Para pakar yang atheist, agnostik dan deist dalam menganalisa rentetan pergelutan ummat manusia di antara bangsa hanya memakai pendekatan historis. Sayangnya para pakar Muslim turut pula terperangkap ke dalam jaring filsafat positivisme, sebab kalau tidak demikian hasil analisa mereka itu akan dicap tidak ilmiyah, karena melanggar rambu-rambu dan tatacara keilmuan. Demikianlah para pakar dari ketiga golongan yang tergabung dalam filsafat positivisme bersama-sama dengan para pakar Muslim yang ikut terseret secara sadar ataupun tidak sadar menempatkan semua agama sebagai komponen atau bagian dari kebudayaan. Maka mereka itu dalam mencari hubungan antara agama dengan agama, antara agama dengan dongeng-dongeng hasil imajinasi dan sastra bangsa-bangsa dahulu kala, akan memakai pendekatan historis tok. Para pakar sejarah yang tidak percaya wahyu, atau sekurang-kurangnya percaya wahyu akan tetapi melecehkan wahyu dalam menganalisa sejarah dengan pendekatan historis, tidaklah membedakan antara produk budaya Baniy israil (lsrailiyat), yang mempunyai akar historis, dengan yang bersumber dari akar yang non-historis, yaitu dari wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada para Nabi dari kalangan Baniy Israil tersebut, yang dalam bentuk tertulis secana otentik menjadi salah satu dari rukun iman yang enam, yaltu beriman kepada waMa- Unzila min Qablika, beriman kepada Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum engkau (hai Muhammad), (S.AlBaqarah 2:4).
Para pakar sejarah yang berpandangan hidup filsafat positivisme tidak saja menyeret pakar sejarah yang Muslim dengan pendekatan historis tok, bahkan mereka itu juga meracuni pola pikir para santri dengan pendekatan historisnya. Berikut ini saya kutip dari sebuah bacaan pelajaran bahasa Arab tentang Hukum Qishash dalam Kode Hammurabi, yang menjadi judul dari seri ini. (Kode Hammurabi terpahat pada batu hitam diorit, didapatkan dalam tahun 1901). Berikut kutipannya:
Barhana l'Ulama-u Anna Syariy'ata Hammurabiy Allatiy Turjimat ila- Kulli Lugha-ti l'A-lami Ka-nat Natiyjata Tathawwurin Da-ma Muddatan Thawiylah. WaYabduw Anna I'Ibra-niyiyna 'Inda Khuruwjihim Mina IShahra-i wa Wushuwluhum ila- lHila-li Ghashiybi Aqa-muw lShila-ta ma'a Ahli Ba-bila waTatalmadzuw 'Alayhim waAkhadzuw lSyariy'ata 'Anhum. FaKhalaqa Dzalika Jawwan Muna-siban liZhuhuwri Anbiya-a. Wa Qad Ja-a fiy Tilka sySyariy'ati Ma- Yally: In Yaqla' Insa-nun 'Ayna Akhara Tuqla' 'Aynuhu. In Yaksir Insanun Sinna Akhara faSinnuhu Tuksaru. Man Yaqtul Yuqtal. (Para pakar telah membuktikan bahwa kode Hammurabi, yang telah diterjemahkan ke dalam setiap (?-HMNA_) bahasa di dunia, adalah hasil perkembangan secara evolusi yang memakan rentang waktu yang panjang. Ternyata bangsa lbrani dalam emigrasi mereka dari gurun sahara dan setibanya ke daerah Bulan Sabit yang subur membina kontak budaya dengan bangsa Babilonia, dan menjadi murid mereka, serta mengambil hukum mereka. Keadaan itu menciptakan iklim yan kondusif untuk kemunculan para nabi. Terdapatlah di dalam hukum tersebut, seperti berikut: Jika seseorang mencungkil mata orang lain, orang itu dicungkil matanya. Jika seseorang mematahkan gigi orang lain, gigi orang itu dipatahkan. Siapa yang membunuh, dibunuh).
