5 Februari 1995

163. Puasa dan Produktivitas

Judul di atas itu saya bawakan dalam diskusi subuh di Masjid Ikhtiar I, Kampus Lama Unhas, Baraya, pada subuh hari Jumat hari ketiga puasa. Dalam kolom ini saya selipkan pula masukan-masukan dari beberapa peserta diskusi.

Produktivitas menyangkut dua wawasan, produktivitas ruhaniyah dan produktivitas phisik. Dalam bulan Ramadhan sesuai dengan tuntuanan RasuluLlah SAW, produktivitas ruhaniyah meningkat dibandingkan dengan bulan-bulan di luar Ramadhan. Pada waktu malam hari dalam bulan Ramadhan, kita banyak melaksanakan shalat sunnat, yaitu Shala-tu lLayl (shalat Tarawih tergolong Shala-tu lLayl), i'tiqaf, mengaji Al Quran, dzikir (maksudnya membaca wirid), sehingga betul-betul produktivitas ruhaniyah meningkat.

Produktivitas phisik menyangkut aktivitas orang berpuasa di siang hari. Ini dapat diukur secara kuantiatif yaitu berupa satuan volume hasil pekerjaan per satuan waktu. Misalnya juru ketik, produktivitasnya diukur dengan jumlah baris per menit.

Sayangnya uji coba produktivitas PNS sehubungan dengan lima hari kerja (8 jam sehari) tidak dilaksanakan dalam bulan puasa. Ada baiknya walaupun tidak ada instruksi dari atas, kepala-kepala kantor memonitor, kemudian mengevaluasi produktivitas mereka dengan standar evaluasi produktivitas di luar bulan Ramadhan.

Sebenarnya tidak ada alasan produktivitas di siang hari dari orang berpuasa akan menurun. Firman Allah dalam S.Al Baqarah,187: ...wa Kuluw wa Syrabuw Hattay Yatabayyana laKumu lKhaythu lAbyadhu mina lKahythi lAswadi mina lFajri, tsumma Atimmuw shShiya-ma ilay Llayli,..., ...dan makanlah dan minumlah hingga nyata bagimu benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam (terbenamnya matahari)...

Jadi mulai fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari kita berpuasa, menahan diri dari desakan naluri (makan, minum, hubungan sex) dan desakan impuls nafsun ammarah. Mulai terbenam matahari hingga fajar irama hidup (bioritmik) dalam hal aktivitas menyerap energi dari makanan tidak ada perbedaan dengan di luar bulan puasa. Berbuka puasa (to break a fast) dalam bulan puasa tiada beda dengan sarapan pagi (breakfast) di luar bulan puasa, makan sebelum berangkat ke masjid untuk shalat tidak berbeda dengan makan siang di luar bulan Ramadhan, makan sahur menjelang fajar tiada beda dengan makan malam di luar bulan puasa. Jadi energi yang masuk ke dalam tubuh kita sama kuantitasnya dalam bulan puasa dengan dalam bulan-bulan lainnya. Itu berarti luaran (output) berupa produktivitas phisik orang berpuasa tidak semestinya menurun.

Akan tetapi dalam kenyataannya (kelihatannya?) orang berpuasa itu menjadi lamban bekerja di kantor-kantor. Apa sebabnya?

Sebenarnya yang menyebabkan orang berpuasa itu lamban bukan karena puasanya. Bioritmik dalam hal tidur diubah dalam bulan puasa. Di luar bulan puasa irama hidup dalam hal tidur lebih banyak pada malam hari ketimbang di siang hari. Dalam bulan puasa, karena aktivitas ruhaniyah intensif di malam hari, maka bioritmik dalam hal tidur dibalik: lebih banyak tidur di siang hari ketimbang di malam hari. Jadi apabila dalam siang hari tidak ada kesempatan untuk tidur siang, karena masuk jam 08.00 pulang jam 16.00, maka insya Allah orang itu akan loyo karena kurang tidur. Tidur merupakan kebutuhan seperti makan dan minum. Orang yang tidak sempat tidur karena baku tembak terus-menerus dalam peperangan, maka jika ajalnya akan sampai, kalau bukan mati kena pelor ia akan mati karena kekurangan tidur. Ini pendapat yang dikemukakan oleh Dr Halim Mubin dalam diskusi subuh tersebut. Menurut pendapat Dr Saad Maidin bahwa orang sangat khusyu' dalam shalat atau dalam membaca wirid, maka effeknya sama dengan tidur, karena sel-sel otak istirahat, akibat aktivitas beralih seluruhnya ke aktivitas batin atau qalb. Ada pula seorang dokter yang ahli dalam soal tidur (maaf namanya saya lupa), bahwa ada orang yang sudah cukup baginya waktu tidur selama 2 jam dalam sehari semalam. Namun saya jawab, kita ini membicarakan orang-orang normal, seperti kebutuhan tidur Dr Lawang 5 - 6 jam, karena menurut beliau, dirinya adalah contoh orang normal dalam hal tidur. Yaitu secara statistik, mereka yang berada dalam daerah luas bidang di sekitar puncak gunung dalam kurva normal, artinya kita membicarakan orang-orang yang normal, bukan yang ekstrem kiri (2 jam) maupun extrem kanan (10 jam), yang jauh dari puncak gunung kurva nomal.

Pendapat saya ini didukung oleh Prof.H.Muh. Natsir Nessa, bahwa memang yang kita bicarakan adalah realitas orang-orang yang bekerja di kantor. Beliau (PR II Unhas) sempat menyatakan bahwa dalam waktu dekat di Unhas akan dikeluarkan edaran tentang pergeseran jam kerja. Jam kerja tetap 8 jam, namun waktu masuk kantor yang digeser menjadi lebih lambat, untuk memberikan kesempatan tidur sebelum masuk kantor. Saya pikir penggeseran waktu masuk kantor ini suatu pemecahan yang baik, yang rasional. Dari pada duduk terkantuk-kantuk di kantor, yang tentu saja produktivitas menurun, lebih baik diberi kesempatan untuk tidur dahulu di rumah sebelum masuk kantor.

Cara menggeser waktu kerja ini dapat pula diaplikasikan di pabrik-pabrik yang mempergunakan shift system. Umumnya di pabrik-pabrik membagi karyawan di bagian produksi menjadi tiga shift, ketiga shift itu bekerja secara estafet, masing-masing 8 jam: jam 08.00 - 16.00, jam 16.00 - 24.00, dan jam 00.00 - 08.00. Jadwal yang disusun secara demikian tidak memberikan waktu tidur bagi shift 08.00 - 16.00.

Maka alangkah baiknya manager pabrik-pabrik kini tiba saatnya untuk memperhatikan karyawannya bukan hanya sekadar memikirkan segi-segi perbaikan gaji dan kesejahteraan saja. Alangkah baiknya jika kesejahteraan ruhaniah para karyawan diperhatikan pula dalam bulan Ramadhan, bukan hanya sekadar THR. Memberikan mereka kesempatan untuk meningkatkan intensitas aktivitas ruhaniyah pada malam bulan Ramadhan. Caranya sederhana saja, yaitu menggeser jadwal shift 2 jam lebih cepat: 06.00 - 14.00, 14.00 - 22.00, dan 22.00 - 06.00. WaLlahu a'lamu bisshawab

*** Makassar, 5 Februari 1991