Salah satu ayat dari paket ayat-ayat ttg puasa Ramadhan:
-- SyHR RMDhAN ALDzY ANZL FYH ALQRaAN (S. ALBQRt, 2:185), dibaca:
--syahru ramadha-nal ladzi- unzila fi-hil qura-n, artinya:
-- Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran.
Permulaan Al-Quran diturunkan dalam bulan Ramadhan, yang dalam ayat (2:185) tidak dijelaskan dalam malam ke berapa. Untuk itu perlu meruju' pada ayat yang lain:
-- ANA ANZLNH FY LYLt ALQDR (S. ALQDR, 97:1), dibaca:
-- imnna- anzalna-hu fi- lailatil qadri, artinya:
-- Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada Malam Qadr.
Isyarat Al-Quran pada Malam Qadr itu diperjelas oleh sabda Rasulullah SAW:
Taharraw laylata lqadri fi l'asyri l.awaakhir min ramadhaan, artinya:
Carilah olehmu Malam Qadar pada sepuluh malam terakhir dalam bulan Ramadhan (Hadits diriwayatkan Bukhari).
Di Indonesia ini telah umum diperingati permulaan turunnya Al-Quran (Nuzul al-Quran) pada 17 Ramadhan, dan itu jelas bertentangan dengan 10 malam trakhir, karena angka 17 tidak termasuk dalam antara malam ke-21 dengan 30, kalau jumlah hari bulan Ramadhan 30 hari, atau di antara malam ke-20 dengan 29, kalau bulan Ramadhan itu hanya terdiri dari 29 hari.
Lalu dari mana pula asal muasal angka 17 ini. Firman Allah:
-- WMA ANZLNA 'ALY 'ABDNA YWM ALFRQN YWM ALTQAY ALJM'AN (S. ALAMFAL, 8:41), dibaca:
-- wa ma- anzalna- 'ala- 'abdina- yawmal furqa-na yawmal taqal jam'a-n, artinya:
-- dan (beriman kepada) apa yang kuturunkan kepada hambaku (Muhammad) pada Hari Al Furqaan, hari bertemunya dua pasukan.
Pada umumnya ditafsirkan, bahwa yang diturunkan Allah itu adalah Al-Quran, dan Hari Al-Furqan, hari bertemunya dua pasukan adalah Perang Badar. Dan menurut catatan sejarah, Perang Badar terjadi pada 17 Ramadhan. Jadi permulaan turunnya Al-Quran itu adalah pada 17 Ramadhan.
Dalam penafsiran ini ada 3 tahap pemikiran/perbuatan manusia. Tahap pertama berupa pemikiran/penafsiran, bahwa maa/apa diartikan sebagai Al-Quran. Tahap kedua adalah juga pemikiran/penafsiran, yaitu bertemunya dua pasukan adalah Perang Badar. Tahap ketiga adalah perbuatan, yaitu pencatatan/ingatan sejarah, bahwa Perang Badar itu adalah pada 17 Ramadhan. Yang jadi masalah ialah tahap ketiga, tidak jelas siapa itu pencatat sejarah tanggal terjadinya Perang Badar. Jadi letak salahnya angka 17 itu ialah pada orang yang mencatat kejadian Perang Badar, karena tidak jelas siapa orangnya pencatat sejarah itu. Siapapun orangnya pencatat sejarah itu, tentu kita lebih mempercayai Shahih Bukhari ketimbang hasil catatan sejarah yang tidak jelas siapa orangnya itu.
***
Satu bulan menurut kalender pra-Islam dari bulan sabit baru ke bulan sabit baru, ini umumnya berganti-ganti 29 dengan 30 hari. Satu tahun adalah satu kali matahari menempuh lintasan garis ekliptika di bola langit dalam pandangan geosentrik. Lamanya sekitar 365,25 hari. Satu tahun terdiri atas 365,25/29,5 = 12,38 bulan, Kalau dinyatakan dalam hari, pecahan 0,38 bulan itu menjadi 0.38 x 29,5 = 11,2 hari, dibulatkan menjadi 11 hari.