Itulah hasil pendekatan historis para pakar sejarah. Hukum Qishash dalam Tawrah berasal dan hasil kontak budaya dengan bangsa Babilonia. Pengertian Nabi dalam bacaan di atas itu dikorupsi oleh pakar sejarah: Nabi-nabi bukanlah orang yang mendapat wahyu. Nabi-Nabi tidak lain hanya sekadar para cendekiawan yang mengambil hukum bangsa Babilonia untuk diterapkan dalam kalangan bangsa Ibrani. Teori hasil penafsiran para pakar sejarah dengan pendekatan historisnya tentang Nabi-Nabi dan bangsa Ibrani yang mengambil kode Hammurabi untuk diterapk?n dalam kalangan bangsa Ibrani, amatlah simplistik, bahkan naïf atau murahan. Memang hukum Qishash ada dalam Syani'at yang dibawakan oleh Nabi Musa AS. And he that killeth a man, he shall be put to death (Leviticus. 24:21), dan dia yang membunuh orang haruslah dihukum mati. Memang bangsa Ibrani (al'lbriyah alJadiydah) yaitu Nabi Ibrahim AS dari Ur, Babilonia. Akan tetapi Nabi-Nabi dari kalangan bangsa Ibrani, yang turunan dari Nabi lbrahim AS, semuanya memakai Syari'at Nabi Musa AS, sedangkan Nabi Musa AS tidak pernah mengadakan kontak budaya dengan bangsa Babilonia. Bahkan Nabi 'isa AS juga memakai Syani'at Nabi Musa AS. Janganlah kamu sangkakan aku datang hendak merombak Hukum Tawrat atau Kitab Nabi-Nabi, (Matius 5:17). Secara historis Nabi-.Nabi dalam kalangan bangsa Ibrani, yang turunan dan Nabi lbrahim AS, tidak pernah mengadakan kontak budaya dengan bangsa Babilonia, kecuali dua tiga orang (al. Nabi Ezekil, Nabi Ezra, Nabi Danyal) tatkala Bani Israil dibuang ke Babilonia (587 - 538)SM. Secara histonis Nabi-Nabi yang mengadakan kontak budaya dengan bangsa Babilonia pada zaman pembuangan Babilonia sudah mempengunakan Syani'at Nabi Musa AS. Bangsa Ibrani menjabarkan Syari'at Nabi Musa AS dalam wujud Babylonian Talmud dalam periode pembuangan Babilonia. Jadi secana historis Nabi-Nabi dalam kalangan bangsa Ibrani tidaklah mengambil Kode Hammurabi seperti dalam bacaan bahasa Arab yang dikutip di atas itu.
ltulah kelemahan disiplin ilmu yang berlandaskan fisafat positivisme sebagaimana keadaannya corak ilmu dewasa ini. Kita lihat bagaimana naifnya hasil pendekatan historis yang terlalu memaksakan bahwa Nabi-Nabi bangsa ibrani mengadopsi kode Hammurabi. Kita harus membongkar sama sekali landasan ilmu pengetahuan yang sekarang ini. Bukan dibina di atas landasan filsafat positivisme, melainkan disiplin ilmu itu harus dibangun di atas landasan Tawhid. Dalam hal disiplin ilmu sejarah, haruslah ditempuh kombinasi pendekatan historis dengan yang non-historis, yaitu pendekatan yang mempergunakan sumber informasi dari sejarah dan wahyu.
Adanya hukum Qishash dalam Syani'at Nabi Musa AS yang dilanjutkan oleh Nabi-Nabi dalam bangsa Ibrani dan adanya hukum Qishash dalam Al Quran Ya-ayyuha- Lladziyna A-manuw Kutiba 'Alaykumu lQisha-shu fiy lQatla- (S.AlBaqarah, 178), hai orang-orang beriman diperlukan atas kamu qishash dalam pembunuhan (2:178), oleh karena hukum Qishash itu bersumber dari Allah SWT yang diturunkan melalul wahyu kepada Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW.
WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 23 Februari 1997
23 Februari 1997
[+/-] |
262. Hukum Qishash dalam Kode Hammurabi |
16 Februari 1997
[+/-] |
261. Tragedi Situbondo, Tasikmalaya, Tanah Abang dan Rengasdengklok |
Masih terekam dengan sadar dalam kulit otak saya, walaupun sudah lama berselang. Yaitu saya membacanya dalam majallah "Pedoman Masyarakat" terbitan Medan, tatkala saya masih (A)nak (B)aru (G)ede, ABG, masih duduk di bangku Jokyu Kogakko (SD zaman pendudukan Jepang). Itu terambil dan sebuah majallah terbitan Medan, yaitu Pedoman Masyarakat, yang sayang sekali koleksi berkas majallah tersebut sudah tercecer sekarang. Seingat saya salah seorang redaksi majallah itu (atau pimpinan redaksi?), yaitu (H)aji (A)bdul (M)alik (K)arim (A)mrullah, disingkat HAMKA. Tersebutlah, seorang tokoh pergerakan nasional (saya sudah lupa namanya) berpidato dalam sebuah rapat umum. Selang berapa waktu di tempat ia berpidato itu timbul ribut-ribut. Polisi Belanda menangkap tokoh itu, karena ia dianggap menghambur (zaaien) kebencian (haat), ia dijaring dengan artikel Haatzaai, yang seperti dituliskan dalam dua tanda kurung, secara harfiah berarti menghambur kebencian, secara bebas dapat diterjemahkan dengan menghasut, memprovokasi (dari to provoke). Dalam pengadilan tokoh tersebut mengemukakan inti pleidooi (pembelaan) yang berbentuk puisi:
Enggang (bukan enggan!) hinggap,
Ranggas (ranting tak berdaun) jatuh,
Anak raja mati terhimpit.
Puisi tersebut telah dijadikan judul untuk Seri 085, bertanggal 27 Juni 1993.
Puisi itu bermuatan filosofis. Apakah memang ranggas itu sudah waktunya untuk patah karena sudah lapuk, lalu patah bersamaan tatkala burung enggang hinggap di atasnya, jadi sama sekali tidak terjadi hubungan kausalitas. Ataukah ranggas yang sudah lapuk itu patahnya dipercepat waktunya oleh burung enggang yang hinggap. Ataukah ranggas itu sebenarnya masih kuat belumlah lapuk, lalu menjadi patah akibat memikul beban berat burung enggang. Kemudian anak raja yang bersantai berteduh mengisap hawa segar hutan di bawah pohon itu memang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT sampai ajalnya bersamaan dengan jatuhnya ranggas yang menimpanya, artinya tidak ada hubungan kausalitas antara ranggas yang jatuh dengan kematian anak raja itu. Ataukan anak raja itu mengidap penyakit jantung sehingga jantungnya berhenti berdetak lalu mati secara tiba-tiba karena terkejut ditimpa secara mendadak oleh ranggas yang ringan. Ataukah ranggas itu cukup berat menimpa kepala pada bagian yang vital dan anak rajayang sebenarnya segar-bugar, sehingga inenjadi sebab kematiannya. Memang sudah ditakdirkan oleh Allah SWT bahwa enggang itu hinggap justru pada ranggas yang ada di atas anak raja itu, dan ditakdirkan pula oleh Allah SWT pada waktu yang sama ranggas itu jatuh menimpa kepala anak raja itu, serta ditakdirkan pula oleh Allah SWT bersamaan jatuhnya ranggas itu menimpa kepala anak raja itu, sampailah ajal si anak raja tersebut. Bahwa ada hubungan kausalitas di antara ketiga rentetan perisitwa itu, atau tidak ada sama sekali, itu termasuk penafsiran hasil kajian dan observasi terhadap peristiwa itu.
