10 Januari 1999

356. Makassar, La Nina, Lae-Lae

Biasanya kota-kota pelabuhan dahulu kala didirikan di kuala sungai, seperti misalnya Jayakarta (sekarang Jakarta, sebelumnya disebut Betawi) di kuala Ciliwung, Rotterdam di kuala sungai Rijn, Rio de Janeiro (diucapkan khaneiro) di kuala sungai Amazone. Berbeda dengan Jayakarta, Rotterdam, dan Rio de Janeiro, kota Makassar ini tidak didirikan di kuala sungai, melainkan didirikan di tempat yang terlindung oleh pulau kecil Lae-Lae.

Namun tatkala kota Makassar meluas, ia dibelah dua oleh S. Tallo'. Akibatnya, dengan mengganasnya La Nina ia mengalami pula penyakit yang serupa dengan kota-kota pelabuhan lain di Indonesia yang berada di kuala sungai, yaitu penyakit banjir kiriman interlokal, melalui luapan S. Tallo' tersebut. Sebenarnya banjir kiriman itu telah berlangsung dari tahun ke tahun sebelum La Nina mengganas, hanya saja masih bersifat lokal. Ini dialami antara lain oleh komplex pemukiman Ujung Pandang Baru yang menerima banjir kiriman melalui luapan selokan besar yang sekarang ini bermuara di bentangan jalan tol. Sebelum ada jalan tol tersebut walaupun air selokan meluap, genangan air tidak dalam serta tidak berlama-lama, karena air itu bebas merambat pada permukaan tanah tanpa dihadang oleh bentangan jalan tol. Lain halnya setelah ada jalan tol yang dalam kenyataan sangat jarang difungsikan untuk kendaraan itu. Genangan air dari kiriman lokal itu mulai berlama-lama dan cukup dalam untuk memogokkan pete-pete terutama di sekitar Rumah Sakit Ujung Pandang Baru. Jalan tol itu berubah fungsinya menjadi tanggul. Sebab apalah artinya terowongan yang menembus jalan tol (baca: tanggul) tempat air lalu yang keluar dari mulut selokan. Terowongan yang menembus tanggul itu tidak sanggup membiarkan lalu debit air sebanyak itu dalam waktu singkat. Membersihkan selokan besar itu dari sampah memang penting, akan tetapi walaupun selokan bersih dari sampah, dilihat dari segi penghalang air selokan, maka tanggul itu ibarat tumpukan sampah yang melintang menghadang air. Dosa menyengsarakan rakyat yang bermukim pada bagian dalam bentangan tumpukan sampah itu tentu dipikul oleh para insinyur yang bertanggung jawab atas rancangan jalan tol (baca: tanggul dan bentangan tumpukan sampah) tersebut, karena menyepelekan pertimbangan lingkungan utamanya tata-air. Dengan mengganasnya La Nina, maka genangan air di Komplex Unjung Pandang Baru lebih intensif, dalam arti lebih dalam, lebih cepat naik, lebih lambat susut dari sedia-kala.

Kembali ke pulau kecil Lae-Lae di depan pelabuhan Makassar. Mengapa dinamakan Lae-Lae, ada ceritanya. Niya'-niya' bedeng. Rupamayyaji angkana. Teya' nakke balle-balle. Riyolo-mariyolona. Niya' biseang reppe'. A'lurang rassi Cina. Ta'rampe ri gusunga. Assitenta iba'leanna. Ujung napattimboiya. Romang-romang pandang bauka. Nasangga ricumo Cinayya. Akkiyo'-kiyo' lae, lae. Batuanna maeko, maeko. Apaji' naniyaremmo. Anjo gusunga Lae-Lae. Kammatodong niarentommo. Anjo ujunga ujung pandang. (Tersebutlah konon. Kata sahibul hikayat. Terdahulu dari yang dahulu. Ada perahu pecah. Penuh penumpang Cina. Terdampar di karang berpasir. Bertentang berseberangan. Tanjung tempat bertumbuhnya. Semak-semak pohon pandan. Maka ributlah penumpang Cina. Memanggil-manggil lae, lae. Artinya ke mari, ke mari. Maka dinamakanlah. Karang berpasir itu Lae-Lae. Begitu pula dinamakan. Tanjung itu Ujung Pandang).