Dalam penanggalan Arab pra-Islam untuk menyesuaikan sistem qamariyah ke sistem syamsiyah, cara bangsa Arab pra-Islam menanggulangi kelebihan 11 hari itu ialah dengan mengumpulkan kelebihan itu setiap tiga tahun, sehingga terkumpullah sekitar 33 hari. Ini dijadikan 1 bulan. Setiap 19 tahun syamsiyah ada 7 tahun syamsiyah yang mempunyai 13 bulan qamariyah, yaitu tahun syamsiyah ke-3, 6, 9, 12, 15, 18 dan 19. Dalam 19 tahun sistem qamariyah ada ( 19 x 354 ) = 6726 hari. Dalam 19 tahun sistem syamsiyah ada (19 x 365) = 6935 hari. Selisihnya ( 6935 - 6726 ) = 209 hari. Ini dibayar dengan ( 7 x 30 ) = 210 hari. Koreksi dengan cara ini sudah lumayan, hanya beda sehari dalam 19 tahun. Karena setiap tiga tahun diadakan penyesuaian sistem Qamariyah ke Syamsiyah, maka dalam zaman pra-Islam bulan Ramadhan tetap dalam musim panas, sehingga bulan itu diberi bernama Ramadhan, dari akar kata Ra, Mim, Dhad, [RMDh] artinya membakar.
Sistem kalender pra-Islam ini masih berlaku di kalangan ummat Islam, hingga turun ayat:
-- AN 'ADT ALSYHWR 'AND ALLH ATSN 'ASYR SYHRA (S. AL TWBT, 9:36), dibaca:
-- inna 'iddatasy syuhu-ri 'indaLla-hitsna 'asyara syahran, artinya:
-- Sesungguhnya perhitungan bulan disisi Allah adalah 12 bulan.
Sejak turunnya ayat itu tidak ada lagi tahun yang jumlah bulannya 13 dalam kalangan ummat Islam. Dengan penggarisan ayat tersebut, maka bulan Ramadhan maupun bulan Haji bergeser setiap tahun, sehingga pelaksanaan ibadah puasa maupun ibadah haji tidaklah dalam musim yang tetap. Tidak terus-terusan musim panas dan tidak senantiasa dalam musim dingin melaksanakan ibadah puasa dan ibadah haji. Juga terjadi keadilan bagi penduduk di globa ini, yang di belahan bumi sebelah utara Khatulistiwa dengan yang di selatan, tidak selamanya berpuasa pada hari yang panjang dan tidak pula selamanya berpuasa pada hari yang pendek.
Mengapa nama Ramadhan tetap dipertahankan walaupun sudah bergeser tidak lagi selamanya dalam musim terik yang membakar? Ini boleh jadi dengan alasan bahwa karena puasa wajib itu dalam bulan Ramadhan, maka orang dapat mengaitkannya pada sabda RasuluLlah SAW:
-- Man qaama Ramadhaana Iymaanan wahtisaaban ghufiralahu maa taqaddama min dzanbihi (aw kamaa qaala), artinya:
-- Barang-siapa menegakkan Ramadhan atas dasar iman dan introspkesi, maka diampuni dosanya apa yang telah lalu (atau sebagaimana diucapkan beliau). Terkait dengan Hadits ini bulan Ramadhan adalah bulan pengampunan dosa, bulan membakar dosa-dosa, bagi mereka yang menegakkan Ramadhan. Apakah semua jenis dosa diampuni Allah ? Pembaca harap sabar menunggu, akan dikemukakan insya-Allah dalam Seri 798 yad. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 23 September 2007
23 September 2007
[+/-] |
797. Hal-Ihwal Bulan Ramadhan |
16 September 2007
[+/-] |
796. Tujuan Puasa Ramadhan |
Paket ayat-ayat ttg puasa dimulai dengan:
-- YAYHA ALDzYN KTB ‘ALYKM ALShYAM KMA KTB ‘ALY ALDzYN MN QBLKM L’ALKM TTQWN (S. ALBQRt, 2:183), dibaca:
-- ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- kutiba ‘alaikumush shiya-mu kama- kutiba ‘alal ladzi-na ming qablikum la’allakum tattaqu-n, artinya:
-- Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa.