Sebelum enggang hinggap pohon kayu dengan ranggasnya dan anak raja yang duduk bemaung di bawahnya merupakan suatu sistem dalam keadaan seimbang. Ada berjenis-jenis keseimbangan. Ada keseimbangan yang statis (statische evenwicht), ibarat orang duduk di atas kursi. Kursi cukup kuat menopang berat badan orang ito. Di alam raya ada keseimbangan. WasSama-a Rafa'aha- wa Wadha'a lMiyza-na (Ar Rahman 7) , langit ditinggikanNya dan dijadikanN seimbang (55:7). Keseimbangan di alam raya adalah keseimbangan yang dinamis (dinamische evenwicht), ibarat bulan mengedari bumi, bumi mengedari matahari, matahari mengedari pusat galaxy Milky Way. Bulan, bumi dan matahari merupakan satu sistem yang seimbang, walaupun ketiganya sedang bergerak. Ada pula keseimbangan yang stabil (stabiele evenwicht), ibarat biji kelereng pada dasar mangkuk yang cekung. Dan ada pula keseimbangan yang labil (labiele evenwicht), yang dinyatakan secara tepat dalam peribahasa kita: Seperti telur di ujung tanduk. Di antara jenis-jenis keseimbangan tersebut, maka keseimbangan yang dinamislah yang ideal bagi masyarakat.
***
Tragedi Situbondo, Tasikmalaya, Ta?ah Abang, Rengasdengklok, seyogianya dikaji dengan pendekatan filsafat enggang hinggap, ranggas jatuh, anak raja mati terhimpit ini. Enggang yang hinggap tersebut tidak lain adalah orang yang menghina seorang Kiyai di Situbondo, polisi yang menganiaya guru pesantren di Tasikmalaya, mobil petugas yang menabrak pedagang kaki lima di Tanah Abang dan Giok yang memaki-maki remaja masjid di Rengasdengklok.
Ranggas jatuh yang ditarik oleh gravitasi adalah kemarahan ataupun kebringasan yang merasuk melebar, boleh jadi tanpa reka-yasa, atau boleh jadi akibat dari kemarahan yang meningkat menjadi kebringasan karena sengaja dikipas, dikobarkan, direkayasa oleh pihak ketiga (kambing hitam) untuk merusak sistem. Anak raja yang sakit adalah masyarakat yang sakit memendam rasa. seperti antara lain: Rasa tidak diperlakukan secara adil. Rasa keadilan masyarakat yang tidak sinkron dengan keadilan formal, baik itu dalam wujud pasal perundang-undangan tentang sanksi maximal, ataupun dalam wujud keputusan lembaga peradilan (baca keputusan hakim). Rasa yang dipendam oleh pedagang kaki-lima yang mencari sesuap nasi yang diperlakukan kurang manusiawi oleh petugas ketertiban. Rasa tersisihkan dalam memperoleh sejemput cicipan kue hasil pembangunan.
Nilai-nilai instrumen mengenai keadilan, pemerata pembangunan, sebenamya secara teori sudah ada . Akan tetapi nilai praxis yang menterjemahkan nilai-nilai instrumen itu ke dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, masih belum berjalan dengan mulus. Perlu introspeksi utamanya bagi para penanggung jawab yang berkecimpung dalam nilai praxis yang menterjemahkan nilai nilai instrumen menjadi wujud yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Masyarak?t boleh disuruh tertib, namun filsafat menunjuk harus dihayati. Satu jari (telunjuk) ditujukan kepacla masyarakat agar tetap menjaga ketertiban, aka? tetapi jangan lupa bahwa tigajari (kelingking, jari manis, jari tengah) menunjuk kepada diri sang penunjuk, para penanggung-jawab yang berkecimpung dalanm nilai praxis. Kabura Maqtan 'Inda Liahi an Taquwlu Ma- La- .Taf'aluwna (S. Ash Shaf, 3). Besar kutuk di sisi Allah karena kamu mengatakan yang tidak kamu kerjakan (61:3). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 16 Februari 1997
2 Februari 1997
[+/-] |
260. Siang Berganti Malam |
Sekali lagi dikemukakan, bahwa dalam bulan Ramadhan ini kolom ini diisi dengan kajian yang khas, yaitu aplikasi Pendekatan Satu Kutub (PSK). Penafsiran Ayat Kawniyah (eksakta-kosmologi) diuji-coba dengan rujukan Ayat Qawliyah (Seri 257). Penafsiran Ayat Kawniyah (non eksakta-sejarah), yang diuji-coba dengan rujukan Ayat Qawliyah (Seri 258). Penafsiran Ayat Qawliyah + Ayat Kawniyah (Nuzulu lQuran + sejarah Perang Badar), diuji-coba dengan rujukan ayat Qawliyah (Seri 259). Sebaliknya Seri ini menampilkan penafsiran Ayat Qawliyah diuji-coba dengan rujukan Ayat Qawliyah + Ayat Kawniyah.
