Sehubungan dengan seri 196 yang berjudul: Bahan Bakar yang Dapat Diperbaharui, Suatu Tinjauan Masa Depan Sumber Energi, saya mendapat beberapa tanggapan secara langsung baik melalui telepon maupun melalui surat. Untuk menyegarkan ingatan pembaca saya kemukakan inti pembahasan seri 196 tsb.
Kebutuhan energi secara global makin meningkat. Sumber energi berupa bahan bakar fosil ditambah dengan sumber-sumber energi sinar gamma matahari beserta anak-cucunya, berikut dengan energi pasang-surut sudah mulai tidak memadai lagi untuk melayani pertumbuhan industri. Bahkan persediaan minyak bumi sudah semakin menipis, sehingga digalakkan sekarang pemakaian batu-bara. Maka orang menoleh kepada sumber energi yang terkandung dalam mikro-kosmos, yaitu tenaga nuklir. Trauma kebocoran di PLTN Chernobyl masih dirasakan orang ibarat monyet di punggung.
Dalam seri 196 tersebut saya mengemukakan pertanyaan: Tidak adakah alternatif lain selain bahan bakar nuklir untuk kebutuhan global industri itu? Saya menjawab pertanyaan itu dengan mengemukakan isyarat dalam Al Quran. Alladziy Ja'ala Lakum mina sySyajari lAkhdhari Na-ran Faidza- Antum minhu Tuwqiduwna (S.Yasin, 80). Yaitu (Allah) Yang menjadikan api bagi kamu dari dalam (zat) hijau pohon dan dengan itu kamu membakar (36:80).
Ayat di atas itu telah dikemukakan dalam seri 003, yang bobot pembahasan adalah pada ekologi. Yaitu bagaimana zat hijau pohon dengan proses photosynthesis berjasa dalam menghasilkan O2 kembali, setelah manusia dan binatang serta mesin-mesin konversi tenaga mencemarkan udara dengan CO2. Dalam hubungannya dengan pembahasan dalam seri 196 tsb., bobot pembahasan ayat ditekankan pada pohon yang dijadikan bahan bakar. Allah mengisyaratkan pada kita bahwa untuk memecahkan krisis bahan bakar, ialah dengan mempergunakan bahan bakar yang renewable, yaitu menanam bahan bakar.
Nasir El Bassam menuliskan kemungkinan itu dalam Majalah Natural Resources and Development, Volume 41 dengan judul Possibilities and Limitation of Energy Supply from Biomass. Biomas yang berminyak diproses dengan cara pres dan ekstraksi yang hasilnya berupa minyak bakar dan pelumas. Yang bergula dan bertepung diproses dengan cara fermentasi yang hasilnya ethanol. Yang mengandung serat dan cellulose diproses dengan memadatkan menjadi bahan bakar padat, mencairkan menjadi biodiesel dan methanol, menggaskan menjadi hidrogen sintesis, menghaluskan menjadi bahan bakar serbuk, dan hydrolysis menjadi ethanol.
Sampah organik tetumbuhan diproses dengan cara fermentasi yang hasilnya methan (biogas).
Syahdan, adapun tanggapan yang saya terima ialah supaya saya mengemukakan data kuantitatif. Adapun data kuantitatif yang akan saya kemukakan ialah penanaman tumbuhan bertepung (C6 H10 O5)n, khususnya singkong. Data ini saya ambil dari skripsi tiga sekawan dari Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia, yaitu: Mujahidin Asikin, A.Sri Wahyuni dan Suriani, yang berjudul: Pra Rancangan Pabrik Etil Alkohol dengan Bahan Dasar Singkong. Dalam pra rancangan pabrik itu bahan dasar singkong diolah menjadi etil alkohol (ethanol) dengan proses fermentasi.
Dalam tahun 1992 Sulawesi Selatan menghasilkan 685578 ton singkong. Dari 100 ton singkong dapat diperoleh 54.8 ton ethanol, sehingga dari 685578 ton singkong itu akan diperoleh 375697 ton ethanol. Kapasitas pabrik ethanol di Indonesia berkisar sekitar 5600 ton per tahun, yang berarti dibutuhkan 67 pabrik ethanol. Setiap pabrik akan menampung tenaga kerja SD+SLTP 20 orang, SLTA+D3 80 orang dan sarjana 32 orang, jumlah 132 orang. Sehingga dengan contoh produksi singkong tahun 1992 di Sulawesi Selatan dengan nawaitu menanam bahan bakar akan menghasilkan bahan bakar ethanol 375697 ton, dibutuhkan 67 pabrik dengan tenaga kerja SD+SLTP 1340 orang, SLTA+D3 5360 orang, sarjana 2144, jumlah 8844 orang.