Jadi tujuan puasa, seperti dinyatakan dalam ayat (2:183), yaitu supaya kamu bertaqwa. Puasa adalah upaya meningkatkan diri kita dari beriman menjadi bertaqwa. Itu artinya orang beriman belum tentu bertaqwa, sebaliknya orang bertaqwa dengan sendirinya beriman.
Dalam shalat wajib lima kali sehari semalam, kita berdo'a 17 kali kepada Allah:
-- AHDNA ALShRATh ALMSTQYM (S. ALFATht,1:6). dibaca:
ihdinash shira-thal mustaqi-m (s. alfa-tihah), artinya:
-- Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Maka do'a itu dijawab Allah:
-- DzLK ALKTB LA RYB FYH HDY LLMTQYN . ALDzYN YWaMNWN BALGhYB WYQYMWN ALShLWt W MMA RZQNHM YNFQWN (S. ALBQRt, 2:2-3), dibaca:
-- dza-likal kita-bu la- raiba fi-hi hudal lilmuttqi-n . aldzi-na yu’minu-na bil ghibi wa tuqi-mu-nash shala-ta wa mimma
razaqna-hum yunfiqu-n (s. albaqarah), artinya:
-- Itu Al-Kitab tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.
Dari ayat (2:2-3) dapat kita simak bahwa bertaqwa itu adalah kombinasi dari beriman, mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat.
Taqwa = Iman + Shalat + Zakat
Dalam Seri 795 ybl telah dikemukakan bahwa orang beriman belum tentu bertaqwa, sebaliknya orang bertaqwa dengan sendirinya beriman. Dan itu jelas, jika disimak rumus tersebut di atas. Maka dapatlah dihayati dengan baik ayat (2:183), seperti dijelaskan di atas: Puasa adalah upaya meningkatkan diri kita dari beriman menjadi bertaqwa. Ummat Islam sejak kecil telah diajarkan Rukun Iman yang enam. Jadi tidak perlu dijelaskan lagi di sini. Namun yang perlu penjelasan ialah tujuan puasa: taqwa. Kata ini dibentuk oleh akar kata dari tiga huruf: Waw, Qaf, Ya [W-Q-Y], artinya menjaga diri supaya terpelihara. Taqwa kepada Allah, yaitu terpelihara dari pengaruh iblis melalaikan perintah Allah dan melanggar larangan Allah. Umumnya ummat Islam walaupun sudah tahu betul itu Rukun Iman, tetapi tidak jarang pula yang melalaikan perintah Allah, karena perintah itu terasa "berat" dan melanggar larangan Allah, karena larangan itu terasa "enak". Contohnya yang paling mudah dipantau ialah kewajiban shalat dan puasa. Betapa banyak ummat Islam yang tidak shalat dan tidak berpuasa, karena bagi mereka itu perintah Allah tersebut terasa "berat". Mereka ini tak kunjung meningkat menjadi taqwa. Masih ingat orang-orang yang cerewet terahadap Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pornografi dan Porno aksi? Dengan seribu satu macam alsan mereka berupaya menegakkan benang basah, padahal pada hakekatnya itu tidak lain dari desakan naluri selera rendah berhubung "enak" ditonton bagi penonton dan "enak" mendapatkan keuntungan fulus bagi manajer dan tim pelaku porno aksi dalam tayangan TV. Demikian pula yang pernah marak di daerah ini yaitu panggung pertunjukan "candoleng-doleng". Motifnya bagi penonton karena "enak" ditonton dan bagi tim manajer dan pelaku "candoleng-doleng", karena "enak" mendapat fulus, serta bagi penyelenggara acara itu supaya banyak yang datang mengunjungi kenduri itu membawa fulus.
Orang bertaqwa itu ibarat menempuh semak onak duri dirinya terhindar dari luka ditusuk duri, bahkan pakaiannyapun tak ada yang cabik. Itu di hutan, kalau di kota, ibarat menempuh lalu lintas yang ramai dan semraut, terhindar dari tabrakan.