Firman Allah: Yukawwiru ILayla 'alay nNaha-ri, wa Yukawwiru nNaha-ra 'alay ILayJi (S. AzZumar, 5). Dia menutupkan malam atas siang dan menutupkan slang atas malam (39:5).
Di atas itu adalah terjemahan Al Quran dengan Hak Cipta dari Departemen Agama Republik Indonesia. Terjemahan Mahmud Yunus: Dia memutarkan malam kepada siang dan memutarkan siang kepada malam. Yang berikut ini dikemukakan pula empat macam terjemahan: He maketh night to succeed day, and He maketh day to succeed night (Muhammad Marmaduke Pickthall, New York). Hij laat den nacht den dag overdekken en laat den dag den nacht overdekken (Soedewo, Jakarta). He makes the night cover the day, and makes the day overtake the night (World Organiza tion For Islamic Services, Teheran, Iran). He makes the night to cover the day, and He makes the day to cover the night (Maulawi Sher 'Ali, Rabwah, Pakistan). Yukawwiru diterjemahkan dengan menutup, succeed (mengganti, menyusul), overdekken (menutup), cover (menutup), dan overtake (menyusul).
Yukawwiru berasal dan akar kata Kef, Waw, Ra, Kawwara, artinya melilit sorban di kepala. Apabila kepala dililit sorban, maka kepala akan ditutup oleh sorban. Lilitan sorban itu susul-menyusul. Dilihat dan segi gaya bahasa jenis personifikasi, semua terjemahan ataupun penafsiran di atas itu dapat diterima. Siang dan malam dipersonifikasikan sebagai orang yang datang silih berganti, saling menutup antara satu dengan yang lain, ataupun diibaratkan sebagai orang yang saling berkejaran susul menyusul.
Disamping penafsiran menutup, mengganti, dan menyusul, masih ada yang dapat disimak dan melilit sorban. Yaitu dalam melilit sorban berlangsung proses melilit ataupun menggulung, sehingga ayat itu dapat ditafsirkan dengan: (Allah) menggulung malam atas siang dan menggulung slang atas malam. Penafsiran ini tidak masuk dalam gaya bahasa personifikasi, melainkan dari segi kinematika, ilmu gerak. Itulah barangkali sebabnya aspek menggulung ini luput dari perhatian para mufassirin, kecuali Mahmud Yunus dan Maurice Bucaille.
Penafsiran menutup selanjutnya kita uji-coba dengan rujukan Ayat Qawliyah: Yughsyiy lILyla nNaha-ra (S. Al A'ra-f, 54). Dia menutupkan malam pada slang (7:54). Temyata penafsiran nienutup, overdekken, to cover ini benar.
Penafsiran ini dapat pula dirujukkan pada ayat: Yuwliju LIayla fly nNaha-ri waYuwliju nNaha-ra fly LJayIi (S. Luqman, 29). Sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang, dan memasukkan siang ke dalam malam (31:29). Sepintas lalu rujukan ini tidak mengena. Apa relevansinya antara menutup dengan memasukkan. Untuk itu perlu penjelasan lebih lanjut. Sebenarnya hal ini telah saya kemukakan pada Seri 043 yang berjudul: Memanfaatkan Kesempatan Sekilas.
