Syukur alhamduliLlah DPR dan Pemerintah dengan menempuh proses musyawarah yang cukup sengit, akhirnya berhasil memproduksi tiga paket UU Politik, yang segera akan ditanda-tangani oleh Presiden. Sebuah tonggak agenda reformasi telah berhasil dilampaui lagi. Sebelumnya tonggak agenda nasional yaitu SI MPR telah berhasil dilampaui dengan selamat berkat Rahmat Allah SWT, Yang telah melindungi bangsa Indonesia dari upaya yang ingin menggagalkan SI tersebut. Juga dengan RahmatNya sidang tandingan yang akan digelar di Tugu Proklamasi Kemerdekaan oleh kelompok mahasiswa radikal, telah digagalkan Allah SWT melalui Pam Swakasa yang umumnya terdiri dari pemuda dan remaja masjid yang dengan gesit telah lebih dahulu menduduki lokasi sekitar tugu tersebut.
Kini jalan menuju ke tonggak selanjutnya yaitu Pemilu perlu dibenahi. Aparat keamanan dituntut berupaya semaksimal mungkin
lebih gesit menciptakan keamanan dan rasa aman, dan pada pihak yang lain masyarakat perlu proaktif membantu, sekurang-kurangnya menahan diri tidak mudah terpancing oleh hasutan provokator, serta waspada jangan sampai tanpa sadar terikut pula menyebarkan isu-isu bahwa akan terjadi kerusuhan.
Sungguhpun fraksi-fraksi dalam DPR dan organisasi-oganisasi: kemasyarakatan, mahasiswa, parpol di luar DPR menyatakan belum dan tidak puas sepenuhnya, namun itulah hasil optimum yang dapat dicapai. Itulah realitas yang hendaknya diterima secara rasional. Patut disadari bahwa dalam kancah politik tidak pernah ada kepuasan 100%, karena demikianlah watak politik itu yang berasaskan: to take and to give. Hasrat berunjuk-rasa yang menyuarakan aspirasi yang monoton dari itu ke itu saja perlu ditinjau kembali, jangan sampai menjadi pemicu kerusuhan, ibarat kerikil tajam yang akan menjadi penghambat di atas jalan menuju Pemilu, tonggak agenda reformasi selanjutnya.
Keputusan telah diambil, tiga UU Politik telah ditetapkan, itu usaha manusia. Selanjutnya diserahkan kepada Allah SWT. W SYAWRHM FY ALAMR FADZA 'AZMT FTWKL ALY ALLH (S. AL'AMRAN, 3:159), dibaca: Wa sya-wirhum fil amri faidza- 'azamta fatawakkal 'alaLla-h (S. Ali 'Imra-n, 159), artinya: Dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan dan jika telah berketetapan, maka tawakkallah kepada Allah.
***
Dalam Surat dari Pembaca, Harian FAJAR, edisi Kamis, 28-1999, sdr Suwarto (dari partai Murba?) untuk kedua kalinya mengemukakan tanggapannya. Sebenarnya sebermula saya tidak berminat lagi melayani sdr. Suwarto, berhubung saya meragukan cakrawala pembacaannya, karena kepanjangan nama Allahu yarham Buya HAMKA, seorang tokoh kaliber internasional, tidak diketahuinya. Namun setelah pikir punya pikir, kiranya lebih bermanfat jika saya layani juga dalam kolom ini, dengan pertimbangan untuk dapat dibaca pula oleh para remaja anak-anak kita, terutama para remaja masjid, supaya tidak mudah terbius oleh gerakan marxisme baru yang sedang mulai merasuk dalam kalangan para anak-anak remaja kita yang cenderung bertindak radikal dalam berunjuk-rasa.
Akan saya jawab dengan gaya soal-jawab, kiranya dapat lebih komunikatif.
Suwarto: Partai Murba sesuai dengan pesan Tan Malaka justru menolak keras semua dogma, termasuk dogma Marxis. Tan Malaka mengajak dan menganjurkan kita berpikir ilmiah seperti yang diuraikan dalam karyanya Madilog. (Fajar, Rabu 23-12-1998)
Jawab: Dalam Seri 354, 27 Desember 1998, telah saya tegaskan bahwa Tan Malaka sendiri dogmatis dan ia seorang marxist. Bukankah dari Madilog, karya Tan Malaka itu sendiri yang menunjukkan bahwa Tan Malaka seorang marxist yang berdogma kepada Karl Marx dalam hal filsafat materialisme (baca: materialisme dan dialektika)?
Namun rupanya sdr Suwarto tidak merasa tanggapannya itu telah berjawab. Buktinya, dalam suratnya yang kedua ia menulis bahwa Tan Malaka diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 28-3-1963. SK Presiden itu bukanlah jaminan bahwa Tan Malaka bukan seorang marxist. Itu tidak relevan untuk dijadikan alasan. Sebab dalam tahun 1963 itu belum ada Tap MPR(S) mengenai dilarangnya marxisme di Indonesia, dan bahwa pada waktu itu Presiden Soekarno mulai banting stir ke kiri.