Itu baru hanya sekadar contoh, dan data itu dapat dikembangkan dengan berapa luas areal lahan yang dapat ditanami singkong, berapa ton produksi singkong yang dapat diperoleh dari lahan tersebut, berapa jumlah petani yang dapat hidup dari hanya berkebun singkong yang pasarnya sudah tersedia, berapa pabrik ethanol yang dapat didirikan, berapa tenaga kerja yang dapat diserap dari agro based industri persingkongan dan seterusnya. Itu baru singkong, belum lagi misalnya nira enau dan nira lontar. Dari pada dikonsumsi sendiri oleh penduduk dalam wujud minum-minum tuak yang menaikkan jumlah tunasaqring (pemabuk), maka lebih baik dimotivasikan pada nawaitu menanam bahan bakar. Nira itu diolah menjadi bahan bakar, penyadap nira akan mendapatkan pasar, lalu akan tertanggulangilah dengan sendirinya masalah mabuk-mabukan dengan tuak dalam kalangan penduduk.
Penanaman bahan bakar tidak dapat berdiri sendiri. Pergeseran bahan bakar bensin ke bahan bakar ethanol bagi motor bakar, bagi pabrik-pabrik yang memproduksi motor-motor bakar dengan bahana bakar ethanol bukanlah masalah. Yang menjadi masalah ialah bagi masyarakat yang sudah terlanjur mempunyai motor-motor bakar dengan bahan bakar bensin. Untuk itu diperlukan modifikasi motor-motor bakar, tetapi modifikasi ini tidaklah menyeluruh terhadap komponen-komponen mesin, melainkan hanya tertuju utamanya pada karburator dan penukar kalor.
Dengan pemakaian bahan bakar ethanol perbandingan bahan bakar dengan udara akan berubah. Untuk ukuran silinder yang sama pembakaran ethanol akan membutuhkan oksigen yang lebih kecil ketimbang kebutuhan oksigen guna pembakaran bensin. Dengan demikian pada karburator saluran udara harus dipersempit sedangkan saluran bahan bakar harus diperbesar. Itu berarti untuk ukuran silinder yang sama akan lebih banyak bahan bakar ethanol yang masuk silinder, sehingga daya mesin akan meningkat. Akan tetapi pada sisi lain suhu mesin akan meningkat pula. Untuk itu akan membutuhkan komponen penukar kalor yang lebih tinggi kinerjanya yang dalam hal ini efisiensi dan kapasitasnya, untuk membuang kalor dari dalam mesin ke udara luar. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 31 Desember 1995
31 Desember 1995
[+/-] |
209. Bahan Bakar dari Umbi, Tinjauan Secara Kuantitatif |
24 Desember 1995
[+/-] |
208. Mi'raj dan Upaya Penguasa Quraisy di Makkah Untuk Mengembalikan Muhajirin dari Habasyah |
Peristiwa Mi'raj dapat kita baca dalam S. AnNajm ayat 1 s/d 18. Telah disepakati oleh para mufassirin, bahwa yang dimaksud dengan Mi'raj adalah "perjalanan" Nabi Muhammad SAW dari AlBaytu lMaqdis (qiblat yang mula-mula dalam shalat, biasa pula diucapkan Muqaddas), ke Sidratu lMuntahay. Dituliskan perjalanan dalam dua tanda kutip, oleh karena sifat perjalanan itu tidaklah terkungkung oleh ruang dan waktu, artinya tidaklah space-time like (untuk meminjam istilah Einstein).
Dalam Hadits tentang Isra dari Annas ibn Malik yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dapat kita baca: Hattay Intihay ilay Bayti lMuqaddasi, hatta sampailah beliau ke Baytu lMuqaddas.
Pada waktu RasuluLlah SAW mendapatkan pertanyaan bertubi-tubi tentang bagaimana sesungguhnya keadaan Baytu lMaqdis itu, RasuluLlah SAW tertegun sejenak, oleh karena beliau tidak mungkin dapat melihat lagi bangunan itu, berhubung sudah lama dihancurkan oleh Titus sekitar tahun 70 Miladiyah (S.Isra, 7). (Yang tertinggal dari bangunan itu hanya sebuah puing yang disebut tembok ratapan, tempat orang Yahudi meratap setiap tahun pada hari raya keagamaan Yom Kippur). Dalam keadaan terdesak itu maka Allah SWT menunjukkan kepada beliau bangunan itu seutuhnya, ibarat kita sekarang melihat gambar pada layar monitor. Bersabda beliau: FaJalla Llahu Liy Bayta lMuqaddasi faThafiqtu Akhbaruhum waAna- Andzhuru Ilayhi. Maka Allah memperlihatkan kepadaku Baytu lMuqaddas, maka saya informasikan kepada mereka sambil saya melihat kepada (gambar)nya.
