. Hukum qishash ini ada pula dalam Perjanjian Lama, khususnya Kitab Tawrat (Lima Kitab Nabi Musa AS), dalam bagian The third Book of Moses (Leviticus) 24:21 tertulis:
And he that killeth a beast, he shall restrore it, and he that killeth a man, he shall be put to death. Dan dia yang membunuh binatang haruslah menebusnya, dan dia yang membunuh orang haruslah dihukum mati.
Dalam Perjanjian Baru, Kitab Injil ada tersirat pula hukuman mati, yaitu dalam Injil Matius 5:17 tertulis:
Janganlah kamu sangkakan aku datang hendak merombak Hukum Tawrat atau Kitab Nabi-Nabi; bukannya aku datang untuk merombak, melainkan hendak menggenapkan. Apabila Nabi 'Isa AS tidak merombak Hukum Tawrat, yaitu syari'at Nabi Musa AS, maka hukuman mati yang tesurat dalam syari'at Nabi Musa AS tetap diperlakukan oleh Nabi 'Isa AS. Artinya secara tersirat hukuman mati ada terkandung dalam Kitab Injil Matius, fasal 5 ayat 7 yang dikutip di atas itu.
Kita hargai kebebasan berpendapat, atau lebih tepatnya kebebasan memilih pendapat, kebebasan bersikap terhadap sebuah pendapat, menerima atau menolak. Akan tetapi jika pilihan telah diambil, jika sikap telah ditentukan, berarti yang bersangkutan telah mengurangi kebebasannya berpendapat dan bersikap. Kebebasannya itu dibingkai oleh sistem nilai dan ketentuan-ketentuan dari apa (agama, organisasi) yang telah dipilihnya. Tidak ada paksaan dalam agama. Orang bebas menentukan atau memilih agamanya. Akan tetapi sekali agama kita anut, maka kebebasan berpendapat kita akan dibatasi atau dibingkai oleh sistem nilai dan ketentuan-ketentuan dari agama yang kita anut. Sekali memlih agama Islam, atau Kristen atau Yahudi, maka kebebasan bersikap terhadap hukuman mati telah dibatasi oleh syari'at mengenai hukuman mati melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa AS, Nabi 'Isa AS dan Nabi Muhammad SAW.
Dari beberapa artikel yang saya baca ada pula yang berpendapat jika hukuman mati itu dimaksudkan untuk mempertakut-takuti masyarakat sehingga tidak berani berbuat kejahatan pembunuhan, maka tujuan menakut-nakuti itu tidak akan mendatangkan efek sama sekali, bahkan ada yang mengemukakan pendapat seorang pakar. Kita sendiri tidak begitu yakin akan hasil penelitian pakar tersebut. Apakah pakar itu mengenyampingkan tentang adanya kenyataan bagaimana para bromocorah menjadi sangat kecut terhadap penembak misterius tempoh hari. Mereka para bromocorah itu lari terbirit-birit meninggalkan Jakarta, sehingga pada waktu itu Jakarta aman dari gangguan para bromocorah itu. Katanya waktu itu ada dua orang kelas kakap dari bromocorah melarikan diri ke kota Makassar ini.
Sedikit catatan tentang singkatan penembak misterius menjadi Petrus. Kita tidak sependapat dengan singkatan ini, oleh karena Petrus, yang sebelumnya bernama Simon adalah salah seorang di antara ke-12 alHawariyyuwna, yaitu murid-murid dan pengikut setia dari Nabi'Isa AS. Ke-12 Hawariyyuwn itu adalah orang-orang terhormat, sehingga namanya tidaklah etis untuk dijadikan singkatan kata atau ungkapan apapun juga.
Ada pula yang menolak hukuman mati itu dengan alasan bertentangan dengan asas kemanusiaan. Sekali lagi kita kemukakan jika yang menolak itu beragama Islam atau Kristen itu berarti ia mempertentangkan antara agama yang dianutnya dengan asas kemanusiaan. Mereka yang mempertentangkan antara agama dengan asas kemanusiaan itu, sebenarnya salah kaprah, karena asas kemanusiaan itu dirancukan dengan humanisme agnostik yang umumnya dianut oleh para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak menyadari bahwa agama yang dianutnya (kalau ia beragama) mewajibkan Hukum Qishash seperti telah dikemukakan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan Al Quran di atas itu. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 19 Februari 1995
12 Februari 1995
[+/-] |
164. Puasa dan Super-Ego |
Adapun naluri kebinatangan dalam diri manusia dideteksi oleh para malaikat, sehingga para malaikat itu menyampaikan pernyataan dengan nada kurang setuju terhadap Allah SWT yang akan menciptakan Kahlifah dari jenis manusia di atas bumi ini.
