Sehubungan dengan seri 196 yang berjudul: Bahan Bakar yang Dapat Diperbaharui, Suatu Tinjauan Masa Depan Sumber Energi, saya mendapat beberapa tanggapan secara langsung baik melalui telepon maupun melalui surat. Untuk menyegarkan ingatan pembaca saya kemukakan inti pembahasan seri 196 tsb.
Kebutuhan energi secara global makin meningkat. Sumber energi berupa bahan bakar fosil ditambah dengan sumber-sumber energi sinar gamma matahari beserta anak-cucunya, berikut dengan energi pasang-surut sudah mulai tidak memadai lagi untuk melayani pertumbuhan industri. Bahkan persediaan minyak bumi sudah semakin menipis, sehingga digalakkan sekarang pemakaian batu-bara. Maka orang menoleh kepada sumber energi yang terkandung dalam mikro-kosmos, yaitu tenaga nuklir. Trauma kebocoran di PLTN Chernobyl masih dirasakan orang ibarat monyet di punggung.
Dalam seri 196 tersebut saya mengemukakan pertanyaan: Tidak adakah alternatif lain selain bahan bakar nuklir untuk kebutuhan global industri itu? Saya menjawab pertanyaan itu dengan mengemukakan isyarat dalam Al Quran. Alladziy Ja'ala Lakum mina sySyajari lAkhdhari Na-ran Faidza- Antum minhu Tuwqiduwna (S.Yasin, 80). Yaitu (Allah) Yang menjadikan api bagi kamu dari dalam (zat) hijau pohon dan dengan itu kamu membakar (36:80).
Ayat di atas itu telah dikemukakan dalam seri 003, yang bobot pembahasan adalah pada ekologi. Yaitu bagaimana zat hijau pohon dengan proses photosynthesis berjasa dalam menghasilkan O2 kembali, setelah manusia dan binatang serta mesin-mesin konversi tenaga mencemarkan udara dengan CO2. Dalam hubungannya dengan pembahasan dalam seri 196 tsb., bobot pembahasan ayat ditekankan pada pohon yang dijadikan bahan bakar. Allah mengisyaratkan pada kita bahwa untuk memecahkan krisis bahan bakar, ialah dengan mempergunakan bahan bakar yang renewable, yaitu menanam bahan bakar.
Nasir El Bassam menuliskan kemungkinan itu dalam Majalah Natural Resources and Development, Volume 41 dengan judul Possibilities and Limitation of Energy Supply from Biomass. Biomas yang berminyak diproses dengan cara pres dan ekstraksi yang hasilnya berupa minyak bakar dan pelumas. Yang bergula dan bertepung diproses dengan cara fermentasi yang hasilnya ethanol. Yang mengandung serat dan cellulose diproses dengan memadatkan menjadi bahan bakar padat, mencairkan menjadi biodiesel dan methanol, menggaskan menjadi hidrogen sintesis, menghaluskan menjadi bahan bakar serbuk, dan hydrolysis menjadi ethanol.
Sampah organik tetumbuhan diproses dengan cara fermentasi yang hasilnya methan (biogas).
Syahdan, adapun tanggapan yang saya terima ialah supaya saya mengemukakan data kuantitatif. Adapun data kuantitatif yang akan saya kemukakan ialah penanaman tumbuhan bertepung (C6 H10 O5)n, khususnya singkong. Data ini saya ambil dari skripsi tiga sekawan dari Fakultas Teknologi Industri Universitas Muslim Indonesia, yaitu: Mujahidin Asikin, A.Sri Wahyuni dan Suriani, yang berjudul: Pra Rancangan Pabrik Etil Alkohol dengan Bahan Dasar Singkong. Dalam pra rancangan pabrik itu bahan dasar singkong diolah menjadi etil alkohol (ethanol) dengan proses fermentasi.
Dalam tahun 1992 Sulawesi Selatan menghasilkan 685578 ton singkong. Dari 100 ton singkong dapat diperoleh 54.8 ton ethanol, sehingga dari 685578 ton singkong itu akan diperoleh 375697 ton ethanol. Kapasitas pabrik ethanol di Indonesia berkisar sekitar 5600 ton per tahun, yang berarti dibutuhkan 67 pabrik ethanol. Setiap pabrik akan menampung tenaga kerja SD+SLTP 20 orang, SLTA+D3 80 orang dan sarjana 32 orang, jumlah 132 orang. Sehingga dengan contoh produksi singkong tahun 1992 di Sulawesi Selatan dengan nawaitu menanam bahan bakar akan menghasilkan bahan bakar ethanol 375697 ton, dibutuhkan 67 pabrik dengan tenaga kerja SD+SLTP 1340 orang, SLTA+D3 5360 orang, sarjana 2144, jumlah 8844 orang.
Itu baru hanya sekadar contoh, dan data itu dapat dikembangkan dengan berapa luas areal lahan yang dapat ditanami singkong, berapa ton produksi singkong yang dapat diperoleh dari lahan tersebut, berapa jumlah petani yang dapat hidup dari hanya berkebun singkong yang pasarnya sudah tersedia, berapa pabrik ethanol yang dapat didirikan, berapa tenaga kerja yang dapat diserap dari agro based industri persingkongan dan seterusnya. Itu baru singkong, belum lagi misalnya nira enau dan nira lontar. Dari pada dikonsumsi sendiri oleh penduduk dalam wujud minum-minum tuak yang menaikkan jumlah tunasaqring (pemabuk), maka lebih baik dimotivasikan pada nawaitu menanam bahan bakar. Nira itu diolah menjadi bahan bakar, penyadap nira akan mendapatkan pasar, lalu akan tertanggulangilah dengan sendirinya masalah mabuk-mabukan dengan tuak dalam kalangan penduduk.
Penanaman bahan bakar tidak dapat berdiri sendiri. Pergeseran bahan bakar bensin ke bahan bakar ethanol bagi motor bakar, bagi pabrik-pabrik yang memproduksi motor-motor bakar dengan bahana bakar ethanol bukanlah masalah. Yang menjadi masalah ialah bagi masyarakat yang sudah terlanjur mempunyai motor-motor bakar dengan bahan bakar bensin. Untuk itu diperlukan modifikasi motor-motor bakar, tetapi modifikasi ini tidaklah menyeluruh terhadap komponen-komponen mesin, melainkan hanya tertuju utamanya pada karburator dan penukar kalor.
Dengan pemakaian bahan bakar ethanol perbandingan bahan bakar dengan udara akan berubah. Untuk ukuran silinder yang sama pembakaran ethanol akan membutuhkan oksigen yang lebih kecil ketimbang kebutuhan oksigen guna pembakaran bensin. Dengan demikian pada karburator saluran udara harus dipersempit sedangkan saluran bahan bakar harus diperbesar. Itu berarti untuk ukuran silinder yang sama akan lebih banyak bahan bakar ethanol yang masuk silinder, sehingga daya mesin akan meningkat. Akan tetapi pada sisi lain suhu mesin akan meningkat pula. Untuk itu akan membutuhkan komponen penukar kalor yang lebih tinggi kinerjanya yang dalam hal ini efisiensi dan kapasitasnya, untuk membuang kalor dari dalam mesin ke udara luar. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 31 Desember 1995