Pernyataan: Suwarto, nama saya bukan samaran tetapi nama asli dengan profesi wartawan penterjemah kantor berita nasional -KNI- Jakarta.
Jawab: Memang dalam Seri 354 saya menduga itu nama samaran. Ternyata dugaan saya salah. Habis sih, sdr Suwarto tidak mau transparan, tidak pakai alamat, artinya alamat dirahasiakan redaksi, artinya patut diduga itu nama samaran.
Pernyataan: Maaf dan terima kasih atas koreksinya mengenai nama lengkap Buya Hamka, ialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah; "Abubakar" adalah salah ketik saja. Selanjutnya: Jika sdr HM Nur Abdurrahman tidak mempercayai seluruh pers Jawa Tengah, dst.
Jawab: Sdr Suwarto bersikap tidak sportif, karena pernyataanya itu disertai embel-embel apologi: salah ketik. Bagaimana mungkin Abdul Malik disalah-ketikkan menjadi Abubakar Muhammad? Mengapa hanya "Abubakar" yang disebut salah ketik, sedangkan Muhammad tidak disebutkan? Tentu disengaja! Karena kalau dituliskan Abubakar Muhammad bukankah terlalu panjang untuk alasan salah ketik? Oleh sebab itu berdasarkan atas cakrawala pembacaannya yang sempit dan tidak sportifnya itu saya meragukan pengakuan sdr Suwarto yang menulis telah membaca seluruh koran Jateng yang memberitakan bahwa pemberontak Merapi Merbabu komplex (MMK) itu adalah orang-orang PKI.
Dalam kajian pendidikan politik yang saya dapatkan gerombolan Merapi-Merbabu komplex bukan orang-orang PKI, melainkan penganut marxisme trotzkisme. Sejarah menunjukkan pemberontakan Madiun PKI telah dihabisi oleh Divisi Siliwangi sampai keakar-akarnya, tidak tersisa lagi. Mana mungkin pengacau MMK di tahun lima puluhan itu gerombolan PKI! Saya lebih yakin atas hasil kajian itu ketimbang pemberitaan sebagian pers Jateng bahwa MMK itu PKI. Ingat onde-onde itu bundar, tetapi tidak semua yang bundar itu onde-onde. PKI itu marxist, tetapi tidak semua yang marxist itu PKI.
Lagi pula setiap orang berhak bersikap terhadap pemberitaan pers, menerima atau meragukan. Seperti misalnya bagaimana umumnya pers dewasa ini yang sangat menyudutkan Pam Swakrsa dalam pemberitaan, sangat tidak berimbang, tidak adil. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 31 Januari 1999
31 Januari 1999
[+/-] |
359. Tiga Paket UU Politik dan Soal-Jawab |
24 Januari 1999
[+/-] |
358. Fitnah itu Lebih Kejam(?) dari Pembunuhan |
Kalimat seperti judul di atas itu sering kita dengar. Walaupun selama ini kalimat itu sering diucapkan namun saya kurang tertarik untuk membahasnya dalam kolom ini. Barulah terbetik dalam hati untuk membahasnya, setelah dalam salah satu dari acara da'wah menjelang buka puasa tayangan TVRI dalam bulan Ramadhan yang lalu kita sempat pula mendengar kalimat seperti tersebut diucapkan oleh seorang da'i. Substansi ini merupakan antara lain yang termasuk dalam renungan Ramadhan yang saya amalkan. Kalimat itu sesungguhnya adalah terjemahan dari Al Quran:
ALFTNT ASYD MN ALQTL (S. ALBQRT, 2:191), dibaca: Alfitnatu asyaddu minal qatli (S. AlBaqarah, 2:191).
Tanda tanya pada judul di atas itu bukanlah pernyataan meragukan ayat, karena itu merusak aqidah, melainkan pernyataan keraguan itu ditujukan pada terjemahan dari asyaddu dalam ayat (2:191) tersebut. Kita ulangi sekali lagi, terjemahan asyaddu dengan kejam inilah yang diragukan, apakah itu sudah benar?
Kata ASYD, dibaca asyaddu yang diterjemahkan dengan kejam berasal dari akar kata yang dibentuk oleh huruf syin, dal, dal. Untuk mengetahui apa arti yang sesungguhnya dari kata yang akarnya dari syin, dal, dal ini perlu kita melihat kamus yang paling otentik yaitu Al Quran sendiri. Dalam Al Quran kata ini dijumpai berupa bentuk-bentuk: 1.SYDDNA, 2.SNSYD, 3.ASYDD, 4.SYDWA, 5.ASYTDT, 6.SYDYD, 7.SYDAD, 8.ASYDA", 9.SYDADA, 10.ASYD. Kata-kata dalam ke-10 bentuk itu dapat kita lihat dalam ayat-ayat yang berikut:
- NHN KHLQNHM W SYDDNA ASRHM (S. ALDHR, 76:28), dibaca: Nahnu khalaqna-hum wa syadadna- asrahum, artinya: Kami ciptakan mereka dan Kami kuatkan anggota-anggota mereka.