Saya dapat memahami dengan puas makna memasukkan dalam S.Luqman 29 itu dengan proses yang sangat sederhana. Artinya pemahaman itu bukan dengan jalan mengkaji kitab-kitab tafsin, melainkan dengan memanfaatkan sekilas penistiwa. Pada musiin panas di negeri Belanda tahun 1973, seorang Belanda manula, yang sama-sama menempati gedung pemukiman H.T.O. di Den Haag, menyapa saya dengan ucapan goeden avond yang berarti malam yang baik, atau selamat malam. Padahal waktu itu matahari masih tinggl di atas ufuk, sekitar 30 derajat. Maklumlah di musim panas siang lebih panjang dari malam. Onang Belanda itu menyapa saya selamat malam pada hal hari masih siang. Buat saya inilah penjelasan memasukkan siang pada malam. Selama ini sudah lama saya tahu dalam musim panas daerah yang 4-musim, slang lebih panjang dari malam. Tetapi tidak pernah terpikirkan sebelumnya, bahwa inilah penjelasan S. Luqman, 29. Sangat sederhana penjelasannya, dan memenuhi hasrat kepuasan intelektual saya. Siang lebih panjang dari malam artinya sebagian slang itu masuk ke dalam malam. Walaupun hari masih siang sesungguhnya hari sudah malam. Orang mengucapkan selamat malam pada hal hari masih slang. Dalam hal ini sebagian siang menutup malam. Uji-coba penafsiran slang menutup malam ternyata cocok dengan rujukan Ayat Qawliyah S. Luqman, 29: slang masuk ke dalam malam.
-
Selanjutnya penafsiran to succeed dan to overtake kalau kita uji-coba dengan nujukan Ayat Kawniyah, memang kenyataannya demikian, sehabis gelap timbul terang, siang dan malam susul-menyusul. siang berganti malam.
Penafsiran yang terakhir yaitu menggulung akan diuji-coba dengan rujukan Ayat Kawniyah. Menurut Ayat Kawniyah terjadinya siang dan malam karena proses perpusingan bumi pada sumbunya. Kita manusia yang ada di permukaan bumi bergerak mengikuti gerak perpusingan bumi pada sumbunya. Pada waktu kita berada pada permukaan bumi yang separuh kena cahaya matahani, maka itulah siang. Dan sebaliknya pada waktu kita berada pada separuh permukaan bumi yang gelap kanena tidak kena cahaya matahari, itulah malam. Uji-coba penafsiran menggülung dengan rujukan Ayat Kawniyah ternyata benar. Alhasil semua penafsiran di atas itu setelah mengalami uji-coba, ternyata semuanya benar.
Mungkin ada yang bertanya, buat apa itu penafsiran Ayat Qawliyah diuji-coba dengan rujukan Ayat Kawniyah, atau sebaliknya penafsinan Ayat Kawniyah diuji-coba dengan rujukan ayat Qawliyah? Di dalain kehidupan beragama ketenteraman batin dan kepuasan intelektual keduanya merupakan satu kesatuan. Ketenteraman batin tidak mungkin akan tencapai puncaknya. jika kepuasan intelektual tidak terpenuhi. kanena manusia itu adalah makhluk yang berpotensi berpikir. Dan sebaliknya kepuasan intelektual tidak mungkin tercapai puncaknya, jika ketenteraman batin tidak terpenuhi, oleh karena manusia itu adalah makhluk yang berpotensi beriman. Inilah yang disebut dengan berdzikir dan berpikir, itulah yang disebut dengan UlulAlbab, keseimbangan antara berdzikir dengan berpikir. WaLlahu A']amu bi shShawab.
*** Makassar, 2 Februari 1997