19 Februari 1995

165. Hukuman mati, Bagian dari Hukum Qishash

Setelah sekian lama persoalan hukuman mati terpendam dalam perbincangan sejak mendiang Kusni Kasdud dieksekusi, yang seperti diketahui pembahasan itu dimulai oleh mendiang Adam Malik dalam mas media, maka setelah mendiang Kacong Laranu dieksekusi, kini pembahasan hukuman mati itu kembali muncul lagi ke permukaan. Seperti biasa umumnya suatu materi pembahasan ada yang pro dan ada yang kontra. Sehingga pro dan kontra tentang hal hukuman mati itu adalah wajar.

Namun yang tidak wajar adalah jika yang tidak setuju hukuman mati itu adalah mereka yang beragama Islam dan Kristen. Kita dapat membaca Firman Allah dalam Al Quran:

Ya-ayyuha- Lladziyna A-manuw Kutiba 'alayKumu lQisha-shau fiy lQatlay, ..... (S.AlBaqarah, 178), hai orang-orang beriman diperlukan atas kamu qishash dalam pembunuhan, ..... (2:178).

Adapun yang dimaksud dengan hukum qishash adalah hukum pembalasan hukuman mati bagi pembunuh. Hukum qishash ini ada pula dalam Perjanjian Lama, khususnya Kitab Tawrat (Lima Kitab Nabi Musa AS), dalam bagian The third Book of Moses (Leviticus) 24:21 tertulis:

And he that killeth a beast, he shall restrore it, and he that killeth a man, he shall be put to death. Dan dia yang membunuh binatang haruslah menebusnya, dan dia yang membunuh orang haruslah dihukum mati.

Dalam Perjanjian Baru, Kitab Injil ada tersirat pula hukuman mati, yaitu dalam Injil Matius 5:17 tertulis:

Janganlah kamu sangkakan aku datang hendak merombak Hukum Tawrat atau Kitab Nabi-Nabi; bukannya aku datang untuk merombak, melainkan hendak menggenapkan. Apabila Nabi 'Isa AS tidak merombak Hukum Tawrat, yaitu syari'at Nabi Musa AS, maka hukuman mati yang tesurat dalam syari'at Nabi Musa AS tetap diperlakukan oleh Nabi 'Isa AS. Artinya secara tersirat hukuman mati ada terkandung dalam Kitab Injil Matius, fasal 5 ayat 7 yang dikutip di atas itu.

Kita hargai kebebasan berpendapat, atau lebih tepatnya kebebasan memilih pendapat, kebebasan bersikap terhadap sebuah pendapat, menerima atau menolak. Akan tetapi jika pilihan telah diambil, jika sikap telah ditentukan, berarti yang bersangkutan telah mengurangi kebebasannya berpendapat dan bersikap. Kebebasannya itu dibingkai oleh sistem nilai dan ketentuan-ketentuan dari apa (agama, organisasi) yang telah dipilihnya. Tidak ada paksaan dalam agama. Orang bebas menentukan atau memilih agamanya. Akan tetapi sekali agama kita anut, maka kebebasan berpendapat kita akan dibatasi atau dibingkai oleh sistem nilai dan ketentuan-ketentuan dari agama yang kita anut. Sekali memlih agama Islam, atau Kristen atau Yahudi, maka kebebasan bersikap terhadap hukuman mati telah dibatasi oleh syari'at mengenai hukuman mati melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Musa AS, Nabi 'Isa AS dan Nabi Muhammad SAW.

Dari beberapa artikel yang saya baca ada pula yang berpendapat jika hukuman mati itu dimaksudkan untuk mempertakut-takuti masyarakat sehingga tidak berani berbuat kejahatan pembunuhan, maka tujuan menakut-nakuti itu tidak akan mendatangkan efek sama sekali, bahkan ada yang mengemukakan pendapat seorang pakar. Kita sendiri tidak begitu yakin akan hasil penelitian pakar tersebut. Apakah pakar itu mengenyampingkan tentang adanya kenyataan bagaimana para bromocorah menjadi sangat kecut terhadap penembak misterius tempoh hari. Mereka para bromocorah itu lari terbirit-birit meninggalkan Jakarta, sehingga pada waktu itu Jakarta aman dari gangguan para bromocorah itu. Katanya waktu itu ada dua orang kelas kakap dari bromocorah melarikan diri ke kota Makassar ini.

Sedikit catatan tentang singkatan penembak misterius menjadi Petrus. Kita tidak sependapat dengan singkatan ini, oleh karena Petrus, yang sebelumnya bernama Simon adalah salah seorang di antara ke-12 alHawariyyuwna, yaitu murid-murid dan pengikut setia dari Nabi'Isa AS. Ke-12 Hawariyyuwn itu adalah orang-orang terhormat, sehingga namanya tidaklah etis untuk dijadikan singkatan kata atau ungkapan apapun juga.

Ada pula yang menolak hukuman mati itu dengan alasan bertentangan dengan asas kemanusiaan. Sekali lagi kita kemukakan jika yang menolak itu beragama Islam atau Kristen itu berarti ia mempertentangkan antara agama yang dianutnya dengan asas kemanusiaan. Mereka yang mempertentangkan antara agama dengan asas kemanusiaan itu, sebenarnya salah kaprah, karena asas kemanusiaan itu dirancukan dengan humanisme agnostik yang umumnya dianut oleh para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak menyadari bahwa agama yang dianutnya (kalau ia beragama) mewajibkan Hukum Qishash seperti telah dikemukakan dalam Perjanjian Lama, Perjanjian Baru dan Al Quran di atas itu. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 19 Februari 1995