26 Februari 1995

166. Lembu Besar yang Keluar dari Lubang Sempit dan Hubungannya dengan Imtaq

Pada bulan Rajab yang baru lalu dalam memberikan hikmah memperingati Isra'-Mi'raj RasuluLlah SAW di Masjid Syura, saya kemukakan perihal lembu besar yang keluar dari lubang sempit seperti di bawah ini:

Dalam Isra Allah SWT memproyeksikan salah satu gambaran kepada RasuluLlah SAW, yaitu RasuluLlah SAW melihat seekor lembu yang besar keluar dari lubang yang sempit. Kemudian lembu itu hendak masuk kembali ke dalam lubang kecil tadi, tetapi lembu itu sudah tidak mampu lagi kembali masuk ke dalamnya. RasuluLlah SAW bertanya kepada Jibril AS yang menuntun buraq kendaraan RasuluLlah dari Al Masjidu lHaram ke Baytu lMaqdis:

- Apakah ini, wahai Jibril? Maka Jibril AS-pun menjawab:

- Ini adalah perumpamaan bagi orang yang mengeluarkan suatu perkataan, kemudian ia berusaha untuk menarik perkataan yang telah terucapkan tadi, namun apa daya, ucapan yang sudah terulur itu tak dapat lagi ditarik masuk ke dalam mulutnya kembali.

***

Dalam diskusi subuh 3 Ramadhan di Masjid Ikhtiar I Kampus Lama Baraya saya kemukakan bahwa ungkapan iman dan taqwa disingkat Imtaq, tidak tepat. Sebenarnya hal itu secara panjang lebar telah saya bahas dalam seri no.147. Secara singkat keterangannya sebagai berikut:

Kata penghubung dan menghubungkan kata ataupun penggalan kalimat yang termasuk dalam kategori skala nominal, yaitu yang dihubungkan itu sederajat, seperti misalnya skala nominal jenis kelamin: laki-laki dan perempuan. Juga kata dan menghubungkan skala ordinal, yaitu yang dihubungkan itu bertingkat, seperti misalnya skala ordinal topografi: gunung dan bukit.

Bagaimana dengan iman dan taqwa? Baiklah kita tilik ayat populer dalam bulan Ramadhan ini:

Ya-ayyuha- Lladziyna A-manuw Kutiba 'alaykumu shShiya-mu kama- Kutiba 'alay Lladziyna min Qablikum La'allakum Tattaquwna, hai orang-orang beriman diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa (S.AlBaqarah,183).

Menilik ayat tersebut yang memerintahkan orang-orang beriman untuk berpuasa supaya bertaqwa, maka kedua derajat ruhaniyah itu masuk dalam skala ordiner, yaitu bertaqwa itu kedudukannya lebih tinggi dari beriman. Dan disinilah salah kiprah terjadi. Yaitu karena kedudukan keduanya itu masuk dalam skala ordiner maka orang menyangka tidaklah salah jika dikatakan: meningkatkan iman dan taqwa.

Kalau ayat itu ditilik baik-baik maka di dalam taqwa tercakuplah iman, karena iman itu adalah modal dasar untuk mencapai taqwa. Kalau iman diibaratkan bukit dan taqwa diibaratkan gunung, maka dalam hal ini bukit itu masuk ke dalam perut gunung.

Kita dapat katakan bukit dan gunung oleh karena bukit itu tidak menyatu dengan gunung. Namun di pihak lain sudah cukup jika dikatakan taqwa saja, karena iman sudah menyatu dalam taqwa. Kalau iman juga mau disebut di samping taqwa dikatakanlah meningkatkan iman untuk menjadi taqwa.

Tentu saja tidaklah salah apabila kita katakan: Sekarang saya akan membahas pengertian iman dan taqwa, oleh karena dalam hal ini maksudnya akan dibahas berturut-turut iman dan taqwa. Yang tidak benar, jika kedua derajat ruhaniyah itu dimasukkan dalam diri manusia sekaligus secara bersamaan. Jadi sekali lagi sudah cukup jika dikatakan meningkatkan taqwa, dan inilah yang dimaksud dengan Ittaquw- Lla-ha Haqqa Tuqa-tihi.

***

Seorang mahasiswa saya dari Fakultas Teknologi Industri UMI dalam mata-kuliah Manajemen dalam Islam, mendatangi saya di rumah mengemukakan kedua hal yang di atas itu. Memang saya didik mereka itu tentang nilai keterbukaan. Katanya:

- Bagaimana dalam dunia ilmiyah jika kita mempunyai pendapat, sedangkan pendapat kita berbeda dengan orang lain, padahal pendapat orang lain itu lebih kuat dasarnya, apakah pendapat kita itu tidak boleh ditarik kembali? Lalu saya jawab:

- Dalam dunia ilmiyah pendapat yang kita keluarkan bukanlah ibarat seekor lembu yang besar keluar dari lubang yang sempit, sehingga lembu itu tidak mampu lagi kembali masuk ke dalamnya. Ingatlah pendapat Imam Syafi'i dalam ilmu fiqhi: Qawlu lQadiym dan Qawlu lJadiyd, pendapat lama dan pendapat baru. Lalu saya teruskan lagi:

- Adapun yang dimaksud dengan lembu itu adalah kata-kata sesumbar, dan janji-janji yang muluk-muluk. Kata-kata sesumbar seumpama ucapan arogan disertai dengan tepukan dada: tena tau kutawarri anrinni, tidak ada orang yang saya tawar di sini. Janji-janji yang muluk-muluk misalnya dalam kampanye pemilihan umum menawarkan program-program yang muluk-muluk yang sukar dilaksanakan.

Mahasiswa itu kemudian melanjutkan dengan menyodorkan guntingan dari halaman pertama Pedoman Rakyat, kolom HIKMAH PUASA. edisi 1 Februari 1995. Saya kutip:

Barang siapa yang melaksanakan Puasa karena iman dan taqwa diampuni dosa-dosanya yang dahulu dan yang akan datang. (Hadis Nabi Muhammad SAW).

Sambil menyodorkan itu ia mengatakan bahwa pendapat saya tentang tidak benarnya ungkapan iman dan taqwa itu, tentu bukanlah semacam lembu tersebut. Saya maklum bahwa mahasiswa saya itu secara halus mengatakan kepada saya supaya saya menarik kembali pendapat saya berhubung karena ungkapan iman dan taqwa itu dikuatkan oleh Hadits RasuluLlah SAW, Maka saya jawab:

Saya tidak akan menarik pendapat saya kembali, oleh karena apa yang tertulis dalam Harian Pikiran Rakyat itu TIDAK BENAR TERJEMAHANNYA. Adapun matan Hadits itu demikian: Man Sha-ma Ramadha-na I-manan waHtisa-ban Ghufira Lahu Ma- Taqaddama Min Dznbihi (H.R. Bukhari). Adapun terjemahannya yang betul adalah: Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan menghisab dirinya (introspeksi), diampuni dosanya yang lalu.

Hadits yang diterjemahkan salah itu meletakkan iman setingkat dengan taqwa, dan itu adalah kesalahan yang parah, sebab bertentangan dengan S.Al Baqarah 183 yang meletakkan taqwa lebih tinggi tingkatnya dari iman.

Maka hindarkanlah untuk ikut latah mempergunakan ungkapan dua singkatan yang bersajak awal dan akhir: Imtaq-Iptek. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 26 Februari 1995