Pulau Lae-Lae ikut terekam dalam sastra bahasa Makassar. Orang-orang Makassar yang pelaut (dahulu, sekarang tidak lagi) yang biasa malang melintang melayari samudra Nusantara, bahkan sampai di pesisir timur Madagaskar (juga dahulu kala), jika ingin mencemooh orang yang belum pernah meninggalkan tanah Mangkasara' diejek dengan ucapan: "Pu're' kau, Lae-Lae tannurapi'" (kau ini apa, Lae-Laepun engkau tidak capai). Ada sebuah kelong (syair) Makassar yang menyangkut 4 buah pulau kecil yang tersebar di depan pelabuhan Makassar, bunyinya demikian:

Barrang Lompo, Barrang Ca'di,
Gusung Tallang, Lae-Lae,
Kupammoliki,
Simpung sikamma sallona.

Barrang Lompo, Barrang Ca'di,
Gusung Tallang, Lae-Lae,
Di sana kupendam,
Nostalgia selama ini.

Seperti diketahui pengembangan kawasan pantai Makassar dalam era Orde Baru dilakukan oleh perusahaan milik konglomerat yang nota bene pemilik tersebut adalah orang kuat yaitu Abd Latif, Menteri Tenaga Kerja yang kemudian digeser menjadi Menteri Pariwisata dan Kesenian. Pergesaran Abd. Latif ke Menteri Pariwisata dan Kesenian betul-betul sangat memojokkan rakyat kecil para nelayan pemukim pulau Lae-Lae yang akan dijadikan kawasan obyek pariwisata. AlhamduliLlah, strategi pembangunan sekarang ini memihak kepada rakyat lapisan bawah. U'rangitongi belata kasi-asiya (ingatlah pula rekan kita yang miskin), demikian bunyi penggalan dalam syair nyanyian daerah Makassar yang berjudul Dongang-Dongang.

Pulau Lae-Lae akan menjadi pekerjaan rumah bagi Walikota yang akan datang. Sebab pemukim pulau Lae-Lae ada yang bersedia pindah ke perkampungan nelayan yang baru yang telah disediakan, tetapi ada pula yang ngotot tidak mau pindah, yaitu mereka yang masih kental terikat dalam budaya Punggawa-Sawi. Sebaiknya penduduk Lae-Lae dibiarkan bebas memilih yang disenanginya. Yang mau pindah, biarkan pindah, yang mau tinggal, biarkan tinggal.

Budaya Punggawa-Sawi kalau memang masih ingin dipertahankan oleh masyarakat yang tidak mau pindah, supaya dibiarkan tetap terpelihara. Kalau Mexico masih memelihara sejenis budaya Punggawa-Sawi, yaitu budaya Patron, suatu budaya Mexico yang peninggalan budaya Spanyol, mengapa kita tidak. Di Galesongpun budaya Punggawa-Sawi ini masih eksis. Pulau Lae-Lae dapat diprogramkan menjadi obyek wisata budaya. Dengan demikian penduduk pulau Lae-Lae dapat menjadi subyek pembangunan sebagai pelaku dalam masyarakat berbudaya Punggawa-Sawi. Maka pulau Lae-Lae dapat tetap menjadi bagian dari obyek pariwisata kawasan pantai Makassar. Untuk mewujudkan program itu Pemda perlu memakai petunjuk yang operasional dari Al Quran, yaitu petunjuk bagi manusia sebagai makhluk sosial: W SYAWRHMM FY ALAMR (S. AL 'AMRAN, 3:159), dibaca: Wa sya-wirhum fil amri (S. Ali 'Imra-n, 3:159), artinya: Bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan (yang menyangkut dengan) mereka. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 10 Januari 1999