Wa idz Qa-la Rabbuka li lMala-ikati inniy Ja-'ilan fiy lArdhi Khalifatan Qa-luw Ataj'alu fiyha Man Yufsidu fiyha wa Yasfiku dDima-a, .... Ingatlah ketika Maha Pengaturmu berkata kepada para Malaikat: sesungguhNya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi, berkatalah (para Malaikat): Mengapa Engkau akan menjadikan (Khalifah dari jenis manusia) di bumi, yang akan merusak di atasnya, akan menumpahkan darah di atasnya, ....
Maka dalam bulan Ramadhan ini Allah memerintahkan kita ummat Islam untuk berpuasa, sebagai latihan bagi Tenaga Ruhaniyah kita untuk melawan Nafsun Ammarah dalam diri kita. Tenaga Ruhaniyah yang melawan kemudian mengendalikan Nafsun Ammarah dalam diri kita, itulah yang dimaksud dengan Jiha-du lAkbar. Nafsun Ammarah itu adalah naluri mempertahankan diri dan meningkatkan kehidupan material dalam diri manusia. Makan kalau lapar, minum kalau haus, melawan atau mengambil langkah seribu kalau diserang, itu karena naluri mempertahankan hidup, melakukan hubungan sex karena naluri mempertahankan keturunan. Jadi sesungguhnya Nafsun Ammarah itu diperlukan oleh manusia, akan tetapi harus terkendali oleh Tenaga Ruhaniyah. Jika naluri itu lepas kendali oleh Tenaga Ruhaniyah, maka manusia itu tidak beda dengan binatang, karena kepada binatangpun Allah memberikan naluri yang sama seperti diberikanNya kepada manusia.
Berfirman Allah SWT dalam S.AlBaqarah,183:
Ya-ayyuha- Lladziyna A-manuw Kutiba 'alayKumu shShiyamu kama- Kutiba 'alay Lladziyna min Qablikum La'allakum Tattaquwna. Hai orang-orang beriman telah diwajibkan atasmu berpuasa seperti telah diwajibkan pula atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.
Jadi menurut ayat di atas itu tujuan berpuasa adalah untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia dari beriman menjadi bertaqwa. Berpuasa sifatnya tertutup, yang mengetahuinya hanyalah Allah SWT dan orang bersangkutan, oleh sebab itu harus beriman. Kalau tidak beriman, dapat saja masuk ke dalam kamar, menutupnya rapat-rapat, lalu makan dan minum atau mengadakan hubungan suami isteri. Demikianlah berpuasa itu adalah suatu metode yang efektif dalam melatih Tenaga Ruhaniyah untuk mengendalikan Nasfun Ammarah itu. Kalau Nafsun Ammarah sudah terkendali oleh Tenaga Ruhaniyah, maka akan terpeliharalah kita dari segala malapetaka, sehingga meningkatlah kualitas Sumber Daya Manusia dari beriman menjadi bertaqwa. Taqwa akar katanya dibentuk oleh tiga huruf: waw, qaf, ya, waqiya atau waqay, artinya terpelihara.
***
Freud mengklasifikasikan aktivitas mental manusia dalam tiga level: Id, Ego dan Super-Ego. Id dan Super-Ego terletak dalam alam bawah sadar.
Id, adalah bagian yang gelap dari personalitas. Id adalah pusat dari naluri dan iradah yang bersifat primitif dan kebinatangan. Id itu buta dan serampangan, hanya menginginkan kesenangan asyik ma'syuk. Id tidak mengenal nilai, tidak mengenal baik dan buruk, tidak mengenal moralitas. Semua iradah dari Id menurut doktrin Freud diisi oleh tenaga psikis yang disebutnya libido, berkarakteristik seksual.
Berlainan dengan Id yang didominasi oleh libido itu, Ego menyadari alam sekelilingnya. Freud menempatkan Ego itu pada posisi subordinat, katakanlah kesadaran itu adalah budak dari alam bawah sadar.
Adapun level yang ketiga yaitu Super-Ego berada dalam alam bawah sadar seperti Id. Senantiasa terjadi konflik antara Super-
Ego dengan Id dalam alam bawah sadar itu.