Di manakah rahasianya mengapa puasa itu dapat meningkatkan diri orang beriman menjadi bertaqwa? Ibadah puasa sifatnya berbeda dengan ke empat Rukun Islam yang lain. Kalimah Syahadatain diucapkan dimulut, dibenarkan oleh pikiran dan dimantapkan di qalbu (saya merasa risih mempergunakan ejaan kalbu, karena kalbu itu artinya anjing), sifatnya terbuka, karena diucapkan, orang lain dapat mendengarnya. Shalat juga sifatnya terbuka, karena teridiri atas gerakan dan ucapan, dapat dilihat dan didengar. Mengeluarkan zakat, naik haji juga terdiri atas gerakan dan ucapan sehingga juga sifatnya terbuka. Jadi Rukun Islam pertama, kedua, ketiga dan kelima dapat saja dikerjakan atas dasar riya, penampilan, tidak atas dasar iman. Seorang jurkam misalnya, ia dapat saja shalat untuk menarik massa, bukan atas dasar iman. Seorang naik haji dapat saja bukan atas dasar iman, melainkan untuk status sosial.
Lain halnya dengan Rukun Islam yang keempat ini, yaitu puasa. Ibadah puasa ini sifatnya tertutup, tidak dapat ditunjukkan kepada orang lain. Yang dapat ditunjukkan kepada orang adalah berbuka puasa dan berpura-pura loyo atau meludah-ludah secara demonstratif. Maka puasa itu hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang beriman, karena yang tahu bahwa ia berpuasa hanya dirinya sendiri dan Allah SWT. Karena puasa itu tidak dapat dilaksanakan atas dasar penampilan, maka puasa itu betul-betul sangat bermanfaat untuk melatih diri meningkatkan keampuhan tenaga pengendali dalam diri kita, dengan demikian kita mampu menjaga diri supaya terpelihara. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 16 September 2007
9 September 2007
[+/-] |
795. Persiapan Menjelang Puasa Ramadhan |
Sebermula diinformasikan, bilakah masuk 1 Ramadhan 1428 H. Inilah Persiapan Menjelang Puasa Ramadhan dalam konteks waktu permulaan puasa.
Di Makassar keadaan bulan sabit (hilal) seperti berkut:
ijtima'/Conjuction : 11 Sept 2007 jam 20:45:22 waktu setempat (WS)
Pada malam Rabu (Selasa malam)
Matahari terbenam : 18:01:55 WS, hilal masih di bawah ufuk, -2° 50' 52", jadi hilal belum wujud, tidak bisa diru'yah. Maka malam Rabu itu masih akhir bulan Sya'ban. Artinya bulan Sya'ban dicukupkan 30 hari. Fakmiluw 'iddata sya'baana tsalaatsiyn (R.Bukhariy), artinya: sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh.
Pada hari Rabu 12 September 2007
Matahari Terbenam : 18:01:42 WS
Bulan terbenam : 18:34:27 WS
Selisih B-M : 0:32:45
Tinggi bulan : 7° 13' 30", jadi menurut hisab hilal sudah wujud, dan insya-Allah bisa diru'yah kalau langit bersiah dari awan.
Jadi begitu matahari terbenam pada malam Kamis (Rabu malam), masuklah 1 Ramadhan 1428
mulai shalat tarwih, malam Kamis
mulai makan sahur, Kamis subuh
mulai ibadah puasa, hari Kamis 13 September 2007
Bulan purnama 26 September 2007
***
Persiapan menjelang puasa Ramadhan dilakukan dengan berziarah kubur sambil membawa bunga?. Say itu with flower ? Bukan, bukan itu. Ziarah kubur itu tidak mengenal waktu tertentu, setiap saat, bisa kita ziarah kubur. Itu bukan ibadah mahdhah (ritual). Ziarah kubur menjelang bulan Ramadhan dengan demikian tidak masuk kategori Syari'ah. Say itu with flower hanya dilakukan terhadap orang yang masih hidup, sebagai basa-basi pergaulan, tidak termasuk ibadah jenis mu'amalah, jadi apatah pula, lebih-lebih lagi, tidak masuk kategori Syari'ah.