- QAL SNSYD 'ADHDK BAKHYK (S. ALQSHSH, 28:35), dibaca: Qa-la sanasyuddu 'adhudaka biakhi-ka, artinya: Berkata (Allah kepada Musa) akan Kami kuatkan lengan engkau dengan saudara laki-lakimu (Harun).
- W ASYDD 'ALY QLWBHM (S. YWNS, 10:88), dibaca: Wasydud 'ala- qulubihim, artinya: dan keraskan hati mereka.
- FSYDWA ALWTSAQ (S. MHMD, 47:4), dibaca: Fasyuddul watsa-qa, artinya: maka kencangkan ikatan.
- A'AMALHM KRMAD ASYTDT BH ALRYH 'AASHF (S. IBRHM, 14:18), dibaca: A'ma-luhum karama-di nisytaddat bihir ri-hu fi- yawmin 'a-shifin, artinya: amalan mereka bagai debu yang ditiup kencang oleh angin pada hari badai.
- W ITQWA FTNT LA TSHYBN ALZDYN ZHLMWA KHASHT W A'ALMWA AN ALLH SYDYD AL'AQAB (S. ALANFAL, 8:25), dibaca: Wattaqu- fitnatal la- tushi-bannal ladzi-na zhalamu- minkum kha-shshatan wa'lamu- anna Lla-ha syadi-dul 'iqa-bi, artinya: hindarkanlah fitnah yang tidak hanya menimpa atas orang-orang zalim di antara kamu secara khusus dan ketahuilah bahwa Allah keras siksaannya.
- 'ALYHA ML"KT GHLAZH SYDAD (S. ALTHRYM, 66:6), dibaca: 'Alaiha- mala-ikatun ghila-zhun syida-dun, artinya: penjaganya (neraka) malaikat-malaikat kasar, keras.
- MHMD RSWL ALLAH W ALDZYN M'AH ASYDA" ALY ALKFAR RHMA" BYNHM (S. ALFTH, 48:29), dibaca: Muhammadur rasu-lu Lla-hi alladzi-na ma'ahu- asyidda-u 'alal kuffa-ri ruhama-u bainahum, artinya: Muhammad pesuruh Allah dan yang bersamanya tegas atas orang-orang kafir berkasih sayang di antara mereka.
- W BNYNA FWQKM SB'AA SYDADA (S. ALNBA, 78:12), dibaca: Wa banaina- faukakum sab'an syida-dan, artinya: dan Kami bina di atas kamu tujuh yang kokoh.
- Ayat (2:191) yang dibahas. Fitnah itu lebih kejam(?) dari pembunuhan.
Kesimpulannya terjemahan asyaddu dengan kejam, sama sekali tidak benar, bahkan menyebabkan kita sangat durhaka kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Seharusnya terjemahan ayat (2:191): Fitnah itu itu lebih keras dari pembunuhan. Terjemahan ini dikuatkan pula oleh ayat yang lain, seperti FirmanNya:
ALFTNT AKBR MN ALQTL (S. AL BQRT, 2:217), dibaca: Al fitnatu akbaru minal qatli, artinya: Fitnah itu itu lebih besar dari pembunuhan.
Ayat (2:191) dalam konteks intensifnya bencana secara kualitas, sedangkan ayat (2:217) dalam konteks ekstensifnya bencana yang meluas secara kuantitas. Agar lebih jelas tentang pengertian intensif dengan ekstensif akan diberikan sebuah contoh. Sebab memberikan contoh biasanya lebih mudah dan lebih komunikatif hasilnya bagi pembaca mengenai penjelasan suatu substansi. Sebuah lahan digarap sebaik-baiknya, diberi pupuk yang cukup, ditanami dengan bibit unggul, maka produksi lahan itu meningkat dari seratus ton menjadi misalnya tiga ratus ton. Ini yang disebut dengan intensifikasi lahan pertaian. Lahan-lahan yang selama ini berupa lahan tidur digarap dan ditanami, sehingga lahan produktif bertambah luas. Ini yang disebut dengan ekstensifikasi lahan. Jadi fitnah itu lebih keras intensitasnya dan lebih besar ekstensitasnya dari pembunuhan.