Dalam Hadits shahih yang menyangkut pekabaran tentang Isra tidak pernah dipergunakan istilah AlMasjidu lAqsha-. Itulah dalil naqliyah bagi mufassirin pencilan tentang pemahaman bahwa AlMasjidu lAqsha tidaklah identik dengan AlBaytu lMaqdis, melainkan identik dengan Sidratu lMuntahay.
***
Kezaliman penguasa Quraisy di Makkah memuncak pada tahun 5 kenabian. Puncak penyiksaan diderita oleh Bilal bin Rabah, seorang budak yang berasal dari Habasyah (Abessinia, Ethiopia). Dadanya ditindis batu besar, dijemur di bawah terik matahari gurun pasir. Maka turunlah ayat yang mengizinkan berhijrah untuk menghindarkan diri dari kezaliman.
Walladziyna Ha-jaruw fiyLlahi min ba'di Ma- Dzulimuw Lanubawwiannahum fiydDunya- Hasanatan waLaajru lAkhirati Akbaru Lawka-nuw Ya'lamuwna (S.AnNahl, 41). Dan yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dizalimi, niscaya Kami sediakan tempat yang baik bagi mereka di dunia, sedangkan di akhirat menanti pahala yang lebih besar, jika mereka mengetahuinya (16:41).
Maka berhijrahlah 15 orang ke Habasyah terdiri atas 10 orang laki-laki dan 5 orang perempuan, dipimpin oleh Ja'far bin Abi Thalib, sepupu sekali RasuluLlah SAW. Inilah hijrah yang pertama dan bersifat perintis. Kemudian menyusul hijrah yang kedua sesudah fitnah yang berupa pemboikotan umum penguasa Quraisy terhadap Nabi Muhammad SAW dan keluarga beliau pada tahun 7 kenabian. Sehubungan dengan fitnah yang berupa embargo ekonomi ini, turunlah ayat:
Tsumma Inna Rabbaka Lilladziyna Ha-jaruw min ba'di Ma- Futinuw tsumma Ja-haduw waShabaruw Inna Rabbaka min ba'di Ha- LaGhafuwrun Rahiymun (S.anNahl, 110). Lalu sesungguhnya Maha Pengaturmu (Yang melindungi) orang-orang yang berhijrah sesudah difitnah, kemudian mereka berjuang dan sabar, sesungguhnya Maha Pengaturmu sesudah itu Maha Pengampun dan Maha Pengasih (16:110).
Para muhajirin itu terdiri atas 101 orang, 83 orang laki-laki dan 18 orang perempuan, juga berhijrah ke Habasyah. Karena kelompok hijrah ini jauh lebih besar dari hijrah yang pertama, maka penguasa Quraisy mengutus Amr ibn al'Ash dan 'Abdullah ibn Rabiah minta kepada Najasi (Negus) raja Habasyah supaya para muhajirin itu jangan diberi suaka, dan minta agar diextradisikan ke Makkah kembali.
Maka tampillah Ja'far berdialog dengan Najasi. Najasi bertanyakan pandangan orang Islam terhadap Yesus dan Maryam. Ja'far membacakan S.Maryam ayat 19 dan 20 yang menyatakan bahwa 'Isa terlahir sebagai anak yang suci (Ghula-man Zakiyyan, 19:19) dari perawan Maryam yang belum disentuh laki-laki (Lam Yamsasniy basyarun, 19:20). Selanjutnya Ja'far menyatakan bahwa Nabi 'Isa AS adalah seorang utusan Allah, namun dengan tegas menyatakan pula bahwa Isa bukanlah anak Allah. Najasi dapat menerima keterangan Ja'far dan menolak permintaan extradisi penguasa Quraisy itu. Seperti diketahui Najasi adalah seorang Nasrani penganut doktrin Arius Alexander yang menolak trinitas (doktrin Athanasius). Hingga sekarang ini masih tersisa ummat Nasrani penganut doktrin Arius Alexander, yaitu ummat Qibthi (Kopti) di Mesir, yang dikenal sebagai Unitarian Christian. Sekjen PBB Boutros Boutros Galli dari Mesir adalah salah seorang penganut Unitarian Christian.
Tahun 10 kenabian disebut tahun dukacita. St Khadijah, isteri RasuluLlah dan Abu Thalib, paman beliau wafat. Tekanan penguasa Quraisy dijuruskan kepada RasuluLlah. Beliau ke Thaif, tetapi tidak lama di sana. Dalam tahun ini terjadilah peristiwa Isra-Mi'raj. Tekanan kafir Quraisy terhadap ummat Islam berlanjut terus setelah peristiwa Isra-Mi'raj. Dalam tahun berikutnya tampaknya tekanan mereda. Bahkan dalam suatu kesempatan tatkala S.AnNajm dibacakan, para penguasa Quraisy yang sempat hadir ikut pula sujud pada waktu selesai dibacakan ayat terakhir S.AnNajm: FaSjuduw liLlahi wa'Buduw. Maka sujudlah kepada Allah dan mengabdilah (kepadaNya). (Ayat ini adalah ayat sajadah, yakni disunatkan sujud setelah membacanya).
