23 Februari 1997

262. Hukum Qishash dalam Kode Hammurabi

Para pakar yang atheist, agnostik dan deist dalam menganalisa rentetan pergelutan ummat manusia di antara bangsa hanya memakai pendekatan historis. Sayangnya para pakar Muslim turut pula terperangkap ke dalam jaring filsafat positivisme, sebab kalau tidak demikian hasil analisa mereka itu akan dicap tidak ilmiyah, karena melanggar rambu-rambu dan tatacara keilmuan. Demikianlah para pakar dari ketiga golongan yang tergabung dalam filsafat positivisme bersama-sama dengan para pakar Muslim yang ikut terseret secara sadar ataupun tidak sadar menempatkan semua agama sebagai komponen atau bagian dari kebudayaan. Maka mereka itu dalam mencari hubungan antara agama dengan agama, antara agama dengan dongeng-dongeng hasil imajinasi dan sastra bangsa-bangsa dahulu kala, akan memakai pendekatan historis tok. Para pakar sejarah yang tidak percaya wahyu, atau sekurang-kurangnya percaya wahyu akan tetapi melecehkan wahyu dalam menganalisa sejarah dengan pendekatan historis, tidaklah membedakan antara produk budaya Baniy israil (lsrailiyat), yang mempunyai akar historis, dengan yang bersumber dari akar yang non-historis, yaitu dari wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada para Nabi dari kalangan Baniy Israil tersebut, yang dalam bentuk tertulis secana otentik menjadi salah satu dari rukun iman yang enam, yaltu beriman kepada waMa- Unzila min Qablika, beriman kepada Kitab-Kitab yang diturunkan sebelum engkau (hai Muhammad), (S.AlBaqarah 2:4).

Para pakar sejarah yang berpandangan hidup filsafat positivisme tidak saja menyeret pakar sejarah yang Muslim dengan pendekatan historis tok, bahkan mereka itu juga meracuni pola pikir para santri dengan pendekatan historisnya. Berikut ini saya kutip dari sebuah bacaan pelajaran bahasa Arab tentang Hukum Qishash dalam Kode Hammurabi, yang menjadi judul dari seri ini. (Kode Hammurabi terpahat pada batu hitam diorit, didapatkan dalam tahun 1901). Berikut kutipannya:
Barhana l'Ulama-u Anna Syariy'ata Hammurabiy Allatiy Turjimat ila- Kulli Lugha-ti l'A-lami Ka-nat Natiyjata Tathawwurin Da-ma Muddatan Thawiylah. WaYabduw Anna I'Ibra-niyiyna 'Inda Khuruwjihim Mina IShahra-i wa Wushuwluhum ila- lHila-li Ghashiybi Aqa-muw lShila-ta ma'a Ahli Ba-bila waTatalmadzuw 'Alayhim waAkhadzuw lSyariy'ata 'Anhum. FaKhalaqa Dzalika Jawwan Muna-siban liZhuhuwri Anbiya-a. Wa Qad Ja-a fiy Tilka sySyariy'ati Ma- Yally: In Yaqla' Insa-nun 'Ayna Akhara Tuqla' 'Aynuhu. In Yaksir Insanun Sinna Akhara faSinnuhu Tuksaru. Man Yaqtul Yuqtal. (Para pakar telah membuktikan bahwa kode Hammurabi, yang telah diterjemahkan ke dalam setiap (?-HMNA_) bahasa di dunia, adalah hasil perkembangan secara evolusi yang memakan rentang waktu yang panjang. Ternyata bangsa lbrani dalam emigrasi mereka dari gurun sahara dan setibanya ke daerah Bulan Sabit yang subur membina kontak budaya dengan bangsa Babilonia, dan menjadi murid mereka, serta mengambil hukum mereka. Keadaan itu menciptakan iklim yan kondusif untuk kemunculan para nabi. Terdapatlah di dalam hukum tersebut, seperti berikut: Jika seseorang mencungkil mata orang lain, orang itu dicungkil matanya. Jika seseorang mematahkan gigi orang lain, gigi orang itu dipatahkan. Siapa yang membunuh, dibunuh).