Dalam hubungannya fitnah yang menyebar secara ekstensif dewasa ini, fitnah sudah melebar ke luar p. Jawa, ke Nusa Tenggara Timur (Kupang), Sulawesi Tengah (Poso) Indonesia bagian Timur (Ambon) dan menurut Harian FAJAR, edisi 23-1-'99 halaman tiga ditengarai 300 provokator (penghasut, penyebar fitnah) menyusup ke Sulut. Ummat beragama harus waspada jangan sampai termakan hasutan. Kepada aparat keamanan diminta dengan sangat bereaksi cepat mencari aktor intelektualnya, menangkapnya bersama dengan kaki tangannya para provokator penyebar fitnah tersebut. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 24 Januari 1999
17 Januari 1999
[+/-] |
357. Menunggu Turunnya LaylatulQadr dan NuzululQuran pada 17 Ramadhan? |
Pada sepuluh malam terakhir dalam bulan Ramadhan kita sering mendengarkan orang menyebutkan umgkapan: Menunggu Turunnya LaylatulQadri. Sebuah Hadits dari St 'Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Bukhari demikian matannya: THRWA LYLT ALQDR FY AL'ASYR ALAWAKHR MN RMDHAN, dibaca: Taharraw laylatal qadri fil 'asyril awa-khiri mir ramadha-na., artinya: Cari LaylatulQadri dalam sepuluh terakhir dari Ramadhan. Dijelaskan dalam sebuah Shahih Bukhari yang lain khususnya malam ke-25, 27 dan 29.
Menurut Hadits tersebut RasuluLlah SAW menyuruh kita mencari LaylatulQadri pada sepuluh malam terkahir dari Ramadhan. Jadi kita tidak disuruh menunggu, melainkan mencari, yaitu tidak pasif melainkan proaktif. RasuluLlah SAW proaktif mencari LaylatulQadri dengan cara I'tikaf dalam masjid, seperti diriwayatkan pula oleh Bukhari, juga dari St 'Aisyah RA, yang matannya seperti berikut: KAN LA YDKHL ALBYT ILA LHAJT IDZA KAN M'ATKFA,dibaca: Ka-na la- yadkhulul bayta illa- liha-jatin idza- ka-na mu'takifan, artinya: (RasuluLlah SAW) tidak masuk ke dalam rumah kecuali suatu keperluan (penting), apabila (beliau) sedang beri'tikaf.
Menghadapkan qalbu kita kepada Allah SWT dalam masjid pada sepuluh malam terakhir untuk mencari LaylatulQadr, itulah yang disebut i'tikaf. Sementara i'tikaf boleh pulang ke rumah untuk suatu keperluan penting, misalnya ke belakang, tetapi diingatkan dalam Al Quran, tidak boleh bercampur dengan isteri. WLA TBASYRW HN WANTM 'AAKFWN FY ALMSJD (S. Al BQRT, 2:187), dibaca: Wala- tuba-syiru- hunna wa antum 'a-kifu-na fil masa-jidi, artinya: Janganlah kamu bercampur dengan isterimu apabila kamu beri'tikaf dalam masjid (S. Al Baqarah, 2:187). Pada malam bulan puasa kita diperbolehkan bercampur dengan isteri, kecuali sedang i'tikaf. AHL LKM LYLT ALSHIYAM ALRFTS ALY NSA"KM (S. Al BQRT, 2:187), dibaca: Uhilla lakum laylatsh shiya-mir rafatsu ila- nisa-ikum, artinya: Dihalalkan bagimu pada malam (bulan) puasa bercampur dengan isterimu (S. Al Baqarah, 2:187).
Dalam Hadits di atas itu tidak disebutkan bahwa LaylatulQadri itu turun. Jadi ungkapan turunnya LaylatulQadri perlu kita tinjau kembali. Sebenarnya apa yang turun pada sepuluh malam terkahir dalam bulan Ramadhan? Firman Allah SWT: ANA ANZLNH FY LYLT ALQDR (S. AL QDR, 97:1), dibaca: Inna- anzalna-hu fi- laylatil qadri, artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya pada LaylatulQadri (S. Al Qadri, 97:1). Dhamir (kata ganti) hu (nya) dalam anzalna-hu dimaksudkan adalah Al Quran. Jadi yang diturunkan Allah SWT pada LaylatulQadri adalah Al Quran, sehingga ungkapan turunnya LaylatulQadri salah sekali, LaylatulQadri sama sekali tidak turun, melainkan malam yang didalamnya Al Quran diturunkan Allah SWT, seperti yang biasa kita dengar NuzululQuran.
Pengucapan yang populer ungkapan turunnya LaylatulQadri mempunyai implikasi, yaitu orang tidak merasa janggal jika disebutkan bahwa NuzulQuran itu pada 17 Ramadhan. Bukankah pada sepuluh malam terakhir itu LaylatulQadri yang turun? Jadi sepintas lalu orang berfaham bahwa tidak ada yang janggal: Sepuluh malam terakhir LaylatulQadri turun, sedangkan pada 17
Ramadhan Al Quran yang turun!