***
Janganlah kita cepat-cepat mengambil kesimpulan dengan mencocok-cocokkan bahwa Id dalam doktrin Freud tidak lain dari Nafsun Ammarah dalam ajaran Islam, Super-Ego dalam doktrin Freud adalah Tenaga Ruhaniyah dalam ajaran Islam dan konflik antara Super-Ego dengan Id tidak lain dari Jiha-du lAkbar menurut RasuluLlah SAW. Sekali-kali tidaklah demikian. Kalau konflik Super-Ego melawan Id terjadi dalam alam bawah sadar, artinya kita tidak sadari, berarti manusia tidaklah dituntut untuk bertanggung jawab kepada Allah SWT. Manusia tidaklah diminta tanggung jawab dalam hal yang tidak ia sadari. Doktrin Freud memang tidaklah mengambil pusing akan tanggung jawab manusia kepada Allah SWT, oleh karena doktrin Freud termasuk dalam ilmu-ilmu sekuler yang berdiri di atas landasan filsafat positivisme, sebagai anak cucu dari modernisme. Doktrin Freud hanya memandang pada tanggung jawab manusia pada masyarakatnya, yaitu Ego yang menjadi subordinat alam bawah sadar.
Walhasil secara teknis Freud berjasa dalam memperinci Nafsun Ammarah: buta dan serampangan, hanya menginginkan kesenangan asyik ma'syuk, tidak mengenal nilai, tidak mengenal baik dan buruk, tidak mengenal moralitas. Namun secara prinsip Tenaga Ruhaniyah bukanlah Super-Ego dan Nafsun Ammarah bukanlah Id, oleh karena Tenaga Ruhaniyah dan Nafsun Ammarah kita sadari, itulah sebabnya manusia harus bertanggung jawab kepada Allah SWT dan kepada masyarakat. WaLlahu a'lamu bisshawab
*** Makassar, 12 Februari 1995
5 Februari 1995
[+/-] |
163. Puasa dan Produktivitas |
Judul di atas itu saya bawakan dalam diskusi subuh di Masjid Ikhtiar I, Kampus Lama Unhas, Baraya, pada subuh hari Jumat hari ketiga puasa. Dalam kolom ini saya selipkan pula masukan-masukan dari beberapa peserta diskusi.
Produktivitas menyangkut dua wawasan, produktivitas ruhaniyah dan produktivitas phisik. Dalam bulan Ramadhan sesuai dengan tuntuanan RasuluLlah SAW, produktivitas ruhaniyah meningkat dibandingkan dengan bulan-bulan di luar Ramadhan. Pada waktu malam hari dalam bulan Ramadhan, kita banyak melaksanakan shalat sunnat, yaitu Shala-tu lLayl (shalat Tarawih tergolong Shala-tu lLayl), i'tiqaf, mengaji Al Quran, dzikir (maksudnya membaca wirid), sehingga betul-betul produktivitas ruhaniyah meningkat.
Produktivitas phisik menyangkut aktivitas orang berpuasa di siang hari. Ini dapat diukur secara kuantiatif yaitu berupa satuan volume hasil pekerjaan per satuan waktu. Misalnya juru ketik, produktivitasnya diukur dengan jumlah baris per menit.
Sayangnya uji coba produktivitas PNS sehubungan dengan lima hari kerja (8 jam sehari) tidak dilaksanakan dalam bulan puasa. Ada baiknya walaupun tidak ada instruksi dari atas, kepala-kepala kantor memonitor, kemudian mengevaluasi produktivitas mereka dengan standar evaluasi produktivitas di luar bulan Ramadhan.
Sebenarnya tidak ada alasan produktivitas di siang hari dari orang berpuasa akan menurun. Firman Allah dalam S.Al Baqarah,187: ...wa Kuluw wa Syrabuw Hattay Yatabayyana laKumu lKhaythu lAbyadhu mina lKahythi lAswadi mina lFajri, tsumma Atimmuw shShiya-ma ilay Llayli,..., ...dan makanlah dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam (terbenamnya matahari)...
Jadi mulai fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari kita berpuasa, menahan diri dari desakan naluri (makan, minum, hubungan sex) dan desakan impuls nafsun ammarah. Mulai terbenam matahari hingga fajar irama hidup (bioritmik) dalam hal aktivitas menyerap energi dari makanan tidak ada perbedaan dengan di luar bulan puasa. Berbuka puasa (to break a fast) dalam bulan puasa tiada beda dengan sarapan pagi (breakfast) di luar bulan puasa, makan sebelum berangkat ke masjid untuk shalat tidak berbeda dengan makan siang di luar bulan Ramadhan, makan sahur menjelang fajar tiada beda dengan makan malam di luar bulan puasa. Jadi energi yang masuk ke dalam tubuh kita sama kuantitasnya dalam bulan puasa dengan dalam bulan-bulan lainnya. Itu berarti luaran (output) berupa produktivitas phisik orang berpuasa tidak semestinya menurun.