Peristiwa ikut sujudnya para penguasa Quraisy disebar-luaskan keluar, dan setelah para Muhajirin di Habasyah mendengarnya, mereka mengira bahwa situasi bagi ummat Islam di Makkah sudah membaik. Kabar itu mempengaruhi para muhajirin di Habasyah. Merekapun kembalilah ke Makkah. Rupanya tekanan yang mereda dan ikut sertanya mereka sujud merupakan taktik tipu muslihat dengan mempergunakan pendekatan persuasif. Setelah upaya mereka berhasil mendatangkan muhajirin Habasyah, tekanan pada ummat Islam mereka tingkatkan kembali. Namun dari segi lain menguntungkan ummat Islam, karena mantan muhajirin Habasyah dapat ikut berhijrah ke Madinah. Bahkan orang yang pertama berhijrah ke Madinah adalah Abu Salamah, seorang mantan muhajir Habasyah(*). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 24 Desember 1995
---------------------------------------
(*) Orang terakhir hijrah ke Madinah adalah Abbas RA, paman RasuluLlah SAW. Beliau tidak sampai di Madinah, karena di tengah jalan bertemu dengan Nabi Muhammad SAW beserta pasukan Islam Madinah yang menuju Makkah untuk penaklukan Makkah. Setelah penaklukan Makkah tidak ada lagi hijrah. Insya Allah, penaklukan Makkah akan disajikan nanti dalam nomor seri tersendiri
17 Desember 1995
[+/-] |
207. Kamu Sekalian Lebih Mengetahui Urusan Duniamu |
Dalam seri 204 yang ditulis untuk mengenang Allahu Yarham H.M.Syuhudi Ismail saya membandingkan pola pikir almarhum dengan Allahu Yarham S.Majidi. Bahwa Allahu Yarham S.Majidi masih menyeleksi Hadits Shahih, dengan memperhadapkan Hadits itu pada Al Quran. Sedangkan Allahu Yarham M.Syuhudi Ismail seperti umumnya ulama lain menerima Hadits Shahih tanpa reserve. Terhadap Hadits Shahih itu almarhum membahasnya dengan memakai pendekatan tekstual dan kontekstual. Dalam kolom tersebut saya memberikan sebuah contoh Hadits Shahih menurut pemahaman Allahu Yarham H.M.Syuhudi Ismail secara kontekstual.
Maka sehubungan itu saya menerima pertanyaan baik melalui surat maupun dengan perantaraan telepon mengapa saya hanya mengemukakan sebuah contoh pemahaman Hadits secara kontekstual dan mengapa saya tidak mengemukakan sebuah contoh Hadits Shahih yang diseleksi dengan memperhadapkannya pada Al Quran. Sebenarnya saya memang sengaja hanya memberikan contoh pemahaman Hadits secara kontekstual, oleh karena kolom seri 204 itu khusus ditulis untuk mengenang Allahu Yarham H.M.Syhudi Ismail dengan antara lain memperkenalkan pola pikir almarhum sebagai pakar Ilmu Hadits.
Maka untuk memenuhi pertanyaan yang berkirim surat dan yang bertelepon itu, saya berikanlah dalam kolom ini sebuah contoh Hadts Shahih yang diseleksi oleh Allahu Yarham S.Majidi. Saya pikir pertanyaan itu perlu dilayani, oleh karena mungkin tentu terdapat pula sejumlah pembaca yang bertanyakan perihal tersebut. Adapun contoh yang dimaksud adalah seperti Hadits Shahih yang artinya seperti dalam judul di atas itu. Matan Hadits itu seperti berikut:
Wa Antum A'lamu biAmri Dunya-kum.
Hadits tersebut dibahas almarhum pada kesempatan bertatap muka. Menurut almarhum Hadits itu dijadikan dalil oleh orang-orang yang pemahamnya memisahkan antara urusan dunia (baca kehidupan berpolitik, bermasyarakat dan bernegara) dengan urusan akhirat (baca kehidupan beragama). Pemisahan itu menurut istilah kontemporernya adalah dikhotomi ataupun sekularisasi (secula = dunia). Istilah sekularisasi ini diperkenalkan oleh Nurcholis Majid yang senada dengan semboyannya yang populer: Islam yes, partai Islam no.