Perintah puasa fardhu Ramadhan diwahyukan pada bulan Sya'ban tahun 2 Hijriyah:
-- YAYHA ALDzYN KTB ‘ALYKM ALShYAM KMA KTB ‘ALY ALDzYN MN QBLKM L’ALKM TTQWN (S. ALBQRt, 2:183), dibaca:
-- ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- kutiba ‘alaikumush shiya-mu kama- kutiba ‘alal ladzi-na ming qablikum la’allakum tattaqu-n, artinya:
-- Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa.
Ayat (2:183) menunjukkan bahwa modal utama untuk ibadah puasa adalah iman. Oleh sebab itu menjelang bulan Ramadhan kita perlu mengevaluasi iman kita masing-masing, dan untuk evaluasi itu perlu tolok ukur. Allah SWT sudah mengatur bahwa dalam bulan Rajab terjadi peristiwa Isra-Mi'raj. Firman Allah:
-- WMA J’ALNA ALRaYA ALTY ARYNK ALA FTNt LLNAS (S. ASRY, 17:60), dibaca:
-- wa ma- ja’alnar ru’ya- allati- araina-ka illa- fitnatal linna-si, artinya:
-- dan tidaklah Kami jadikan penglihatan yang Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai fitnah bagi manusia.
Penglihatan yang diperlihatkan yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Ayat Kubra tatkala beliau Mi'raj. Sedangkan fitnah dalam ayat ini bermakna ujian ataupun cobaan atas keimanan seseorang. Jadi menurut ayat ini Mi'raj merupakan tolok ukur bagi seseorang untuk mengevaluasi keimanannya. Makin cerewet fuadnya (rasionya) terhadap Mi'raj makin kurang kadar keimanannya. Inilah yang terjadi tatkala Nabi Muhammad SAW menginformasikan bahwa beliau Isra-Mi'raj kepada penduduk Makkah. Ummat Islam ada yang tetap teguh imannya, ada pula yang menjadi ragu, bahkan ada yang kembali kafir, sedangkan kaum kafir Quraisy bertambah-tambah kafir dan pembangkangannya. Terjadilah kristalisasi ummat Islam, walaupun secara kuantitas menurun, namun secara kualitas meningkat. Ummat Islam yang telah berkristal menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas itu menjadi kaum Muhajirin satu tahun delapan bulan kemudian, lalu mereka bersama-sama kaum Anshar, penduduk Muslim Madinah, mendirikan Negara-Kota Islam Madinah.
RasuluLlah SAW Mi'raj menembus ruang alam syahadah yang nisbi ini. Menembus masuk alam ghaib, alam malakut, alam fawqa malakut, bahkan malaikat Jibril AS sendiri tidak mampu menembus alam fawqa malakut. Jibril AS menyusut mengecil, tidak tahan melampaui alam fawqa malakut: "Teruslah sendiri hai Muhammad, saya tidak mampu lagi", ujar Jibril AS. RasuluLlah SAW menembus masuk ruang ghaib yang mutlak, tidak nisbi, alam yang bebas dari ruang dan waktu. Pertanyaan DI MANA tidak punya arti sama sekali, juga pertanyaan KAPAN tidak punya arti juga, yang lalu, sekarang dan yang akan datang "menyatu". Hanya Allah yang Maha Tahu dan RasuluLlah SAW yang mengetahui keadaan ghaib yang demikian itu. Jadi tidak usah pusing-pusing memikirkan bagaimana bisa RasuluLlah "bertemu" dengan Nabi-Nabi terdahulu, melihat surga serta isinya dan neraka serta isinya, yang bagi kita di alam syahadah ini surga dan neraka itu sebagai tempat yang akan berisi kelak di waktu yang akan datang. Janganlah akal kita disuruh berpikir melampauai batas kapasitasnya. Karena kapasitas akal hanya sebatas informasi yang dapat dideteksi oleh pancaindera. Berpikir melampaui batas kapasitas akal minimal tidak efisen maksimal akan merusak iman. Demikianlah peristiwa Mi'raj merupakan tolok ukur dalam mengevaluasi iman kita masing-masing. Kadar keimanan berbanding terbalik dengan "kecerewetan" rasio kita. Demikianlah mulai bulan Rajab menjelang Ramadhan dalam rentang waktu itulah kita intensif mengevaluasi iman kita.
