31 Januari 1999

359. Tiga Paket UU Politik dan Soal-Jawab

Syukur alhamduliLlah DPR dan Pemerintah dengan menempuh proses musyawarah yang cukup sengit, akhirnya berhasil memproduksi tiga paket UU Politik, yang segera akan ditanda-tangani oleh Presiden. Sebuah tonggak agenda reformasi telah berhasil dilampaui lagi. Sebelumnya tonggak agenda nasional yaitu SI MPR telah berhasil dilampaui dengan selamat berkat Rahmat Allah SWT, Yang telah melindungi bangsa Indonesia dari upaya yang ingin menggagalkan SI tersebut. Juga dengan RahmatNya sidang tandingan yang akan digelar di Tugu Proklamasi Kemerdekaan oleh kelompok mahasiswa radikal, telah digagalkan Allah SWT melalui Pam Swakasa yang umumnya terdiri dari pemuda dan remaja masjid yang dengan gesit telah lebih dahulu menduduki lokasi sekitar tugu tersebut.

Kini jalan menuju ke tonggak selanjutnya yaitu Pemilu perlu dibenahi. Aparat keamanan dituntut berupaya semaksimal mungkin
lebih gesit menciptakan keamanan dan rasa aman, dan pada pihak yang lain masyarakat perlu proaktif membantu, sekurang-kurangnya menahan diri tidak mudah terpancing oleh hasutan provokator, serta waspada jangan sampai tanpa sadar terikut pula menyebarkan isu-isu bahwa akan terjadi kerusuhan.

Sungguhpun fraksi-fraksi dalam DPR dan organisasi-oganisasi: kemasyarakatan, mahasiswa, parpol di luar DPR menyatakan belum dan tidak puas sepenuhnya, namun itulah hasil optimum yang dapat dicapai. Itulah realitas yang hendaknya diterima secara rasional. Patut disadari bahwa dalam kancah politik tidak pernah ada kepuasan 100%, karena demikianlah watak politik itu yang berasaskan: to take and to give. Hasrat berunjuk-rasa yang menyuarakan aspirasi yang monoton dari itu ke itu saja perlu ditinjau kembali, jangan sampai menjadi pemicu kerusuhan, ibarat kerikil tajam yang akan menjadi penghambat di atas jalan menuju Pemilu, tonggak agenda reformasi selanjutnya.

Keputusan telah diambil, tiga UU Politik telah ditetapkan, itu usaha manusia. Selanjutnya diserahkan kepada Allah SWT. W SYAWRHM FY ALAMR FADZA 'AZMT FTWKL ALY ALLH (S. AL'AMRAN, 3:159), dibaca: Wa sya-wirhum fil amri faidza- 'azamta fatawakkal 'alaLla-h (S. Ali 'Imra-n, 159), artinya: Dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan dan jika telah berketetapan, maka tawakkallah kepada Allah.

***

Dalam Surat dari Pembaca, Harian FAJAR, edisi Kamis, 28-1999, sdr Suwarto (dari partai Murba?) untuk kedua kalinya mengemukakan tanggapannya. Sebenarnya sebermula saya tidak berminat lagi melayani sdr. Suwarto, berhubung saya meragukan cakrawala pembacaannya, karena kepanjangan nama Allahu yarham Buya HAMKA, seorang tokoh kaliber internasional, tidak diketahuinya. Namun setelah pikir punya pikir, kiranya lebih bermanfat jika saya layani juga dalam kolom ini, dengan pertimbangan untuk dapat dibaca pula oleh para remaja anak-anak kita, terutama para remaja masjid, supaya tidak mudah terbius oleh gerakan marxisme baru yang sedang mulai merasuk dalam kalangan para anak-anak remaja kita yang cenderung bertindak radikal dalam berunjuk-rasa.

Akan saya jawab dengan gaya soal-jawab, kiranya dapat lebih komunikatif.