Dari mana pula asalnya NuzululQuran pada 17 Ramadhan? Firman Allah SWT: ANKNTM AMNTM BALLH WMA ANZLNA 'ALY 'ABDNA YWM ALFRQAN YWM ALTQY ALJM'AN (S. AL ANFAL, 8:41), dibaca: Inkuntum a-mantum billa-hi wama- anzalna- 'ala- 'abdina- yawmal furqa-ni yawmal taqal jam.'a-ni, artinya: Jika kamu beriman kepada Allah dan (beriman kepada) apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami pada hari Al Furqan, hari bertempurnya dua pasukan (S. Al Anfa-l, 8:41).
Ditafsirkan bahwa yang diturunkan kepada hamba Kami (Muhammad) adalah Al Quran dan hari bertempurnya dua pasukan adalah perang Badar yang menurut catatan sejarah terjadi pada 17 Ramadhan. Sehingga kesimpulannya NuzululQuran pada 17 Ramadhan. Jadi dalam penafsiran ini ada dua pemikiran manusia (yang diturunkan adalah Alquran, hari bertempurnya dua pasukan adalah perang Badar), dan satu perbuatan manusia (pencatatan peristiwa perang Badar). Pemikiran (baca: penafsiran) dan perbuatan manusia dapat saja keliru, karena ternyata 17 Ramadhan tidak termasuk dalam sepuluh malam terakhir dari Ramadhan. NuzululQuran tidak berlangsung pada 17 Ramadhan. Di mana letak kesalahan pemikiran sang penafsir dan kekeliruan perbuatan mencatat peristiwa?
Kemungkinan pertama, dengan asumsi yang diturunkan adalah Al Quran. Kesalahan terletak pada salah satunya, atau dalam penafsiran bertempurnya dua pasukan bukanlah Perang Badar, melainkan perang yang lain, atau dalam pencatatan sejarah bukan pada 17 Ramadhan.
Kemungkinan kedua, kesalahan terletak dalam penafsiran, yaitu bukanlah Al Quran yang diturunkan pada waktu pertempuran itu. Dalam ayat (8:41) disebutkan urutan pertama jika kamu beriman kepada Allah dan urutan berikutnya (baca: kedua) ialah beriman kepada apa yang diturunkan Allah. Dalam urutan Rukun Iman, yang pertama adalah beriman kepada Allah dan kedua beriman kepada malaikat. Menilik urutan Rukun Iman ini maka yang diturunkan Allah pada hari pertempuran itu adalah malaikat yang membantu pasukan Islam dari Madinah melawan pasukan kafir Quraisy dari Makkah. Dalam hal ini penafsiran bertempurnya dua pasukan dapat saja perang Badar, dan pencatatan sejarah bahwa perang Badar pada 17 Ramadhan dapat saja benar adanya.
Ada pula yang memaksakan kehendak akalnya, yaitu mengakali bahwa pada LaylatulQadri Al Quran diturunkan Allah pada langit pertama, yaitu pada sepuluh malam terkahir dari Ramadhan, dan dari langit pertama dibawa turun berdikit-dikit oleh malaikat Jibril atau secara langsung. Pada 17 Ramadhan, S. Al 'Alaq ayat 1 s/d 5 dibawa turun untuk pertama kalinya oleh Jibril ke gua Hira dan Jibril menyuruh RasuluLlah SAW untuk membacanya.
Pada LaylatulQadri Al Quran diturunkan Allah pada langit pertama, kemudian secara berdikit-dikit dibawa turun oleh Jibril atau secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW, adalah peristiwa yang ghaib, harus ada keterangan dari Nash yang mendukungnya. Kalau tidak ada Nash yang mendukung, kemudian memaksakan kehendak akal, itu berarti akal itu diangkat kedudukannya sama dengan Ilmu Allah yang mengetahui yang ghaib. Oleh sebab itu berfaham atau pemahaman NuzululQuran pada 17 Ramadhan harus ditolak!. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 17 Januari 1999
10 Januari 1999
[+/-] |
356. Makassar, La Nina, Lae-Lae |
Biasanya kota-kota pelabuhan dahulu kala didirikan di kuala sungai, seperti misalnya Jayakarta (sekarang Jakarta, sebelumnya disebut Betawi) di kuala Ciliwung, Rotterdam di kuala sungai Rijn, Rio de Janeiro (diucapkan khaneiro) di kuala sungai Amazone. Berbeda dengan Jayakarta, Rotterdam, dan Rio de Janeiro, kota Makassar ini tidak didirikan di kuala sungai, melainkan didirikan di tempat yang terlindung oleh pulau kecil Lae-Lae.