Itulah hasil pendekatan historis para pakar sejarah. Hukum Qishash dalam Tawrah berasal dan hasil kontak budaya dengan bangsa Babilonia. Pengertian Nabi dalam bacaan di atas itu dikorupsi oleh pakar sejarah: Nabi-nabi bukanlah orang yang mendapat wahyu. Nabi-Nabi tidak lain hanya sekadar para cendekiawan yang mengambil hukum bangsa Babilonia untuk diterapkan dalam kalangan bangsa Ibrani. Teori hasil penafsiran para pakar sejarah dengan pendekatan historisnya tentang Nabi-Nabi dan bangsa Ibrani yang mengambil kode Hammurabi untuk diterapk?n dalam kalangan bangsa Ibrani, amatlah simplistik, bahkan naïf atau murahan. Memang hukum Qishash ada dalam Syani'at yang dibawakan oleh Nabi Musa AS. And he that killeth a man, he shall be put to death (Leviticus. 24:21), dan dia yang membunuh orang haruslah dihukum mati. Memang bangsa Ibrani (al'lbriyah alJadiydah) yaitu Nabi Ibrahim AS dari Ur, Babilonia. Akan tetapi Nabi-Nabi dari kalangan bangsa Ibrani, yang turunan dari Nabi lbrahim AS, semuanya memakai Syari'at Nabi Musa AS, sedangkan Nabi Musa AS tidak pernah mengadakan kontak budaya dengan bangsa Babilonia. Bahkan Nabi 'isa AS juga memakai Syani'at Nabi Musa AS. Janganlah kamu sangkakan aku datang hendak merombak Hukum Tawrat atau Kitab Nabi-Nabi, (Matius 5:17). Secara historis Nabi-.Nabi dalam kalangan bangsa Ibrani, yang turunan dan Nabi lbrahim AS, tidak pernah mengadakan kontak budaya dengan bangsa Babilonia, kecuali dua tiga orang (al. Nabi Ezekil, Nabi Ezra, Nabi Danyal) tatkala Bani Israil dibuang ke Babilonia (587 - 538)SM. Secara histonis Nabi-Nabi yang mengadakan kontak budaya dengan bangsa Babilonia pada zaman pembuangan Babilonia sudah mempengunakan Syani'at Nabi Musa AS. Bangsa Ibrani menjabarkan Syari'at Nabi Musa AS dalam wujud Babylonian Talmud dalam periode pembuangan Babilonia. Jadi secana historis Nabi-Nabi dalam kalangan bangsa Ibrani tidaklah mengambil Kode Hammurabi seperti dalam bacaan bahasa Arab yang dikutip di atas itu.

ltulah kelemahan disiplin ilmu yang berlandaskan fisafat positivisme sebagaimana keadaannya corak ilmu dewasa ini. Kita lihat bagaimana naifnya hasil pendekatan historis yang terlalu memaksakan bahwa Nabi-Nabi bangsa ibrani mengadopsi kode Hammurabi. Kita harus membongkar sama sekali landasan ilmu pengetahuan yang sekarang ini. Bukan dibina di atas landasan filsafat positivisme, melainkan disiplin ilmu itu harus dibangun di atas landasan Tawhid. Dalam hal disiplin ilmu sejarah, haruslah ditempuh kombinasi pendekatan historis dengan yang non-historis, yaitu pendekatan yang mempergunakan sumber informasi dari sejarah dan wahyu.

Adanya hukum Qishash dalam Syani'at Nabi Musa AS yang dilanjutkan oleh Nabi-Nabi dalam bangsa Ibrani dan adanya hukum Qishash dalam Al Quran Ya-ayyuha- Lladziyna A-manuw Kutiba 'Alaykumu lQisha-shu fiy lQatla- (S.AlBaqarah, 178), hai orang-orang beriman diperlukan atas kamu qishash dalam pembunuhan (2:178), oleh karena hukum Qishash itu bersumber dari Allah SWT yang diturunkan melalul wahyu kepada Nabi Musa AS dan Nabi Muhammad SAW.
WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 23 Februari 1997