Apa tujuan puasa ? Seperti dinyatakan dalam ayat (2:183), la'allakum tattaqu-n. Puasa adalah upaya meningkatkan diri kita dari beriman menjadi bertaqwa. Orang beriman belum tentu bertaqwa, sebaliknya orang bertaqwa dengan sendirinya beriman. Insya-Allah akan dilanjutkan dalam Seri 796 hari Ahad yang akan datang. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 9 September 2007
2 September 2007
[+/-] |
794. Kelemahan KUHAP yang Membiarkan Korban di Luar Sistem |
Massa Histeris di Pengadilan Tinggi terkait Kasus Kematian Siswa SMU di Gowa. Berita ini dapat kita baca dalam Harian FAJAR, edisi Selasa 28 Agusuts 2007. Massa yang tergabung dalam Koalisi Lembaga dan Masyarakat Pemerhati Anak Sulsel sempat histeris di dalam ruangan Pengadilan Tinggi. Mereka mendatangi Pengadilan Tinggi terkait dengan kasus kematian Nur Ikbal Caraka siswa SMU Sungguminasa Gowa akibat lemparan terpidana Drs Sukardi Bin Sappe, guru olah raga korban, beberapa bulan lalu. Terpidana divonis selama lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Sungguminasa. Dalam tingkat banding Pengadilan Tinggi menjusutkan vonnis lima tahun itu menjadi hanya dua tahun. Ibu korban Anita Tanggo Amu 49, yang ditemui FAJAR disela-sela berlangsungnya aksi bertekad untuk tetap mencari keadilan atas kematian anaknya tersebut. "Saya tidak punya uang, tapi keadilan terus saya cari sampai kapanpun." Namun Jaksa Penuntut Umum enggan melakukan kasasi berhubung vonnis dua tahun oleh Pengadilan Tinggi sudah sesuai dengan tuntutannya yang dua tahun dalam Pengadilan Negeri. Berarti kandaslah upaya hukum Anita Tanggo untuk mencari keadilan, kandas oleh Sistem Hukum Nasional Negara Republik Indonesia.
***
Dalam kasus di Sungguminasa di atas itu, posisi ahli waris korban berada di luar sistem. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kita mencuekkan hak asasi korban atau ahli waris korban yang terbunuh. KUHAP kita hanya memperhatikan hak asasi terdakwa. Maka demi keadilan apakah tidak patut apabila dalam KUHAP termuat pula aturan yang menyangkut hak asasi korban, ataupun hak asasi ahli waris korban yang terbunuh? Apakah tidak perlu diperluas cakrawala pemahaman keluar menembus bingkai pidana murni? Apakah sudah cukup dasar filosofi KUHAP yaitu jaksa hanya sekadar mewakili negara menuntut terdakwa karena bersalah terhadap negara yaitu melanggar undang-undang? Maka sangat patut jika korban atau ahli korban yang terbunuh dimasukkan dalam sistem, yaitu hak naik banding dan kasasi diberikan oleh undang-undang kepada korban atau ahli waris korban yang terbunuh.
Dalam Hukum Islam ahli waris korban yang terbunuh sangat diperhatikan. Hukum Qishash (pembalasan) seperti tercantum dalam Al Quran hanya dapat diubah, diringankan ataupun dibatalkan oleh ahli waris korban terbunuh, bukan oleh institusi kenegaraan. Firman Allah:
-- FMN TShDQ BH FHW KFARt LH (S. ALMAaDt, 5:45), dibaca:
-- faman tashaddaqa bihi- fahuwa kaffa-ratul lahu-, atinya:
-- barang siapa melepaskan (hak qishashnya), maka itu (menjadi) penebus dosa baginya.
Dalam kasus Zulfiqar Ali Bhutto yang terpidana mati karena pembunuhan, Presiden Ziaul Haq tidak dapat membatalkan hukuman matinya, karena ahli waris korban tidak bersedia mengampuni Ali Bhutto, walaupun dari seluruh dunia berdatangan permintaan kepada Presiden Pakistan itu agar kepada Ali Bhutto diberikan grasi.