Dalam kesempatan bertatap muka itu saya menyela: Jadi orang Islam itu mesti berpolitik? Maka dengan sinar mata yang tajam almarhum berkata: Bukan begitu maksud saya, tidaklah semua orang Islam mesti berpolitik, paham? Almarhum kemudian melanjutkan dengan mengemukakan S.AnNisa,4:
AlYawma Akmaltulakum Diynakum, hari ini telah kusempurnakan bagi kamu din kamu (4:4).
Akmaltulakum Diynakum, paham? Islam itu din yang sempurna, tercakup di dalamnya semua aspek kehidupan di dunia untuk kebahagiaan di akhirat, paham? Aspek-aspek itu antara lain kehidupan berpolitik, bermasyarakat dan bernegara, paham? Apakah cocok Antum A'lamu biAmri Dunya-kum dengan Akmaltulakum Diynakum?
Allahu Yarham H.M.Syuhudi Ismail memberikan pemahaman biAmri Dunya-kum, urusan duniamu, secara kontekstual. Yang dimaksud dengan urusan dunia dalam Hadits tersebut khusus untuk urusan disiplin ilmu tertentu, seperti ilmu pertanian. Karena lahirnya sabda RasuluLlah itu sehubungan dengan seluk-beluk bertani kurma, dalam hal mengawinkan kurma.
Adapun latar belakang lahirnya sabda RasuluLlah itu tidak luput dari seleksi Allahu Yarham S.Majidi dengan memperhadapkannya pada Al Quran. RasuluLlah mendapati penduduk Madinah sedang mengawinkan kurma, lalu RasuluLlah memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja. Penduduk Madinah yang petani kurma itu berhenti mengawinkan kurmanya. Kemudian ternyata produksi kurma menurun karenanya. Para petani kurma melaporkan panen kurma yang menurun itu kepada RasuluLlah. Maka keluarlah sabda RasuluLlah: Wa Antum A'lamu biAmri Dunya-kum, kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.
Latar belakang sabda RasuluLlah tersebut diperhadapkan Allahu Yarham S.Majidi terhadap S.Yasin,36: Subhana Lladziy Khalaqa lAzwa-ja Kullaha- Mimma- Tunbitu lArdhu, Maha Suci Yang menciptakan tiap-tiap sesuatu berjodohan yaitu dari apa yang ditumbuhkan di bumi (36:36).
Mimma- Tunbitu lArdhu, paham? AlAzwa-ja, paham? Tumbuh-tumbuhan itu berjodoh-jodohan, ada jantan ada betina, paham? S. Yasin itu Makkiyah, paham? S. Yasin diterima Nabi di Makkah, peristiwa mengawinkan kurma di Madinah, jadi Nabi melarang mengawinkan kurma setelah Nabi mendapatkan Ilmu dari Allah, tumbuh-tumbuhan itu ada jantan ada betina. Ini tidak masuk akal, paham? Nabi mustahil melupakan ayat, paham? Karena Nabi mustahil melupakan ayat, tidak mungkin Nabi melarang mengawinkan kurma. Kalaupun memang panen kurma pernah berkurang, itu tidak ada hubungannya dengan Nabi. Lalu bagaimana mungkin lahir pernyataan Nabi: Wa Antum A'lamu biAmri Dunya-kum, paham?
Itulah bagaimana Allahu Yarham S.Majidi yang terkenal tinggi manthiqnya menyeleksi Hadits Shahih dengan memperhadapkannya pada Al Quran. Bukan hanya menyeleksi isi Hadits, melainkan latar belakang lahirnya Hadits pun diperhadapkannya pada Al Quran. Almarhum sering sekali menutup kalimatnya dengan paham. Itu tidak berarti bahwa almarhum marah-marah, melainkan memang begitulah gayanya kalau sedang asyik menerangkan. WaLlahu A'lamu bi shShawab. *)
*** Makassar, 17 Desember 1995
10 Desember 1995
[+/-] |
206. Upaya Strategis Menangkal Penyakit Aids |
Pada 1 Desember 1995 di Masjid Syura dan boleh jadi di masjid-masjid yang lain demikian pula, penyakit Aids merupakan materi utama Khutbah Jumat. Artinya masjid difungsikan sebagai pusat kegiatan ummat. Seperti diketahui masjid adalah pusat kegiatan baik yang bersifat mental spiritual, maupun yang bersifat ilmiyah, ataupun yang bersifat ketangkasan dan keterampilan jasmaniyah dan kegiatan kemasyarakatan lainnya, tegasnya pusat kegiatan ubudiyah dan muamalah.
Allah berfirman dalam Al Quran: Waltakun Minkum Ummatun Yad'uwna Ilay lKhayri waYa'muruwna bilMa'ruwfi waYanhawna 'Ani lMunkari wa Ulaika Humulmuflihuwna (S.Ali 'Imra-n, 104). Dan mestilah ada di antara kamu ummat yang berda'wah (menghimbau) kepada kebaikan dan memerintahkan atas ma'ruf dan mencegah akan kemungkaran dan mereka itulah orang-orang yang menang (3:104).