Namun tatkala kota Makassar meluas, ia dibelah dua oleh S. Tallo'. Akibatnya, dengan mengganasnya La Nina ia mengalami pula penyakit yang serupa dengan kota-kota pelabuhan lain di Indonesia yang berada di kuala sungai, yaitu penyakit banjir kiriman interlokal, melalui luapan S. Tallo' tersebut. Sebenarnya banjir kiriman itu telah berlangsung dari tahun ke tahun sebelum La Nina mengganas, hanya saja masih bersifat lokal. Ini dialami antara lain oleh komplex pemukiman Ujung Pandang Baru yang menerima banjir kiriman melalui luapan selokan besar yang sekarang ini bermuara di bentangan jalan tol. Sebelum ada jalan tol tersebut walaupun air selokan meluap, genangan air tidak dalam serta tidak berlama-lama, karena air itu bebas merambat pada permukaan tanah tanpa dihadang oleh bentangan jalan tol. Lain halnya setelah ada jalan tol yang dalam kenyataan sangat jarang difungsikan untuk kendaraan itu. Genangan air dari kiriman lokal itu mulai berlama-lama dan cukup dalam untuk memogokkan pete-pete terutama di sekitar Rumah Sakit Ujung Pandang Baru. Jalan tol itu berubah fungsinya menjadi tanggul. Sebab apalah artinya terowongan yang menembus jalan tol (baca: tanggul) tempat air lalu yang keluar dari mulut selokan. Terowongan yang menembus tanggul itu tidak sanggup membiarkan lalu debit air sebanyak itu dalam waktu singkat. Membersihkan selokan besar itu dari sampah memang penting, akan tetapi walaupun selokan bersih dari sampah, dilihat dari segi penghalang air selokan, maka tanggul itu ibarat tumpukan sampah yang melintang menghadang air. Dosa menyengsarakan rakyat yang bermukim pada bagian dalam bentangan tumpukan sampah itu tentu dipikul oleh para insinyur yang bertanggung jawab atas rancangan jalan tol (baca: tanggul dan bentangan tumpukan sampah) tersebut, karena menyepelekan pertimbangan lingkungan utamanya tata-air. Dengan mengganasnya La Nina, maka genangan air di Komplex Unjung Pandang Baru lebih intensif, dalam arti lebih dalam, lebih cepat naik, lebih lambat susut dari sedia-kala.
Kembali ke pulau kecil Lae-Lae di depan pelabuhan Makassar. Mengapa dinamakan Lae-Lae, ada ceritanya. Niya'-niya' bedeng. Rupamayyaji angkana. Teya' nakke balle-balle. Riyolo-mariyolona. Niya' biseang reppe'. A'lurang rassi Cina. Ta'rampe ri gusunga. Assitenta iba'leanna. Ujung napattimboiya. Romang-romang pandang bauka. Nasangga ricumo Cinayya. Akkiyo'-kiyo' lae, lae. Batuanna maeko, maeko. Apaji' naniyaremmo. Anjo gusunga Lae-Lae. Kammatodong niarentommo. Anjo ujunga ujung pandang. (Tersebutlah konon. Kata sahibul hikayat. Terdahulu dari yang dahulu. Ada perahu pecah. Penuh penumpang Cina. Terdampar di karang berpasir. Bertentang berseberangan. Tanjung tempat bertumbuhnya. Semak-semak pohon pandan. Maka ributlah penumpang Cina. Memanggil-manggil lae, lae. Artinya ke mari, ke mari. Maka dinamakanlah. Karang berpasir itu Lae-Lae. Begitu pula dinamakan. Tanjung itu Ujung Pandang).
Pulau Lae-Lae ikut terekam dalam sastra bahasa Makassar. Orang-orang Makassar yang pelaut (dahulu, sekarang tidak lagi) yang biasa malang melintang melayari samudra Nusantara, bahkan sampai di pesisir timur Madagaskar (juga dahulu kala), jika ingin mencemooh orang yang belum pernah meninggalkan tanah Mangkasara' diejek dengan ucapan: "Pu're' kau, Lae-Lae tannurapi'" (kau ini apa, Lae-Laepun engkau tidak capai). Ada sebuah kelong (syair) Makassar yang menyangkut 4 buah pulau kecil yang tersebar di depan pelabuhan Makassar, bunyinya demikian:
Barrang Lompo, Barrang Ca'di,
Gusung Tallang, Lae-Lae,
Kupammoliki,
Simpung sikamma sallona.
Barrang Lompo, Barrang Ca'di,
Gusung Tallang, Lae-Lae,
Di sana kupendam,
Nostalgia selama ini.
Seperti diketahui pengembangan kawasan pantai Makassar dalam era Orde Baru dilakukan oleh perusahaan milik konglomerat yang nota bene pemilik tersebut adalah orang kuat yaitu Abd Latif, Menteri Tenaga Kerja yang kemudian digeser menjadi Menteri Pariwisata dan Kesenian. Pergesaran Abd. Latif ke Menteri Pariwisata dan Kesenian betul-betul sangat memojokkan rakyat kecil para nelayan pemukim pulau Lae-Lae yang akan dijadikan kawasan obyek pariwisata. AlhamduliLlah, strategi pembangunan sekarang ini memihak kepada rakyat lapisan bawah. U'rangitongi belata kasi-asiya (ingatlah pula rekan kita yang miskin), demikian bunyi penggalan dalam syair nyanyian daerah Makassar yang berjudul Dongang-Dongang.