Suwarto: Partai Murba sesuai dengan pesan Tan Malaka justru menolak keras semua dogma, termasuk dogma Marxis. Tan Malaka mengajak dan menganjurkan kita berpikir ilmiah seperti yang diuraikan dalam karyanya Madilog. (Fajar, Rabu 23-12-1998)

Jawab: Dalam Seri 354, 27 Desember 1998, telah saya tegaskan bahwa Tan Malaka sendiri dogmatis dan ia seorang marxist. Bukankah dari Madilog, karya Tan Malaka itu sendiri yang menunjukkan bahwa Tan Malaka seorang marxist yang berdogma kepada Karl Marx dalam hal filsafat materialisme (baca: materialisme dan dialektika)?

Namun rupanya sdr Suwarto tidak merasa tanggapannya itu telah berjawab. Buktinya, dalam suratnya yang kedua ia menulis bahwa Tan Malaka diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional oleh Presiden Soekarno pada 28-3-1963. SK Presiden itu bukanlah jaminan bahwa Tan Malaka bukan seorang marxist. Itu tidak relevan untuk dijadikan alasan. Sebab dalam tahun 1963 itu belum ada Tap MPR(S) mengenai dilarangnya marxisme di Indonesia, dan bahwa pada waktu itu Presiden Soekarno mulai banting stir ke kiri.

Pernyataan: Suwarto, nama saya bukan samaran tetapi nama asli dengan profesi wartawan penterjemah kantor berita nasional -KNI- Jakarta.

Jawab: Memang dalam Seri 354 saya menduga itu nama samaran. Ternyata dugaan saya salah. Habis sih, sdr Suwarto tidak mau transparan, tidak pakai alamat, artinya alamat dirahasiakan redaksi, artinya patut diduga itu nama samaran.

Pernyataan: Maaf dan terima kasih atas koreksinya mengenai nama lengkap Buya Hamka, ialah Haji Abdul Malik Karim Amrullah; "Abubakar" adalah salah ketik saja. Selanjutnya: Jika sdr HM Nur Abdurrahman tidak mempercayai seluruh pers Jawa Tengah, dst.

Jawab: Sdr Suwarto bersikap tidak sportif, karena pernyataanya itu disertai embel-embel apologi: salah ketik. Bagaimana mungkin Abdul Malik disalah-ketikkan menjadi Abubakar Muhammad? Mengapa hanya "Abubakar" yang disebut salah ketik, sedangkan Muhammad tidak disebutkan? Tentu disengaja! Karena kalau dituliskan Abubakar Muhammad bukankah terlalu panjang untuk alasan salah ketik? Oleh sebab itu berdasarkan atas cakrawala pembacaannya yang sempit dan tidak sportifnya itu saya meragukan pengakuan sdr Suwarto yang menulis telah membaca seluruh koran Jateng yang memberitakan bahwa pemberontak Merapi Merbabu komplex (MMK) itu adalah orang-orang PKI.

Dalam kajian pendidikan politik yang saya dapatkan gerombolan Merapi-Merbabu komplex bukan orang-orang PKI, melainkan penganut marxisme trotzkisme. Sejarah menunjukkan pemberontakan Madiun PKI telah dihabisi oleh Divisi Siliwangi sampai keakar-akarnya, tidak tersisa lagi. Mana mungkin pengacau MMK di tahun lima puluhan itu gerombolan PKI! Saya lebih yakin atas hasil kajian itu ketimbang pemberitaan sebagian pers Jateng bahwa MMK itu PKI. Ingat onde-onde itu bundar, tetapi tidak semua yang bundar itu onde-onde. PKI itu marxist, tetapi tidak semua yang marxist itu PKI.

Lagi pula setiap orang berhak bersikap terhadap pemberitaan pers, menerima atau meragukan. Seperti misalnya bagaimana umumnya pers dewasa ini yang sangat menyudutkan Pam Swakrsa dalam pemberitaan, sangat tidak berimbang, tidak adil. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 31 Januari 1999