Ada tiga kata yang kita garis bawahi dari ayat di atas itu, yakni: menghimbau di satu pihak, memerintah dan mencegah pada pihak yang lain. Penghimbau tidak mempunyai otoritas pada yang dihimbau, sedangkan yang memerintah dan yang mencegah harus mempunyai otoritas atas yang diperintah dan yang dicegah dalam daerah otoritasnya. Di kantor si A dapat memerintah si B untuk tugas-tugas kedinasan sesuai dengan otoritas si A yang telah ditentukan dalam sistem birokrasi, jika si B adalah bawahan langsung si A. Akan tetapi dalam hal aktivitas di luar dinas, pergi memancing misalnya, si A hanyalah dapat menghimbau si B, karena si A sama sekali tidak mempunyai otoritas atas si B, berhubung si B bukanlah bawahan si A di luar dinas.
Oleh karena dalam hal menghimbau kepada kebaikan si penghimbau tidak mempunyai otoritas, maka Al Quran memberikan metode dalam menghimbau itu. Firman Allah: Ud'u Ilay Sabiyli Rabbika bilHikamti, walMaw'izhati lHasanati waJa-diluhum biLlatiy Hiya Ahsan (S. AnNahl, 125). Himbaulah kepada jalan Maha Pengaturmu dengan hikmah dan informasi yang komunikatif dan berdiskusilah dengan mereka secara sebaik-baiknya (16:125).
Dalam S.Ali 'Imra-n, 104 yang dikutip di atas itu dibuka dengan Waltakun, kata yang mengandung Lamu lAmr, huruf lam al.amr, lam yang menyatakan perintah, imperatif. Allah memerintahkan supaya ada yang mengelompokkan diri dalam kelompok menghimbau dan kelompok memerintah-mencegah.
Kelompok menghimbau harus mempergunakan metode seperti yang disebutkan dalam S. AnNahl, 125 yang juga telah dikutip tadi. Metode ini kurang lebih telah diaplikasikan oleh organisasi kemasyarakatan yang mengkhususkan diri dalam kegiatan da'wah, baik secara tatap-muka langsung dalam Khutbah, tabligh, ceramah dan diskusi dalam majelis ta'lim, maupun secara tidak langsung melalui media cetak dan elektronika.
Adapun untuk kelompok memerintah-mencegah seperti telah dikemukakan tadi harus mempunyai otoritas, mempunyai kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuasaan baik kekuasaan eksekutif maupun legislatif harus berjuang di bidang politik. Dikatakan kekuasaan eksekutif maupun legislatif, oleh karena menurut UUD-1945 kedua kekuasaan itu bersama-sama membuat undang-undang.
***
Strategi pemberantasan Aids terletak dalam dua hal.
Pertama, pelarangan perzinaan harus ditegaskan dalam undang-undang. Sekarang ini yang dilarang dalam KUHP (psl.284) bukanlah perzinaan, melainkan hanya sebagian dari perzinaan, yaitu bermukah (overspel = keliwat main). Itupun hanya delik aduan. Artinya kalau suami dari isteri yang bermukah, atau isteri dari suami yang bermukah tidak keberatan, maka permukahan itu tidak dapat sampai ke pengadilan, berhubung polisi hanya dapat menangkap serta jaksa hanya dapat menuntut berdasarkan pasal-pasal dalam undang-undang.
Upaya maksimal yang dapat ditempuh oleh pejabat dan alat negara adalah memanggil atau merazia pelacur dan muncikari, termasuk pemilik kelub malam yang berkecimpung dalam bisnis "jasa" sex. Sesudah mereka diarahkan, muncikari diberi peringatan, kemudian dilepas kembali, bisnis "jasa" sex berlancar seperti semula. Apabila larangan perzinaan telah ditegaskan dalam undang-undang, maka yang melacur, yang dilacuri dan yang memberi kesempatan, yaitu muncikari, termasuk pemilik kelub malam yang berkecimpung dalam bisnis "jasa" sex, artinya semua yang terlibat dalam menularkan HIV, merupakan tindak pidana yang semuanya dapat diseret kemuka pengadilan untuk diberi sanksi berdasarkan undang-undang.