Pulau Lae-Lae akan menjadi pekerjaan rumah bagi Walikota yang akan datang. Sebab pemukim pulau Lae-Lae ada yang bersedia pindah ke perkampungan nelayan yang baru yang telah disediakan, tetapi ada pula yang ngotot tidak mau pindah, yaitu mereka yang masih kental terikat dalam budaya Punggawa-Sawi. Sebaiknya penduduk Lae-Lae dibiarkan bebas memilih yang disenanginya. Yang mau pindah, biarkan pindah, yang mau tinggal, biarkan tinggal.
Budaya Punggawa-Sawi kalau memang masih ingin dipertahankan oleh masyarakat yang tidak mau pindah, supaya dibiarkan tetap terpelihara. Kalau Mexico masih memelihara sejenis budaya Punggawa-Sawi, yaitu budaya Patron, suatu budaya Mexico yang peninggalan budaya Spanyol, mengapa kita tidak. Di Galesongpun budaya Punggawa-Sawi ini masih eksis. Pulau Lae-Lae dapat diprogramkan menjadi obyek wisata budaya. Dengan demikian penduduk pulau Lae-Lae dapat menjadi subyek pembangunan sebagai pelaku dalam masyarakat berbudaya Punggawa-Sawi. Maka pulau Lae-Lae dapat tetap menjadi bagian dari obyek pariwisata kawasan pantai Makassar. Untuk mewujudkan program itu Pemda perlu memakai petunjuk yang operasional dari Al Quran, yaitu petunjuk bagi manusia sebagai makhluk sosial: W SYAWRHMM FY ALAMR (S. AL 'AMRAN, 3:159), dibaca: Wa sya-wirhum fil amri (S. Ali 'Imra-n, 3:159), artinya: Bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan (yang menyangkut dengan) mereka. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 10 Januari 1999
3 Januari 1999
[+/-] |
355. Bulan NuzululQuran |
Bulan Ramadhan adalah bulan NuzululQuran, bulan turunnya Al Quran, seperti Firman Allah SWT:
SYHR RMDHAN ALDZY ANZL FYH ALQRAN HDY LLNAS W BYNT MN ALHDY W ALFRQAN (S. ALBQRT, 2:185), dibaca: Syahru ramadhanal ladzi- unzila fi-hil Qur.a-nu hudal linna-si wa bayyina-tim minal huda-wal Furqa-n, artinya: Bulan ramadhan yaitu di dalamnya diturunkan Al Quran, petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk itu dan pembeda (S. Al Baqarah, 2:185).
Dalam Seri 353 telah dibicarakan tentang keistimewaan bulan suci Ramadhan, yaitu bulan introspeksi dengan mengharapkan dosa kita yang silam diampuni oleh Allah SWT. Sebenarnya Seri ini pada mulanya direncanakan bernomor 354, yaitu lanjutan langsung dari Seri 353, akan tetapi ditunda satu nomor untuk menyambut gayung Suwarlo (dari parpol Murba?) mengenai Tan Malaka yang berdogma historishe materialisme yang dialektis dari Marx dan gerombolan Merapi Merbabu Komplex yang dipimpin oleh Chairul Saleh.
Bulan suci Ramadhan mengandung keistimewaan pula dengan diturunkannya Al Quran. Dalam ayat (2:185) dijelaskan bahwa Al Quran itu petunjuk bagi manusia. Sedangkan dalam ayat yang lain yaitu ayat (2:1) disebutkan bahwa Al Kitab (nama lain dari Al Quran) itu adalah HDY LLMTQYN, dibaca: hudal lilmuttaqi-n, artinya petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Ayat (2:185) dalam kontex kodrat manusia pada umumnya, sedangkan ayat (2:1) dalam kontex sikap orang-orang bertaqwa khususnya, yaitu sikap yang sama sekali tidak ragu terhadap kebenaran isi Al Quran. Jelasnya ayat (2:185) berhubungan dengan sifat manusia, sedangkan ayat (2:1) berhubungan dengan sikap para muttaqin.
Al Quran petunjuk bagi manusia bermakna bahwa manusia itu baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial membutuhkan petunjuk dari Al Quran, jika menginginkan kehidupan yang selamat di dunia menuju akhirat. Sebagai makhluk individu dibutuhkan petunjuk yang strategis yaitu aqidah dan petunjuk yang taktis yaitu ajaran akhlaq. Sebagai makhluk sosial dibutuhkan petunjuk yang bersifat operasional yaitu syari'ah.
Al Quran di samping berisikan petunjuk yang umum juga mengandung petunjuk yang teperinci, teknis administratif, (wa bayyina-tim minal huda-, penjelasan dari petunjuk itu), terkhusus dalam hubungannya dengan petunjuk yang operasional yaitu syari'ah, dan petunjuk untuk membedakan antara yang baik dengan yang buruk, yang benar dan yang salah (al Furqa-n, pembeda), terkhusus dalam hubungannya dengan yang taktis yaitu pembinaan akhlaq.