Akan tetapi dalam kenyataannya (kelihatannya?) orang berpuasa itu menjadi lamban bekerja di kantor-kantor. Apa sebabnya?
Sebenarnya yang menyebabkan orang berpuasa itu lamban bukan karena puasanya. Bioritmik dalam hal tidur diubah dalam bulan puasa. Di luar bulan puasa irama hidup dalam hal tidur lebih banyak pada malam hari ketimbang di siang hari. Dalam bulan puasa, karena aktivitas ruhaniyah intensif di malam hari, maka bioritmik dalam hal tidur dibalik: lebih banyak tidur di siang hari ketimbang di malam hari. Jadi apabila dalam siang hari tidak ada kesempatan untuk tidur siang, karena masuk jam 08.00 pulang jam 16.00, maka insya Allah orang itu akan loyo karena kurang tidur. Tidur merupakan kebutuhan seperti makan dan minum. Orang yang tidak sempat tidur karena baku tembak terus-menerus dalam peperangan, maka jika ajalnya akan sampai, kalau bukan mati kena pelor ia akan mati karena kekurangan tidur. Ini pendapat yang dikemukakan oleh Dr Halim Mubin dalam diskusi subuh tersebut. Menurut pendapat Dr Saad Maidin bahwa orang sangat khusyu' dalam shalat atau dalam membaca wirid, maka effeknya sama dengan tidur, karena sel-sel otak istirahat, akibat aktivitas beralih seluruhnya ke aktivitas batin atau qalb. Ada pula seorang dokter yang ahli dalam soal tidur (maaf namanya saya lupa), bahwa ada orang yang sudah cukup baginya waktu tidur selama 2 jam dalam sehari semalam. Namun saya jawab, kita ini membicarakan orang-orang normal, seperti kebutuhan tidur Dr Lawang 5 - 6 jam, karena menurut beliau, dirinya adalah contoh orang normal dalam hal tidur. Yaitu secara statistik, mereka yang berada dalam daerah luas bidang di sekitar puncak gunung dalam kurva normal, artinya kita membicarakan orang-orang yang normal, bukan yang ekstrem kiri (2 jam) maupun extrem kanan (10 jam), yang jauh dari puncak gunung kurva nomal.
Pendapat saya ini didukung oleh Prof.H.Muh. Natsir Nessa, bahwa memang yang kita bicarakan adalah realitas orang-orang yang bekerja di kantor. Beliau (PR II Unhas) sempat menyatakan bahwa dalam waktu dekat di Unhas akan dikeluarkan edaran tentang pergeseran jam kerja. Jam kerja tetap 8 jam, namun waktu masuk kantor yang digeser menjadi lebih lambat, untuk memberikan kesempatan tidur sebelum masuk kantor. Saya pikir penggeseran waktu masuk kantor ini suatu pemecahan yang baik, yang rasional. Dari pada duduk terkantuk-kantuk di kantor, yang tentu saja produktivitas menurun, lebih baik diberi kesempatan untuk tidur dahulu di rumah sebelum masuk kantor.
Cara menggeser waktu kerja ini dapat pula diaplikasikan di pabrik-pabrik yang mempergunakan shift system. Umumnya di pabrik-pabrik membagi karyawan di bagian produksi menjadi tiga shift, ketiga shift itu bekerja secara estafet, masing-masing 8 jam: jam 08.00 - 16.00, jam 16.00 - 24.00, dan jam 00.00 - 08.00. Jadwal yang disusun secara demikian tidak memberikan waktu tidur bagi shift 08.00 - 16.00.
Maka alangkah baiknya manager pabrik-pabrik kini tiba saatnya untuk memperhatikan karyawannya bukan hanya sekadar memikirkan segi-segi perbaikan gaji dan kesejahteraan saja. Alangkah baiknya jika kesejahteraan ruhaniah para karyawan diperhatikan pula dalam bulan Ramadhan, bukan hanya sekadar THR. Memberikan mereka kesempatan untuk meningkatkan intensitas aktivitas ruhaniyah pada malam bulan Ramadhan. Caranya sederhana saja, yaitu menggeser jadwal shift 2 jam lebih cepat: 06.00 - 14.00, 14.00 - 22.00, dan 22.00 - 06.00. WaLlahu a'lamu bisshawab
*** Makassar, 5 Februari 1991