Kedua, diundangkan pula prinsip atau qaidah: menolak mudharat lebih diprioritaskan dari menarik manfaat. Maka berdasarkan prinsip itu dibuatlah peraturan pelaksanaan dalam menyaring secara ketat wisatawan. Wisatawan yang berasal dari negeri yang sudah "tertib" administrasinya cukup diseleksi dengan cara melengkapi dokumen mereka dengan surat kesehatan bebas Aids. Yang dimaksud dengan "tertib" ialah di negeri asal mereka surat kesehatan itu betul-betul surat kesehatan, bukannya diperoleh dengan jalan dibeli. Lain halnya dengan wisatawan yang berasal dari negeri yang diragukan "tertib" administrasinya. Mereka harus di sini diperiksa darahnya, dan ini akan membutuhkan biaya untuk fasilitas pemeriksaan darah, serta akan memperlambat proses wisatawan yang akan masuk. Hal ini akan mengakibatkan berkurangnya wisatawan yang berminat datang karena prosedur melalui semacam karantina itu tentu saja tidak enak rasanya, sehingga devisa yang akan diperoleh negara dari para wisatawan akan menurun. Akan tetapi berdasarkan prinsip menolak mudharat lebih diprioritaskan dari menarik manfaat, maka menolak bahaya Aids lebih diprioritaskan dari devisa yang akan diterima dari kocek mereka.
Walhasil itulah dua butir upaya strategis yang harus ditempuh dalam upaya menangkal penyebaran penyakit aids. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 10 Desember 1995
3 Desember 1995
[+/-] |
205. Apakah dalam Kejadian Sesungguhnya Nabi Sulaiman AS Dapat Bercakap-cakap dengan Burung dan Semut? |
Saya akan membahas pertanyaan dalam judul di atas untuk memenuhi janji saya dalam seri 203 dua pekan yang lalu. Pembahasan dimulai dengan mengemukakan empat ayat dalam S. AnNaml:
(1) Wa Qa-la Ya-ayyuha- nNa-su 'Ullimna- Manthiqa thThayri. Berkata (Sulaiman): hai manusia, telah diajarkan kepada kami logika burung (27:16).
(2) Wa Husyira liSulaimana Junuwduhu mina lJinni wa lInsi wa thThayri Fahum Yuwza'uwna. Dan telah berkumpul bersama Sulaiman pasukannya yang terdiri dari jin, manusia dan burung-burung dalam formasi tempur (27:17).
(3) Hattay idza- Ataw 'alay Wa-di nNamli Qa-lat Namlatun Ya-ayyuha- nNamlu Dkhuluw Masa-kinakum. Sehingga tatkala mereka sampai ke lembah "semut", berkata "seekor semut", hai "semut" masuklah ke dalam tempat tinggalmu (27:18).
(4) Fatabassama Dha-hikan min Qawliha-. Maka (Sulaiman) tersenyum oleh ucapan ("semut") itu (27:19).
(1) Wa Qa-la Ya-ayyuha- nNa-su 'Ullimna- Manthiqa thThayri. Berkata (Sulaiman): hai manusia, telah diajarkan kepada kami logika burung (27:16).
Nabi Sulaiman AS mengerti mantiq burung, yakni memahami makna kicau, gerak-gerik dan perangai serta kebiasaan burung. Sekarang ini ada sebuah disiplin ilmu yang disebut ethology (jangan dikacaukan dengan ecology), yaitu ilmu yang berhubungan dengan perangai binatang (animal behavior), terutama yang berhubungan dengan habitatnya. Dalam Abad yang lalu ada Sulaiman modern yang bergelar "The Bird Man of Al Catraz", yaitu seorang penghuni/narapidana di penjara Al Catraz yang faham dan ahli betul dalam hal ethology khusus untuk burung.
(2) Wa Husyira liSulaimana Junuwduhu mina lJinni wa lInsi wa thThayri Fahum Yuwza'uwna. Dan telah berkumpul bersama Sulaiman pasukannya yang terdiri dari jin, manusia dan burung-burung dalam formasi tempur (22:17)
Kata-kata yang dibentuk oleh huruf-huruf jim, nun, nun, mempunyai pengertian terlindung, terhalang, terisolasi dan terasing. Jinn adalah makhluk yang tidak kelihatan, terlindung dari pandangan mata manusia, dan dapat pula berarti suku terasing. Jannah, taman, adalah tempat yang terlindung dari matahari oleh bayangan pohon, mujannah, perisai, penghalang dari tebasan musuh, janin, bayi yang masih terlindung dalam rahim ibu, majnun, orang gila, orang yang pikirannya kabur seakan-akan terhalang oleh kabut, tidak dapat membedakan antara bayangan dengan kenyataan.