Yang alergi tentang Syari'at Islam yang diterapkan dalam ranah publik, tentu tidak pernah membaca dalam sejarah suatu kejadian yang sebenarnya terjadi di zaman Khalifah Umar ibn Khattab. Yang bagi mereka yang alergi itu itu tentu sudah melupakan yang telah ditayangkan oleh TVRI puluhan tahun yang lalu, atau bahkan tidak pernah menyaksikan tayangan tersebut. Seorang pendatang dari kota lain berstirahat di pinggir kota yang dikunjunginya. Ia lalai tidak menambatkan dengan baik kudanya, sehingga kuda itu lepas dan sementara itu pemiliknya tertidur. Kuda itu sempat masuk ke kebun orang memakan tanaman di dalamnya. Yang empunya kebun memergoki kuda itu lalu dibunuhnya kuda itu. Sementara itu yang empunya kuda sudah terbangun dan mencari kudanya memergoki kudanya yang sudah terbunuh. Maka pemilik kuda tersebut membunuh pemilik kebun itu.
Dalam sidang perkara itu, amar keputusan Umar ibn Khattab sebagai hakim: Menghukum mati terdakwa pembunuh sesuai Hukum Qishash. Memerintahkan ahli waris korban terbunuh untuk mengganti kuda yang dibunuh oleh korban terbunuh, sesuai dengan Hukum Qishash. Ganti rugi itu harus diberikan kepada ahli waris terhukum. Sementara itu ahli waris terhukum diwajibkan membayar kepada ahli waris pemilik kebun kerugian tanaman yang dimakan oleh kuda itu. Ternyata ahli waris korban terbunuh membatalkan hukuman mati itu. Dalam hal ini saksi korban termasuk dalam man tashaddaqa bihi-, yang melepaskan hak balasnya menurut S. Al Maidah, 5:45. Dari kejadian tersebut ada hal yang penting yang dapat kita simak. Yaitu amar keputusan hakim menyangkut pidana dan perdata. Hukuman mati bagi terdakwa, itulah keputusan pidananya. Dan memerintahkan mengganti kerugian untuk kuda yang mati dan tanaman yang rusak, itulah perdatanya. Baik aspek pidana maupun perdatanya, keduanya berlandaskan Hukum Qishash.
Disinilah lagi terletak perbedaannya dalam arti kelebihannya Hukum Islam atas Hukum Nasional. Dan sudah semestinya demikian, karena Hukum Islam berasal dari Wahyu, sedangkan Hukum Nasional yang berdasar atas kesepakatan komunitas (baca: Bangsa Indonesia) hanyalah berkualitas kebenaran relatif. Di mana itu letak kelebihan trsebut? Hukum Islam di samping memperhatikan korban atau ahli waris korban yang terbunuh sesuai dengan ayat (5:45) yang dikemukakan di atas, Hukum Qishash mengharuskan penggabungan perkara pidana dengan perdata dalam hal ganti rugi. Sedangkan dalam KUHAP penggabungan perkara pidana dengan perdata, tidaklah dengan sendirinya. Harus ada gugatan ganti kerugian dahulu. Dan kerugian dalam hal perkara perdata itu harus dalam skala yang besar. Lalu bagaimana dengan kerugian kecil-kecil tetapi besar artinya bagi orang kecil yang saksi korban? Inilah yang memberikan motivasi yang mendorong sementara orang menjadi hakim sendiri, bahkan menjadi hakim beramai-ramai dengan mengerahkan sanak keluarga korban. Di sinilah pula Islam sebagai Rahmatan lil'alamin diterapkan dalam ranah publik yang dalam hal ini merevisi dasar filosofi KUHAP bahwa jaksa hanya sekadar mewakili negara menuntut terdakwa karena bersalah terhadap negara yaitu melanggar undang-undang, tanpa memperhatikan keadilan bagi saksi korban ataupun ahli waris korban yang sama sekali ditutup hak asasinya untuk menempuh upaya hukum. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 2 September 2007