Al Furqan berasal dari akar kata yang dibentuk oleh Fa, Ra, Qaf, artinya membelah, memisahkan, ibarat pisau yang membelah sebuah bungkah menjadi dua bagian yaitu bagian positif dengan bagian negatif. Dengan Al Furqan (juga nama lain dari Al Quran) kita dapat membedakan antara yang positif (baik, benar) dengan yang negatif (buruk, salah). Dari uraian ini kita telah mengenal tiga di antara sejumlah nama dari Kitab Suci ummat Islam, yaitu Al Quran, artinya yang dibaca, Al Kitab artinya yang ditulis dan Al Furqan artinya yang membedakan.
Akan diberikan contoh ayat-ayat yang menjelaskan petunjuk umum yang operasional tentang bagaimana caranya menjaga hubungan yang sehat di antara sesama manusia dalam dunia dagang dan bisnis.
KY LA YKWN DWLT BYN ALAGHNYA" MNKM (S. ALHSYR, 59:5), dibaca: Kay la- yaku-na du-latan baynal aghniya-i minhum, artinya: supaya modal itu tidak hanya beredar dalam kalangan orang-orang kaya saja di antara mereka (S. Al Hasyri, 59:5).
Ayat ini sudah pernah dibahas dalam hubungannya dengan penyebab krisis ekonomi khusus di tanah air kita ini. Bahwa selama Orde Baru strategi pembangunan yang arsitek intelektualnya dari para pakar yang bermahdzab Berkely dalam CSIS ialah asekelarsi modernisasi, pertumbuhan yang eksponensial, perbersar kue (baca: GNP), pelaku ekonomi berat ke atas oleh para taipan yang konglomerat, yang membuahkan KKN, keropos ke bawah, sehingga struktur ekonomi gampang ambruk.
YAYHA ALDZYN AMANWA ADZA TDAYNTM BDYN ALY AJL MSMY FAKTBWH WA LYKTB BYNKM KATB BAL'ADL ..... WASTSYHDWA SYHYDYN MN ALRJALKM FAN LM YKWNA RJLYN FRJL W AMRATN MMN TRDHWN MN ALSYHDA", (S. ALBQRT, 2:282), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- idza- tada-yantum bidaynin ila- ajalim musamman faktubu-hu falyaktub baynakum ka-tibum bil'adli ..... wastasyhidu- syahi-dayni mir rija-likum fail lam yaku-na- rajulayni farajulun wamraata-ni mimman tardhu-na minasy syahada-i, artinya: Hai orang-orang beriman, jika kamu mengadakan perjanjian perikatan dalam hal utang-piutang hingga masa yang ditetapkan, maka wajiblah dituliskan, dan haruslah dituliskan oleh seorang katib (notaris) dengan adil ..... dan wajiblah disaksikan oleh dua orang saksi laki-laki, dan jika tidak ada dua orang laki-laki, maka cukuplah seorang laki-laki dengan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu sukai untuk menjadi saksi (S. Al Baqarah, 2:282).
Ayat ini panjang dan teperinci, sehingga kita hanya mengutip sebahagiannya, namun cukup jelas bagi pembaca. Dalam dunia bisnis dalam masyarakat modern yang madani (baca: madinah) dewasa ini hal menuliskan perjanjian perikatan utang-piutang menjadi kalaziman dituliskan oleh notaris. Dalam bahasa Al Quran notaris adalah katib berasal dari akar kata Kef, Ta, Ba, artinya menulis.
Al Quran dalam fungsinya sebagai Al Furqan berhubungan dengan petunjuk yang taktis, yaitu pembinaan akhlaq. Seorang muslim harus tahu betul mana yang positif, mana yang negatif, terutama sekali dalam menghisab diri, mengadakan introspeksi dalam bulan suci Ramadhan ini. Perinciannya telah dipaparkan dalam Seri 353, yaitu antara benar dengan salah, baik dengan buruk, adil dengan zalim, istiqamah dengan munafiq, menyejukkan dengan meresahkan, dst., silakan baca Seri 353 kembali.
Dalam parpol Islam pengurus membina para anggotanya sesuai dengan Al Quran petunjuk bagi manusia sebagai makhluk individu (petunjuk yang strategis dan taktis). Parpol Islam membina sistem serta memecahkan masalah masyarakat dengan menimba dari Al Quran petunjuk bagi manusia sebagai makhluk sosial (petunjuk yang operasional). Maka tidaklah mungkin parpol Islam menjadikan Islam sebagai kendaraan politik. Juga tidaklah benar jika parpol Islam dikatakan partai yang sektarian, oleh karena petunjuk dari Al Quran bersifat sangat universal. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 3 Januari 1999