Adapun jin dari pasukan Nabi Sulaiman AS, bukanlah jin dalam pengertian yang pertama, oleh karena kalau begitu yang diperlukan tidak usah sepasukan, cukup sejin saja (tentu tidak benar kalau dikatakan seorang jin). Yang dimaksud dengan pasukan jin Nabi Sulaiman AS adalah orang-orang asing, yaitu mata-mata yang terdiri dari orang asing dari penduduk negeri yang dimata-matai, semacam pasukan kolone ke-5, yaitu tentara yang terlindung dari penglihatan musuh karena tidak berpakaian seragam untuk penyamaran. Orangnya kelihatan, tetapi identitasnya sebagai tentara tidak nampak karena menyamar sebagai penduduk biasa. Pasukan burung adalah pasukan gerak cepat, yaitu pasukan kavaleri dan regu-regu pengintai yang membawa burung-burung untuk komunikasi. Perintah dari induk pasukan ataupun laporan ke induk pasukan diikatkan pada kaki burung.
(3) Hattay idza- Ataw 'alay Wa-di nNamli Qa-lat Namlatun Ya-ayyuha- nNamlu Dkhuluw Masa-kinakum. Sehingga tatkala mereka sampai ke lembah "semut", berkata "seekor semut", hai "semut" masuklah ke dalam tempat tinggalmu (27:18).
(4) Fatabassama Dha-hikan min Qawliha-. Maka (Sulaiman) tersenyum oleh ucapan ("semut") itu (27:19).
"Semut" dalam ayat 18 dan 19 yang dikutip di atas itu, bukanlah semut yang sebenarnya, akan tetapi manusia biasa dari "puak semut". "Seekor semut" maksudnya Kepala Suku dari puak semut.
Kalau AL NML dianggap betul-betul semut, maka orang akan menghadapi kesulitan dalam menterjemahkannya ke bahasa lain yang mengenal pembedaan bentuk kata tunggal (mufrad, singular) dengan jamak (jama', plural), yaitu seperti berikut:
an ant said: O, ant, enter your dwellings. Maka perhatikan ant itu tunggal, (u)Dkhuluw dan Masa-kinakum adalah jamak. Sayang dalam bahasa Inggris orang tidak membedakan dalam bentuk imperative singular dengan plural, tetap enter, tetapi dalam bahasa Arab dibedakan udkhul (tunggal) dengan udkhuluw (jamak).
Qa-lat Namlatun Ya-ayyuha- nNamlu Dkhuluw Masa-kinakum.
Ya-ayyuha- => seruan kepada banyak orang (jama', plural)
Namlu dalam kalimat diperlakukan sebagai jama' (plural), walaupun bentuknya mufrad (singular)
(u)Dkhuluw, masuklah kalian => jama'
Masa-kinakum, rumah kalian => jama'
Untuk mengelakkan kesalahan gramatikal, apabila anNamlu dianggap betul-betul semut, maka Mohammed Marmaduke Pikthall menterjemahkannya dengan:
an ant exlaimed, O ants! Enter your dwellings. Jadi M.M.Pikthall "terpaksa" menjamakkan ants untuk menyesuaikannya dengan dwellings (Masa-kinakum). Maka akibat mengelakkan kesalahan gramatikal, ia salah dengan menjamakkan ants yang sesungguhnya tunggal (mufrad), yaitu anNamlu.
Akan tetapi jika anNamlu difahamkan sebagai nama diri (a proper name) dari sebuah puak atau suku, yaitu puak Semut, maka ayat itu terjemahannya, sebagaimana diterjemahkan seperti berikut:
M.H.Syakir dari World Organization For Islamic Services (WOFIS), Tehran, Iran, dalam tafsirnya menterjemahkan the valley of the Naml, a Namlite dan O Naml. Dari tafsir Maulana Muhammad Ali, Pakistan, Soedewo menterjemahkan de vallei van den Naml, een Namliet dan O Naml.
Kesimpulannya: Jika dianggap anNamlu itu betul-betul semut, maka orang akan tertumbuk pada kesulitan gramatikal dalam menterjemahkan ayat itu kedalam bahasa yang mengenal pembedaan bentuk kata yang singular dengan piural. Kalau difahamkan anNamlu adalah nama diri dari suatu puak bangsa manusia, yaitu puak Semut, maka itu maa fi lmas.alah, no problem, tidak ada kesulitan gramatikal, sebab walaupun anNamlu itu singular, sesungguhnya ia plural, sekelompok bangsa manusia yang mengelompokkan diri dalam sebuah qaum, yaitu mereka namakan dirinya puak Semut. Bandingkan dengan people, yaitu any group of human beings (men or women or children) collectively, walaupun bentuknya singular, tetapi kata itu plural: people go, bukan people goes. .
***
Dari penafsiran bahwa anNamlu itu betul-betul semut, dikembangkanlah menjadi karya sastra, yaitu imajinasi berupa cerita-cerita Israiliyat. Tujuannya semula untuk menyampaikan pesan nilai, mendidik anak-anak, yang kemudian melebar menjadi cerita-cerita penglipur lara, yang umumnya disenangi ibu-ibu dalam majlis ta'lim. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 3 Desember 1995